NovelToon NovelToon

Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Bab 01 : Eksekusi Elira Hartwin

Dingin.

Lantai batu yang lembap menyedot panas terakhir dari tubuhku.

Aku terbangun dengan napas terengah-engah, setiap tarikan udara terasa seperti pisau di paru-paruku. Kepalaku berdenyut-denyut, dipenuhi oleh kabut tebal yang mengaburkan ingatanku.

Ada sesuatu yang sangat penting hilang, sebuah lubang menganga di jiwaku, tetapi aku tak bisa mengingat apa.

Jerit besi berderit membelah kesunyian. Cahaya obor menyilaukan mataku yang sudah terbiasa gelap.

"Dia sudah sadar," desis sebuah suara, dingin dan penuh kepuasan. "Bawa dia keluar. Waktunya telah tiba!"

Tanganku ditarik kasar. Kakiku yang lemah terseret di atas lantai basah. Aku melihat mereka: wanita-wanita dengan gaun sutra dan tatapan seperti ular. Istri-istri Marquess Tyran lainnya.

"Lepaskan aku! Apa kesalahanku?" teriakku, suaraku serak dan asing di telingaku sendiri.

Wanita yang paling depan mendekat. Senyumnya tipis dan menusuk. "Kesalahanmu? Kau telah melakukan kejahatan terbesar. Kau membunuh pewaris Marquess Tyran. Kau meracuni darah yang seharusnya meneruskan garis keturunannya!"

Membunuh pewaris? Kata-kata itu menggema di kepalaku yang kosong. Itu mustahil. Tidak masuk akal.

Aku yakin aku tidak melakukannya, bahkan aku mengutuk dan merasa marah... tapi mengapa wajah mereka penuh dengan kebencian yang tulus? Apa aku... benar-benar melakukannya?

"Aku tidak! Aku tidak ingat—" protesku, tetapi tamparan keras di pipi memutuskan kata-kataku.

"Jangan berpura-pura hilang ingatan, wanita gila!" hardiknya. "Semua orang telah melihat buktinya. Dan sekarang, seluruh Kontinen akan melihat balasannya!"

Aku diseret melalui koridor panjang yang dingin. Lalu, tiba-tiba, kami berada di luar gerbang istana. Sinar matahari menyilaukanku, tetapi segera disambut oleh teriakan.

"Pembunuh!"

"Wanita Gila!"

"Tidak bisa dimaafkan!"

Batu pertama menghunjam bahuku. Rasa sakitnya tajam dan mengejutkan. Batu kedua menyentuh pelipisku, dan rasa besi yang hangat mengalir di pipiku. Aku diseret melalui alun-alun kota, diteriaki, diludahi, dan dilempari oleh wajah-wajah yang sama yang dahulu memandangku dengan hormat.

Air mataku mengalir, bercampur dengan darah dan kotoran. Rasa malu, ketakutan, dan kebingungan yang mendalam menyelimutiku. Apa yang telah kulakukan? Apakah aku benar-benar melakukan ini?

Akhirnya, mereka mendorongku naik ke sebuah panggung kayu. Sebuah balok kayu dengan cerukan untuk leher terpampang di depanku. Di sekelilingku, para prajurit berdiri kaku.

Lalu, mataku menangkap seseorang di kerumunan. Sebuah wajah yang seharusnya akrab. Sahabatku, Clarisse. Wajahnya yang cantik tak seperti biasanya, dipenuhi oleh senyum kecut dan… kepuasan.

Dia tidak menangis. Tidak juga berduka. Dia hanya menatapku, lalu dengan santai mengangkat bahunya, seolah berkata, "Apa yang kau lihat? Kau pikir aku peduli?"

Pengkhianatan itu terasa lebih menyakitkan daripada batu-batu yang dilemparkan.

Seorang algojo mendorong bahuku, memaksaku untuk membungkuk. Kepalaku ditekan ke balok kayu yang kasar. Aku melihat butiran-butiran kayu dan noda-noda gelap yang mungkin darah kering. Dunia menyempit menjadi suara napasku sendiri yang tersendat-sendat.

Terdengar langkah kaki yang berat menaiki panggung. Bukan langkah kaki algojo. Langkah ini… aku mengenalnya.

Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku sedikit. Sepatu bot kulit hitam berhenti tepat di sampingku. Aku mengikuti sepatu itu ke atas, ke jubah hitam legam yang disulam dengan benang perak membentuk simbol ular.

Marquess Tyran. Suamiku.

Dia mengambil pedang besar dari tangan algojo. Dia akan melakukannya sendiri.

Aku menatap matanya, mencari sedikit saja keraguan, sedikit saja belas kasihan. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan. Sedalam dan sedingin musim dingin tanpa akhir.

Matanya menyipit, dan suaranya mendesis keluar dari antara gigi yang terkunci. "Tidak ada kata-kata terakhir yang layak untuk pengkhianat sepertimu."

Dan... STAB!

Kegelapan total menyelimutiku saat bilah pedang itu turun.

Dan dalam kegelapan yang abadi itu, sebelum kesadaranku benar-benar pudar, sebuah bisikan halus, selembut embun, menyentuh jiwaku yang hancur. "....Kami tidak apa-apa. Jadi, bahagialah...."

***

"Hah! ...hah... ha?"

Napas tersangkut di tenggorokanku saat aku membuka mata.

"Apa ini... di mana aku?"

Kelambu sutra berwarna krem, dihiasi sulaman bunga-bunga emas, mengelilingi tempatku terbaring.

Sinar matahari pagi menyaring masuk melalui jendela kaca tinggi, menerpa debu-debu yang menari di udara. Wangi lavender dan Chamomile memenuhi udara, begitu familier dan menusuk kenangan.

Aku bukan di penjara. Aku bukan di alam baka.

Aku… di kamarku.

Kamar yang telah hancur bersama runtuhnya keluarga Hartwin bertahun-tahun yang lalu.

Dengan gemetar, aku mendorong tubuhku untuk duduk. Selimut sutra yang halus terlepas dari tubuhku. Aku menatap tanganku. Mulus, tanpa bekas luka atau memar akibat siksaan. Kuraba wajahku. Halus, tanpa robekan atau bengkak.

Jantungku berdebar begitu kencang, seolah ingin meledak dari dadaku. Ini mustahil. Ini mimpi. Atau… ini adalah akhirat?

Aku melompat dari tempat tidur, kakiku sedikit goyah saat menyentuh karpet permadani yang tebal, lalu bergegas menuju cermin besar di sudut kamar.

Seorang gadis muda menatapku dari balik kaca.

Wajah itu milikku, tapi… bukan. Lebih muda. Lebih polos. Pipinya masih memiliki semburat kemerahan, matanya yang lebar dipenuhi kecemasan, tapi belum ada bayang-bayang keputusasaan yang menghantuiku.

Ini adalah wajahku delapan tahun yang lalu... Atau tujuh tahun yang lalu? Tidak. Detailnya tidak penting. Daripada itu...

"Apa ini nyata? Tidak mungkin…" bisikku, suara serak dan asing.

Pintu kamarku diketuk sopan sebelum terbuka. Seorang pelayan muda masuk membawa nampan berisi air hangat dan handuk bersih.

"Selamat pagi, Nona Elira," sapanya dengan ceria. "Oh, Anda sudah bangun. Apa tidur Anda tidak nyenyak? Anda terlihat pucat."

Aku hanya bisa menatapnya, mulutku sedikit terbuka. Lila. Pelayan setia yang tumbuh besar bersamaku... yang dijual untuk membayar hutang keluarga.

"Li-Lila?" suaraku bergetar saat menyebut namanya.

"Iya, Nona. Ada yang bisa saya bantu? Sarapan sudah siap di bawah. Tuan Count dan Tuan Muda Cedric sudah menunggu," ujar Lila ramah, sama sekali tidak curiga.

Count. Cedric. Ayah. Kakakku. Nama-nama itu menghantamku seperti cambuk. Mereka… masih hidup.

Realitas itu menamparku. Aku tidak mati. Ini bukan mimpi.

Aku telah kembali.

Kembali ke masa sebelum semuanya hancur.

Tanpa sadar, air mata panas mengalir di pipiku. Tubuhku terguncang oleh isakan yang dalam, bukan dari kesedihan, tapi dari kelegaan yang begitu besar hingga terasa menyiksa. Seperti seorang yang hampir tenggelam akhirnya bisa menarik napas lagi.

"Nona! Anda tidak apa-apa?" seru Lila panik. "Haruskah saya panggilkan tabib?"

"Tidak!" sahutku terlalu cepat, suaraku parau. Kuseka air mata dengan kasar, menarik napas dalam-dalam. "Aku… hanya mimpi buruk. Mimpi yang sangat-sangat buruk."

Itu adalah pernyataan paling remeh yang pernah kuucapkan.

Aku berjalan ke jendela, menatap taman di bawah yang hijau dan terawat. Kediaman County Hartwin masih berdiri megah. Keluargaku utuh.

Keluarga...

Lalu, ingatan itu menyambar. Dinginnya bilah pedang di leherku. Mata kosong Marquess Tyran. Senyum puas Clarisse. Teriakan "Pembunuh!"

Dan bisikan terakhir itu. "...bahagialah..."

Siapa? Kenapa?

Aku mencoba mengingat, tapi kepalaku hanya berdenyut sakit.

Tidak masalah. Itu bisa kupikirkan nanti.

Sekarang, hanya satu hal yang penting.

Mereka semua akan membayarnya. Para pengkhianat. Para ular. Dan pria yang mengeksekusiku dengan tangannya sendiri.

Aku tidak akan menjadi korban lagi. Kali ini, aku adalah pemburunya!

Bab 02 : Keluarga Seperti Ini...

Sinar matahari terasa asing di kulitku.

Di kehidupanku sebelumnya, satu-satunya cahaya yang kulihat adalah cahaya obor yang redup atau sinar bulan yang menyelinap masuk melalui jeruji besi sel penjaraku.

Tapi kini, cahaya pagi yang hangat menerobos jendela kamarku, menyoroti partikel debu yang menari-nari di udara seperti permata kecil.

Kehangatan ini teras menusuk, seolah mengingatkanku bahwa semua ini akan menghilang lagi jika aku sampai gagal mengubah takdir.

Lila membantuku mengenakan gaun harian. Tangannya yang cekatan mengencangkan tali korset di punggungku. Setiap tarikan terasa seperti pengingat akan sangkar indah tempat aku kembali terkurung. Sangkar seorang putri bangsawan yang tugasnya hanya menjadi cantik dan diam.

"Sudah pas, Nona?" tanya Lila.

​Aku menatap pantulanku di cermin. Wajah itu masih terasa asing. Wajah seorang gadis berusia delapan belas tahun, naif dan belum tersentuh oleh kekejaman dunia. Tapi mataku... mataku menceritakan kisah yang berbeda.

Di sana, di kedalaman hazel yang seharusnya jernih, bersembunyi hantu seorang wanita berusia dua puluh enam tahun yang telah mati.

​Aku memaksakan seulas senyum, melatih otot-otot wajah yang sudah lama lupa caranya. Bukan senyum tulus, tapi senyum kosong yang biasa kupasang di kediaman Tyran. Senyum yang tidak mencapai mata.

"Sempurna, Lila. Terima kasih."

Pikiranku berpacu. Aku harus tahu kapan tepatnya aku terbangun. Musim apa, tanggal berapa. Aku harus tahu karena setiap hari, setiap jam, setiap waktu, sangat berharga.

"Apakah bunga-bunga untuk Festival Pertengahan Musim Semi sudah dipesan?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja sambil merapikan rambutku.

Lila terkekeh. "Astaga, Nona. Festival masih lebih dari sebulan lagi. Ini baru minggu kedua bulan Maret."

Jantungku seolah jatuh ke perut. Maret. Tepat seperti yang kutakutkan. Bencana itu dimulai pada akhir Maret. Waktuku... sangat sedikit. Dengan waktu sesempit itu... bisakah aku melakukannya?

Perjalanan menuruni tangga menuju ruang makan adalah sebuah siksaan. Setiap potret leluhur yang tergantung di dinding seolah menatapku dengan mata menuduh.

Rasanya aku bisa mendengar suara patriarkal mereka.

"Tugas utama seorang putri adalah menikah dengan keluarga yang tepat demi kehormatan keluarga! Tidak ada cinta-cintaan, mengerti!?"

"Jangan campuri urusan politik, itu wilayah para pria!"

"Berpakaianlah yang cantik, kehormatan keluarga ada di pundakmu, jangan mencoreng nama besar ayahmu!"

"Seorang wanita bangsawan tidak boleh berambisi lebih dari mendampingi suaminya, ingat itu!"

Telingaku berdengung, kepalaku terasa berat. Mereka salah. Sangat salah. Istana Ular Putih Marquess Tyran mengajarkanku bahwa wanita juga harus berpolitik. Bahwa wanita juga harus berbisnis untuk bertahan hidup di dunia ini.

Karpet tebal meredam langkah kakiku, sama seperti kediaman ini yang selalu meredam suaraku.

Para pelayan membungkuk hormat saat aku lewat. Di kehidupan pertamaku, salah satu dari mereka pasti meludah ke tanah saat melihatku yang diseret ke panggung eksekusi. Kontras itu membuat perutku mual.

Ruang makan bermandikan cahaya. Ayahku, Count Valerius Hartwin, sudah duduk di kursi utama, tersembunyi di balik lembaran koran finansial. Aroma kopi dan roti panggang yang dulu sangat kusukai, kini terasa seperti sampah yang menjijikan.

"Selamat pagi, Ayah," sapaku pelan, membungkukkan tubuhku.

Dia menurunkan korannya sedikit, matanya yang tajam menilaiku dari atas ke bawah. "Elira. Kau tampak pucat. Jangan habiskan malammu membaca Novel-Novel konyol itu lagi. Itu tidak baik untuk penampilan seorang wanita."

Aku hanya menunduk dan duduk di kursiku. Dimulai lagi. Dinding pertama yang harus kuruntuhkan. Di matanya, aku bukan pewaris atau pemikir, aku hanyalah sebuah aset yang penampilannya harus dijaga.

Saat itulah pintu ruang makan terbuka dengan suara keras. Kakakku, Cedric Hartwin, masuk dengan langkah penuh percaya diri. Wajahnya berseri-seri, senyumnya lebar dan sombong.

"Ayah! Kabar baik!" serunya, mengabaikan kehadiranku sepenuhnya sambil mengambil tempat duduk di seberangku.

Ayah akhirnya meletakkan korannya, perhatiannya tercurah penuh pada putra satu-satunya. "Ada apa, Cedric? Apa perwakilan dari Baron Latona sudah memberimu jawaban?"

Jantungku berhenti berdetak. Genggamanku pada sendok perak mengerat hingga buku-buku jariku memutih.

Itu dia.

Baron Latona.

Nama itu awal dari kiamat kami.

Awal dari kejatuhan keluarga Hartwin.

"Lebih baik dari sekadar jawaban, Ayah!" Cedric tertawa penuh kemenangan.

"Dia setuju dengan semua persyaratan kita! Kita mendapatkan investasi penuh pada dua kapal dagang baru Baron Latona yang akan membuka jalur perdagangan rempah-rempah langsung dari benua selatan! Bayangkan keuntungannya! Kita akan menjadi keluarga Count terkaya di Kontinen!"

Aku menatap wajah kakakku. Dia begitu bersemangat, begitu yakin akan kejeniusannya sendiri. Dia tidak melihat jebakan yang menganga di depan matanya. Dia hanya melihat emas yang berkilauan.

Di benakku, sebuah ingatan melintas seperti kilat. Ayahku yang berteriak histeris di ruang kerjanya, memegang surat yang mengabarkan kedua kapal itu tenggelam di tengah badai ganas bersama seluruh investasi kami.

Di sisinya, wajah Cedric yang pucat pasi, tidak mampu berkata apa-apa.

"Risikonya minimal," lanjut Cedric, menyela mimpi burukku. "Kapal-kapal itu baru dan kokoh. Baron Latona sendiri yang menjamin keamanannya. Dia bahkan menawarkan kita bagian keuntungan sebesar empat puluh persen! Empat puluh persen!"

Bodoh! Aku menjerit dalam hati. Sangat bodoh. Kapal itu baru, dari material, desain, dan awak kapal, semuanya baru. Apa dia berpikir baru artinya bagus dan kokoh artinya kebal badai? Bodoh sekali.

Jaminan Baron pun tidak ada artinya saat dia melarikan diri ke negeri seberang dengan sisa-sisa uang investor lain. Empat puluh persen dari nol tetap nol.

Aku harus tetap tenang. Aku harus memasang topengku. Aku mengambil sepotong roti, memaksanya masuk ke mulutku yang terasa kering. Aku harus terlihat seperti Elira yang mereka kenal: gadis penurut yang tidak mengerti apa-apa.

"Itu terdengar luar biasa, Kakak," kataku, suaraku dibuat terdengar kagum. Aku menelan roti dengan susah payah. "Tapi... bukankah Laut Selatan terkenal ganas pada musim peralihan seperti ini? Aku pernah membaca di sebuah buku bahwa badai bisa datang tanpa peringatan."

Cedric tertawa terbahak-bahak, seolah aku baru saja menceritakan lelucon paling lucu di dunia. "Elira, Elira. Adik kecilku yang cantik, sejak kapan kau jadi ahli maritim? Marquess Tyran yang ahli maritim saja berinvestasi pada Baron Latona! Badai? Serahkan saja urusan membaca buku pada ahlinya, dan serahkan bisnis pada laki-laki, kau mengerti?"

Ayah mengangguk setuju, tatapannya dingin. "Cedric benar. Urusanmu adalah mempersiapkan diri untuk musim debutmu, bukan mengkhawatirkan neraca perdagangan. Fokuslah pada pelajaran sosialitamu. Bilang saja kalau kamu butuh guru seni, ayah dengar memanggil guru ke kediaman sedang terkenal di kalangan putri bangsawan ibukota."

Kata-kata Ayah mendarat di perutku seperti pukulan yang tumpul. Rasanya panas dan memalukan.

Aku menunduk, menyembunyikan api kemarahan dan kekecewaan yang membakar di balik kelopak mataku, berusaha keras untuk tidak membanting sendok perak ke piring porselen.

Kata-kata mereka adalah dinding tebal yang tak bisa ditembus. Mereka tidak akan pernah mendengarkanku. Bagaimanapun pintarnya argumenku, di mata mereka aku tetaplah seorang gadis kecil yang tempatnya bukan di ruang kerja, tapi di lantai dansa.

Bab 03 : Kontrak Investasi

Ingin rasanya aku berteriak dan mengatakan fakta bahwa Marquess Tyran sengaja berinvestasi ke bisnis yang pasti gagal itu untuk memancing orang bodoh seperti mereka.

Namun, aku harus bersabar. Tapi... Susah. Sangat susah.

Amarah dingin menjalari tulang punggungku, serupa dengan rasa yang kurasakan tepat sebelum bilah pedang Marquess Tyran menghunjam. Perasaan itu mengingatkanku: aku sudah mati sekali karena membiarkan orang lain mengendalikan takdirku. Itu tidak akan terjadi lagi.

Kali ini.

Kehidupan ini.

Milikku.

Hanya milikku.

Jika mereka tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka aku hanya harus memaksa mereka melihat faktanya. Aku akan menyelamatkan keluarga ini, apapun resikonya.

Aku meletakkan serbetku. "Maaf, Ayah. Tiba-tiba saya merasa tidak enak badan," kataku pelan, berdiri dari kursi. "Saya izin kembali ke kamar."

Tanpa menunggu jawaban, aku berbalik dan berjalan keluar dari ruang makan, merasakan tatapan mereka di punggungku.

Aku tidak kembali ke kamarku.

Kakiku membawaku ke satu-satunya tempat di rumah ini yang tidak terasa seperti penjara. Perpustakaan. Tempat perlindungan lamaku, kini akan menjadi ruang perangku.

Aku menutup pintu kayu ek yang berat di belakangku, memisahkan diriku dari seluruh dunia. Suara ketukan jantungku sendiri terdengar memekakkan telinga di tengah keheningan.

Panas dan memalukan. Pukulan tumpul dari kata-kata Ayah masih terasa di perutku. Kemarahan yang membara membuat tanganku gemetar. Aku mengepalkannya erat-erat hingga buku-buku jariku memutih, kuku-kukuku menancap di telapak tanganku. Rasa sakit yang tajam sedikit membantuku untuk fokus.

Mereka tidak akan mendengarkan.

Fakta itu terpampang jelas, sekeras dinding batu di sekelilingku. Aku bisa saja menyajikan argumen paling logis, didukung oleh semua buku strategi dan ekonomi di perpustakaan ini, dan mereka tetap hanya akan melihat seorang gadis kecil yang lancang.

Dan sekarang, ada nama Marquess Tyran yang diseret ke dalamnya. Kakakku yang bodoh itu telah menggunakan nama sang ular sebagai perisai untuk kebodohannya sendiri. Ini membuat segalanya menjadi sepuluh kali lebih rumit.

Jika aku menentang kesepakatan ini sekarang bukan hanya berarti menentang Ayah dan Cedric, tapi secara tidak langsung juga menantang penilaian seorang Marquess yang terkenal ahli dalam urusan maritim. Mereka hanya akan menganggapku bodoh.

Tidak bisa. Argumen verbal adalah jalan buntu. Aku butuh sesuatu yang tidak bisa mereka bantah. Sesuatu yang nyata.

Aku membutuhkan bukti yang tak terbantahkan.

Aku butuh proposal investasi itu. Aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, menemukan celah, kebohongan, penipuan yang tertulis hitam di atas putih.

Masalahnya, dokumen sepenting itu hanya akan ada di satu tempat: ruang kerja Ayah.

Area paling terlarang di seluruh kediaman Hartwin.

Sebuah benteng pribadi tempat Ayah memerintah kerajaannya.

Aku bahkan tidak diizinkan masuk meski memintanya sebagai hadiah ulang tahunku. Ruangan itu selalu dikunci, dan kuncinya selalu tergantung di ikat pinggang Ayah.

Tapi aku tahu rumah ini lebih baik dari siapa pun. Aku tumbuh besar dengan menjelajahi setiap sudutnya, mengetahui setiap jalan tikus dan setiap papan lantai yang berderit. Dan aku tahu satu rahasia kecil. Satu set kunci duplikat untuk semua ruangan penting, yang disimpan oleh kepala pelayan di kantor kecilnya di sayap barat.

Kepala pelayan Obelin.

Pria yang akan mengkhianati kami.

Mengambil kuncinya darinya bukan hanya sebuah kebutuhan, tapi juga sebuah kepuasan kecil.

Rencana mulai terbentuk di benakku, dingin dan tajam. Aku tidak akan melakukannya sekarang. Aku akan menunggu. Menunggu hingga seluruh rumah tertidur lelap, diselimuti oleh kegelapan yang akan menjadi sekutuku.

Malam itu, aku tidak tidur. Aku duduk di dekat jendela, membiarkan cahaya bulan yang pucat menjadi satu-satunya penerangan, dan menunggu. Jam berdentang di kejauhan, menandai berlalunya setiap jam. Satu. Dua. Tiga. Waktu penyihir datang. Saat di mana tidur paling lelap dan penjagaan paling lengah.

Aku melepas gaun tidur sutraku, menggantinya dengan kemeja dan celana berkuda berwarna gelap milikku. Pakaian ini lebih praktis, tidak akan menimbulkan suara gemerisik.

Aku mengikat rambut emasku ke belakang dengan erat. Di cermin, bayanganku tampak seperti pencuri. Mungkin memang begitu. Aku di sini untuk mencuri kembali masa depan keluargaku.

Tanpa alas kaki, aku membuka pintu kamarku. Engselnya berderit pelan. Aku menahan napas, mendengarkan. Hanya ada keheningan.

Sempurna.

Aku bergerak menyusuri koridor seperti hantu. Setiap langkah kuambil dengan hati-hati, menghindari papan-papan lantai yang kuingat berderit. Cahaya bulan dari jendela-jendela besar menciptakan bayangan panjang yang menari-nari seperti arwah.

Menakutkan.

Kantor kepala pelayan tidak dikunci. Obelin terlalu sombong untuk berpikir ada yang berani masuk ke wilayahnya.

Aku menyelinap masuk. Ruangan itu kecil dan rapi, berbau teh herbal dan polesan furnitur. Mataku langsung tertuju pada sebuah papan kayu di dinding, tempat deretan kunci tergantung di paku-paku kecil.

Aku mengenali kunci perunggu dengan ukiran rusa kecil di atasnya. Kunci ruang kerja.

Tanganku tidak gemetar saat mengambilnya. Rasanya dingin dan berat. Nyata.

Langkah selanjutnya adalah yang paling berbahaya. Ruang kerja Ayah berada tepat di seberang kamar tidurnya. Satu kesalahan kecil saja bisa membangunkannya.

Aku berjalan menyusuri koridor utama, jantungku berdebar kencang di rusukku. Pintu kayu ek ruang kerja itu tampak menjulang di hadapanku dalam kegelapan.

Aku memasukkan kunci ke lubang kunci. Bunyi klik saat kunci itu berputar terdengar seperti letusan meriam di tengah keheningan malam.

Aku mendorong pintu, dan masuk ke dalam sarang singa.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menyusup melalui jendela besar di belakang meja Ayah. Udara di dalamnya terasa berat, dipenuhi aroma kulit, perkamen tua, dan otoritas Ayah yang tak terbantahkan.

Aku tidak membuang waktu. Aku langsung menuju meja kerjanya yang besar dan megah. Aku tahu Ayah selalu meletakkan dokumen-dokumen aktif di laci kanan atas. Aku menariknya perlahan. Laci itu meluncur tanpa suara.

Mataku memindai tumpukan map. Dan di sana, di bagian paling atas, aku melihatnya. Sebuah map kulit berwarna merah marun dengan tulisan tinta emas: Proposal Investasi - Baron Latona.

Tanganku meraihnya, jari-jariku terasa dingin. Aku membawanya ke dekat jendela, menggunakan cahaya bulan untuk membaca.

Halamannya penuh dengan proyeksi keuntungan yang fantastis dan jaminan verbal dari Baron. Kontraknya sendiri terlihat standar. Tidak ada pasal aneh yang kutakutkan. Tapi kemudian aku menemukan lampiran di bagian belakang. Jadwal pembayaran dan manifes kargo.

​Darahku seolah membeku.

​Tertulis jelas: Investasi Penuh, Dua Kapal Kargo Kelas Galleon: 60.000 Koin Emas.

​Enam puluh ribu. Itu... hampir seluruh pendapatan kotor County Hartwin selama setahun. Ayahku mempertaruhkan lebih dari separuh uang kas perbendaharaan County, dengan hanya berpegang pada asuransi 15% yang dijamin oleh Baron Latona.

Aku membalik halaman dan menemukan hal yang lebih mengejutkan lagi. Di bagian penjamin nama besar, tertulis dengan jelas nama Marquess Tyran di sana.

Noctis Tyran Serpentis.

Ini adalah jebakan tikusnya yang sempurna, dan kami adalah tikus-tikus bodoh yang berbaris masuk ke perut sang ular yang lapar.

Kepalaku berdenyut sakit.

Ayahku yang dulu selalu terlihat pintar dan hebat itu... ternyata hanya orang bodoh.

​Lalu aku melihat tanggalnya. Transfer dana: 18 Maret. Hari penandatanganan. Jadwal berlayar serentak dari Pelabuhan Selatan: 28 Maret. Sepuluh hari setelah uang ditransfer.

Aku ingat dengan jelas dari kehidupan pertamaku, badai itu datang pada tanggal 30 Maret. Mereka bahkan tidak akan sempat mencapai perairan internasional.

​Ini bukan investasi. Ini adalah eksekusi.

​Amarah yang dingin dan membara menjalari diriku. Aku harus menghentikan ini.

Aku menutup map itu dengan cepat. Misiku berhasil. Aku punya informasi yang kubutuhkan. Aku hanya perlu keluar dari sini tanpa ketahuan.

​Aku berbalik untuk kembali ke pintu.

​KRAK.

​Sebuah papan lantai di koridor berderit.

​Aku membeku, darahku seolah membeku dalam sekejap. Seluruh tubuhku menegang, menjadi patung yang terperangkap dalam bayang-bayang. Napas tertahan di paru-paruku, takut suara desisannya saja akan mengkhianatiku.

Aku menajamkan pendengaranku, mencoba menembus kegelapan dan kayu pintu yang tebal.

Hening.

Mungkin hanya rumah tua yang berderit... atau angin?

Lalu, aku mendengarnya. Suara langkah kaki. Berat. Mantap. Tidak terburu-buru. Setiap langkahnya bergema di lantai kayu, mendekat, dan kemudian... berhenti. Tepat di seberang pintu, menghalangi jalan keluarku.

Aku menyelipkan diri lebih dalam ke dalam bayang-bayang di samping rak buku, jantungku berdebar kencang dan berisik hingga kupikir pasti bisa terdengar dari seberang pintu. Map kulit itu terasa dingin dan berat, seperti batu nisan di genggamanku.

Mataku tertuju pada celah kecil di bawah pintu. Sebuah bayangan gelap memotong sepetak cahaya bulan yang menyelinap masuk.

Dan kemudian, dalam cahaya bulan yang redup dan kejam, aku menyaksikannya: kenop pintu kuningan itu perlahan... sangat perlahan... mulai berputar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!