NovelToon NovelToon

Harem Sang Putri

1. Tirai Merah, Tubuh yang Terbakar

Kematian.

Itu seharusnya akhir dari segalanya.

Chunhua mengingat jelas saat napas terakhirnya direbut dengan kejam.

Pisau berlapis api ungu Sang Pemburu menembus dadanya, cahaya hitam ungu membakar daging yang telah membusuk, tulang-tulangnya terbelah.

Ia bisa mendengar raungannya sendiri—bukan suara manusia, melainkan lolongan seorang mayat hidup serak dan kering, seolah tidak pernah berbicara.

Sangat cepat, tubuhnya hancur, tercerai-berai, lenyap tanpa sisa.

Akan tetapi, sekarang…

Mengapa matanya masih terbuka?

Meski yang ia lihat hanya satu warna, Merah yang buram.

Tidak pekat seperti darah, melainkan lembut, berlapis, bergoyang perlahan seolah menari bersama napas dunia.

Ia menatap dalam bingung.

Apakah ini neraka? Atau ilusi terakhir sebelum lenyap?

Butuh waktu baginya untuk menyadari bahwa merah itu bukan darah, bukan nyala api, melainkan tirai sutra tipis yang menggantung di sekeliling ranjang. Tirai itu bergetar pelan, seakan mengikuti irama napas seseorang.

Napas…?

Telinganya menangkap suara lain. Bukan napasnya sendiri, melainkan napas berat, terputus-putus, nyaris tercekik.

Bersamaan dengan itu, terdengar detak jantung cepat, menghantam udara seperti genderang perang.

Chunhua mengernyit—ia sudah lama mati, jantungnya telah berhenti sejak ia menjadi zombi dua dekade lalu. Namun, sekarang ia bisa mendengar detak itu, kuat dan mendesak.

Dan ada aroma… samar, menyesakkan.

Seperti wangi dupa mewah dan mawar yang biasa memenuhi rumah tua keluarganya di masa lalu, tetapi bercampur sesuatu yang lebih pekat, lebih primal, sesuatu yang menusuk indera. Aroma itu membuat Chunhua mual sekaligus terseret.

Aroma seperti itu tidak akan muncul setelah akhir dunia, apalagi di medan perang yang penuh mayat membusuk.

Kepalanya mendadak diremas rasa sakit. Nyeri yang begitu hebat, seperti ribuan jarum menusuk ke otaknya. Ia mengerang pelan, tubuhnya menggeliat tak berdaya. Ada sesuatu yang dipaksa masuk ke dalam dirinya, menjejali ruang yang seharusnya kosong.

Lalu, di tengah derita itu, sebuah suara lirih menembus kesadarannya.

“… Yang… Mulia…”

Chunhua menegang. Suara itu asing, namun begitu dekat. Ada nada bingung bercampur antisipasi, seperti seseorang yang menunggu kekasih merangkulnya.

Suara itu, terdengar penuh kerinduan.

Ia berusaha menoleh, tetapi pandangannya masih buram.

Saat sakit kepala itu mereda dan dia hendak mencerna ingatan yang dijejalkan ke dalam otaknya, tubuhnya mendadak terasa panas. Api merambat dari perut, naik ke dada, lalu mengalir ke seluruh tubuh. Bukan api biasa—ini adalah kobaran yang menelan kesadarannya, membuatnya ingin merobek kulitnya sendiri.

Napas berat itu masih terdengar. Detak jantung cepat semakin keras, seolah menyatu dengan kepalanya yang mulai berdenyut nyeri.

Dengan susah payah, Chunhua menunduk. Mengikuti arah napas berat itu.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Itu adalah seorang pria. Berambut panjang, hitam berkilau meski kusut di bantal. Wajahnya pucat namun rupawan, dahi dipenuhi peluh. Kedua tangannya terikat erat di sisi ranjang, tubuhnya tegang seperti busur yang ditarik penuh. Sedangkan matanya, berkilau penuh pemujaan.

Chunhua tertegun sejenak. Dari sudut pandang ini, dan gesekan ambigu di bawah tubuhnya, sudah pasti posisinya kini duduk di atas tubuh pria itu.

Chunhua membeku.

Ia tidak butuh penglihatan jelas untuk memahami.

Meski ia telah lama menjadi makhluk mati, meski ia telah kehilangan banyak ingatan manusiawinya, Chunhua tahu gerakan itu. Ia tahu bentuk persatuan yang begitu intim ini.

Tubuh yang kini ia tempati sedang bersenggama dengan pria itu.

Sial! Adakah yang lebih canggung dari ini?

Mengingat kamatiannya, ingatan bukan miliknya yang dijejalkan dan situasi saat ini. Tampaknya dia telah mengalami peristiwa legendaris yang biasa tertulis dalam novel.

Transmigrasi.

Akan tetapi, adakah yang mengawali petualangan dunia lain seaneh yang dia alami?

Mungkin tidak!

Jantungnya—atau mungkin jantung tubuh barunya—berdebar kencang. Panik, ngeri, dan… anehnya, ada denyut lain yang tak bisa ia kendalikan.

"Brengsek!” umpatnya, lirih.

Ia ingin berhenti. Ingin melompat turun, menjauh. Namun begitu ia mencoba mundur, rasa panas dalam dirinya meledak lebih hebat. Dadanya seolah diremas, jantungnya terhimpit, membuatnya nyaris pingsan. Tubuhnya memberontak, menolak dengan keras kepala.

Sial! Apakah tubuhnya ini diracun?

Benar-benar tercela! Tidak hanya dia datang dalam posisi absurd, tetapi juga sekarat?

Sungguh! Rasanya di manapun tidak terasa nyaman, kecuali kulitnya yang bersentuhan dengan kulit pria itu.

Dingin dan sejuk.

Kontras dengan api yang membakar tubuhnya.

Sentuhan itu seperti embun musim dingin di tengah padang pasir. Sejuk, menenangkan, membuatnya bisa bernapas meski hanya sebentar.

Chunhua meraih lengan pria itu dan sentuhan yang menggetarkan jiwa segera menghantam.

"Engh...." Tanpa dia sadari erangan meluncur dari bibirnya.

Chunhua tahu situasi ini tidak benar, tetapi meski otaknya berusaha menolak, naluri dan tubuhnya mendesak.

Ia tersentak saat mendengar suara lirih itu lagi.

“… Yang Mulia…”

Kali ini lebih jelas, meski masih terputus-putus. Ada kebingungan dalam suaranya, tetapi juga pengharapan. Seakan ia menunggu Chunhua untuk melanjutkan.

Chunhua terpaku. Yang Mulia? Mungkinkah tubuh yang di tempatinya saat ini adalah keturunan bangsawan di era tertentu?

Atau apakah ini kebiasaan di kamar tidur diantara pasangan? Jenis yang suka mengikat pasangannya dan memanggil dengan gelar kehormatan, seperti budak yang memanggil tuannya?

Mungkinkah pria ini kekasih tubuh barunya? Mengingat meski diikat, dia masih melihatnya dengan penyerahan dan kepatuhan.

Apapun jawabannya, yang pasti adalah pemilik asli tubuh ini adalah wanita perkasa dengan kegemaran khusus.

Gelombang panas kembali menyerang, kali ini jauh lebih kuat. Ia hampir meraung, merasakan seolah ada tangan tak kasatmata yang meremas jantungnya hingga hampir pecah.

Chunhua menggertakkan gigi. Ia tak sempat lagi bertanya-tanya. Apakah ini kebiasaan rahasia pasangan atau apapun? Semuanya tidak penting. Yang penting hanya satu: bertahan hidup, meredakan api yang melahap tubuhnya.

Sebagai zombi, sepanjang hidupnya ia digerakkan naluri. Ia tahu apa artinya tunduk pada insting demi bertahan. Dan sekarang, tubuh ini dan nalurinya menuntut hal yang sama.

Chunhua menunduk, menatap wajah pria itu. Mata pria itu terbuka sedikit, menatapnya dengan campuran antisipasi dan pasrah. Rambut panjangnya menempel pada pipi karena keringat, bibirnya gemetar.

Naluri mengambil alih.

Chunhua bergerak, kaku, seolah tubuhnya hanyalah boneka yang ditarik paksa oleh tali tak kasatmata.

Bibirnya menempel pada leher pria itu, mengecup, lalu menjilatnya, merasakan denyut pelan nadi di bawah kulit tipis. Rasa asin samar memenuhi lidahnya, membuat seluruh tubuhnya bergetar.

Pria itu mendesah tertahan, suaranya parau. “… Yang Mulia…”

Ia masih menjilat perlahan, membiarkan lidahnya mengikuti jalur urat yang berdenyut pelan. Setiap denyut seolah memanggil, menggoda naluri purbanya yang haus akan darah.

Giginya menekan, gigitan yang ia coba perdalam, namun hanya menimbulkan nyeri kecil dan erangan tertahan dari pria itu. Tidak ada semburan hangat yang ia tunggu, hanya rasa besi tipis yang tercecap di lidahnya—terlalu sedikit, terlalu lemah untuk meredam kegelisahan dalam dirinya.

Matanya terpejam rapat, rahangnya menegang, menahan frustrasi. Api yang bergolak dalam tubuhnya mencari jalan keluar, menuntut lebih dari sekadar tetesan. Ia ingin menerkam, ingin melahap, namun tubuh barunya menertawakan kelemahannya. Tanpa taring, tanpa cakar, ia hanyalah manusia yang terbakar hasrat.

Tangannya merayap di sepanjang rahang pria itu, keras dan gemetar. Napasnya panas, turun ke bahu, lalu ke dada yang bergetar tiap kali pria itu menarik napas. Desah demi desah pecah, menambah nyala api yang sudah melahap dirinya.

“Yang Mulia…” Suara pria itu kembali terdengar, lebih rendah, penuh getar, seolah sekaligus memohon dan menantang.

Chunhua tidak menjawab, tampaknya dia telah menemukan cara untuk melampiaskan dirinya.

Bibirnya turun, menelusuri kulit, meninggalkan jejak basah yang membuat pria itu menggeliat dan mengerang tertahan.

Hawa panas semakin menumpuk. Ruangan dipenuhi suara deras napas, erangan, dan derit tempat tidur yang tak henti. Tirai merah bergetar, ikut menari bersama asap dupa yang tebal, melukiskan bayangan dua tubuh yang saling melumat tanpa jeda.

Gerakan Chunhua semula kaku, namun makin lama makin liar, naluri mengambil alih seluruh kesadarannya. Pria yang terikat mengepal erat, tubuhnya melengkung, napasnya terpecah-pecah.

Chunhua menggertakkan giginya, suara lirih lolos dari tenggorokannya. Panas dalam tubuhnya akhirnya menemukan celah keluar, mengalir dalam gelombang yang mengguncang.

Setiap hentakan membuat keduanya tenggelam semakin dalam, seolah dunia di luar tirai merah lenyap ditelan malam.

Pria itu berteriak tertahan, lalu tubuhnya jatuh terkulai, tetapi tetap menempel erat pada Chunhua.

Erangan terakhir memecah udara, lalu keheningan berat menggantung, hanya tersisa suara napas kacau mereka yang saling bertabrakan.

Tirai merah bergoyang lembut, menyembunyikan dua tubuh yang kini saling melekat, lelah namun masih terikat oleh sisa panas yang tak sepenuhnya padam.

Chunhua menutup mata, bibirnya bergetar tanpa suara. Api itu lama akhirnya mereda, tetapi api baru menghantam lebih keras.

Chunhua menegakkan tubuh, mengernyit tidak puas. Kemudian, tanpa aba-aba, dia menggigit bahu pria itu. Mengigitnya kuat seolah melampiaskan kemarahannya, sementara bagian bawahnya kembali melahap pria itu.

Erangan dan lenguhan kembali bersahut, bersaing dengan derit tempat tidur. Tirai merah bergoyang lembut, menari di udara bersama asap dupa, meninggalkan dua siluet yang terjerat intim diatas tempat tidur.

Sementara itu, di balik pintu yang tertutup, seorang pelayan wanita berdiri tanpa goyah.

2. Mimpi?

Cahaya matahari terik menusuk mata Chunhua ketika ia perlahan membuka kelopak. Tercium udara kering, bercampur bau debu dan amis samar darah yang sudah lama mengering.

Ia sempat membeku. Apakah tadi semua hanya mimpi?

“Apakah kamu terluka?” Suara lembut memecah kesunyian.

Chunhua menoleh. Seorang pemuda berdiri tak jauh, keringat menetes dari pelipisnya, wajahnya teduh namun gugup.

“Apakah kamu bertemu penyintas lain?” tanyanya lagi.

Chunhua mengerjap, bingung.

Pandangannya kabur sesaat, lalu fokus.

Reruntuhan dinding setengah roboh di belakangnya, puing bata berserakan, cahaya memantul panas di atas logam berkarat. Angin meniupkan tirai debu tipis.

“Aku kembali?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

“Hei, bisa berdiri? Butuh bantuan?” Pemuda itu kembali bertanya dan mengulurkan tangan.

Chunhua menatapnya lama, sebelum akhirnya meraih tangannya. Jemari pemuda itu hangat, kuat, menopangnya untuk duduk.

“Si Yan?” Chunhua ragu.

Mata pemuda itu terbelalak. “Ah! Kamu tahu namaku?” Pipi Si Yan memerah, matanya berbinar. Apakah aku benar-benar terkenal sampai gadis cantik ini tahu namaku?

Chunhua hanya mengangguk pelan, membenarkan.

“Aku tidak pernah melihatmu, kamu bukan dari pangkalan Shu?” tanya Si Yan penasaran.

Chunhua menggeleng. “Kota Mo.”

Si Yan terperanjat. “Kota Mo? Bagaimana kamu bisa selamat dari gelombang zombi?” ujarnya, sebelum buru-buru meralat. “Maksudku—selamat itu bagus! Hanya saja…”

“Aku pergi sebelum gelombang zombi,” jawab Chunhua singkat. Suaranya datar, seakan itu cukup menjelaskan.

“Oh, begitu…” Si Yan tersenyum lega. “Kalau begitu kamu sangat beruntung!” Ia merogoh tas lusuh di bahunya dan mengeluarkan sebatang kecil cokelat. “Kamu di sini untuk persediaan?”

Chunhua menerima cokelat itu. Bungkus kertasnya lecek, agak lengket karena panas. Ia mengupasnya perlahan, lalu mematahkan sekeping. Rasa manis pahit yang seharusnya tidak terasa. Hanya hambar di lidahnya. Namun, bibirnya tetap mengucap lirih, “Terima kasih.”

“Sama-sama,” sahut Si Yan ceria. “Kota Mo sudah hilang… kemana kamu akan pergi? Apakah pangkalan Shu?”

Chunhua mengangguk, menelan potongan terakhir cokelat itu.

“Bagus! Mungkin kamu bisa pergi bersama—”

“Si Yan, dengan siapa kamu bicara?” Suara berat memotong kalimatnya.

Langkah kaki terdengar menghentak di atas puing, logam beradu menimbulkan denting tajam.

Dari balik bangunan setengah roboh, seorang pria berwajah dingin muncul. Pedangnya berlumur darah hitam yang menetes, menebar bau busuk khas zombi.

“Chang Yi!” Si Yan melambaikan tangan lega. “Kamu sudah selesai?”

Chang Yi hanya mengangguk, lalu menoleh. Tatapannya jatuh pada Chunhua. Dingin dan tajam.

“Ini adalah—” Si Yan baru hendak menjelaskan ketika bilah pedang berkilat teracung. Ujungnya kini menempel tepat di leher Chunhua.

Sejenak Chunhua lupa bernapas. Ia bisa mencium darah basi yang menempel di baja itu.

“Chang Yi, apa yang kamu lakukan!” Si Yan buru-buru maju, menekan lengan rekannya, wajahnya panik.

“Siapa kamu?” suara Chang Yi dingin, penuh curiga.

“Chunhua,” jawab Chunhua tenang. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, menantang.

Alis Chang Yi berkerut, semakin tidak senang. “Siapa Chunhua?”

Si Yan memandang bergantian antara senyum penuh tantangan itu dan wajah masam Chang Yi. Seketika ia merasa letih.

Tampaknya, Chang Yi akhirnya bertemu lawan seimbang.

Yang satu suka menggoda, yang lain terlalu mudah tersulut.

“Ini Chunhua, dia penyintas dari Kota Mo!” jelas Si Yan cepat, suaranya nyaris putus asa.

Tatapan Chang Yi mengeras. Bilah pedangnya bergerak lebih dekat, dingin logamnya menyentuh kulit Chunhua.

“Dia keluar kota sebelum gelombang zombi,” tambah Si Yan cepat-cepat, seperti hendak meredakan amarah yang tak pernah mudah padam.

Chang Yi menatap tajam, pandangannya menyapu Chunhua dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Gadis itu terlalu cantik dan bersih untuk seorang penyintas. Hanya kulitnya yang pucat membuatnya terlihat sedikit ganjil, tetapi denyut hidup masih ada.

Seharusnya dia manusia.

“Chang Yi, ayo singkirkan dulu pedangmu,” bujuk Si Yan, “ada darah zombi di pedangmu. Bagaimana jika itu menginfeksi Chunhua?”

Pedang itu masih berkilat di bawah cahaya, meneteskan darah hitam pekat. Bau busuknya menusuk hidung, bercampur debu panas yang beterbangan. Chunhua tetap tersenyum tipis, seolah sama sekali tak peduli.

Akhirnya, Chang Yi menghela napas pendek.

Dengan gerakan berat, ia menurunkan senjatanya. Namun, pandangannya tidak lepas dari wajah Chunhua.

Ia meraih pergelangan tangan gadis itu. Ujung jarinya menyentuh kulit halus, merasakan denyut nadi berirama. Dada Chunhua naik-turun perlahan, tenang seperti manusia biasa.

Chunhua tersenyum puas.

Akan tetapi, sekejap kemudian, dunia di sekelilingnya pecah.

Cahaya matahari memerah. Bau besi semakin pekat. Lantai yang kokoh seolah berubah menjadi tanah becek yang dipenuhi darah. Jeritan samar bergema dari jauh.

Dalam kedipan mata, Chunhua sudah berdiri di tengah medan sura.

Ratusan mayat tergeletak, potongan tubuh berserakan. Udara sesak oleh aroma anyir yang menusuk.

Chunhua terbelalak. Ngeri mencengkeram hatinya.

Ia mengusap bibirnya dengan lengan, meninggalkan noda merah segar. Tangannya bergetar.

Lalu dia menunduk dan darah dingin mengalir di nadinya.

Si Yan tergeletak di kakinya, lehernya koyak, darah masih memancar.

Chunhua tersentak, berdiri dengan napas terengah. Pandangannya memerah, kabur oleh rasa panik.

Tidak mungkin....

Dada Chunhua serasa dihantam, suasana berputar dan mencekik.

Dia membunuhnya.

Dia membunuh Si Yan.

Suara hatinya bergema, menghantam berulang-ulang sampai hampir memecah pikirannya. Kuku-kukunya masih berlumur darah segar.

“Chunhua… Si Yan…” Suara berat menggema dari sisi lain.

Chunhua menoleh dengan mata merah basah.

Chang Yi berdiri di sana, tubuhnya berlumuran darah. Namun, tatapan lelaki itu menusuk lurus ke arahnya, penuh keterkejutan.

Tiba-tiba, sesuatu yang samar, tetapi nyata—menyentuh bahunya.

Chunhua membeku.

3. Rencana

Chunhua terhenyak, napasnya masih memburu. Tangan yang baru saja ia tangkap terasa hangat, nyata.

Medan sura itu lenyap seketika.

Bau amis dan jeritan samar berganti dengan aroma lembut bunga kering, bercampur wangi dupa yang masih mengepul samar.

Matanya menangkap tirai merah menjuntai dari ranjang luas, kain satin yang dingin menempel di kulitnya.

Yang terbaring di bawah tubuhnya bukan Si Yan yang terkoyak, melainkan seorang pria tampan yang dikenalnya—Feng Jun, salah satu selir pria tubuh barunya.

“Yang Mulia…” suara pria itu pelan, penuh hormat.

Chunhua membeku sejenak. Detak jantungnya masih kacau, tetapi pikirannya mulai jernih.

Dia sadar, ini bukan mimpi.

Tangannya terulur, mengusap lembut tepi luka di leher pria itu. Bibirnya berbisik lirih, “Jun’er.”

Feng Jun tersenyum patuh, matanya penuh pengabdian. “Apa yang dibutuhkan Yang Mulia?”

Chunhua menatapnya lama. Jari-jarinya menelusuri rahang tegasnya. Chunhua tidak menjawab, hanya menunduk, membiarkan napas hangatnya menyapu kulit leher pria itu.

“Jun’er…” bisiknya, lembut namun mengandung perintah. “Tetap di sisiku. Jangan menolak.”

Tubuh Feng Jun sempat menegang, lalu perlahan luluh di bawah sorot mata pemiliknya. Ia mengangguk pelan, pasrah.

Senyum tipis melintas di wajah Chunhua.

Tangannya bergerak turun, menelusuri dada bidang yang panas, meninggalkan jejak seolah menandai kepemilikan. Detak jantung pria itu kian cepat, napasnya semakin berat.

Tirai ranjang bergoyang pelan diterpa angin, bayang-bayang merah jatuh ke tubuh mereka. Aroma dupa makin pekat, menutup dunia luar.

Lalu, keheningan kamar pecah.

Suara erangan terputus-putus memenuhi ruang, bercampur napas berat dan desisan gairah.

Chunhua menunduk, bibirnya menempel di leher Feng Jun. Bekas gigitannya merah segar, segera dijilat perlahan, meninggalkan basah yang membuat pria itu menggeliat.

Erangan kecil lolos dari tenggorokannya, tertahan, tetapi jelas.

“Sungguh luar biasa…” bisik Chunhua di telinganya, suaranya rendah, bergulir seperti kabut. “…bahwa aku masih hidup. Dan kamu… kamu ada untuk mengingatkan aku.”

Jemari Chunhua bergerak ke bawah, menuntut kepatuhan dengan setiap sentuhan.

Dia menindih tubuh pria itu, menciumnya dengan kelaparan yang nyaris buas. Lidahnya menuntut, menggali, meninggalkan bekas merah dari leher hingga dada.

Seolah setiap cakaran dan gigitan adalah pembuktian. Dan setiap desah Feng Jun adalah pengingat bahwa ia hidup kembali.

Ketika tubuh mereka bersatu, Chunhua menutup mata rapat-rapat. Ia tidak ingin melihat Si Yan yang mati, tidak ingin mengingat pisau berlapis api ungu milik Chang Yi.

Setiap ciuman, setiap desah adalah cara untuk menghapus bayangan itu.

Yang ia butuhkan hanyalah panas tubuh di pelukannya, suara lirih yang membuktikan satu hal:

Bahwa sekarang dia adalah Murong Chunhua.

Sang Putri Agung dari Daliang.

Ketika gairah mereda, Chunhua berbaring di sisinya, memeluk kehangatan yang masih tersisa di tubuh pria itu.

Kelopak matanya berat. Aroma samar keringat dan darah bercampur, tetapi anehnya justru membuatnya tenang. Perlahan dia tertidur, membiarkan dirinya karam dalam kelelahan.

Entah berapa lama dia terlelap, suara berderit halus Memecah kesunyian. Engsel pintu bergeser pelan, tak berani mengganggu lebih dari seharusnya.

“Yang Mulia, air mandi sudah disiapkan.”

Suara lembut itu mengalun, tenang, penuh ketundukan.

Dia menoleh perlahan. Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda, berusia sekitar dua puluh tahun, mengenakan pakaian pelayan senior berwarna biru tua dengan tepi putih bersih. Rambutnya ditata dalam sanggul sederhana, hanya dihiasi sebatang jepit emas yang berkilau samar diterpa cahaya pagi.

Sinar matahari menembus celah tirai, jatuh di wajahnya, menyoroti garis manis yang berpadu dengan ketegasan.

Chunhua mengenalinya dari ingatan tubuh ini.

Su Yin.

Pelayan pribadi, sekaligus tangan kanan paling loyal milik Putri Fangsu.

“Ya,” jawab Chunhua datar, suaranya dingin tanpa riak emosi.

Ia menyingkap selimut tipis yang Menutupi tubuhnya. Kain satin melorot pelan, memperlihatkan kulit pucat yang berkilau lembut dalam cahaya pagi. Kulit itu tampak halus, rapuh, seolah tak pernah disentuh kerasnya dunia luar.

Kaki itu menginjak karpet bulu binatang, meninggalkan bekas samar yang segera hilang.

Su Yin menunduk dalam-dalam, seolah keindahan itu adalah pemandangan yang tak pantas dipandang langsung.

Chunhua melangkah menuju kamar mandi. Uap tipis sudah melayang keluar dari pintu terbuka. Sambil berjalan, ia berucap pelan, “Panggilkan tabib. Biarkan mereka merawat Feng Jun.”

“Segera, Yang Mulia,” jawab Su Yin tanpa ragu, kemudian memanggil seorang dayang kecil untuk menjalankan pesanan Chunhua.

Kabut memenuhi kamar mandi, menempel di dinding batu yang licin. Air panas beriak di kolam marmer, memantulkan cahaya lilin yang remang.

Chunhua masuk, membiarkan air merendam tubuhnya.

Uap tipis mengepul, memenuhi ruangan dengan aroma samar kelopak bunga yang terapung di permukaan. Panas air menyapu kulitnya, perlahan mengendurkan otot-otot yang masih kaku setelah malam panjang.

Ia menutup mata.

Dalam kabut kehangatan itu, pikirannya semakin jernih. Potongan-potongan ingatan yang bukan miliknya perlahan tersusun rapi.

Dunia ini sebenarnya adalah sebuah novel.

Calon suami sah tubuh ini adalah sang protagonis, sementara dirinya hanya penjahat kecil yang hadir untuk menonjolkan kehebatan tokoh utama.

Tubuh barunya bernama Murong Chunhua, Putri Agung Fangsu, adik Kaisar.

Pemilik asli tubuh ini tak hanya merencanakan pemberontakan, tetapi juga dikenal rakus dan bernafsu. Ia memaksa pernikahan dengan An Changyi, lalu menodai pria itu dengan paksaan.

Dan seperti yang bisa ditebak, An Changyi membalasnya dengan cara yang sama.

Chunhua membuka mata perlahan. Tangannya menangkup air bertabur kelopak, lalu menjatuhkannya kembali, menimbulkan riak kecil. Senyum tipis muncul di bibirnya.

Karena sudah hidup kembali, dia tidak ingin mati lagi dengan cara menyedihkan seperti pemilik tubuh sebelumnya.

Jadi, sebelum pernikahan itu berlangsung, ia sendiri yang akan membatalkannya.

Ketika ia keluar dari kamar mandi, tubuhnya dibalut jubah tipis sutra putih. Rambut basahnya terurai panjang, meneteskan air ke permadani.

Kamar tidurnya sudah berubah wajah. Kekacauan semalam lenyap, seolah tidak pernah terjadi. Seprai baru terhampar, lantai dibersihkan, bahkan aroma samar yang mengganggu pun sudah menghilang, digantikan oleh wangi lembut ambergis.

Beberapa tabib berjongkok di sisi ranjang, merawat tubuh Feng Jun yang penuh bekas cakaran dan gigitan. Bibirnya memar, napasnya berat.

Jari mereka gemetar meski berusaha terlihat stabil. Wajah-wajah mereka kaku, berusaha netral, namun sorot mata mereka tak bisa menutupi ngeri yang tersisa.

Chunhua mengangkat alis samar.

Aneh.

Bukankah mereka seharusnya sudah terbiasa?

Mereka adalah tabib pribadi Istana Putri.

Mengingat Murong Chunhua asli tidak mengenal kelembutan dalam hubungan pria-wanita, kejadian ini seharusnya bukan yang pertama.

Kenapa masih terkejut?

Chunhua melihat lagi luka Feng Jun yang belum ditutup dan meringis dalam hati.

Mungkinkah karenaku?

Ia mendesah ringan. Sepertinya dia sudah bergerak terlalu jauh.

Chunhua merasa iba selama tiga detik.

Ketika dia duduk di depan meja rias, cermin perunggu memantulkan wajahnya—pucat, cantik, dengan mata yang tidak pernah benar-benar hangat.

Dia menyentuh wajahnya, mengaguminya sejenak.

Siapa sangka, Putri Fangsu ini memiliki penampilan yang sama dengannya, hanya saja versi yang lebih terawat dan lemah.

Di belakangnya, Su Yin bergerak cekatan, mengeringkan helaian panjang dengan kain halus, menata rambut, lalu menyanggulnya perlahan. Jemari gadis itu terampil, nyaris tanpa suara.

Dari pantulan cermin, Chunhua melihat Su Yin lebih jelas.

Pelayan muda itu masih berusia sekitar dua puluh tahun, namun sorot matanya matang, penuh keteguhan. Rambutnya yang hitam pekat ditahan dengan jepit emas—jepit yang Chunhua kenali dari ingatan tubuh ini.

Itu adalah pemberian Murong Chunhua saat pertama mereka bertemu.

Chunhua menatap pantulan jepit itu lama.

Tiba-tiba sebuah ingatan muncul, sebuah akhir yang getir.

Dalam jalur cerita novel, loyalitas Su Yin berakhir sia-sia.

Saat pemberontakan pecah, Murong Chunhua dikhianati oleh salah satu anteknya yang berpaling kepada An Changyi, membawa seluruh informasi penting bersamanya.

Su Yin, demi melindungi tuannya, memilih untuk mengorbankan diri. Ia menahan pasukan musuh, tubuhnya ditembus ribuan anak panah, hingga gugur di tempat.

Akan tetapi, pengorbanan itu sia-sia.

Murong Chunhua tetap tertangkap. Dan An Changyi, untuk membalas penghinaan yang pernah dia terima, membiarkan beberapa pria memerkosanya sampai mati.

Akhir tuan dan pelayan sama-sama mengenaskan.

Yang satu mati terinjak, yang lain mati tercabik.

Chunhua menutup mata sejenak, lalu menghela napas.

“Tidak ada yang bagus dari akhir itu,” gumamnya datar.

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Senyum itu bukan karena humor, melainkan sekadar kebiasaan menutupi gigi.

Jika ia ingin menyelamatkan dirinya, pembatalan pernikahan adalah opsi terbaik. Itu adalah jalan keluar paling awal, paling sederhana, sebelum dia maupun An Changyi bersinggungan.

Akan tetapi, jika dia ingin menyelamatkan pelayan setia ini, cara terbaik adalah menarik Su Yin keluar dari lingkaran perebutan kekuasaan.

Selain tidak ada gunanya membiarkan pelayan itu mati sia-sia, anggaplah dia membalas budi pada Murong Chunhua karena menempati tubuhnya.

“Su Yin,” panggil Chunhua tiba-tiba.

Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menunduk hormat. “Ya, Yang Mulia?”

Chunhua menatap pantulan wajah Su Yin di cermin. Matanya tenang, bibirnya melengkung tipis.

“Usiamu sudah dua puluh tahun, bukan?” tanyanya.

Su Yin tertegun sesaat, lalu menjawab hati-hati. “Ya, Yang Mulia.”

“Apakah ada seseorang yang kau sukai?”

Su Yin tersentak. Tangan yang sedang menyanggul rambut nyaris tergelincir. Tubuhnya langsung gemetar, lalu ia jatuh berlutut di belakang Chunhua.

“Yang Mulia… hamba tidak berani!" Terdengar suara 'buk' nyaring saat dahinya beradu dengan lantai.

Chunhua tertegun, begitu juga para tabib yang melirik penasaran.

Jarak tempat tidur dan meja rias tidak terlalu dekat atau jauh, tetapi mereka terlalu fokus mengobati pria malang di tempat tidur, jadi suara Chunhua hanya terdengar samar-samar. Mereka saling melihat rekannya, seolah bertanya hal buruk apa yang dilakukan Nona Su hingga dia harus bersujud memohon ampun.

Chunhua tidak mengerti percakapan tatap mata para tabib itu, dia hanya tidak menyangka reaksi Su Yin akan sekeras itu.

"Jika ini adalah cara Yang Mulia hendak menyingkirkan hamba, mohon, ampunilah! Hamba hanya ingin tetap berada di sisi Yang Mulia. Hamba tidak ingin menikah, tidak ingin keluarga lain. Hamba… hanya ingin melayani.”

Suara Su Yin bergetar, nyaris panik.

Chunhua mengedip kemudian memijat keningnya.

Ia bisa merasakan ketakutan yang tulus dari pelayan itu.

“Bangunlah. Putri ini tidak ingin mengusirmu,” katanya datar. “Hanya saja, kau sudah seusia ini. Normalnya, seorang wanita akan memiliki keluarganya sendiri. Aku hanya bertanya, tidak lebih.”

Su Yin mengangkat kepala perlahan, matanya berkaca-kaca, namun segera menunduk lagi. “Hamba… tidak ingin ada yang lain. Hamba hanya ingin melayani Yang Mulia seumur hidup.”

Chunhua menatap gadis itu beberapa lama, lalu kembali tersenyum tipis.

Begitu setia. Begitu bodoh. Jika dibiarkan, kesetiaan ini hanya akan berakhir di hujan panah.

Kamar kembali hening.

Hanya suara samar tusuk rambut emas yang menusuk rambut, suara kain yang menggesek lembut, dan napas Su Yin yang masih belum stabil.

Di luar, kehidupan istana Putri masih berjalan sebagaimana biasanya. Namun, dari dalam kamar ini, Istana Putri Agung akan perlahan berubah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!