NovelToon NovelToon

Cintaku Hadir Di Jepang

Prolog

Entah kenapa aku bisa kagum dengannya, padahal aku cuman melihatnya dalam layar kaca saja. Aku juga tidak mengenal kehidupan dia seperti apa, bahkan jika dikatakan aku ini hanyalah seorang semut dimata dia. Tidak, bahkan lebih parah dari semut. Seekor semut masih dapat dilihat olehnya, mungkin aku ini hanyalah seorang penggemar yang keberadaannya tidak diketahui olehnya.

Aku teringat sebuah lirik lagu yang mengatakan.

~Dia berada jauh di sana, dan aku di rumah

Memandang kagum pada dirinya pada layar kaca

Apakah mungkin seorang biasa menjadi pacar seorang superstar~

Lagu itu dibawakan oleh "Project Pop" berjudul "Pacarku Superstar". Ah... lagu yang bagus sekali. Diawal lagu itu, selalu menyebutkan kata ‘jika’. Iya betul jika. Semua awal mimpi selalu diawali dengan kata ‘jika’. Jika kau ingin sukses maka raihlah! Jangan kau menyerah di pertengahan jalan. Jika kau ingin bisa terbang, maka raihlah menjadi seorang Pilot. Jika hanya angan-angan saja tanpa berusaha, lebih baik menyerah saja ketimbang menjadi seorang pecundang.

Seorang yang kukagumi berasal dari Jepang, dia adalah Selebriti terkenal di sana, yang membintangi film-film dan pengisi suara pada beberapa anime terkenal. Walaupun dia baru berumur 15 Tahun, tapi namanya sudah sangat terkenal di dunia hiburan. Mulai debut sebagai pengisi suara sejak SD di salah satu anime yang membesarkan namanya.

Aku mengaguminya sekali. Ketika dia mengisi suara anime, suaranya begitu lembut sekali ketika kudengar. Akting di film pun sangat bagus. Aku sangat mengaguminya

“Persiapkan pakaianmu, Nak! Mulai besok, kita akan tinggal di Tokyo.”

“Eh...?”

...----------...

“Hey Ayah, mengapa kita harus ke Jepang?”

“Hmph... Entahlah!”

“Aniki, bodoh!!!”

“Berisik kau, Dinda!” Bagas menatap ke arah kalian. “Jangan lupa vote, ya...” Bagas menunduk. “Mohon bantuannya!”

“Hahaha, Aniki seperti orang Jepang saja!”

“Berisik!”

...----------...

Bolcurut di sini, desu. Apa kabar kalian semua? Semoga baik-baik saja, ya. Amin.

Oke, Kali ini saya membuat sebuah Novel Ringan atau biasa disebut dengan 'Light Novel'. Ya betul, ini terinspirasi dari Novel buatan Jepang. Saya sudah membuat Novel ini sampai bervolume-volume. Mungkin ini hanya mencapai Volume 2 saja, pada buku ini. Jadi, selebihnya saya akan buat Novel baru yang berjudul sama.

Sejujurnya, saya bingung ingin berkata apa kepada kalian. Soalnya, harus mencapai 500 kata pada tiap Bab/Chapter. Maka dari itu, saya pribadi melakukan spam chat ini :v agar mencapai 500 kata.

Oh iya, bagi yang suka membaca Light Novel, silakan membaca Novel saya ini! Karena, ini betul-betul hampir mirip dengan Light Novel buatan Jepang.

Njir, blom nyampe 500 kata.

Well, saya ingin pembaca menyukai Novel ini, dan sharing ke teman-teman kalian yang suka membaca, apalagi suka dengan Anime.

Mampus gua bingung.

Oke, karena saya kehabisan kata, jadi inilah daftar beberapa karakter pada Novel ini.

1. Bagas Samsudin

2. Dinda Samsudin (adik perempuan Bagas)

3. Samsudin (ayah Bagas)

4. Maeda Mori

5. Tanaka Sakamoto

6. Sakurai Mai

7. Fujita Ryo

8. Nakano Tobi

9. Suzuki Yukimira

10. Yamamoto Sudo

Dll

Dan ini lirik lagu :v

~Jika dia jadi pacarku

Besar kepalaku

Jika dia jadi pacarku

Sombong pastiku

Jika dia jadi pacarku

Akan kubanggakan

Jika dia jadi pacarku

Ngetop aku ikutan

Hanya tak mudah bagi diriku

Untuk ikuti gaya hidupnya

Semua orang suka padanya

Berat rasanya

Dia berada jauh di sana

Dan aku di rumah

Memandang kagum pada dirinya

Dalam layar kaca

Apakah mungkin seorang biasa

Menjadi pacar seorang superstar~

Nah 'kan pas.

Terima kasih semuanya.

Chapter 1 part 1-5 ~ Sekolah baru jiwa baru

Namaku, Bagas Samsudin umur 16 tahun. Sudah 1 Tahun sejak ayahku mengajakku ke Jepang. Sebenarnya ketika itu, aku menolak ajakannya. Aku memutuskan untuk meneruskan sekolah di Indonesia selama 1 tahun.

Ya, pada akhirnya aku tiba di Jepang ketika aku naik kelas ke kelas 2 SMA. 1 Tahun kuhabiskan di Indonesia selama aku masih kelas 1 SMA untuk belajar sastra Jepang yang baik. Sehingga aku melupakan sesuatu yang penting di Jepang, yaitu, budayanya. Saat ini aku sedang menuju ke sekolah baruku di Jepang. Butuh adaptasi ketika aku sampai di sini.

Pernah suatu hari, aku menyapa beberapa orang yang tidak aku kenali dengan senyuman tulus, layaknya orang Indonesia menyapa. Tapi, berakhir dengan kesedihan yang kualami.

"Hey, lihat! Dia senyum-senyum sendiri."

"Kayanya dia orang gila, deh!"

"Ah... memalukan sekali. Rasanya ingin menjadi ikan saja," ucapku.

Selama satu Tahun aku fokus belajar bahasa Jepang dengan baik, jadi aku tidak sempat untuk mempelajari budayanya. Saat ini aku akan bersekolah yang berada di Tokyo. Mungkin ini akan susah untukku, apalagi saat memperkenalkan diri di sana. Ini sedikit merepotkan.

Suasana di sini sangat berbeda dengan suasana di Indonesia. Entah kenapa aku kaget saat melihat bunga-bunga mekar, apalagi bunga sakura yang menghiasi jalan. Para siswa-siswi juga terlihat bahagia saat menuju sekolah, bahkan di antara mereka tidak ada yang menggunakan sepeda motor maupun mobil. Ini memang beda. Mereka semua jalan kaki dan menggunakan sepeda untuk berangkat sekolah. Tapi ini sedikit dingin untukku, mungkin karena suhu di Jakarta berbeda dengan di sini.

"Dingin..." Aku memeluk tubuhku dengan kedua tanganku untuk menghangatkan tubuhku.

Seragam yang kupakai juga terlihat cocok untukku. Seragam ini memakai jas berwarna hitam dengan emblem sekolah di dada sebelah kiri, dan di dalamnya terdapat seragam putih polos dengan emblem sekolah dada sebelah kiri. Sepertinya memang sebuah emblem sanggatlah begitu penting untuk di sekolah mana pun.

Ayahku pernah berkata, "Nak, di Jepang memiliki 2 seragam sekolah. Saat musim panas kamu memakai ini!" ucap Ayahku. "Dan seragam musim dingin ini!" Ayahku menunjukkan seragam lain kepadaku.

"Bisakah Ayah tidak memasang wajah seperti itu?!" ucapku melihat wajah ayah yang terlihat bangga.

Ya, walaupun sedikit memalukan. Tapi dia ayahku yang sangat kucintai, walaupun sedikit memalukan.

Aku tidak memiliki seorang ibu. Ibuku meninggal ketika aku masih SMP karena suatu penyakit. Aku juga memiliki seorang adik perempuan yang saat ini sudah kelas 3 SMP.

...***...

"Jadi, silakan kau memperkenalkan diri!"

Gila... aku gugup sekali, mereka semua memandangiku. Ini pertama kali aku gugup saat di hadapan orang-orang.

"Na-Namaku Bagas Samsudin." Aku menundukkan kepala. "Mohon bantuannya!"

Semoga aku tidak salah saat mengucapkannya.

Mereka berbisik satu sama lain saat aku memperkenalkan diri. Entah aku yang salah saat mengucapkannya, atau mungkin, mereka kebingungan karena namaku terasa asing bagi mereka.

"Silakan kau duduk di sana!"

"Terima kasih, Sensei!" Aku berjalan menuju bangku kosong yang berada di dekat jendela nomor 3 dari depan.

"Buka halaman 21!"

"Baik, Sensei!"

Walaupun aku tidak dapat bangku favorit di belakang, namun bangku ini terasa nyaman karena dekat dengan jendela. Ah... udara pagi yang segar, walaupun aku sedikit mencium aroma kaos kaki.

Oh ini keren. Bahkan ada tempat untuk menaruh tasku di samping meja.

Mejanya sangat bersih, apa mereka selalu membersihkannya? Aku bisa merasakan sinar matahari menyilaukan meja ini. Bahan kayunya juga aku yakin dipilih yang terbaik. Ini meja yang keren, bahkan aku ingin memilikinya di rumah. Mungkin aku akan mengambilnya diam-diam, hehehehe. Tidak, itu tidak boleh!

Ketika aku fokus dengan meja, tiba-tiba seseorang di sampingku melihatku.

"Halo..." ucap seorang wanita.

Ini pertama kalinya seorang wanita menyapaku saat di Jepang.

"Halo juga!"

"Namamu terasa begitu asing. Kau dari mana?"

"Aku dari Indonesia," jawabku.

"Wah... luar biasa. Aku Maeda Mori. Salam kenal, ya!"

"Aku Bagas. Salam ken-" Aku menyadari bahwa aku salah mengucapkan nama. "Bagas Samsudin. Salam kenal!" Seharusnya seperti itu, karena aku berada di Jepang sekarang.

Terima kasih anime-anime yang mengajariku.

"Jadi, Bagas-san."

Sudah kuduga dia akan langsung memanggil namaku. Ya, sebenarnya tidak jadi masalah buatku. Lagi pula dia tidak mengetahui bahwa itu nama asliku.

Di Jepang sendiri, sensitif sekali terhadap nama. Jadi tidak bisa asal menyebutkan nama asli mereka. Jika ingin memanggilnya, harus meminta persetujuannya terlebih dahulu. Biasanya nama orang-orang Jepang terdiri dari, nama keluarga dan nama aslinya. Contoh, Maeda Mori. Maeda merupakan nama keluarga, sedangkan Mori merupakan nama aslinya.

"Iya!" jawabku memperhatikan seisi kelas.

"Maaf, boleh aku menanyakannya?"

"Umh... Silakan saja!"

"Mengapa kamu bisa pindah ke Nihon?

Aku berpikir sebentar. Kalau tidak salah 'Nihon' itu tidak lain kata ganti 'Jepang'. Mereka orang-orang Jepang menyebutkan negaranya sendiri dengan sebutan 'Nihon' atau 'Nippon'. Untung saja aku mengetahuinya dari mas Googte. Terima kasih, mas.

Aku menyilangkan kakiku. "Ayahku pindah ke sini karena urusan pekerjaan. Jadi aku pindah ke sini."

"Jadi begitu." Maeda Mori tersenyum tipis. "Semoga betah, ya!"

"Terima kasih!"

Pelajaran pun dimulai. Aku tidak memiliki buku pelajaran, dan hanya memiliki buku catatan saja. Tapi itu percuma, aku tidak bisa menulis kanji. Itu sesuatu yang lucu untukku. Aku bisa membacanya dengan baik, namun tidak bisa menulisnya. Lucu sekali, kan.

...***...

Ketika jam istirahat tiba, beberapa dari mereka mendekatiku. Mungkin karena wajahku yang tampan ini, hehehehe. Tidak, sebenarnya wajahku biasa-biasa saja. Namun aku memiliki rambut hitam pekat yang sedikit pendek bersisir ke kanan. Berbeda dengan para cowok di sini, yang memiliki rambut cukup panjang.

Apakah mereka jarang sekali mencukur rambutnya? Apa para guru tidak melakukan razia rambut? Apa itu hanya dilakukan di Indonesia saja? Aku berharap mereka memotong rambut yang panjang itu, kecuali untuk wanita jangan dipotong rambut yang panjangnya, karena itu sangat cantik untuk mereka.

Aku juga memiliki tinggi standar, 169 cm. Ya, standar untukku. Aku juga memiliki tubuh yang tidak kurus maupun gemuk namun sedikit berisi, mungkin karena aku sering lari pagi ketika masih berada di Jakarta.

"Kau memiliki rambut hitam sekali, ya."

"Kau dari mana?"

"Aku bisa menebak. Um... kau pasti dari Amerika, kan?"

Hey, bukannya itu terlalu berlebihan? Aku tahu wajahku memang mirip orang Amerika. Tidak, sebenarnya wajahku tidak mirip orang Amerika.

"Tidak, aku yakin dia itu dari India. Ya, kan?

Hey, berhentilah menebak-nebak!

"Aku dari Indonesia," ucapku.

"Wah... kerennya."

"Mengapa kau pindah ke sini?"

"Karena ayahku bekerja di sini!" jawabku.

Aku disambut begitu hangat oleh mereka. Namun aku melihat beberapa cowok sedang menatapku dengan tatapan tajam. Ini sedikit menakutkan, mungkin mereka iri kepadaku yang didekati wanita-wanita.

"Namamu Bagas-san, kan?"

Lebih baik aku memberitahukan mereka, bahwa itu nama asliku.

"Iya, itu nama asliku."

"Eh...?" Mereka kaget saat aku memberitahukannya.

"Maaf. Aku tidak sopan," ucap Maeda meminta maaf kepadaku.

"Aku juga minta maaf!" ucap seseorang yang tadi menyebutkan namaku.

Sebenarnya tidak jadi masalah juga, karena di Indonesia sendiri, menyebutkan nama asli merupakan hal yang wajar. Berbeda dengan di sini, mereka sangat sensitif sekali soal nama saja. Mereka sangat sopan menjaga nama mereka. Berbeda dengan diriku ketika SD. Aku mengingat kembali di mana aku mempermalukan seseorang ketika aku SD.

"Lihat rapot-mu!"

"Untuk apa, Bagas?"

"Aku hanya ingin melihat nilai-mu saja."

"Ini." Rapotnya di berikan kepadaku.

Aku membaca rapotnya dan melihat isinya.

"Yah... Yanto, hahahaha." Aku mengetahui nama ayahnya dari rapot yang kupegang.

"Kembalikan rapot-ku!"

"Hey, nama ayah dia Yanto, hahahaha..."

Itu Kejadian di mana aku mempermalukan teman kelasku sendiri. Keesokan harinya dia tidak masuk sekolah, karena saat itu memang libur.

"Tidak apa-apa!" ucapku.

"Ne... apa kau ingin mengelilingi bangunan sekolah ini?" tanya Maeda.

"Aku mungkin akan mengelilingi bangunan sekolah ini," jawabku.

"Aku akan mengantarkanmu!"

"Tidak. Tidak perlu kok, aku bisa sendiri."

"Umm... baiklah, kalau begitu." Maeda segera pergi dari hadapanku.

Dia terlalu ceria sekali. Apa semua wanita Jepang seperti itu? Tapi ini sedikit aneh. Mengapa rambut mereka pada berponi? Mungkin style mereka sepertinya.

Yosh... saatnya jalan-jalan.

...----------...

"Hey Author tercinta. Bisakah kau membuat kulitku agak tebal? Dingin sekali di sini, tahu!"

"Tidak bisa! Sudahlah, kau terima saja nasibmu!"

"Woy!" Bagas melihat ke arah kalian. "Pokoknya, jangan lupa di vote, ya! Ih... Dinginnya..."

...----------...

Part 2-5

Sekolah ini begitu besar, bahkan beberapa ruang terlihat menarik untukku. Saat istirahat juga mereka seperti ibu-ibu gosip yang membicarakan seseorang tiap sore hari. Tiap langkah aku mendengar obrolan mereka, ada yang mengatakan inilah, ada pula yang mengatakan itulah. Mereka betul-betul mirip ibu-ibu gosip.

Sebenarnya tidak baik membicarakan seseorang yang tidak ada di antara kalian, bagaimana jika yang kalian bicarakan itu ternyata salah? Itu akan menyakitinya. Jadi, berhentilah membicarakan orang lain!

"Bagaimana klub-mu?"

"Baik-baik saja. Hanya saja senpai itu sanggatlah menyebalkan sekali. Masa aku disuruh terus, sih! Ini menyebalkan!"

"Yang sabar, ya..."

Aku melewati mereka yang tengah asyik mengobrol. Aku mendengarnya, tapi aku juga mengabaikannya.

Ngomong-ngomong, mengapa mereka tidak ada yang menyapaku? Padahal aku orang asing loh. Wajahku berbeda dengan mereka, kulitku juga berbeda. Seharusnya mereka meminta foto denganku, karena aku orang asing. Ini aneh, padahal kalau di Jakarta jika bertemu dengan bule mereka langsung meminta foto dengannya. Aku begini-begini bule juga loh. Aku coba saja kalau begini.

Aku mendekati beberapa gerombolan siswi yang tengah mengobrol. "Hey! Apa kalian tidak mau berfoto denganku?"

"..."

"..."

"Menjijikkan sekali orang ini!"

"Ayo kita pergi dari sini!"

"Eh...?" Aku kebingungan.

Akhirnya aku merasa diriku ini makhluk paling menjijikkan di dunia.

Lorong panjang lantai 2 ini berisikan kelas 2-1 sampai 2-10. Kelas 2-1 berada di sudut lorong, dan di sampingnya terdapat kelas 2-2. Begitu pula dengan kelas 2-10 yang berada di sudut lorong dan di sampingnya kelas 2-9. Untuk tangga menuju ke atas maupun ke bawah, itu berada di antara kelas 2-5 dan 2-6. Ada beberapa ruangan yang dipakai sebagai ruang guru, dan toilet.

Aku tidak dapat berkata apa-apa saat menelusuri, ini terlalu keren untuk ukuran sekolah. Kesimpulannya, sekolahku dulu berbeda dengan sekolah ini.

Dan jumlah murid dalam satu kelas, menurutku sanggatlah sedikit. Aku sudah menghitung jumlah murid di kelasku, berjumlah 25 saja termasuk aku. Barisan bangku dan meja terdiri dari 4 baris, dan jumlah bangku dan meja pada barisan tidak menentu, ada yang berjumlah 5, ada juga yang berjumlah 6 bangku. Tiap bangku dan meja hanya bisa diisi satu orang saja.

Dan untuk pintu ruangan menggunakan pintu geser, yang bisa dibilang cukup tipis daripada pintu biasanya. Mungkin jika aku menendangnya akan hancur. Padahal aku berharap ada pintu Doraemon.

Aku mencoba untuk turun dari tangga menuju ke bawah untuk melihat-lihat.

Aku tiba di sebuah halaman yang begitu luas di tengah-tengah bangunan sekolah. Beberapa pohon terlihat mekar, beberapa warna dihadirkan begitu indah pada bunga. Ini pertanda bahwa musim semi sedang berlangsung.

Aku baru mengetahui beberapa bulan yang lalu dari mas Googte, bahwa Jepang memiliki 4 musim, yang terdiri dari musim semi, musim panas, musim gugur, dan terakhir musim dingin. Konon katanya udara musim dingin bisa mencapai 0°C yang benar saja! Apakah aku akan kuat menghadapi suhu begitu? Di Bogor saja aku tidak kuat menahan dingin, apalagi ini. Aku berharap seseorang ada yang bisa menaikkan suhunya. Ya, walaupun sebenarnya tidak ada yang bisa.

Aku berjalan terus berjalan, hingga aku menyadari bahwa aku tersesat.

"Aku tersesat. Ini di mana?"

Tiba-tiba aku melihat seorang cewek dan cowok berada di samping gedung sekolah. Ini mencurigakan, aku langsung bersembunyi seketika dan menguping pembicaraan mereka.

"Ano... etto, m-maukah kau menjadi p-pacarku?"

Aa... dia menyatakan perasaannya ke wanita itu. Hehehehe, sepertinya akan menarik. Ini pertama kalinya aku melihat secara langsung seseorang sedang menyampaikan perasaannya. Tapi ini terlalu berani sekali, padahal 'kan bisa menyampaikan melalui smartphone, atau mungkin melalui surat. Tidak, itu cara pecundang saja menyampaikan perasaannya melalui itu.

"Maaf... aku tidak bisa."

Ah, ah... ditolak. Kasihan sekali cowok itu.

"Kenapa?"

"Kau bukan tipeku. Maaf."

Kejam. Kejam sekali cewek itu.

Cowok itu kabur seketika. Aku hanya dapat melihat tangisan di wajahnya. Sungguh malang sekali nasibmu. Lagi pula, jika kau menyatakan perasaan kepada seseorang, maka harus menanggung risiko ditolak juga, kan. Tapi sungguh kasihan hubungan mereka, apa ke depannya akan baik-baik saja? Mungkin akan canggung di antara mereka.

Aku lekas kembali, namun sesaat aku melihat cewek itu terasa tidak asing. Rambut pendek sebahu berwarna merah muda, tinggi badannya 160 cm, dan tubuhnya yang ramping, aku kenali. Ternyata cewek itu adalah Maeda Mori teman kelasku.

"Kau melihatnya 'kan, Samsudin-san?" Maeda menyadari kehadiranku.

Sumpah, aku tidak terlalu nyaman sekali dengan panggilan Samsudin. Itu nama ayahku tahu!!! Eh, tapi aku berada di Jepang sekarang, mungkin mereka terbiasa dengan nama keluarga. Mungkin...

Aku harus menjawab pertanyaan Maeda.

"Ah... aku tidak sengaja mendengarnya."

Maeda mendekatiku. "Jadi begitu. Saatnya balik ke kelas, kah?!"

Kami berjalan bersama menuju kelas. Entah kenapa, aku merasa kurang percaya diri berjalan bersamanya, padahal dia baru saja menolak cowok, tapi sekarang sudah berjalan bersama cowok lain, yaitu aku.

"Jadi bagaimana? Kau sudah jalan-jalan mengelilingi sekolah ini?" tanya Maeda.

"Iya, sudah... tapi aku tersesat, hehehehe..."

"Kapan-kapan aku temani, ya?!"

"Baiklah!" jawabku.

Aku melihat beberapa ruangan saat berjalan bersama Maeda Mori.

Aku melewati ruangan perpustakaan. Saat aku melihatnya, aku betul-betul kagum melihat begitu banyak buku di dalam. Itu keren, walaupun aku tidak suka membaca.

...***...

Bel pulang pun berbunyi. Kalau diperhatikan, sekolah ini memiliki jam masuk pukul 08.00 dan jam pulang pukul 16.00 dan jam istirahat pukul 12.00 sampai 13.00.

Maeda mendekatiku yang sedang membereskan buku. "Mau bermain denganku, Samsudin-san?"

"Ah, maaf. Aku harus pulang segera."

"Jadi begitu, baiklah. Sampai ketemu besok." Maeda meninggalkan kelas.

"Hey lihat itu!"

"Tidak kusangka, anak baru itu menolak ajakan Maeda-san."

"Sombong sekali dia."

Hey, aku bisa mendengar pembicaraan kalian. Aku abaikan saja mereka dan bergegas pulang sekarang.

Aku bukannya sombong, hanya saja aku ingin pulang cepat agar aku bisa rebahan. Rebahan sudah menyatu denganku. Aku menyukainya. Lagi pula, untuk apa seorang wanita mengajak main seorang pria? Bukannya itu tidak wajar. Seharusnya wanita bermain dengan wanita, dan pria bermain dengan pria. Itu baru namanya wajar, ya kan?

Aku menuruni tangga dan berjalan menuju loker penggantian sepatu. Aku mengganti sepatu sekolah dengan sepatu biasa.

Ini aneh, mengapa mereka harus mengganti sepatu tiap masuk dan pergi dari sekolah. Ini bukan sepatu sekolah, ini seperti sepatu flat saja. Sepatu ini berwarna putih tidak memiliki tali dan sangat tipis. Mungkin aku bisa menerbangkan sepatu ini layaknya permainan pesawat-pesawatan yang terbuat dari kertas.

Aku menukarkan sepatu sekolah dengan sepatu biasa. "Tahu begitu, aku memakai sandal jepit saja saat berangkat." Aku membuka mulut. "Ha..."

"Bau!!!" ucap seseorang yang berada di sampingku sambil menutup hidungnya.

"Aa... maaf."

Ini merupakan peraturan sekolah, yang mengharuskan mengganti sepatu ketika masuk ke gedung maupun keluar dari wilayah sekolah ini. Mungkin aku akan terbiasa soal mengganti sepatu tiap masuk sekolah.

Ketika aku berjalan menuju pagar, aku melihat seorang gadis yang aku kenal berumur 14 tahun sedang menyenderkan badannya ke dinding.

Dia melihatku dan seketika langsung berlari menuju ke arahku. "Aniki..."

Dia adalah adik perempuanku bernama Dinda Samsudin. Dialah yang tercantik di keluargaku sesudah ibuku meninggal. Memiliki wajah yang cantik sepertiku, eh... aku cowok. Memiliki mata yang tajam berwarna hitam. Rambut panjang tidak berponi berwarna hitam pekat sepertiku. Memiliki tubuh yang seksi dengan tinggi badan 155 cm. Aku yakin dia cukup disukai cowok-cowok karena kecantikannya dan, karena dia adikku.

"Sudah berapa kali aku bilang." Aku mengepalkan tanganku. "Jangan panggil aku Aniki! Panggil aku Onii-chan saja!"

"Baiklah, Aniki."

Dia bodoh! Padahal jika dia memanggilku Onii-chan begitu imut sekali. Aku melihat beberapa anime memanggil kakak laki-laki dengan Onii-chan. Tapi mengapa hanya dia saja yang memanggilku dengan Aniki. Hey, memangnya aku anggota Yakuza apa!

"Hey lihat! Gadis itu cantik sekali, ya."

"Oh iya. Cantik sekali dia."

Entah kenapa mereka membicarakan adikku.

"Apa orang itu kakaknya?"

"Aku yakin bukan deh."

"Jangan bilang... dia pacarnya."

Tidak, dia adikku loh.

"Ayo kita pulang!" ucapku.

Kami berdua pulang bersama namun aku merasa seperti sedang berjalan bersama dengan tuan Putri. Orang-orang pada melihat kami berjalan, ini merepotkan sekali.

"Untuk apa kau menjemputku? Mengapa kau tidak pulang duluan saja?!" tanyaku.

"Tidak mau! Aku yakin, Aniki akan tersesat nanti!" jawab Dinda.

"Hey, berhentilah memanggilku Aniki!"

Dinda melihatku. "Bagaimana sekolahmu, Aniki?"

Aku melihat ke arahnya. "Ah... Cukup menyenangkan, di sana banyak orang yang lucu. Kamu mau tahu enggak?"

"Apa?"

"Tidak ada yang mengajakku foto. Ini aneh sekali, padahal aku bule, kan."

Dinda menahan tawa di mulutnya, namun akhirnya tawa itu dilepaskannya. "Hahahahaha... Kamu lucu sekali, Aniki. Itu hanya terjadi di Indonesia saja. Di sini mereka tidak memandang bule, karena memang seperti itu hidup mereka. Walaupun mereka meminta foto, paling itu minta sama selebritas saja, atau penulis dan mangaka terkenal. Jangan bilang..." Dinda menutup mulutnya dengan tangan. "Kamu mendekati mereka untuk minta foto denganmu, Aniki?"

Wajahku memerah seketika karena malu. "Umm... Mana mungkin, lah!"

Dinda mendekati wajahnya ke arahku. "He... Bohong!"

"A-Aku... tidak bohong..." Aku memalingkan mukaku karena malu.

Dinda tiba-tiba berjalan mendahuluiku dengan kedua tangan menyilang ke belakang pinggulnya. "Ya sudah... itu tidak apa-apa. Tapi..." Dinda menoleh ke belakang melihatku. "Aku sangat senang melihat Onii-chan seperti ini sekarang." Dinda tersenyum manis kepadaku.

Angin bertiup kencang membuat rambutku berkibar. Senyuman Dinda membuatku terdiam kaku karenanya, apa mungkin aku memiliki penyakit pedofil? Aku ingin menikahi adikku sendiri kalau tingkahnya seperti ini. Ini gila... Aku... aku... aku menyayangi dia sebagai adik.

Dinda berjalan begitu cepat. "Ayo kita kembali, Aniki!"

"Hey! Ke mana kata 'Onii-chan' tadi!"

...----------...

"Dinda, coba ucapkan 'Onii-chan' lagi!"

"Tidak mau!"

"Kamu jadi imut, tahu. Coba ucapkan!"

"Tidak!!! Aniki, bodoh!"

"Dinda, jahat..." Bagas pergi meninggalkan Dinda.

Dinda melihat ke arah kalian. "Aniki, bodoh. Jangan lupa di vote untuk mendukung Aniki, ya!"

...----------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!