NovelToon NovelToon

Sang Pemilik Kehormatan

1

Assalamu'alaikum.

Terima kasih sudah memilih Sang Pemilik Kehormatan untuk kamu baca. Semoga kamu suka dengan karya keduaku ini. Karya ini masih jauh dari kata sempurna. Mohon dimaafkan jika ada typo, dialog tag masih berantakan, PEUBI masih gak sempurna, karena aku masih belum sempat merevisi karya ini.

Disini aku tidak berniat menggurui ataupun merasa benar, hanya saja novel ini kubuat dari sudut pandang pribadi. Jika siapapun yang ingin membaca kisah ini dan merasa dirinya suci, lebih baik tidak melanjutkan membaca.Tidak ada niat sedikit pun untuk menjatuhkan pihak manapun. Meski sebagian kisah ini diambil dari kisah nyata, tapi untuk setting, nama, profesi dan lainnya tetap sebuah karya fiksi.

Untuk visual, sebenarnya aku tidak terlalu suka memakai visual karena takut mengganggu imajinasi pembaca. Tapi kalau mau lihat visual versi aku, bisa lihat di IG-ku @Linaiko17

Sekalian minta do'anya ya agar proses penerbitan novel ini diberi kelancaran.

Selamat membaca dan semoga kamu bisa memetik sedikit hikmah setelah membaca cerita ini.

Wassalamu'alaikum.

...🍂...

...🍂...

...🍂...

...🍂...

...🍂...

...🍂...

Pintu kedatangan Bandara Juanda terlihat sangat padat. Sepasang suami istri sedang menunggu kedatangan putri mereka satu-satunya dibalik pagar pembatas. Pandangan mereka tak berpaling dari pintu, menelisik tiap celah untuk menemukan putri mereka.

"Ruby!"

Seorang muslimah cantik yang mengenakan gamis merah maroon dan hijab syar'i dengan warna senada menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya.

Ia melihat seorang pria dan wanita paruh baya tersenyum lebar padanya.

"Abi, Ummi!"

Setengah berlari ia menyeret kopernya, tas ransel dipunggungnya bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti langkahnya.

"Assalamu'alaikum ...."

Ia segera mencium tangan kedua orang tuanya dan memelukknya erat, melepaskan rasa rindu yang telah lama ia simpan.

"Wa'alaikumsalam."

"Abi dan Ummi Sehat?" tanya Ruby setelah ia melepaskan pelukannya.

"Kami sehat, Nak," jawab Nyai Hannah, Ummi Ruby.

"Sudah ... ayo kita segera ke mobil. Kita ngobrolnya di mobil saja," ajak Kyai Abdullah, Abi Ruby.

"Zan, minta tolong bawakan koper Ruby, ya," pinta Kyai Abdullah pada seorang santrinya yang menemani menjemput putri semata wayangnya.

"Inggih, Pak Kyai."

Mereka beranjak meninggalkan Bandara dan menuju ke halaman parkir yang letaknya lumayan jauh.

Sesampainya di mobil, Kyai Abdullah duduk di kursi depan, bersama Fauzan yang mengendarai mobilnya. Nyai Hannah duduk bersama putrinya di kursi belakang.

AC dari mobil tua itu masih bisa memberikan kesejukan di dalam mobil dari suasana kota Surabaya yang sangat panas.

"Panas banget ya, Nak?" Nyai Hannah mengelap kening putrinya yang berkeringat dengan tisu.

"Masih lebih panas musim panasnya Jepang kok, Ummi." Ruby mengambil tisu dari tangan Umminya dan mengelap keningnya sendiri.

Fauzan mulai menjalankan mobilnya, beranjak meninggalkan halaman parkir Bandara.

"Maaf ya, Nak. Kami tidak bisa hadir di acara wisuda kamu," ucap Kyai Abdullah.

"Iya, Abi. Ruby mengerti," jawab Ruby.

Kenangannya kembali ke empat tahun lalu. Masa dimana Ruby baru lulus Madrasah Aliyah dan Kyai Abdullah memintanya melanjutkan kuliah di Malang saja sambil mengajar di pesantren.

Namun Ruby menolak keinginan Abinya dan lebih memilih untuk menempuh pendidikan di tempat kelahiran umminya, Jepang.

Kyai Abdullah kurang setuju jika Ruby harus menempuh pendidikan diluar negeri, walaupun memang disana Ruby tinggal di kediaman keluarga Hannah yang notabene keluarga Islam terpandang.

Tabina Rubby Azzahra, gadis berusia 21 tahun berparas cantik itu mempunyai skill menggambar yang sangat baik, karenanya ia ingin mengembangkan bakatnya lebih baik lagi. Sebab ia mempunyai cita-cita sebagai seorang animator.

Entah kenapa ia memiliki keinginan Out Of the Box. Ia tak mau seperti anak Kyai lain yang jika lulus sekolah mereka menikah dan berada dirumah saja atau mengajar di pesantren keluarga. Ia ingin mengembangkan sayapnya selebar-lebarnya dan menyalurkan serta membagikan ilmunya kepada siapapun yang kelak ia temui.

Ia teringat bagaimana susahnya membujuk Kyai Abdullah agar menyetujui keinginannya. Ia berjanji akan seimbang mengejar dunia dan akhiratnya. Sang Ummi pun tak lepas peran, dengan sebuah bujukan khususnya mampu membuat suaminya menyetujui keinginan putrrinya. Tentunya ada syarat yang harus dipenuhi.

Syarat yang pertama, Abinya tidak akan menjenguknya selama Ia berada di Jepang. Apapun alasannya, Kyai Abdullah tidak menghadiri dan ikut campur segala apapun yang berhubungan dengan pendidikannya. Walau berat, Ruby menyetujuinya. Toh ia masih bisa pulang ketika libur semester untuk melepas rindu pada Abi dan Umminya.

Syarat yang kedua, setelah Ruby kembali ke Indonesia ia akan segera menikah dengan Iqbal, salah satu santri Kyai Abdullah yang saat ini masih melanjutkan studi s2-nya di Yaman. Iqbal adalah putra dari salah satu kyai pemilik pesantren di kota Jombang. Tanpa pikir panjang, Ruby menyetujui hal itu, sebab Ia memang sudah menaruh hati pada Iqbal sejak pria berparas tampan dan penuh karisma itu masih menjadi satri di pesantren Abinya.

Nyai Hannah memegang tangan putrinya, membuat Ruby meninggalkan kenangannya.

"Apa yang membuat kamu melamun, nak?" tanya Nyai Hannah.

Ruby tersipu malu, menggelangkan kepalanya karena enggan menjawab pertanyaan umminya.

"Apa kamu sedang memikirkan Iqbal?" tanya Kyai Abdullah.

"Tidak Abi, Ruby terlalu lancang jika memikirkannya," jawab Ruby, ia menatap keluar cendela.

"Hahahahaha, dia akan menjadi imammu dalam beberapa bulan kedepan, Nak. Bagaimana bisa kamu mengatakan hal seperti itu." Kyai Abdullah tertawa keras mendengar ucapan putrinya.

"Apa kamu sudah tidak sabar ingin menjadi yang halal untuknya? Agar kamu bisa memikirkannya setiap saat tanpa takut berdosa?" goda Kyai Abdullah lagi.

Ruby semakin tersipu malu.

"Sudah Abi ... apa Abi mau membuat wajah putri kita lebih merah dari tomat?" Nyai Hannah menepuk-nepuk punggung tangan putrinya.

"Iya iya, maaf Ummi. Abi terlalu lama tidak menggoda putri Abi satu-satunya ini."

Perjalanan menuju ke Pesantren Al Mukmin yang sekaligus tempat dimana rumah Ruby berdiri memakan waktu hampir dua jam walau lewat Tol.

Sampai di halaman pesantren, Fauzan menghentikan tepat di depan pelataran rumah Kyai Abdullah. Sudah ada beberapa saudara yang mebyambut kedatangan Ruby, termasuk kedua orang tua Iqbal.

Ruby mencium tangan Nyai Zubaedah, Ibu dari Iqbal. "Assalamu'alaikum, Bu Nyai."

"Wa'alaikumsalam, Nak. Senang bisa melihat kamu lagi." Nyai Zubaedah, menyentuh pipi Ruby yang putih bersih, "makin besar makin cantik," pujinya.

"Terimakasih, Bu Nyai."

Ruby menatap Pria paruh baya disamping Nyai Zubaedah lalu mengatupkan dua telapak tangannya didepan dadanya. "Assalamu'alaikum, Pak Kyai," sapa Ruby.

"Wa'alaikumsalam, Ruby." Jawab Kyai Marzuki, Ayah Iqbal.

"Monggo, ayo masuk. Kita ngobrol di dalam." Kyai Abdullah merangkul Kyai Marzuki mengajaknya masuk ke ruang tamu rumahnya.

Nyai Hannah dan Nyai Zubaedah mengikuti dibelakang. Sedangkan Ruby masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang.

"Surprise!!"

Ruby terkejut melihat gadis cantik dengan rambut sebahu duduk diatas tempat tidurnya.

"Nara!!"

Ia berlari memeluk sahabatnya itu, mereka melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah.

Setelah mereka merasa lelah melompat-lompat dan sudah puas berpelukan, mereka duduk di tepi tempat tidur.

"Kamu berhasil banget ngasih aku surprise. Aku kaget banget kamu ada disini!" Ruby bicara dengan semangat. "Sengaja banget ya kamu cuma nge-read whatsapp aku? Ku kira kamu lagi sibuk ngurusin artis kamu itu." Kini wajahnya berubah kesal.

Nara cengegesan melihat sahabatnya itu kesal dengan sikapnya, "tapi emang beneran sibuk aku tuh. Ini aja aku ninggal dia, belom kelar shooting."

"Uuuch, aku terharu bangeeet." Ruby mencubit kedua pipi Nara.

Ruby dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Nara tinggal tepat di samping pesantren Al Mukmin. Dari kecil mereka sudah sama-sama senang dengan bidang seni, mungkin karena itulah mereka bisa bersahabat hingga sekarang.

Nara bukan dari keluarga kaya. Sejak lulus SMA, Nara sudah bekerja sambil kuliah. Ia juga sempat putus kuliah. Karena ingin melanjutkan kuliahnya, Nara terpaksa menikah dengan seorang pria pilihan orangtuanya agar kelak suaminya bisa membiayai kuliahnya hingga lulus.

Dan sudah empat tahun ini Nara bekerja sebagai asisten manajer salah satu Aktor terkenal di Indonesia. Sangat membuat iri teman-temannya, termasuk Ruby.

Suara Adzan dari Masjid pesantren mulai menggema, Ruby dan Nara menghentikan obrolan mereka.

"Lanjut nanti, kamu Sholat dulu aja. Aku tunggu disini," ujar Nara.

"Iya, aku tinggal dulu ya Ra," ucap Ruby meninggalkan Nara dikamarnya.

-Bersambung-

2

Ruby baru saja selesai melakukan sholat berjamaah bersama Nyai Hannah dan Nyai Zubaedah di mushola kecil yang ada didalam rumahnya. Suara gemericik air dari kolam ikan yang berada ditengah rumahnya memberikan efek tenang dan syahdu.

"Nara masih disini kan, By?" tanya Nyai Hannah, tangannya baru saja selesai melipat mukenahnya.

"Iya, Ummi. Masih di kamar Ruby," jawab Ruby, ia meminta mukenah milik Umminya dan Nyai Zubaedah untuk ia letakkan di almari kecil tempat menyimpan mukenah.

"Panggil, gih. Kita makan bersama," pinta Nyai Hannah..

"Baik, Ummi."

Ruby berjalan mundur dengan setengah membungkuk keluar dari mushola, lalu berjalan normal menuju ke kamarnya.

"Ra, Ayo makan bareng." Ruby langsung mengajak Nara keluar kamar.

"Hah, gak mau aku By. Gak enak aku sama Abi kamu," tolakNara. Ia menahan diri agar Ruby tak bisa menariknya.

"Enggak, sekarang kan hari kamis. Abi makan bersama di Masjid. Udah lama gak kesini sih, sampai lupa sama tradisi disini."

Nara langsung beranjak keluar kamar, "kalau gitu aku gak akan nolak, By."

Ruby tertawa kecil melihat ulah Nara. Ia menggandeng Nara menuju ke meja makan.

Rumah Ruby berbeda dari rumah-rumah jaman sekarang. Semua dinding rumah Ruby terbuat dari kayu, khas rumah Jawa. Rumahnya tak terlalu luas dan terlalu banyak furniture disana.

"Siang, Nara. Apa kabar nih? Lama gak pernah kesini?" sapa nyai Hannah ketika Ruby dan Nara tiba di meja makan.

Nara mencium tangan Nyai Hannah, "siang Ummi. Nara udah disibukin ngurus artis ganteng di Jakarta Ummi, sampai lupa kesini."

Tak lupa Nara mencium tangan Nyai Zubaedah yang menatapnya penuh dengan tanda tanya namun tetap ramah menyapa Nara.

"Maaf, jika membuat Bu Nyai kurang nyaman dengan kehadiran saya," ucap Nara.

"Ah, tidak. Saya makin senang bertemu dengan orang baru," jawab Nyai Zubaedah. "Apa saya melukai perasaanmu, Nak?"

Nara menggeleng dan tersenyum, "tidak, Bu Nyai. Sama sekali tidak ...," jawab Nara ramah.

Ruby menarik kursi untuk Nara agar segera duduk. Dan Ia juga segera duduk disamping Nara.

Seperti biasa, Nyai Hannah mempersilahkan tamunya untuk mengambil nasi dan lauk pauknya terlebih dahulu barulah ia mengambilkan makan untuk Ruby dan Nara kemudian ia sendiri.

Mereka semua berdoa sebelum makan, namun ada yang berbeda dengan cara berdoa Nara. Ia menggenggam kedua tangannya tepat dibawah dagu dan ia akhiri doanya dengan menyentuh dahi, bahu kanan dan kiri serta kecupan lembut di ibu jari dan jari telunjuknya.

Hal itu membuat pertanyaan Nyai Zubaedah sedari tadi terjawab sudah.

"Saya non muslim, Bu Nyai." Nara memperjelas.

"Terimakasih sudah memberitahu saya dan saya tidak mempersalahkannya, Nak," jawab Nyai Zubaedah, "mari kita mulai makannya."

Sembari menyantap hidangan, mereka saling bertukar cerita diatas meja makan. Sama-sama bersikap lues, namun tak menghilangkan rasa hormat Ruby dan Nara kepada Orang tua didepan mereka.

Perbincangan mereka berlanjut hingga ke ruang tengah, kali ini teh hangat menjadi teman perbincangan mereka.

"Assalamu'alaikum."

Suara Kyai Abdullah dan Kyai Marzuki memberi salam, Kompak semua menjawab salam tersebut. Nyai Hannah dan Nyai Zubaedah menghampiri suami mereka. Ruby masuk ke dapur membuatkan dua cangkir kopi baru untuk Abinya dan Kyai Marzuki.

Ruby kembali dengan dua cangkir kopi panas diatas nampan. Tak lupa ia membawa dua cangkir teh hangat yang masih penuh milik Umminya dan Nyai Zubaedah. Ia meletakkan cangkir-cangkir itu di atas meja ruang tamu, tepat didepan masing-masing pemiliknya.

"Terimakasih ya, Nak." Ucap Kyai Abdullah.

Ruby tersenyum dan kembali ke ruang tengah menemani Nara menghabiskan tehnya.

"Jadi, gini Kangmas Kyai. Kehadiran kami disini sebenarnya ingin memperjelas proses ta'aruf antara Iqbal putraku dengan Ruby putri Kangmas Kyai."

Ucapan Kyai Marzuki membuat dada Ruby berdegub lebih cepat, tubuhnya mematung sempurna dan telinganya menjadi lebih peka dalam mendengar suara bisikan.

"Beberapa hari yang lalu kami sudah menanyakan kapan Iqbal akan kembali pulang ke Jombang? Dan ternyata, masih ada yang belum ia selesaikan. Iqbal meminta waktu empat sampai lima bulan kepada kami dan keluarga Kang mas kyai untuk menyelesaikan kewajibannya di sana. Apakah Nak Ruby bersedia menunggu Iqbal?"

Mendengar pernyataan Kyai Marzuki membuat Ruby murung, Ia harus berteman lebih lama lagi dengan waktu penantian yang panjang.

"By, ke kamar aja yuk?" Aaak Nara.

Ruby mengangguk, Ia berdiri dan perlahan meninggalkan ruang tengah kemudian masuk ke dalam kamarnya.

"Udah, gak usah sedih. Cuma nunggu beberapa bulan aja." Nara menyemangati sahabatnya yang sedang kecewa.

"Aku udah nunggu empat tahu lo, Ra." Ruby mengungkapkan kekecewaannya.

"Bersabarlah sedikit, ini hanya soal waktu. Jangan memusuhinya, itu hanya akan membuatmu merasa berdiri di satu titik."

"Iya, Ra. Mungkin aku masih harus menyimpan rindu ini."

**********

Ruby baru menyelesaikan Sholat isya'nya bersama Umminya. Ia segera kembali ke kamar karena sudah merasa lelah melakukan perjalanan panjang sejak kemarin malam.

Nara sudah pergi ke bandara setelah Ruby melaksanakan sholat magrib. Nara tak bersedia diantar Ruby, karena ia tahu betapa lelahnya sahabatnya itu.

Lampu kamar sudah padam dan Ruby sudah berada dibalik selimutnya. Usai membaca do'a, Ruby mencoba memejamkan matanya. Namun, matanya kembali terbuka ketika ia merasakan ponselnya bergetar sekali.

Bisa saja ia mengabaikan pesan itu, tapi tidak kali ini. Ia turun dari tempat tidurnya dan membaca sebuah pesan whatsapp dari sebuah nomor yang tidak tersimpan di kontak ponselnya.

//Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Berulang kali aku mengetik sebuah pesan untukmu, namun terlalu kecil keberanian yang ku miliki untuk mengirimkan pesan ini padamu.

Apa kabar Ruby? Semoga kau selalu berada didalam lindungannnya.

-Iqbal-//

Sebuah pesan singkat yang membuat rasa lelah dan kantuknya menghilang.

Segera ia menyalakan kembali lampu kamarnya, ia duduk di kursi meja belajarnya dan menatap layar ponselnya. Hanya background hitam yang menjadi foto profil pengirim pesan itu.

Betapa senangnya Ruby ketika mengetahui jika selama ini Iqbal menyimpan nomornya. Namun ia juga merasa ini tak adil. Bagaimana jika selama ini dia selalu melihat status whatsappnya yang memperlihatkan kegiatannya sehari-hari, sedangkan ia sama sekali tak pernah mendengar kabar bahkan seperti apa wajah Iqbal sekarang.

Dan sekarang giliran ia yang kebingungan. Berulang kali ia mengetik balasan untuk pesan Iqbal, berulang kali juga ia menghapusnya.

//Apa yang membuatmu terlalu lama membalas pesanku?//

Satu lagi pesan masuk dari Iqbal membuat Ruby terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya. Otaknya seakan terdesak agar cepat-cepat memutuskan balasan apa yang akan ia kirim untuk Iqbal.

//Wa'alaikumsalam mas Iqbal, Maaf jika aku sudah membuatmu menunggu. Alhamdullillah aku dalam keadaan baik-baik saja, Mas. Bagaimana keadaan mas Iqbal disana?//

//Aku hanya khawatir seandainya kamu sedang kecewa karena aku sudah membuatmu menunggu lebih lama lagi//

"Ya, Benar. Aku sedang kecewa karenamu, ma," jawab Ruby, namun ia tak berani membalas dan mengirim pesan tentang apa yang sedang ia rasakan.

//Bersabarlah sedikit lagi, agar kita bisa melepas rindu dengan cara yang halal. Selamat tidur Ruby, Sibukkan waktumu agar tak terlalu lama kau menunggu. Assalamu'alaikum.//

"Yaah, Kenapa udahan Chatnya? Baru sekali aku membalasnya." keluh Ruby kecewa.

//Wa'alaikumsalam mas Iqbal//

-Bersambung-

3

Malam sudah semakin larut, lampu kamar Ruby sudah mati sejak tadi. Namun tidak dengan pemilik kamarnya, Ruby masih menatap layar ponselnya dari balik selimut tebalnya. Ia masih membaca ulang chat singkat dari Iqbal beberapa waktu yang lalu. Rasa senang dan kecewa sedang ia nikmati saat ini.

"Kenapa dia mengakhiri perbincangan ini begitu cepat? Tidak bisakah dia sedikit mengobati rinduku?" batin Ruby, ia sedang menginginkan sesuatu yang lebih dari seorang Iqbal.

"Kesibukan apa yang harus ku lakukan sekarang untuk mempersingkat waktu ku bertemu denganmu mas?"

Ruby meletakkan ponselnya dan membuka selimutnya, udara segar sudah bisa ia nikmati. Lebih banyak oksigen yang ia hirup semakin memperlancar peredaran darah diotaknya. Ia memikirkan sebuah Ide, bagaimana jika ia mengisi waktunya untuk kerja di perusahaan Animasi milik Heru, suami Nara.

**********

Cahaya mentari pagi telah hadir menggantikan rembulan, kerlip-kerlip bintang kian terkikis tersapu mentari. Suara santri-santri yang melantunkan ayat suci Al Qur'an menggema indah dari pengeras suara masjid hingga ke dalam rumah Ruby.

Ruby sudah memulai aktifitas paginya, menyapu lantai rumahnya. Sedangkan Nyai Hannah sibuk di dapur dan Abinya berada di Masjid pesantren putra.

Santri putri yang sudah berseragam mulai terlihat berjalan didepan rumahnya menuju ke gedung sekolah. Ruby dengan ramah memberi senyum ketika beberapa dari mereka menyapa.

Ruby menyandarkan bahunya di pilar kayu yang berdiri kokoh diteras rumah. Hembusan angin pagi membawa pikirannya kembali pada pesan terakhir dari Iqbal semalam.

//Bersabarlah sedikit lagi, agar kita bisa melepas rindu dengan cara yang halal. Selamat tidur Ruby, Sibukkan waktumu agar tak terlalu lama kau menunggu.//

Ia menghela nafas panjang. Pandangannya menatap ke dinding tinggi yang berada di kanan rumahnya, dimana Abinya sedang berada dibalik dinding itu.

Semangatnya yang sedang berapi-api semalam tiba-tiba saja menghilang hanya dengan memikirkan wajah Abinya. Sesungguhnya ia sudah bisa menebak jawaban apa yang akan keluar dari mulut Abinya, namun kebulatan tekadanya yang membumbung tinggi mampu mempertahankan kobaran api semangatnya.

"Ummi?" Ruby meletakkan sapu disamping pintu keluar dapur, Ia melihat Umminya baru meletakkan makanan di meja makan.

"Ya, Nak? ada apa?" tanya Nyai Hannah.

Ruby duduk di kursi meja makan. "Semalam Ruby dapat pesan dari mas Iqbal, Ummi."

"Oya? Apa katanya?" tanya Nyai Hannah antusias, ia menghentikan aktifitasnya dan duduk di depan putrinya.

"Dia minta maaf karena harus membuat Ruby menunggu lebih lama dan juga ...." Ia ragu melanjutkan kalimatnya.

"Dan juga apa nak?" tanya Nyai Hannah.

"Mas Iqbal menyuruhku menyibukkan diri biar Ruby tak terlalu lama menunggu dia kembali, Ummi"

"Lalu? Apa yang membuatmu ragu sayang? Bukannya setelah ini kamu akan sibuk?" tanya Nyai lagi.

Ruby diam, ia ragu ingin mengatakan sesuatu.

"Bicaralah, Ruby." Nyai Hannah mendesak.

"Ruby ingin bekerja sebagai animator di perusahaan suami Nara, Ummi."

"Di Jakarta?" Ummi sedikit terkejut.

Ruby mengangguk.

"Ummi ragu kalau Abi menyetujui permintaanmu, Nak."

Kalimat Ummi membuat Ruby menjadi tak percaya diri lagi untuk mengatakan keinginannya pada Abinya.

"Ruby hanya ingin mencari pengalaman Ummi. Karena nanti ketika Ruby sudah menjadi seorang istri, Ruby hanya ingin fokus mengurus rumah tangga dan anak-anak kami. Apa Ummi mau membantu Ruby meyakinkan Abi?"

"Bicaralah nanti dengan Abimu, Ummi akan membantu sebisa Ummi."

Mata Ruby berbinar bahagia, Ia berdiri dan memeluk umminya. " Terimakasih Ummi selalu mendungku."

"Sama-sama, nak." Nyai Hannah menepuk lembut punggung Ruby.

Ruby kembali ke kamarnya, Ia sedang tidak tenang berada didalam kamarnya. Semakin ia melihat jam dinding, jantungnya semakin terpacu karena ia akan mengungkapkan keinginannya.

Sudah beberapa kali Ruby mengintip keluar cendela kamarnya. Ia berharap Abinya segera datang. Dengan begitu mungkin jantungnya akan segera kembali normal.

Lama sudah Ruby menunggu, akhirnya Kyai Abdullah terlihat melintasi halaman depan jendela kamar Ruby. Segera Ruby berlari keluar kamar dan menghampiri Abinya.

Kyai Abdullah baru saja duduk di kursi ruang tamu ketika Ruby datang.

"Anak gadis kok jalannya seperti itu ya?"

Ruby melambatkan jalannya kemudian duduk di kursi yang terpisah dari Abinya.

"Kenapa Nak?" tanya Kyai Abdullah, tangannya meraih sebuah buku yang ada diatas meja.

Ruby menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan untuk mengatur irama jantungnya.

"Mas Iqbal masih lama lagi datang ke Indonesia, Bi?" tanya Ruby.

Kyai Abdullah sedikit terkejut mendengar apa yang akan dibicarakan putrinya. Ia meletakkan kembali buku ditangannya.

"Iya, Kyai Marzuki bilang masih ada yang harus ia selesaikan disana. Apa kamu sudah tidak sabar menunggunya kembali?"

Ruby mengangguk, "Iya, Abi. Oleh karena itu, Ruby ingin mencari kesibukan agar waktu yang Ruby gunakan untuk menunggu mas Iqbal tidak terlalu lama."

"Abi setuju, Nak. Kamu bisa mengajar di pondok putri."

Ruby semakin ragu mengungkapkan keinginannya.

"Kapan kamu berniat mulai mengajar, Nak? Apa rencana yang mau kamu ajarkan pada mereka?" tanya Kyai Abdullah sangat antusias.

Ruby menggeleng, "Maafkan Ruby, Abi. Keinginan Ruby bukan untuk mengajar di pondok putri."

"Lalu?" Kyai Abdullah menatap tajam Ruby.

"Di perusahaan animasi milik suami Nara sedang membutuhkan seorang Animator, Ruby berniat untuk melamar pekerjaan disana."

Kyai Abdullah diam, tangannya meraih buku yang sudah ia letakkan tadi. Senyum di bibirnya hilang dan seketika membuat wajah ramahnya menjadi dingin.

"Hanya sampai mas Iqbal kembali, Abi. Ruby janji, jika Ruby tidak diterima bekerja disana Ruby akan tetap disini untuk mengajar santri putri."

Ruby masih meyakinkan Abinya walaupun ia tahu tingkat keberhasilannya hanya sangat minim.

Kyai Abdullah masih diam tak terpengaruh dengan penawaran Ruby.

"Abi. Tolong biarkan Ruby merasakan bagaimana rasanya bekerja diluar sana. Mendapatkan uang dari kemampuan yang Ruby miliki. Ruby ingin sekali memberikan sesuatu untuk Abi dan Ummi. Dan juga, Ruby tidak ingin kelak menyesal karena tidak bisa melakukan apa yang ingin Ruby lakukan."

"Permintaanmu terlalu berat untuk Abi kabulkan. Pernikahanmu sebentar lagi dan kamu ingin bekerja jauh dari pandangan Abi." Kyai Abdullah menatap putrinya, "Abi dan Ummi tidak menginginkan uang darimu nak, Abi hanya ingin kamu jadi anak yang penurut."

Ruby diam sejenak.

"Ruby bisa tinggal di pesantren paklek Nur, Abi." Ruby menyebut nama salah satu adik Abinya.

Kyai Abdullah masih menggelengkan kepalanya, "Kembalilah ke kamarmu dan pikirkan lagi kemauanmu itu."

"Berapa kalipun Ruby memikirkannya, kemauan Ruby tidak akan berubah, Abi."

"Begitu pula dengan Abi." Kyai Abdullah menutup bukunya dan memilih meninggalkan Ruby.

Walau tahu hal ini akan terjadi, Lapisan keyakinan yang ia bubuhkan di hatinya tetap saja membuatnya merasa sedih dan kecewa. Ia hanya berharap Nyai Hannah bisa merubah keputusan Kyai Abdullah.

**********

Nyai Hannah memberikan secangkir kopi untuk Suaminya yang baru saja duduk di kursi meja makan, dari mimik wajah Kyai Abdullah bisa langsung di tebak jika Ruby sudah membicarakan keinginannya.

"Aku tidak ingin kali ini kamu membela putrimu, Ummi." Kyai Abdullah lebih dulu menebak niat istrinya.

Nyai Hannah hanya meletakkan kopi kemudian menyibukkan diri dengan mengelap meja makan yang sebenarnya sudah bersih.

"Orang tua Ummi dulu juga pernah bilang, dengan menikah tidak akan membuat impian kita terkubur. Kita masih bisa menjalankan mimpi itu walaupun sudah dalam ikatan pernikahan. Tetapi Abi tahu sendiri, Ummi tidak pernah bisa menjalankannya. Mengawalinyapun Ummi tidak bisa. Karena Ummi tahu, siapa yang harus ummi dahulukan diatas keinginan ummi sendiri."

"Ummi tahu, Abi egois untuk kebaikan Ruby."

"Selama itu positif, biarkan dia melakukan apapun yang ia inginkan sebelum menikah. Ketika ia sudah menjadi seorang istri, itu semua bukan lagi tentang 'aku' melainkan tengang 'kita'. Akan sulit bagi seorang Ruby untuk memikirikan dirinya sendiri, Ia pasti akan lebih mengutamakan keluarganya. Anak kita bukan seorang yang egois, walaupun suaminya menyuruh untuk meraih mimpinya, tidak semudah itu Ruby akan mengiyakan."

Nyai Hannah menarik kursi dan duduk di samping Kyai Abdullah.

"Ruby sudah dewasa Abi, dia tahu mana yang baik dan yang buruk. Jika kita sebagai orang tua tidak bisa melindunginya dari dekat, Kita punya Allah yang akan melindunginya, Abi."

"Kenapa Abi harus selalu mengalah jika berbicara dengan Ummi?" Kyai Abdullah terheran-heran.

"Karena kita harus menghindari perdebatan. Bukankah begitu, Abi?" Ummi tersenyum. "Biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan, Abi."

Kyai Abdullah meneguk kopi didepannya. "Biar Abi pikirkan lagi."

-Bersambung-

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!