NovelToon NovelToon

Cinta Mulia

Saat Presentasi

"Silakan, Mulia. Kamu bisa mulai sekarang," ujar Bapak Wibowo, Direktur Pemasaran Menggara Group, sembari meletakkan bolpoin di atas map presentasi.

Jantung Mulia Anggraeni berdegup kencang. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Ruangan rapat di lantai 12 ini terasa dingin. Mulia memandangi layar proyektor. Matanya tertuju pada sebuah foto slide pertama, foto dirinya ketika ia masih menjadi mahasiswi baru di universitas.

"Selamat pagi, Bapak Wibowo dan rekan-rekan. Pagi ini, saya akan mempresentasikan hasil analisis dan rekomendasi untuk peningkatan efektivitas promosi produk baru kita, Seruni Coffee Blend."

Mulia memulai presentasinya dengan suara yang sedikit bergetar. Mulutnya terasa kering. Ia menjeda sebentar, meminum air putih di gelasnya, lalu melanjutkan.

"Dari data yang kami kumpulkan, 60% pelanggan merasa informasi yang mereka terima tentang Seruni Coffee Blend masih kurang. Lalu, 75% dari mereka belum yakin bahwa Seruni Coffee Blend mampu memberikan pengalaman minum kopi yang baru. Terakhir, 90% pelanggan menanyakan tentang asal biji kopi yang kami gunakan."

Bapak Wibowo mengangguk-angguk. Ia tampak serius mendengarkan. Tatapan matanya yang tajam seakan menembus Mulia.

"Untuk mengatasi masalah ini, kami mengusulkan beberapa strategi. Pertama, kita perlu meningkatkan promosi melalui media sosial. Kita bisa membuat video tutorial tentang cara menyeduh Seruni Coffee Blend, atau membuat kontes foto dengan hadiah menarik."

"Kedua, kita bisa mengadakan acara coffee tasting di beberapa kafe atau mall. Ini akan memberikan kesempatan bagi pelanggan untuk mencoba langsung Seruni Coffee Blend dan merasakan sendiri perbedaannya."

"Dan terakhir, kita bisa berkolaborasi dengan coffee influencer atau barista ternama. Mereka bisa membantu kita menyebarkan informasi tentang Seruni Coffee Blend dan juga memberikan ulasan yang objektif."

Mulia mengakhiri presentasinya dengan senyum tipis. Ia menantikan tanggapan dari Bapak Wibowo.

"Terima kasih, Mulia. Presentasi yang bagus," puji Bapak Wibowo. "Namun, saya rasa ide-ide kamu masih terlalu umum. Apa yang bisa kamu tawarkan agar promosi kita lebih unik dan berbeda dari kompetitor?"

Mulia terdiam. Pertanyaan itu membuatnya bingung. Ia tahu bahwa Bapak Wibowo tidak ingin ide-ide yang biasa saja. Ia harus bisa memberikan sesuatu yang baru dan segar.

"Saya rasa, kita bisa membuat podcast tentang kopi," jawab Mulia, mencoba memberikan ide baru. "Di podcast itu, kita bisa membahas tentang sejarah kopi, cara menyeduh kopi yang benar, atau bahkan mengundang para barista untuk berbagi pengalaman mereka."

Bapak Wibowo tersenyum. "Ide yang bagus, Mulia. Saya suka itu. Tapi, apa lagi?"

"Saya juga berpikir, kita bisa membuat sebuah 'Seruni Coffee Journey'," Mulia menambahkan. "Sebuah program reality show mini yang merekam perjalanan tim kami mencari biji kopi terbaik di Indonesia. Kita bisa menyoroti petani lokal, proses panen, hingga cara biji kopi itu sampai di pabrik kita. Ini akan membangun cerita di balik produk kita dan menciptakan ikatan emosional dengan konsumen."

Wajah Bapak Wibowo terlihat berbinar. "Itu ide yang brilian, Mulia! Sangat orisinal dan realistis."

Hati Mulia melompat kegirangan. Ia berhasil. Ide-ide gilanya diterima.

"Oke. Saya ingin kamu segera membuat proposal rinci untuk 'Seruni Coffee Journey'," perintah Bapak Wibowo. "Saya mau lihat detailnya, termasuk estimasi biaya, jadwal produksi, dan target influencer yang akan kita ajak kerja sama. Saya yakin ini akan menjadi terobosan besar untuk Menggara Group."

Mulia mengangguk penuh semangat. "Baik, Bapak. Saya akan siapkan secepatnya."

****

Seusai rapat, Mulia berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah ringan. Ia merasa seperti baru saja memenangkan lotre. Ia tidak menyangka ide-ide yang ia susun semalam suntuk bisa diterima dengan baik.

Di koridor, ia berpapasan dengan Guntur, seniornya di tim pemasaran.

"Bagaimana, Lia? Diterima tidak ide kamu?" tanya Guntur.

"Diterima, Mas Guntur!" seru Mulia, tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Bapak Wibowo suka sekali ide 'Seruni Coffee Journey'."

"Wah, hebat! Selamat, ya. Kerja kerasmu terbayar. Awalnya, saya kira Bapak Wibowo akan menolak karena ide itu terlalu 'keluar dari pakem'."

"Saya juga sempat pesimis, Mas. Tapi, saya pikir, kalau tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu hasilnya, kan?"

Mulia kembali ke mejanya, merasa begitu termotivasi. Ia membuka laptopnya dan mulai mengetik. Mulia tahu, perjalanan masih panjang. Ide ini baru permulaan. Ia harus bisa membuktikan bahwa ide 'Seruni Coffee Journey' benar-benar bisa membawa kesuksesan besar bagi Menggara Group.

****

Di saat Mulia Anggraeni tengah asyik menekan tombol-tombol keyboard, membuat draf proposal "Seruni Coffee Journey", bayangan seseorang tiba-tiba menutupi monitornya. Ia mendongak dan matanya membulat sempurna. Itu Satria Wira Sakti, Wakil Direktur Utama Menggara Group. Pria yang sudah mencuri hatinya sejak lama.

"Sibuk sekali, Mulia?" sapa Satria dengan senyum tipis di bibirnya.

Jantung Mulia berdegup lebih kencang. Rasanya seperti ada genderang yang ditabuh di dalam dadanya. Ia segera membenarkan duduknya, mencoba bersikap santai, meskipun di dalam hatinya ia sudah seperti gadis remaja yang baru pertama kali bertemu cinta pertamanya.

"Eh, Pak Satria," jawab Mulia, suaranya sedikit gemetar. "Ini... sedang menyusun proposal yang tadi Bapak Wibowo minta."

Satria berdiri di samping meja Mulia, melipat kedua tangannya di dada. Matanya menelusuri layar monitor Mulia, membaca beberapa kata yang terpampang di sana. "Oh, 'Seruni Coffee Journey'," ucap Satria. "Aku dengar idemu brilian. Bapak Wibowo sampai memuji di grup direksi."

Pujian itu membuat pipi Mulia merona. Ia menunduk, pura-pura fokus pada layar, padahal pikirannya melayang ke mana-mana. "Ah, biasa saja, Pak. Saya hanya mencoba memberikan yang terbaik."

"Tidak. Itu luar biasa," kata Satria. "Ide-ide baru seperti ini yang kita butuhkan untuk membawa Menggara Group ke level selanjutnya."

Mulia memberanikan diri menatap Satria. Ia mendapati Satria tengah tersenyum, senyum tulus yang membuat Mulia merasa dunia berhenti berputar. Mulia tahu, di antara mereka ada sejarah. Mereka sudah saling kenal sejak SMA, bahkan duduk di meja yang sama. Satria adalah teman Mulia yang paling dekat. Mulia sudah menyukai Satria sejak lama, tapi ia tidak pernah berani mengungkapkannya. Ia takut, jika ia mengungkapkannya, persahabatan mereka akan hancur. Ia takut, jika Satria tidak memiliki perasaan yang sama, ia akan kehilangan Satria selamanya.

"Pak Satria... ada apa?" tanya Mulia, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Tidak ada," jawab Satria, "aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja setelah presentasi tadi. Kamu terlihat tegang sekali."

"Aku memang tegang," Mulia mengakui, "tapi, sekarang sudah tidak."

"Syukurlah," Satria tersenyum. "Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk menghubungiku. Aku selalu ada untukmu."

Kata-kata itu membuat hati Mulia menghangat. Ia tahu Satria tidak pernah ingkar janji. Dulu, ketika Mulia menghadapi kesulitan saat ujian nasional, Satria selalu membantunya belajar. Saat Mulia patah hati karena pacar pertamanya, Satria selalu ada di sana untuk menenangkannya.

"Terima kasih, Mas Satria," ucap Mulia. Ia ingin sekali mengatakan lebih, tapi lidahnya terasa kelu. Ia ingin mengatakan 'Aku suka kamu', tapi kata-kata itu tidak pernah bisa keluar dari mulutnya.

Satria hanya tersenyum, lalu menepuk pelan pundak Mulia. "Aku harus kembali ke ruanganku. Semangat, Mulia!"

Tamparan Tak Terduga

Lonceng kecil berbunyi dari ponsel Mulia. Nomor Pak Wibowo, direktur pemasaran, tertera di layarnya. Mulia menelan ludah. Ada apa lagi? Pikirnya. Ia baru saja selesai dari rapat dengannya pagi tadi.

"Ya, Bapak," jawab Mulia saat telepon terhubung.

"Mulia, bisa kamu ke ruangan saya sekarang?" suara Pak Wibowo terdengar berat dan tegas. "Ada beberapa hal yang perlu kita bahas tentang proposalmu."

Mulia mengangguk, meskipun tahu Pak Wibowo tidak bisa melihatnya. "Baik, Bapak. Saya akan ke sana."

Telepon terputus. Mulia merasakan firasat tidak enak. Ia menoleh ke arah Satria, yang kebetulan sedang lewat di depan mejanya. Satria tersenyum dan mengacungkan jempol, seolah memberikan dukungan. Mulia membalas senyumnya, lalu membereskan mejanya dan berjalan ke arah ruangan Pak Wibowo.

Ketukan Mulia pada pintu kayu berwarna cokelat tua terdengar nyaring. "Masuk!" suara Pak Wibowo dari dalam. Mulia membuka pintu perlahan.

Ruangan Pak Wibowo luas dan elegan. Lukisan-lukisan abstrak mahal menghiasi dinding, dan rak buku berisi koleksi buku-buku tebal berdiri kokoh di sudut ruangan. Aroma kopi Arabika tercium kuat, seakan-akan merangkul seluruh ruangan.

Pak Wibowo duduk di kursi kerjanya. Pria paruh baya itu mengenakan kemeja batik yang rapi. Senyumnya yang biasa terlihat ramah, kini terasa sedikit aneh bagi Mulia.

"Duduklah, Mulia," kata Pak Wibowo, menunjuk sofa di seberang mejanya. Mulia duduk. Ia meletakkan binder di pangkuannya. Pak Wibowo memindahkan kursi putarnya agar lebih dekat dengan Mulia. "Jadi, proposalmu, 'Seruni Coffee Journey'… ini ide yang sangat bagus. Aku sudah berdiskusi dengan Satria dan dia sangat antusias."

Mulia tersenyum lega. "Syukurlah, Bapak."

"Ya. Tapi, aku punya satu masalah," kata Pak Wibowo, sambil menyilangkan kakinya. "Masalahnya bukan dengan proposalnya. Tapi... dengan kamu."

Jantung Mulia berdegup kencang. Ia menatap Pak Wibowo dengan bingung. "Maksud Bapak?"

Pak Wibowo mencondongkan tubuhnya ke arah Mulia. "Aku sudah lama mengamatimu, Mulia. Sejak pertama kali kamu bekerja di sini. Kamu wanita yang cerdas dan berbakat. Dan... kamu juga sangat cantik."

****

Mulia terkejut. Ia tidak menyangka Pak Wibowo akan mengatakan hal seperti ini. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi tangannya mulai berkeringat. "Terima kasih atas pujiannya, Bapak."

"Tidak perlu sungkan," kata Pak Wibowo, ia mengambil tangan Mulia dan menggenggamnya. Mulia langsung menarik tangannya, tapi Pak Wibowo menahannya. "Mulia, aku tidak akan berbohong padamu. Aku menyukaimu."

Mulia terdiam, terperangkap. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya terasa seperti terpaku di lantai.

"Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu," lanjut Pak Wibowo, "tapi aku serius. Aku bisa memberimu apa pun yang kamu inginkan. Jabatan yang lebih tinggi, gaji yang lebih besar... atau apa pun. Aku bisa menjadikanmu ratu di perusahaan ini."

Mulia menggelengkan kepala. "Maaf, Bapak... saya tidak bisa."

"Kenapa tidak?" tanya Pak Wibowo. "Aku tahu kamu wanita yang ambisius. Ini kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Banyak wanita di luar sana yang menginginkan posisi seperti ini."

Mulia memberanikan diri menatap mata Pak Wibowo. "Bapak, saya datang ke sini untuk bekerja. Saya ingin sukses karena kemampuan saya, bukan karena... hal lain."

Pak Wibowo tersenyum. "Semua orang butuh jalan pintas, Mulia. Terutama di dunia bisnis. Dan aku bisa menjadi jalan pintasmu."

"Saya menghargai tawaran Bapak," kata Mulia, suaranya kini lebih tegas, "tapi, saya tidak tertarik. Saya harap Bapak bisa memahami ini."

Pak Wibowo menghela napas, melepaskan tangan Mulia, dan kembali ke mejanya. Wajahnya yang semula ramah kini berubah dingin. "Baiklah, Mulia. Pikirkan baik-baik. Aku akan memberimu waktu. Tapi, ingat, setiap kesempatan punya batas waktu. Jika kamu menolak, jangan salahkan aku jika proposalmu tidak berjalan mulus."

Kata-kata itu bagaikan tamparan keras bagi Mulia. Ia merasa seperti baru saja ditusuk dari belakang. Mulia berdiri dari sofa, ia merasa ruangan itu kini terasa sangat pengap. "Bapak, izinkan saya keluar."

Tanpa menunggu jawaban Pak Wibowo, Mulia berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruangan. Ia menutup pintu di belakangnya dan bersandar, menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya gemetar. Ia tidak menyangka, di balik keramahan Pak Wibowo, tersembunyi niat yang begitu kotor.

Mulia merasa hancur. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia melaporkan ini? Atau ia harus diam saja demi kariernya? Mulia melihat ke arah meja Satria, tapi Satria tidak ada. Mulia merasa sendiri. Di tengah kebimbangan ini, ia menyadari, jalan kariernya di Menggara Group tidak akan pernah sama lagi.

****

Mentari pagi belum sepenuhnya menyinari Jakarta, tapi kekisruhan sudah terasa di lobi Menggara Group. Mulia Anggraeni baru saja melangkahkan kakinya dari balik pintu kaca ketika ia merasakan ada yang tidak beres. Mata-mata, puluhan pasang mata, melirik ke arahnya. Bisik-bisik seperti lebah yang berkerumun, terdengar samar-samar. Mereka menatapnya dengan tatapan penuh penilaian, ada yang sinis, ada yang kasihan, dan ada juga yang menatap dengan penuh rasa ingin tahu.

Mulia menunduk, mencoba menghindari tatapan-tatapan itu. Ia mempercepat langkahnya, ingin segera sampai di lift dan kabur dari keramaian ini. Tapi, sebuah suara melengking menghentikan langkahnya.

"Mulia Anggraeni!"

Mulia tertegun. Suara itu begitu nyaring, membuat semua bisik-bisik terhenti dan mata-mata kembali tertuju padanya. Mulia berbalik, mencari sumber suara. Di sana, di tengah lobi yang ramai, berdiri seorang wanita dengan pakaian yang sangat mahal, tas tangan Hermes yang tergantung di lengan, dan kacamata hitam berbingkai besar. Ia adalah Bu Hanim, istri dari Pak Wibowo, direktur pemasaran.

"Kamu, wanita rendahan!" teriak Bu Hanim. "Berani-beraninya kamu menggoda suamiku!"

Mulia terkejut. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa berdiri mematung, sementara semua karyawan di lobi kini menjadi penonton drama pagi ini.

"Saya tidak mengerti, Ibu," kata Mulia, suaranya bergetar.

"Jangan pura-pura tidak tahu!" bentak Bu Hanim. Ia melangkah maju dengan cepat, mendekati Mulia. Tiba-tiba, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mulia. Suara tamparan itu begitu keras, membuat Mulia merasakan pusing dan pipinya memanas.

****

Mulia memegang pipinya. Ia tidak bisa percaya apa yang baru saja terjadi. "Saya tidak pernah menggoda suami Ibu," ucapnya, mencoba membela diri.

"Pembohong!" teriak Bu Hanim lagi. "Suamiku sendiri yang bilang kalau kamu merayunya! Kamu menginginkan jabatan dengan merayu suamiku! Itu yang kamu lakukan, bukan?!"

Air mata Mulia mulai menetes. "Itu tidak benar, Bu. Semalam Pak Wibowo yang... "

"Jangan sebut-sebut nama suamiku, wanita murahan!" potong Bu Hanim. "Kamu pikir dengan menamparmu di depan banyak orang, nama saya akan jadi buruk? Hah? Justru dengan ini semua orang akan tahu seberapa buruknya kamu, wanita penggoda!"

Bu Hanim mendekat ke wajah Mulia, pandangannya penuh kemarahan dan kebencian. "Dengar, wanita rendahan, jangan pernah lagi kamu dekati suamiku. Aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkanmu. Aku bisa pastikan kamu tidak akan bisa bekerja di mana pun lagi."

Puncak Kebencian

Mulia berdiri diam, air matanya kini mengalir deras. Ia merasa begitu hancur. Bukan hanya karena tamparan itu, tetapi juga karena fitnah dan tuduhan yang dilemparkan kepadanya. Ia merasa tidak berdaya. Semua orang di lobi melihatnya, menilainya, dan menyudutkannya.

Di tengah kekacauan itu, sebuah suara memecah ketegangan.

"Berhenti, Bu Hanim!"

Mulia mendongak. Di sana, berdiri Satria, wakil direktur utama, dengan wajah yang tegang. Ia berjalan cepat mendekati mereka.

"Apa-apaan ini?" tanya Satria. Ia menoleh ke arah Mulia, matanya penuh kekhawatiran saat melihat pipi Mulia yang memerah dan air matanya.

Bu Hanim menatap Satria dengan mata membulat. "Pak Satria? Kamu membelanya? Kamu juga tergoda oleh wanita ini?"

"Jangan bicara sembarangan!" jawab Satria. "Saya tahu Mulia. Dia wanita yang baik-baik. Dia tidak mungkin melakukan apa yang Ibu tuduhkan."

"Hah! Laki-laki selalu sama," dengus Bu Hanim. "Kalian semua tidak akan pernah bisa melihat mana yang berlian dan mana yang kotoran!"

Satria tidak mengacuhkan perkataan Bu Hanim. Ia menoleh ke arah Mulia dan mengulurkan tangannya. "Ayo, Mulia. Kita ke ruanganku."

Mulia ragu-ragu. Tapi, ketika ia melihat tatapan meyakinkan di mata Satria, ia akhirnya mengambil tangan Satria. Satria menggenggam tangannya erat, seolah ingin memberitahu Mulia bahwa ia ada di sisinya.

Satria membawa Mulia pergi dari lobi yang penuh dengan bisik-bisik dan tatapan-tatapan menghakimi. Mulia merasa malu, sedih, dan marah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi, ia tahu satu hal, Satria adalah satu-satunya orang yang membelanya, satu-satunya orang yang percaya padanya di tengah kekacauan ini. Dan itu sudah cukup baginya untuk saat ini.

****

Di ruangan Satria, Mulia merasa sedikit lebih baik. Satria menuangkan segelas air hangat dan memberikannya pada Mulia. "Minum ini dulu. Tenangkan dirimu," katanya lembut. Mulia menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia menatap Satria yang berdiri di sampingnya. Pria itu tampak sangat khawatir.

"Pak Satria... kenapa Ibu Hanim bisa tahu?" tanya Mulia, suaranya parau. "Kenapa dia bisa menuduhku seperti itu?"

Satria menghela napas. "Pasti ada yang melaporkan. Bisa jadi itu Pak Wibowo sendiri, atau mungkin ada orang lain yang melihatmu di ruangannya semalam." Satria menatap Mulia lekat. "Kamu tidak apa-apa?"

Mulia menggeleng. Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong, hanya rasa malu yang mendominasi. Setelah beberapa menit, Mulia merasa sedikit lebih baik. Ia mengucapkan terima kasih pada Satria dan pamit kembali ke mejanya.

"Hati-hati, Lia," pesan Satria. "Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku."

Mulia mengangguk. Ia berjalan keluar dari ruangan Satria, kembali ke koridor. Atmosfer di sana terasa berbeda. Ada yang lebih dingin.

Ketika Mulia berjalan menuju mejanya, bisik-bisik kembali terdengar.

"Itu dia," bisik seorang karyawan wanita. "Lihat, pipinya masih merah."

"Ya ampun, berani sekali dia. Sampai istri bos turun tangan begitu," timpal karyawan lain.

"Aku dengar Pak Wibowo juga kena amuk istrinya," sahut suara lain. "Kasihan, ya. Punya bawahan seperti dia."

Mulia mengepalkan tangan. Hatinya sakit. Ia ingin berteriak dan mengatakan yang sebenarnya, tapi ia tahu itu tidak akan ada gunanya. Di mata mereka, ia sudah bersalah.

Saat ia tiba di mejanya, Riana, teman dekatnya, langsung menyambutnya. "Lia, kamu tidak apa-apa? Pipi kamu..."

Mulia menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, Riana."

"Tidak. Kamu tidak baik-baik saja," kata Riana, suaranya pelan dan penuh simpati. "Aku melihat semuanya. Apa yang Bu Hanim katakan itu benar? Apa kamu..."

"Tidak, Riana!" potong Mulia. "Tidak benar! Aku tidak pernah menggoda Pak Wibowo. Dia yang..." Mulia menghentikan kalimatnya. Ia tidak bisa melanjutkan.

"Lalu, kenapa Bu Hanim sampai menamparmu di depan umum?" tanya Riana.

Mulia menunduk. "Aku tidak tahu."

Riana menghela napas. "Semua orang membicarakanmu, Lia. Mereka bilang kamu wanita penggoda. Ada juga yang bilang, kamu mengincar Pak Satria."

Mulia mengangkat kepalanya. "Kenapa Pak Satria?"

"Karena dia membela kamu tadi," jawab Riana. "Mereka bilang, kamu itu punya dua target. Pak Wibowo dan Pak Satria. Kamu ingin menguasai perusahaan."

Mulia tertegun. Fitnah itu sudah merajalela dan tidak terkendali. Mulia merasa lelah. Lelah dengan bisik-bisik, lelah dengan tatapan sinis, dan lelah dengan semua tuduhan yang tidak berdasar ini.

"Aku mau ke toilet sebentar," kata Mulia, bangkit dari kursinya. Ia harus menenangkan diri. Ia tidak bisa terus seperti ini.

Saat berjalan ke toilet, seorang karyawan laki-laki melintas di depannya dan berbisik pelan, "Wanita murahan."

Mulia menahan napas. Ia tidak berani menoleh. Ia hanya bisa berjalan lebih cepat, ingin segera sampai di tempat di mana ia bisa sendirian, di mana ia bisa menangis tanpa ada yang melihat.

****

Di dalam toilet, Mulia masuk ke salah satu bilik. Ia menguncinya dan bersandar pada pintu. Air matanya kembali tumpah. Ia menangis sejadi-jadinya. Di tengah isak tangisnya, Mulia merasa ada yang mengetuk pintu bilik.

"Mulia? Kamu di dalam?" itu suara Satria.

Mulia tidak menjawab. Ia hanya bisa menangis lebih kencang.

"Lia, aku tahu kamu di dalam," kata Satria. "Buka pintunya. Aku ingin bicara."

Mulia membuka pintu. Wajahnya yang basah oleh air mata menatap Satria. Satria menatapnya dengan pandangan iba.

"Kenapa, Lia?" tanya Satria.

"Aku tidak kuat, Pak Satria," Mulia berbisik. "Aku tidak bisa lagi. Aku ingin resign."

Satria menggelengkan kepala. "Jangan. Jangan menyerah. Kita akan selesaikan ini. Aku akan bicara dengan Bapak Wibowo."

"Tidak, Pak!" Mulia menggelengkan kepala. "Jangan! Aku takut, Mas. Aku takut dia akan semakin marah. Aku tidak mau ada masalah lagi."

"Dengarkan aku, Lia," Satria berkata, suaranya tegas. "Kamu tidak salah. Kamu korban di sini. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkanmu."

****

Mulia berjalan masuk ke ruangan Pak Wibowo dengan Satria di sisinya. Langkahnya terasa berat, tapi kehadiran Satria memberinya sedikit keberanian. Mereka menemukan Pak Wibowo dan Bu Hanim sudah menunggu di dalam. Suasana tegang langsung menyambut mereka.

"Pak Satria? Mengapa kamu membawa wanita ini ke sini?" suara Bu Hanim terdengar dingin. Tatapannya sinis, menusuk Mulia hingga ke tulang.

"Bu, saya membawa Mulia karena saya ingin meluruskan semuanya," jawab Satria tenang. "Ada kesalahpahaman di sini. Mulia tidak bersalah."

Pak Wibowo yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. Wajahnya datar, tidak menunjukkan emosi. "Hanim, biarkan Pak Satria bicara."

"Bicara apa lagi, Mas? Semuanya sudah jelas! Wanita ini yang menggoda kamu!" Bu Hanim melotot ke arah Mulia.

"Itu tidak benar, Bu," Mulia memberanikan diri. "Pak Wibowo yang meminta saya datang ke sini semalam untuk membahas pekerjaan. Tapi, di sana beliau..." Mulia tidak bisa melanjutkan, tenggorokannya tercekat.

Pak Wibowo tersenyum sinis. "Hanim, kamu dengar kan? Dia memutarbalikkan fakta." Pak Wibowo menatap Mulia dengan mata penuh peringatan. "Mulia, kenapa kamu berbohong? Kamu datang ke ruanganku dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu yang pribadi. Kamu bahkan bilang kamu mengagumiku."

Mulia terkejut. Mulutnya menganga. Fitnah ini jauh lebih kejam dari yang ia bayangkan. Satria menatapnya. Mulia bisa melihat Satria bingung, tapi Mulia menggeleng, berharap Satria tetap percaya padanya.

"Itu tidak benar, Pak!" Mulia berseru. "Saya datang ke sini karena Bapak yang memanggil saya. Bapak yang menggenggam tangan saya dan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya!"

Bu Hanim tertawa sinis. "Dengar, Mas! Wanita ini berani sekali! Beraninya dia memfitnah kamu!" Bu Hanim maju selangkah dan menunjuk Mulia. "Kamu pikir dengan menuduh suamiku, kamu akan aman? Kamu akan aku pastikan tidak akan pernah bisa bekerja di mana pun lagi, wanita murahan!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!