NovelToon NovelToon

Aku, Suami Dan Sahabatku

Calon istri untuk suamiku

Seorang wanita terus melambaikan tangannya pada anak-anak yang mulai dijemput satu persatu oleh orang tua atau pun wali mereka. Senyumnya tidak pernah pudar sedikitpun meski hawa panas menjumpai menjelang makan siang.

Dia adalah Diandra Ayu Lestari, wanita berusia 26 tahun. Berprofesi sebagai guru adalah impiannya sejak dulu. Dia menghampiri anak didiknya yang duduk sendirian sambil mengayung-ayungkan kakinya dengan wajah cemberut.

"Abian kok belum pulang?" tanya Diandra lembut.

Kepribadiannya yang tenang dan hangat membuatnya sangat cocok menjadi tenaga pendidik di taman kanak-kanak.

Dia duduk di samping anak laki-laki berusia kurang lebih 4 tahun itu. Mengayungkan kakinya demi menghibur anak didiknya.

"Mau ibu antar pulang?"

"No ... no ... no." Mengelengkan kepalanya sembari mengoyangkan jari.

"Abian nda mau pulang bu gulu. Abian malah sama ayah."

"Eh."

"Ayah cibuk mulu." Bersedekap dada.

Diandra tertawa kecil menanggapi mood Abian yang selalu buruk saat pulang sekolah. Saking seringnya, dia sampai akrab dengan bocah pintar di usia 4 tahun tersebut.

"Maaf saya lagi-lagi membuat bu Guru menunggu." Seorang pria langsung menunduk setelah tiba di hadapan Abian Alster Michio dan Diandra.

"Tidak apa-apa, sudah tugas saya memastikan anak-anak pulang dengan selamat."

Diandra beralih pada anak kecil di sampingnya.

"Abian nda mau pulang talau butan ayah." Mengelengkan kepalanya sambil bersedekap dada.

"Bian tidak boleh seperti itu. Siapa tahu ayah Bian memang sibuk. Lagian ayah Bian pasti bekerja untuk Bian."

"Mana buktinya bu gulu?"

"Buktinya Bian sekolah di sini dan belajar dengan nyaman. Bisa makan enak dan tempat tinggal yang bagus. Semuanya karena ayah Bian bekerja."

"Ya udah Bian pulang bu gulu." Anak kecil itu segera mengulurkan tangannya untuk menyalami Diandra barulah setelah itu ikut dengan orang suruhan ayahnya.

Sedangkan Diandra sendiri mengelengkan kepalanya melihat kegemesan anak-anaknya. Entah kapan ia diberkahi anak-anak seimut mereka.

Wanita itu segera melajukan mobilnya, bukan pulang kerumah melainkan menuju kantor sang suami untuk makan siang bersama.

Selalu saja senyum menghiasi wajahnya ketika para karyawan menyapanya di lobi. Di dalam lift ia terus memandangi arloji di pergelangan tangan, berharap waktu makan siang tidak lewat dan menganggu pekerjaan sang suami.

"Suami saya sibuk?" tanya Diandra pada perempuan yang berada di resepsionis khusus lantai eksekutif.

"Tidak nyonya, Pak Ramon sedang istirahat di ruangannya."

Diandra mengangguk-anggukkan kepalanya dan berjalan menuju ruangan sang suami.

Sedangkan di dalam ruangan itu sendiri seorang pria sedang mendesis penuh kenikmatan ketika merasakan surganya dunia di bawah kendali seorang wanita.

Melewatkan makan siang tidak membuatnya lapar akibat permainan panas di dalam ruangan pribadinya.

"Mas?"

Mata yang semula sayu melebar dalam hitungan detik mendengar suara istrinya di luar kamar, dia mendorong tubuh wanita yang berada di atas tubuhnya.

"Oh shit," umpatnya.

Tanpa peduli apapun, dia berlari ke kamar mandi untuk membersihkan jejak percintaannya. Keluar dari ruangan pribadinya dan tersenyum tanpa rasa bersalah.

"Sayang, kenapa tidak mengabari sebelum datang hm." Mengamit pinggang Diandra dan mengajaknya duduk di sofa.

"Aku tidak mau merepotkan mas yang selalu menungguku di lobi. Btw kenapa mas mandi di kantor?"

"Oh ini karena mas merasa gerah." Ramon menyugar rambutnya dan tersenyum tipis. "Ayo kita makan siang bersama." Menarik tangan istrinya agar segera meninggalkan ruangan.

"Enaknya kita makan siang apa kali ini?" tanya Ramon, sedangkan tangannya aktif memberikan isyarat agar perempuan yang bersamanya di dalam kamar tidak menampakkan diri terlalu cepat.

"Bagaimana dengan makanan korea? Aku sudah lama tidak memakannya. Tadi saat perjalanan ke sini aku melihat restoran cukup ramai."

"Boleh Sayang, apapun untukmu."

Diandra menghentikan langkahnya dengan kening mengerut menyadari kursi sekretaris suaminya kosong.

"Via kemana?"

"Vi-via? Tadi dia izin untuk makan siang bersama kekasihnya."

"Via punya pacar? Dasar bisa-bisanya dia menyembunyikannya dariku." Diandra tertawa sambil mengikuti langkah suaminya meninggalkan lantai eksekutif tersebut.

Sementara di dalam ruangan Ramon, seorang wanita dengan rok di bawah lutut baru saja keluar dari kamar. Penampilannya sudah rapi, tetapi tidak dengan pikiran dan hatinya. Ramon meninggalkan dirinya di saat tidak tepat.

"Selalu saja aku menjadi ke dua," omelnya

***

"Ma-mama?" Langkah Diandra yang baru saja membuka pintu rumahnya berhenti melihat wanita paruh baya menyambutnya.

Hidupnya sudah terlalu tenang akhir-akhir ini karena mama mertuanya pergi berlibur. Namun, ketenangan itu sepertinya harus berakhir sekarang.

"Mama kapan pulang?" tanya Ramon pada mamanya.

"Tadi siang. Mama menelepon kamu beberapa kali untuk menjemput di bandara tapi kamu tidak menjawabnya."

"Ah ya Ramon sangat sibuk."

"Diandra, tolong buatkan minum untuk mama."

"Iya Mas."

Diandra lantas meletakkan tasnya di atas sofa dan mengambilkan minum untuk sang mertua.

Sayup-sayup Diandra mendengar pembicaraan anak dan ibu itu ketika akan mengantarkan air minum. Pembahasan keduanya cukup menusuk hatinya sebagai wanita yang belum dikaruniai buah hati di usia pernikahannya hampir tiga tahun.

"Ramon kapan sih istri kamu itu hamil. Teman-teman mama sudah punya cucu semua. Mama malu punya menantu mandul seperti Diandra."

"Ma, hamil kan tidak bisa dipaksakan. Diandra juga sudah berusaha keras, hidup sehat sesuai anjuran dokter."

"Mau berusaha bagaimana pun kalau mandul ya mandul saja. Lebih baik kamu ceraikan dia."

"Mama!"

"Kenapa Ramon?"

"Ramon mencintai Diandra dan Ramon tidak akan menceraikannya."

"Kalau begitu madu saja dia, mama punya calon istri yang baik untukmu."

.

.

.

.

Selamat pagi semuanya, author balik lagi bawa cerita untuk kalian. Semoga yang ini ramai agar author semangat bertemu kalian hehehe

Ritual sebelum bacanya jangan lupa ya, share juga keteman-teman kalian yang suka dengan teman seperti author🥰

Terimakasih warga bucinku.

Jam tangan suamiku di kamar sahabatku

Suara dentingan sendok dan piring yang beradu tidak membuat pikiran Diandra membaik usai pembicaraanya semalam bersama sang suami. Dia berusaha menyampaikan keresahan hatinya pada Ramon yang tidak ingin dimadu, tetapi jawaban suaminya di luar dugaan. Bukannya membela dia malah menyudutkan dirinya.

Tidak perlu menyalahkan mama, toh kamu memang tidak bisa hamil. Hiraukan saja apa yang mama katakan.

Sungguh hati Diandra bagai disayat pisau tidak kasat mata mendengar kalimat suaminya. Seolah tidak ada kalimat yang lebih baik dari itu.

"Diandra."

"Iya, Ma?" Diandra mendongak untuk menatap mama mertuanya.

"Izinkan Ramon menikah lagi!" ujarnya dengan intonasi tegas, seolah permintaan itu tidak bisa dibantah oleh siapapun.

"Maaf Ma, tapi untuk permintaan tersebut Diandra tidak bisa mengabulkannya."

"Berhenti bersikap egois jadi istri Diandra. Ramon butuh seorang anak, begitu pun dengan mama."

"Diandra tidak egois Ma, Diandra sudah berusaha melakukan yang terbaik, setiap bulan cek kesehatan tapi memang belum waktunya."

"Halah, akal-akalan kamu saja itu."

Diandra kembali menundukkan kepalanya, bukan hanya kalimat sang mertua yang membuatnya bersedih, tetapi sikap Ramon yang acuh akan pembicaraan mereka berdua.

"Sayang, mas berangkat dulu ya." Ramon berdiri setelah menghabiskan sarapannya. Namun, tidak kunjung pergi sebab tangannya di genggam oleh sang istri.

"Mas tidak akan menduakan cinta untukku kan? Mas tidak akan menikah dengan siapapun seperti permintaan mama?" tanya Diandra.

"Tidak akan Sayang, hiraukan saja ucapan mama." Ramon mengelus pipi Diandra.

Sepeninggalan sang suami, Diandra pun ikut berangkat ke sekolah. Menghibur dirinya dengan bertemu anak-anak mengemaskan di taman kanak-kanak. Namun, hal yang ia kira dapat menghibur semakin menyiksa dirinya sendiri. Keinginan untuk memiliki seorang anak kini melonjat tinggi.

"Bu gulu nanis?"

Diandra buru-buru menghapus air matanya ketika mendapati Abian berdiri dan mendongak untuk menatapnya.

"Ibu tidak menangis." Diandra tersenyum, terlebih saat tangan mungil itu menyentuh pipinya yang basah oleh air mata. "Bian kenapa tidak ikut bermain?"

"Ibu cakit?"

"Tidak."

"Kata Ayah, olang nanis biasanya cakit. Talau nda luka, cakitnya cini." Abian menyentuh dadanya sendiri. "

"Pintar banget sih anak ibu. Ayo kita bermain." Diandra tertawa, menarik tangan Abian agar bergabung dengan yang lain. Kebetulan hari ini jam olahraga.

***

Di belahan dunia lainnya wanita paruh baya yang menaruh garam pada luka tidak sepenuhnya sembuh, sedang tertawa bersama wanita yang katanya calon istri untuk putranya. Mereka berdua tampak menikmati makan siang, bersenda gurau satu sama lain.

"Oh iya, ada apa tante meminta untuk bertemu?" tanya Olivia.

"Hanya ingin berbincang saja. Lagian sudah lama tante tidak melihatmu berkunjung ke rumah."

"Via sibuk mengurus jadwal pak Ramon, Tante." Olivia tertawa kecil.

"Kirain sibuk mengurus Ramon."

"Tentu saja Via tidak berani, apalagi pak Ramon suaminya Diandra."

"Kenapa tidak, toh mereka juga sudah tidak cocok."

Olivia hanya tertawa menanggapi dan sesekali menyesap minuman dingin di hadapannya. Mereka berpisah dengan manis seolah teman lama yang tidak pernah bertemu.

Sesampainya di kantor, Olivia langsung menuju ruangan Ramon. Mengunci pintu dan langsung duduk di pangkuan Ramon yang tengah sibuk dengan pekerjaanya.

"Sayang, tebak siapa yang aku temui hari ini."

"Siapa?"

"Mama kamu, dia mengundang aku kerumah untuk makan malam bersama."

"Jangan datang." Ramon melingkarkan tangannya di pinggang ramping Olivia, hubungan mereka sudah terjalin hampir 6 bulan, sejak wanita itu bekerja sebagai sekretarisnya atas rekomendasi sang istri. "Diandra orangnya curigaan."

"Kapan kamu meninggalkannya dan menjadikan aku satu-satunya?"

"Bersabarlah Sayang, setelah aku mengusai seluruh harta warisan orang tuanya," bisik Ramon. Tangan pria itu mulai nakal melepas satu persatu kancing kemeja Olivia.

Sudut bibir Ramon tertarik melihat ekpresi Olivia yang selalu membuatnya bangga.

"Jangan terlalu kasar Sayang," lirih Olivia memegang tangan Ramon yang meremas benda tidak bertulang itu. "Ak-aku ...." ucapannya berhenti mendengar dering ponselnya.

"Diandra," ujarnya dan menjawab panggilan dari sang sahabat. Namun, itu tidak membuat Ramon berhenti sehingga Olivia susah payah menormalkan nada suaranya.

***

"Aku menunggumu, Vi," ucap Diandra dan memutuskan sambungan telepon.

Diandra sedang berada di kontrakan Olivia, tempat yang selalu menjadi tujuannya jika hatinya tidak baik-baik saja. Wanita itu menata barang-barang Olivia seperti yang selalu ia lakukan jika berkunjung ke rumah sahabatnya.

"Dasar nakal," gumam Diandra mendapati pengaman di atas meja. Pengaman itu belum di buka sama sekali. Ia mengambil dan menyimpannya di laci.

"Ini kan jam tangan mas Ramon yang hilang." Diandra meneliti jam tangan yang ia temukan di dalam laci.

Jelas Diandra mengenalinya sebab dia yang memberikan sebagai hadiah ulang tahun beberapa bulan lalu.

"Tidak mungkin, pasti ada alasan kenapa jam tangan mas Ramon ada di kontrakan Via." Diandra mengelengkan kepalanya, menampik pikiran buruk yang bersemayang di hati.

Satu jam, dua jam bahkan beberapa jam sudah berlalu namun pemilik rumah tidak kunjung pulang berakhir Diandra tidur sendirian.

"Sorry, ada pekerjaan mendesak yang tidak bisa aku tinggalkan," ujar Olivia yang baru datang saat matahari tenggelam. "Ternyata dia tidur," lanjut Olivia dalam hati.

Wanita itu segera mandi dan berganti baju, terlebih kemejanya sudah kusut sana -sini akibat perbuatan Ramon. Bahkan pria itu tetap melancarkan akhirnya ketika Olivia mengatakan akan bertemu sang istri.

"Sorry Diandra," lirih Olivia memandangi wajah cantik Diandra yang tertidur pulas.

Menyambut calon menantu mertuaku

Diandra terus meremas pelan gelas berisi teh hangat di tangannya. Tatapannya lurus pada dedaunan yang bergerak sesuai arah angin.

"Sepertinya suasana hati sahabatku sedang buruk," celetuk Olivia sembari melirik Diandra.

"Kamu benar." Menunduk, memainkan jarinya di bibir gelas. "Mertuaku mendesak agar aku segera memberikan cucu, padahal itu di luar kendaliku. Bahkan dia meminta mas Ramon untuk menikah lagi," suara Diandra hilang di akhir kalimat. Air matanya terjatuh begitu saja.

Isakan yang semula ia tahan akhirnya pecah merasakan elusan di pundaknya. "Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, Vi."

"Tenanglah, selama pak Ramon mencintaimu semuanya akan baik-baik saja."

"Bagaimana jika cinta itu hilang seiring penantian yang tidak kunjung usai?"

"Cantiknya Via tidak boleh menangis seperti ini hanya karena seorang pria. Sini peluk." Olivia tersenyum, merentangkan tangannya dan bersiap memeluk Diandra.

Pelukan itu mampu menghilangkan keresahan Diandra. Mungkin karena selain Ramon, hanya Olivia Renata yang dia miliki di dunia ini. Orang tuanya meninggal dunia tiga tahun yang lalu akibat kecelakaan tunggal.

"Via, aku boleh bertanya sesuatu padamu?"

"Tanyakan saja."

"Kenapa jam tangan suamiku bisa ada di kamarmu?"

"Ja-jam tangan?" Olivia mengerutkan keningnya.

Diandra mengambil jam tangan tersebut dan memperlihatkan pada Olivia. "Aku menemukannya di dalam laci."

"Oh jam tangan itu? Aku tidak tahu kalau itu punya pak Ramon, aku mendapatkannya di depan perusahaan. Aku menyimpannya menunggu seseorang mencari, tapi sampai hari ini pemiliknya tidak datang."

"Aku akan membawanya."

"Bawa saja, aku bersyukur benda berharga itu sudah pergi dari tempatku." Olivia tertawa.

***

"Mas, nanti siang aku ada jadwal cek kesehatan lagi. Mas bisa menemani aku?" tanya Diandra sembari membuat simpul di leher Ramon.

"Kenapasih harus ke rumah sakit terus? Nggak bosan apa? Lagian hasilnya itu-itu saja."

"Aku hanya ingin memastikan kondisiku, Mas. Bukannya kita sama-sama ingin punya anak?"

"Kalau memang nggak bisa punya anak nggak usah di paksakan, Diandra! Aku capek setiap hari mendengar keluhan kamu itu."

"Jadi mas juga mengira aku mandul? Tidak bisa punya anak?" Mata Diandra berkaca-kaca.

"Aku cuma berpikir realistis saja. Kalau memang kamu perempuan normal tidak butuh tiga tahun untuk memiliki anak. Tapi apa? Tidak ada hasil kan?"

"Dari tadi pasang dasi tidak selesai-selesai." Ramon melengos begitu saja, bahkan rutinitas harian di mana ia mengecup kening Diandra tidak pria itu lakukan.

"Jadi aku sedang berjuang sendiri?" lirih Diandra. Sakitnya kini berkali-kali lipat sebab yang mengatakannya adalah sang suami bukan orang lain.

Diandra menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan saat menyadari jarum jam. Ia orang paling terakhir meninggalkan rumah sehingga tidak perlu membuang tenaga menyapa siapapun.

Sejenak Diandra melupakan kesedihannya berbaur dengan anak-anak yang sangat aktif.

"Bu gulu."

"Kenapa Bian?"

"Bian mau pup," ujar Abian dengan pipinya memerah dan gembul.

Diandra tersenyum, segera membawa Abian ke toilet dan mengulang hal yang sudah ia jelaskan sebelumnya pada anak-anaknya.

Setelah selesai ia kembali dan ternyata anak-anak yang lainnya sudah pulang dibantu oleh guru lain.

"Bian pulang sama siapa?"

"Ayah."

"Ayahnya di mana?"

"Itu." Abian menunjuk pria yang berdiri tidak jauh dari pagar sekolah. Pria itu mengenakan setelan putih coklat terang di tambah kacamata hitam di wajahnya.

"Ayah!" teriak Abian berlari menghampiri.

Yang di panggil ayah lantas menoleh dan tersenyum pada putranya. "Kok baru keluar?"

"Bian pup di bantu bu gulu." Menunjuk Diandra yang juga berjalan mendekat.

"Terimakasih sudah membantu putra saya."

"Sudah kewajiban saya sebagai orang tua di sekolah." Diandra ikut tersenyum, memandangi dua laki-laki berbeda generasi itu sampai hilang dari pandangannya.

Memastikan semua anak-anak sudah pulang, Diandra pun meninggalkan lingkungan sekolah dan menuju rumah sakit sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter.

Dan seperti yang Ramon katakan hasilnya itu-itu saja. Tidak ada komplikasi kesehatan, apalagi di bagian rahim dan pembuahan.

"Tapi kenapa saya belum hamil juga dokter?"

"Tidak semua masalah ada pada perempuan Bu. Sesekali ajak suaminya ikut cek kesehatan bersama," ucap sang dokter.

"Mungkin di pertemuan selanjutnya dok. Terimakasih."

***

Diandra pulang lebih awal hari ini berniat untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Namun, saat tiba di rumah ia malah disambut oleh kesibukan ibu mertuanya di dapur. Awalnya pura-pura tidak melihat tetapi namanya malah di panggil dan dimintai bantuan.

Alhasil Diandra membantu mama mertuanya menyiapkan makan malam yang menurutnya sangat berlebihan dari hari-hari biasanyanya.

"Masak sebanyak ini untuk apa, Ma?"

"Untuk menyambut calon menantu mama,"

"Calon menantu?"

"Kenapa terkejut seperti itu? Memangnya mama salah jika ingin menyambut menantu?"

"Kenapa mama sejahat ini padaku? Menyambut calon istri suamiku di rumahku sendiri?" Mata Diandra mulai memanas, andai saja tidak menahan mungkin bulir-bulir bening sudah berjatuhan.

Hal seperti ini tidak pernah ada dalam bayangan Diandra sebelumnya, apa lagi seterang-terangan ini.

"Jahat kamu bilang? Lebih jahat mana kamu sama mama Diandra! Jelas-jelas tidak bisa memberikan keturunan masih saja egois. Seharusnya kamu bersyukur mama masih berbaik hati tidak menyuruh Ramon menceraikanmu."

"Kalau begitu suruh mas Ramon menceraikanku Ma. Itu akan lebih baik daripada harus berbagi dengan wanita lain."

"Kamu menentang mama?"

"Tapi bersiaplah keluar dari rumah ini, Ma."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!