NovelToon NovelToon

Berjaya Setelah Terluka

01. Aku Pulang

.

“Malaaaaa……! Aku pulaaaang……!”

Di Bandara Soetta Jakarta, seorang pria tampan berteriak sambil merentangkan kedua tangannya. Apa yang ia lakukan, tak ayal menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Apa ia peduli? Tidak. Yang penting hari ini ia bahagia.

Arhan Sanjaya, pria itu baru saja turun dari pesawat, setelah melakukan perjalanan udara Korea-Indonesia selama kurang lebih delapan jam.

Puas dengan apa yang ia lakukan, pria itu segera melanjutkan langkah. Tangan kirinya menyeret koper, sementara tangan kanannya sibuk menggulir layar handphone. Tidak sabar ingin segera sampai di rumah untuk menemui sang istri tercinta, memberikan kejutan dengan kedatangannya yang tanpa pemberitahuan.

Bruuukkk

Begitu fokus pada ponsel membuatnya tak menyadari ada orang dari arah berlawanan.

"Maaf…"

"Maaf..."

Arhan dan orang itu berucap bersamaan. Sesaat pandangan mereka terkunci sama-sama terkejut.

“Maaf, Mas. Saya tidak sengaja." Gadis itu berucap seraya membungkukkan badannya. Wajah merah karena malu dan rasa bersalah.

“Saya juga minta maaf." Arhan juga merasa bersalah karena fokusnya pada ponsel membuatnya tak memperhatikan jalan.

"Sa... Ayo, buruan! Jemputannya sudah datang!" teriakan seseorang mengalihkan perhatian keduanya. Seorang pria yang sepertinya adalah teman gadis itu melihat jam di pergelangan tangannya.

“Kalau begitu saya permisi, Mas." Gadis itu membalik badan dan menghampiri orang yang memanggilnya.

Arhan menatap gadis itu sampai menghilang dari pandangannya. Mengangkat kedua bahunya, kemudian ia melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. Taksi yang baru saja ia pesan sudah menunggu.

*

Satu jam perjalanan, taksi yang ditumpangi Arhan berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat begitu bagus, tidak kalah dengan rumah para tetangga kanan dan kirinya. Arhan turun setelah membayar ongkos taksi.

Mengambil nafas dalam, tersenyum miris kala dirinya mengingat kondisi rumah itu dua tahun yag lalu. Tapi kini Arhan tersenyum lebar, ini lah salah satu hasil kerja kerasnya selama dua tahun di negeri ginseng.

“Apa Mala tidak ada di rumah?” Arhan mengerutkan kening melihat situasi rumah itu yang terasa sepi. Namun, kemudian ia tersenyum. Dengan begitu ia bisa menyusun rencana untuk memberi kejutan pada sang istri.

Dengan langkah pasti, Arhan berjalan menuju pintu rumahnya. Keningnya mengernyit ketika satu tangannya memegang daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Perlahan dia masuk ke dalam.

Deg…

Dada pria itu berdebar kencang saat telinganya menangkap suara-suara aneh yang saling bersahutan, seperti bisikan dan tawa yang tidak jelas.

Karena penasaran, Arhan mendekat untuk memastikan pendengarannya tidak salah. Langkahnya berhenti di depan kamar yang selama ini menjadi kamarnya. Tidak tahan dengan suara yang terdengar menjijikkan, dia pun membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.

"Apa yang kalian lakukan di kamarku...!” Arhan berteriak kencang.

Apa yang dilihatnya membuat darahnya langsung mendidih. Wajahnya berubah kelam penuh amarah dan kekecewaan. Rahangnya mengeras dengan tangan terkepal dan nafas memburu.

"Mas A-r-han...?" Nurmala istri Arhan terkejut bukan main dan langsung terbangun seraya mencari pakaiannya.

“Ba^jingan!" Arhan berjalan cepat ke arah pria yang baru saja bergumul dengan istrinya.

Bugh… bugh… bugh…

Tangannya melayang mendaratkan pukulan bertubi-tubi ke wajah dan tubuh pria itu.

"Cukup, Mas! Tolong, jangan kamu sakiti dia! Kamu bisa membunuhnya!" pekik Nurmala tak tahan kekasihnya dihajar hingga babak belur.

Arhan tidak menghiraukan teriakan Nurmala, dia membawa lelaki itu keluar dari rumahnya dan mendorongnya ke halaman hingga tersungkur. Arhan masuk kembali mengambil pakaian lelaki itu dan melemparkan ke mukanya.

Dada Arhan terasa semakin sesak saat Nurmala mengikuti dan menghambur memeluk lelaki selingkuhannya yang tak lain adalah teman Arhan sendiri.

"Kalian memang pasangan yang serasi!" Arhan semakin emosi saat melihat istrinya justru membela pria lain.

Dia menghampiri sang istri, berjongkok di hadapan wanita itu, lalu mencengkeram dagunya dengan kuat, tak peduli jika dia seorang wanita.

"Inikah balasanmu setelah semua yang aku lakukan untukmu? Aku tidak menyangka ternyata kamu hanyalah wanita murahan yang rela membuka aurat demi kenikmatan sesaat. Sejak kapan kalian berdua mengkhianati ku?" Suara Arhan terdengar pelan tetapi penuh tekanan.

"Aku tidak tahu. Ini semua salahmu, kita pengantin baru, tapi kamu justru pergi menjadi TKI dan aku merasa kesepian. Jadi, jangan salahkan jika aku..."

Plakkk

Arhan yang masih berbalut emosi, tak kuasa menahan diri dan langsung menghadiahkan cap jari tangannya ke pipi sang istri. Dia benar-benar merasa kecewa, kesetiaan dan kepercayaannya dibalas dengan pengkhianatan.

"Auww! Sakit, Mas!" pekik Nurma. “Hssttt…” Nurmala memegangi pipinya yang terasa panas dan nyeri. Matanya yang berkilat merah tampak berkaca-kaca.

"Sakit? Di sini lebih sakit!" Arhan berteriak sambil memukul dadanya sendiri. “Apa kamu tahu, Nurmala? Aku sampai rela kerja jadi TKI itu semua karena siapa? Harusnya kamu lebih tahu. Tapi dengan teganya kamu berbuat seperti ini di belakangku!" teriak Arhan geram.

"Han, jangan kasar sama perempuan. Bagaimanapun juga dia itu masih istrimu," ucap pria selingkuhan Nurmala.

"Kalau tahu dia istriku, kenapa kamu makan juga!" Teriakan Arhan yang begitu keras, memancing rasa penasaran tetangga di sekitarnya. Mereka yang semula berada di dalam rumah pun berhamburan keluar. Kasak kusuk di antara mereka pun mulai terdengar.

Namun, Arhan tidak peduli. Hatinya sudah terlanjur tertutup kabut hitam. Arhan menatap datar ke arah Nurmala. Namun, tiba-tiba perutnya terasa mual, ia merasa jijik melihat tubuh istrinya yang sudah terjamah oleh laki-laki lain. Pria itu bahkan langsung memuntahkan isi perutnya.

Setelah membersihkan wajah dan mulutnya dengan kran yang ada di sudut halaman, Arhan menghubungi kedua mertuanya.

*

Tak sampai lima belas menit, kedua mertuanya datang dengan wajah kebingungan, tetapi juga senang akhirnya sang menantu pulang ke tanah air.

"Assalamualaikum... Loh kapan Nak Arhan pulang? Kok nggak ngabari kita lebih dulu? Atau sengaja mau ngasih kejutan buat Nurma, ya?" tanya Pak Slamet ayah Nurmala.

Namun, sesaat kemudian keningnya mengernyit ketika netra tuanya menangkap sesosok pria dengan wajah babak belur, duduk di samping anak perempuannya.

"Wa'alaikumsalam. Iya, Pak," jawab arhan datar. " Saya memang ingin memberi kejutan. Tapi sayangnya, justru saya yang mendapatkan kejutan tak terduga."

"Apa maksudmu, Han? Tolong bicara yang jelas biar ibu paham!" pinta Bu Susi ibunya Nurmala.

Sementara Nurmala hanya diam saja sambil menunduk. Tangannya tampak gemetaran menggenggam erat tangan sang pacar seolah minta perlindungan.

"Lihat!" Ujung telunjuk Arhan menuding ke arah Nurmala. Anak yang Ibu dan Bapak banggakan, yang bahkan demi dia saya rela berhutang. Bahkan sampai harus jadi TKI, untuk melunasi hutang saya, juga demi untuk membahagiakannya,"

"Ternyata dia malah mencurangi saya, menjalin hubungan dengan pria lain di belakang saya. Melakukan hal menjijikkan di rumah yang dibangun dengan hasil keringat saya. Maka dari itu, hari ini, saya, Arhan Sanjaya, dengan sadar dan tanpa paksaan, menjatuhkan talak pada Siti Nurmala binti Slamet Raharjo. Mulai sekarang Nurmala bukan istri saya lagi. Silahkan bawa pulang anak kalian!”

Bersambung

02. Ditangkap.

.

“Tidak!" Nurmala menyela cepat. “Mas! Apa-apaan sih, kamu? Masa begitu saja langsung cerai?!” Wanita itu tampak tak rela. Walaupun berselingkuh dengan Fadil, tapi kenyataan dirinya hidup bergantung hidup pada Arhan tak bisa dipungkiri.

“Begitu saja?" Arhan berdecak sinis. “Berselingkuh kau bilang begitu saja?" Lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Jika aku yang berselingkuh dengan wanita lain, apa kau juga akan bilang ‘begitu saja’?" Pertanyaan yang membuat Nurmala terbungkam. Tentu saja ia tak mau diselingkuhi. Dia bukan wanita bodoh.

"Tapi Nak Arhan, apa tidak sebaiknya berpikir dulu? Tidak baik mengambil keputusan di saat sedang marah," ucap Pak Slamet berusaha bijak.

"Apa yang harus dipikirkan? Keputusan saya sudah bulat. Silakan bawa pulang anak yang selama ini Bapak banggakan sebagai wanita bermerek. Karena wanita bermerek ini, saya terbelit hutang yang mencekik leher. Wanita bermerek ini pula, yang akhirnya memaksa saya menjadi budak di negeri orang," jawab Arhan dengan tegas.

Arhan telah mantap dengan keputusannya. Baginya tidak ada kata maaf untuk seorang pengkhianat. Apalagi dia memergoki sendiri, Nurmala bergulat dengan pria lain di tempat tidurnya. Mengingatnya saja Arhan langsung merasa mual. Maka perpisahan adalah jalan terbaik.

Deggg

Pak Slamet dan Bu Susi menelan ludahnya dengan susah payah, merasa tertohok oleh ucapan Arhan.

Memang betul. Dulu, dia dan keluarganya yang meminta pernikahan Arhan dan Nurmala dirayakan besar-besaran, dengan alasan anak tunggal. Dan untuk memenuhi keinginan mereka itulah, Arhan harus berhutang dalam jumlah besar. Tak hanya itu, dia juga yang meminta mahar tak masuk akal jika Arhan ingin menikahi putrinya.

"Jadi kamu tidak ikhlas mengeluarkan biaya untuk pernikahan kita dulu, Mas?" Nurmala melotot menatap Arhan.

“Ada perbedaan antara ikhlas dan bodoh!" Arhan terkekeh sinis. "Dulu, demi cintaku padamu Aku ikhlas melakukan semua itu. Tapi sekarang aku merasa seperti orang bodoh.”

Arhan tertawa getir mengingat dirinya yang hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan kecil dengan gaji yang kecil pula. Penghasilannya tidak cukup untuk membiayai hidup sehari-hari dan membayar hutang bank. Oleh sebab itu, Arhan memutuskan untuk menjadi TKI.

Adalah suatu keberuntungan, dirinya lolos ke Korea setelah mengikuti pendidikan selama empat bulan. Dan dengan gajinya yang tinggi itulah, dia mampu melunasi hutang dan memenuhi semua keinginan Nurmala serta kedua orang tuanya.

Setelah dua tahun kontrak kerjanya berakhir, Arhan memutuskan untuk kembali ke tanah air. Ia ingin memulai usaha kecil-kecilan, dan hidup bahagia dengan istrinya. Namun, kini semua impiannya musnah karena pengkhianatan.

"Aku benar-benar bodoh, sehingga mudah kalian tipu. Tidak mungkin selama ini orang tuamu tidak tahu tentang hubungan kalian," ucap Arhan. "Ternyata, selama ini aku telah memberi makan bukan hanya pada parasit, tapi juga pengkhianat yang tidak tahu malu,"

Jlebbb

Lagi-lagi, orangtua Nurmala merasa tersindir. Selama ini, mereka memang mengandalkan kiriman dari Arhan untuk kebutuhan sehari-hari. Dan benar. Mereka memang mengetahui hubungan gelap Nurmala dengan Fadil, tapi mereka menutup mata. Toh Arhan tidak akan tahu karena sedang berada di negeri orang. Begitu pikir mereka.

Dengan langkah berat sambil menahan malu, Pak Slamet mengajak istri dan anaknya pulang sebelum mereka semakin menjadi tontonan. Fadil, teman Arhan yang menjadi selingkuhan Nurmala pun turut pulang bersama mereka.

"Ya ampun,,,, nggak tahu malu banget sih mereka. Kalau dibilangin ngakunya cuma teman, nggak tahunya, teman tapi demen. Elaaahhh.. !" komentar tetangga dekat rumah Arhan.

"Kurang apa coba si Arhan, sudah mah cakep, pinter nyari duit pula. Sayangnya dia gak mau sama anakku," timpal yang satunya lagi.

"Sudah, lebih baik lupakan si Nurma, Han. Kamu lelaki, bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia. Percaya sama bapak," ucap seorang bapak yang ikut menyaksikan.

"Sudah masuk, Han! Tenangkan pikiranmu, dan jangan terpaku pada satu orang. Hidupmu masih panjang," ucap seorang ibu yang selama ini sudah jengah dengan kelakuan Nurmala.

Arhan hanya diam saja dan menganggukkan kepala mendengar perkataan para tetangganya. Dia pamit dan melangkah memasuki rumah, lalu menutup dan menguncinya.

Arhan masuk ke dalam kamarnya, menarik kasur busa, dan membawanya keluar melalui pintu belakang. Bantal, guling, dan bad cover juga ikut dikeluarkan. Setelah itu, Arhan mengambil sedikit bensin dari tangki motor dan menuangkannya ke kasur busa. Lalu, dia melemparkan korek api yang sudah dinyalakan.

Blaarrr

Api menyala besar. Menimbulkan suara bergemuruh disertai kepulan asap hitam yang membumbung tinggi ke udara, mengeluarkan bunyi gemeretak yang menyakitkan telinga, cahaya yang menyilaukan, serta aroma gosong menyengat hidung.

Arhan menatap dingin ke arah kobaran api, seperti hatinya yang saat ini tengah berkobar oleh rasa amarah yang membakar jiwanya. Sakit yang teramat sangat. Rasa sesal yang menyesakkan dada. Buah dari pengorbanan yang sia-sia.

:

Sementara itu setiba di rumahnya, Pak Slamet langsung mencerca Nurmala. Jika Arhan benar-benar menceraikan Nurmala, maka hilang sudah sumber keuangan yang selama ini menopang kehidupan mereka.

"Kalian ini bagaimana sih? Masa begitu saja sampai ketahuan!" Pak Slamet berteriak marah. "Memang tidak bisa melakukannya di penginapan atau di hotel sekalian?" tambahnya.

"Gampang banget Bapak nyalahin aku.” Nurmala tidak terima disalahkan oleh bapaknya. “Memangnya aku tahu kalau Mas Arhan bakalan pulang?" teriaknya kesal.

"Terus sekarang kita harus bagaimana?” Bu Susi ikut membuka suara.

“Entahlah, Bu. Aku juga tidak tahu." Nurmala menghempaskan bobot tubuhnya di atas sofa. Bahkan sofa yang saat ini ada di rumah Pak Slamet, juga dibeli dengan menggunakan uang kiriman dari Arhan. Yang terpikir dalam otaknya hanyalah, setelah ini dengan apa ia nongkrong-nongkrong dan shopping-shopping.

Tiba-tiba mata Bu Susi berbinar seperti mendapatkan ide yang brilian. "Kenapa Fadil tidak melapor pada polisi saja? Dengan tuduhan penganiayaan. Bukankah dengan begitu bisa menuntut ganti rugi?" ucapnya antusias.

Nurmala tersenyum lebar sambil menjentikkan jarinya. "Nah, ide bagus itu," serunya.

"Kalau begitu kita berangkat sekarang juga ke kantor polisi untuk membuat laporan, Mas! Buruan, nanti keburu malam!" ucap Nurmala dengan tidak sabar. "Memangnya kamu terima dihajar sampai babak belur begitu?" lanjutnya.

"Apa bisa seperti itu?” Fadil memasang wajah sendu. Seolah dirinya ngeri mengingat kemarahan Arhan tadi. Dengan pasrah, Fadil mengikuti Nurmala dan keluarganya ke kantor polisi untuk membuat laporan.

:

Keesokan harinya, di saat Arhan akan pergi ke bank untuk mengambil sertifikat yang sebelumnya ia jadikan jaminan hutang, dan telah lunas saat dirinya masih berada di Korea, dua orang petugas polisi datang menyambangi rumahnya.

"Apa benar saudara yang bernama Arhan Sanjaya?" tanya salah satu petugas.

"Benar," jawab Arhan lugas, tanpa sedikitpun raut takut terlihat

"Anda kami tahan dengan tuduhan kasus penganiayaan terhadap saudara Fadil Ramdani.Mari, ikut kami ke kantor polisi!” Petugas itu langsung meraih tangan Arhan dan memborgolnya.

Arhan tidak merasa terkejut, dia sudah menduga siapa yang melaporkannya. Senyum sinis tercetak di sudut bibirnya. Tatapan matanya menusuk dingin. Membuat siapapun yang melihatnya akan merinding.

Bersambung

03. Interogasi

.

Ruangan interogasi terasa dingin dan pengap. Lampu neon yang menyala terang menyilaukan mata. Arhan duduk di kursi besi, kedua tangannya terborgol di belakang. Di hadapannya, seorang penyidik dengan wajah datar menatapnya tajam.

"Baik, Saudara Arhan Sanjaya," kata penyidik itu, membuka map di hadapannya. "Kami akan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kasus penganiayaan terhadap Saudara Fadil Ramdani. Anda berhak untuk menjawab atau tidak. Tapi, perlu Anda ingat, setiap jawaban Anda akan dicatat dan dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan."

Arhan hanya mengangguk pelan, sama sekali tak ada raut takut di wajahnya.

"Pada tanggal 13 September 2025, pukul 15.00, Anda mendatangi rumah Anda dan mendapati istri Anda, Nurmala, sedang bersama Saudara Fadil Ramdani. Benar?" tanya penyidik itu, menatap Arhan dengan tatapan menyelidik.

"Benar," jawab Arhan singkat.

"Kemudian, Anda melakukan tindakan kekerasan terhadap Saudara Fadil Ramdani. Benar?"

"Saya melakukan itu karena melihat dia main kuda-kudaan dengan istri saya.” Arhan mencoba menjelaskan.

"Menurut keterangan saksi, Anda memukul Saudara Fadil Ramdani hingga babak belur. Bahkan, Saudara Fadil Ramdani mengalami luka memar di sekujur tubuhnya. Apa itu benar?"

Arhan terdiam sejenak, lalu mengangguk. Emosinya benar-benar meledak saat itu, sehingga memukul Fadil dengan membabi buta.

"Baiklah," kata penyidik itu, mencatat sesuatu di map-nya. "Kami akan melanjutkan pertanyaan lain. Menurut keterangan Saudari Nurmala, Anda sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Anda sering memukul dan mengancamnya. Apa itu benar?"

Arhan terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak percaya Nurmala tega menuduhnya melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

"Itu tidak benar, Pak! Saya tidak pernah memukul Nurmala. Saya memang pernah marah padanya, dan benar saat itu saya menamparnya, tapi saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik pada tubuh yang lain," bantah Arhan dengan nada tinggi.

"Kami punya bukti visum yang menunjukkan adanya luka memar di tubuh Saudari Nurmala. Luka itu diduga akibat kekerasan yang Anda lakukan," kata penyidik itu, menunjukkan selembar kertas.

Arhan menatap kertas itu dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah konspirasi yang dirancang untuk menghancurkannya.

"Saya tidak tahu apa-apa tentang luka itu, Pak. Saya tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Nurmala," ulang Arhan, berusaha membela diri.

"Tapi bukti visum di sini asli bukan rekayasa,” ucap penyidik itu.

Arhan menggelengkan kepala. “Bagaimana mungkin ada tuduhan seperti itu, sementara saya baru saja pulang dari Korea setelah dua tahun?”

Penyidik itu menghela napas panjang. "Baiklah, Saudara Arhan Sanjaya. Kami sudah mencatat semua keterangan Anda. Anda akan ditahan untuk sementara waktu. Kasus ini akan kami limpahkan ke pengadilan.”

.

Malam itu, di balik dinginnya jeruji besi, Arhan termenung. Pikirannya berkecamuk, antara amarah, kecewa, dan penyesalan. Tiba-tiba, langkah kaki mendekat. Arhan mendongak, dan mendapati salah seorang petugas lapas berdiri di depan selnya.

“Saudara Arhan, ada yang mengunjungi Anda,” ucap petugas sambil membuka gembok yang tergantung di pintu sel.

Arhan mengerutkan kening, siapa yang mengunjunginya? Apakah keluarganya mendengar berita tentang penangkapan dirinya? Pria itu pun segera berdiri dan mengikuti langkah petugas menuju ruang tamu penghuni lapas.

Tangannya terkepal dengan gigi-gigi geraham yang saling beradu begitu ia sampai di tempat tamu dan mendapati Fadil duduk dengan senyum miring di sana.

Fadil berdiri di depan selnya, memasang wajah prihatin yang dibuat-buat. "Han, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucapnya pelan.

Arhan hanya menatapnya sinis, tanpa menjawab.

"Aku tahu kamu pasti marah padaku. Tapi, aku juga nggak mau kamu sampai masuk penjara," lanjut Fadil seraya menunjukkan wajah prihatin.

"Katakan saja apa maumu!" sahut Arhan, dengan nada dingin.

Fadil menarik napas dalam-dalam. "Gini, Han. Sebenarnya, aku bisa saja cabut tuntutan aku. Aku bisa bilang ke polisi kalau luka yang aku alami nggak terlalu parah, dan aku nggak mau memperpanjang masalah ini."

Arhan mengangkat sebelah alisnya, menunggu kelanjutan ucapan Fadil.

"Tapi, kamu juga harus ngerti posisiku. Aku sudah malu banget sama keluargaku, sama tetangga. Aku juga butuh biaya buat berobat," kata Fadil, dengan nada memelas.

Arhan tertawa sinis. "Jadi, intinya, kamu datang ke sini untuk mengemis, begitu?"

Sambil menahan geram dalam hatinya, Fadil mengangguk pelan. "Ya, terserah kamu bilang apa. Anggap saja ini ganti rugi atas perbuatan kamu. Kalau kamu mau memberikan ganti rugi, aku janji bakal cabut tuntutan. Kamu nggak perlu masuk penjara, Han."

Ha ha ha…

Fadil mengerutkan kening, karena arhan yang terbawa terbahak-bahak.

Setelah tawanya reda, Arhan menatap Fadil dengan tatapan merendahkan. Ia membayangkan semua uang yang selama ini ia hasilkan dengan susah payah, dihabiskan oleh Nurmala bersama selingkuhannya itu. Sekarang, Fadil dengan entengnya meminta uang lagi.

"Kamu benar-benar pecundang yang tidak tahu malu ya, Dil," ucap Arhan, dengan senyum miring. "Uang yang selama ini aku kasih ke Nurmala, sudah kamu nikmati juga kan? Sekarang, kamu mau minta lagi? Dasar pengemis!"

Fadil terdiam, wajahnya memerah karena malu sekaligus marah.

"Dengar ya, Dil," lanjut Arhan, dengan nada tegas. "Aku nggak akan kasih kamu sepeser pun. Kamu mau tuntut aku, silakan. Aku lebih baik masuk penjara daripada harus ngasih uang ke pengkhianat kayak kamu."

Fadil mengepalkan tangannya, menahan amarah. "Kamu pasti akan menyesal, Han. Kamu akan menyesal menolak tawaranku," ancamnya.

"Aku tidak takut sama ancaman kamu, Dil," balas Arhan, dengan tatapan menantang. "Aku percaya, kebenaran pasti akan terungkap. Dan kamu, cepat atau lambat, pasti akan menerima akibatnya."

Fadil mendengus kesal, lalu berbalik dan pergi meninggalkan Arhan.

Arhan hanya bisa tersenyum pahit, menatap punggung Fadil yang kian menjauh. Ia tahu, keputusannya ini akan membawa konsekuensi yang berat. Tapi, ia lebih memilih untuk mempertahankan harga dirinya, daripada harus tunduk dan membiarkan dirinya terus diinjak.

Arhan kembali duduk termenung di dalam selnya. Dulu, dia dan Fadil bersahabat. Hubungan mereka bahkan sudah seperti saudara. Lalu apa yang membuat Fadil tega mengkhianati dirinya. 1000 tanya yang tak pernah ia dapatkan jawabannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!