NovelToon NovelToon

Harem Sang Putri

1. Tirai Merah (revisi)

Chunhua terengah, pandangannya tertuju pada pria tampan yang terbaring dengan kedua tangan terikat.

"Yang... Mulia." Suara pria itu lirih, ragu, namun mengandung nada yang ganjil—antara hormat dan antisipasi.

"Feng... Jun." Chunhua melafalkan nama yang muncul di benaknya. Pria itu tampak asing, namun juga terasa akrab. Mungkin karena dia adalah salah satu selir tubuh barunya ini.

Ya, tubuh yang ia tempati sekarang bukan miliknya. Bukan tubuh sang Raja Mayat Hidup, melainkan milik Putri Agung Fangsu, Murong Chunhua.

Bagaimana ia bisa sampai di sini?

Ah, tentu saja karena ia sudah mati di dunia itu.

Angin berembus melalui kisi-kisi jendela. Nyala lilin bergetar cemas, tirai merah bergoyang lembut. Asap dupa mengepul, menebar wangi manis yang samar menusuk, sementara kenangan Chunhua perlahan menyeretnya kembali ke masa lalu.

Potongan tubuh yang membusuk berserakan di antara reruntuhan gersang.

Chunhua duduk di balkon yang sudah kehilangan pagar besinya. Kakinya berayun ringan di udara, seolah dunia di bawah sana bukan kubangan darah, melainkan taman musim semi.

Matanya menatap pria yang berdiri di bawah. "Chang Yi, jangan terlalu galak, ah," serunya sambil tersenyum. Pandangannya melintas pada potongan tubuh yang berserakan di sepanjang jalan. "Bagaimana bisa kamu membunuh anak-anakku?"

Chang Yi tidak menjawab. Ia hanya mendongak, menatap Chunhua dengan mata yang suram dan rumit, seolah menimbang antara belas kasih dan kewajiban.

"Apakah kamu datang untuk membunuhku juga?" tanya Chunhua lembut. Jemarinya memilin rambut hitamnya yang kusam, gerakannya santai, hampir kekanakkan.

Keheningan menjawabnya.

Senyum di bibir Chunhua perlahan memudar. “Kenapa diam? Apa kamu tidak ingin berbicara lagi denganku?”

"Chunhua." Suara Chang Yi akhirnya terdengar. Ia mengangkat pedangnya, darah kehitaman menetes dari ujung bilah dan jatuh satu per satu ke tanah kering.

Senyum kembali terbit di wajahnya, lembut. "Jadi kamu benar-benar datang untuk membunuhku?" bisiknya, "kenapa lama sekali…"

Kata terakhir itu meluruh bersama angin, terlalu lirih bahkan untuk telinga manusia yang telah ditingkatkan seperti Chang Yi.

Angin berdesir, membawa bau besi dan daging busuk.

Dua pasang mata saling menatap, masing-masing menyala dengan cahaya yang berbeda.

Chunhua berdiri, ujung kukunya memanjang, berubah menjadi cakar hitam berkilat. "Kalau kau datang untuk membunuhku," ujarnya dengan senyum genit yang menantang, "tidak mungkin aku diam saja."

Chang Yi tak menjawab. Sekilas, kenangan lama menembus pikirannya, hari-hari saat mereka bersama.

Chunhua memiringkan kepala, matanya berkilat nakal. "Ayo, Chang Yi."

Dan dalam detik berikutnya, dia melesat dari lantai dua seperti meriam ditembakkan. Angin menyalak di belakangnya, serpihan debu beterbangan.

Api ungu berkobar, membungkus pedang Chang Yi seperti zirah hidup. Nyala itu bergetar halus, seolah merespons napas pemiliknya. Panas, liar, dan penuh amarah yang ditahan.

Begitu kakinya menjejak tanah, ledakan kecil memecah udara. Gelombang panas menyapu seluruh reruntuhan, menghanguskan potongan mayat.

Chunhua menangkis sambaran pertama dengan telapak tangan. Suara benturan terdengar nyaring—cling!—disertai kilatan api dan percikan darah hitam dari kulit tangannya yang terbakar. Namun, ia hanya tertawa.

"Kenapa kamu menahan diri?" bisiknya, suaranya serak tapi menggoda.

Chang Yi tidak menjawab. Ia memutar pedangnya, melompat mundur, lalu melesat lagi. Api ungu melingkar mengikuti gerakannya, membentuk jejak spiral di udara.

Chunhua menunduk, membiarkan satu ayunan pedang nyaris menyambar wajahnya. Ujung rambutnya terbakar, berasap, tapi ia malah menatapnya dengan senyum kecil.

“Apakah kau tidak tega membunuhku?” katanya, “kamu tidak ingin membalas dendam?”

Chang Yi menggeram, pedangnya menebas melintang. Kali ini, Chunhua menangkis dengan kedua cakar. Benturan membuat lantai retak dan udara terbelah. Api ungu memercik, menyalakan bayangan mereka di dinding yang hancur.

Kedua sosok itu saling dorong. Api dan kuku tajam bertemu, menciptakan asap berwarna violet kehitaman yang berputar di udara.

Chunhua mencondongkan tubuh, berbisik di telinganya dengan nada setengah tawa, “Kalau benar kamu ingin mengakhiri ini… kamu harus kejam.”

Chang Yi menatapnya, pandangannya rumit dan bertentangan.

Lalu, tanpa kata, pedangnya menyalak, membakar udara di antara mereka.

Chunhua masih ingat bagaimana rasanya saat pedang itu menembus jantungnya. Panas yang merambat cepat, disertai Aroma daging hangus yang begitu tajam hingga membuat mata berair.

Apakah dia mati karena tusukan di jantungnya? Sepertinya tidak tepat, karena mayat hidup tidak membutuhkan jantung untuk hidup.

Jadi, bagaimana dia mati?

Pertanyaan itu hanya sempat berputar sejenak di benaknya, karena gelombang panas yang tiba-tiba datang menghantam.

Tidak seperti panasnya api ungu An Changyi, tetapi lebih seperti... sensasi setelah naik level. Sedikit tidak nyaman, tetapi membuatnya ingin mengerang.

Chunhua mengerang, dia mencengkeram pakaiannya. Punggunya melengkung, giginya digigit kuat-kuat.

Bukan karena panas yang menghantamnya, tetapi rasa sakit mencengkeram jantung yang tiba-tiba datang.

Napasnya tersengal. Sensasi menyakitkan itu pergi secepat dia datang, digantikan gelombang panas yang lebih ganas.

Pandangannya bergetar kabur, nalurinya mengambil alih. Tubuhnya bergerak mengikuti insting, melahap pria itu dari dalam ke luar—membuat napasnya terengah, mendengar detak jantungnya yang bersahut dengan erangan tertahan.

2. Mimpi? (revisi)

Cahaya matahari terik menusuk mata Chunhua ketika ia perlahan membuka kelopak. Tercium udara kering, bercampur bau debu dan amis samar darah yang sudah lama mengering.

Ia sempat membeku. Apakah tadi semua hanya mimpi?

“Apakah kamu terluka?” Suara lembut memecah kesunyian.

Chunhua menoleh. Seorang pemuda berdiri tak jauh, keringat menetes dari pelipisnya, wajahnya teduh namun gugup.

“Apakah kamu bertemu penyintas lain?” tanyanya lagi.

Chunhua mengerjap, bingung.

Pandangannya kabur sesaat, lalu fokus.

Reruntuhan dinding setengah roboh di belakangnya, puing bata berserakan, cahaya memantul panas di atas logam berkarat. Angin meniupkan tirai debu tipis.

“Aku kembali?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

“Hei, bisa berdiri? Butuh bantuan?” Pemuda itu kembali bertanya dan mengulurkan tangan.

Chunhua menatapnya lama, sebelum akhirnya meraih tangannya. Jemari pemuda itu hangat, kuat, menopangnya untuk duduk.

“Si Yan?” Chunhua ragu.

Mata pemuda itu terbelalak. “Ah! Kamu tahu namaku?” Pipi Si Yan memerah, matanya berbinar. Apakah aku benar-benar terkenal sampai gadis cantik ini tahu namaku?

Chunhua hanya mengangguk pelan, membenarkan.

“Aku tidak pernah melihatmu, kamu bukan dari pangkalan Shu?” tanya Si Yan penasaran.

Chunhua menggeleng. “Kota Mo.”

Si Yan terperanjat. “Kota Mo? Bagaimana kamu bisa selamat dari gelombang zombi?” ujarnya, sebelum buru-buru meralat. “Maksudku—selamat itu bagus! Hanya saja…”

“Aku pergi sebelum gelombang zombi,” jawab Chunhua singkat. Suaranya datar, seakan itu cukup menjelaskan.

“Oh, begitu…” Si Yan tersenyum lega. “Kalau begitu kamu sangat beruntung!” Ia merogoh tas lusuh di bahunya dan mengeluarkan sebatang kecil cokelat. “Kamu di sini untuk persediaan?”

Chunhua menerima cokelat itu. Bungkus kertasnya lecek, agak lengket karena panas. Ia mengupasnya perlahan, lalu mematahkan sekeping. Rasa manis pahit yang seharusnya tidak terasa. Hanya hambar di lidahnya. Namun, bibirnya tetap mengucap lirih, “Terima kasih.”

“Sama-sama,” sahut Si Yan ceria. “Kota Mo sudah hilang… kemana kamu akan pergi? Apakah pangkalan Shu?”

Chunhua mengangguk, menelan potongan terakhir cokelat itu.

“Bagus! Mungkin kamu bisa pergi bersama—”

“Si Yan, dengan siapa kamu bicara?” Suara berat memotong kalimatnya.

Langkah kaki terdengar menghentak di atas puing, logam beradu menimbulkan denting tajam.

Dari balik bangunan setengah roboh, seorang pria berwajah dingin muncul. Pedangnya berlumur darah hitam yang menetes, menebar bau busuk khas zombi.

“Chang Yi!” Si Yan melambaikan tangan lega. “Kamu sudah selesai?”

Chang Yi hanya mengangguk, lalu menoleh. Tatapannya jatuh pada Chunhua. Dingin dan tajam.

“Ini adalah—” Si Yan baru hendak menjelaskan ketika bilah pedang berkilat teracung. Ujungnya kini menempel tepat di leher Chunhua.

Sejenak Chunhua lupa bernapas. Ia bisa mencium darah basi yang menempel di baja itu.

“Chang Yi, apa yang kamu lakukan!” Si Yan buru-buru maju, menekan lengan rekannya, wajahnya panik.

“Siapa kamu?” suara Chang Yi dingin, penuh curiga.

“Chunhua,” jawab Chunhua tenang. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, menantang.

Alis Chang Yi berkerut, semakin tidak senang. “Siapa Chunhua?”

Si Yan memandang bergantian antara senyum penuh tantangan itu dan wajah masam Chang Yi. Seketika ia merasa letih.

Tampaknya, Chang Yi akhirnya bertemu lawan seimbang.

Yang satu suka menggoda, yang lain terlalu mudah tersulut.

“Ini Chunhua, dia penyintas dari Kota Mo!” jelas Si Yan cepat, suaranya nyaris putus asa.

Tatapan Chang Yi mengeras. Bilah pedangnya bergerak lebih dekat, dingin logamnya menyentuh kulit Chunhua.

“Dia keluar kota sebelum gelombang zombi,” tambah Si Yan cepat-cepat, seperti hendak meredakan amarah yang tak pernah mudah padam.

Chang Yi menatap tajam, pandangannya menyapu Chunhua dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Gadis itu terlalu cantik dan bersih untuk seorang penyintas. Hanya kulitnya yang pucat membuatnya terlihat sedikit ganjil, tetapi denyut hidup masih ada.

Seharusnya dia manusia.

“Chang Yi, ayo singkirkan dulu pedangmu,” bujuk Si Yan, “ada darah zombi di pedangmu. Bagaimana jika itu menginfeksi Chunhua?”

Pedang itu masih berkilat di bawah cahaya, meneteskan darah hitam pekat. Bau busuknya menusuk hidung, bercampur debu panas yang beterbangan. Chunhua tetap tersenyum tipis, seolah sama sekali tak peduli.

Akhirnya, Chang Yi menghela napas pendek.

Dengan gerakan berat, ia menurunkan senjatanya. Namun, pandangannya tidak lepas dari wajah Chunhua.

Ia meraih pergelangan tangan gadis itu. Ujung jarinya menyentuh kulit halus, merasakan denyut nadi berirama. Dada Chunhua naik-turun perlahan, tenang seperti manusia biasa.

Chunhua tersenyum puas.

Akan tetapi, sekejap kemudian, dunia di sekelilingnya pecah.

Cahaya matahari memerah. Bau besi semakin pekat. Lantai yang kokoh seolah berubah menjadi tanah becek yang dipenuhi darah. Jeritan samar bergema dari jauh.

Dalam kedipan mata, Chunhua sudah berdiri di tengah medan sura.

Ratusan mayat tergeletak, potongan tubuh berserakan. Udara sesak oleh aroma anyir yang menusuk.

Chunhua terbelalak. Ngeri mencengkeram hatinya.

Ia mengusap bibirnya dengan lengan, meninggalkan noda merah segar. Tangannya bergetar.

Lalu dia menunduk dan darah dingin mengalir di nadinya.

Si Yan tergeletak di kakinya, lehernya koyak, darah masih memancar.

Chunhua tersentak, berdiri dengan napas terengah. Pandangannya memerah, kabur oleh rasa panik.

Tidak mungkin....

Dada Chunhua serasa dihantam, suasana berputar dan mencekik.

Dia membunuhnya.

Dia membunuh Si Yan.

Suara hatinya bergema, menghantam berulang-ulang sampai hampir memecah pikirannya. Kuku-kukunya masih berlumur darah segar.

“Chunhua… Si Yan…” Suara berat menggema dari sisi lain.

Chunhua menoleh dengan mata merah basah.

Chang Yi berdiri di sana, tubuhnya berlumuran darah. Namun, tatapan lelaki itu menusuk lurus ke arahnya, penuh keterkejutan.

Tiba-tiba, sesuatu yang samar, tetapi nyata—menyentuh bahunya.

Chunhua membeku.

3. Rencana (revisi)

Chunhua terhenyak, napasnya masih memburu. Tangan yang baru saja ia tangkap terasa hangat, nyata.

Medan sura itu lenyap seketika.

Bau amis dan jeritan samar berganti dengan aroma lembut bunga kering, bercampur wangi dupa yang masih mengepul samar.

Matanya menangkap tirai merah menjuntai dari ranjang luas, kain satin yang dingin menempel di kulitnya.

Yang terbaring di bawah tubuhnya bukan Si Yan yang terkoyak, melainkan seorang pria tampan yang dikenalnya—Feng Jun, salah satu selir pria tubuh barunya.

“Yang Mulia…” suara pria itu pelan, penuh hormat.

Chunhua membeku sejenak. Detak jantungnya masih kacau, tetapi pikirannya mulai jernih.

Dia sadar, ini bukan mimpi.

Tangannya terulur, mengusap lembut tepi luka di leher pria itu. Bibirnya berbisik lirih, “Jun’er.”

Feng Jun tersenyum patuh, matanya penuh pengabdian. “Apa yang dibutuhkan Yang Mulia?”

Chunhua menatapnya lama. Jari-jarinya menelusuri rahang tegasnya. Chunhua tidak menjawab, hanya menunduk, membiarkan napas hangatnya menyapu kulit leher pria itu.

“Jun’er…” bisiknya, lembut namun mengandung perintah. “Tetap di sisiku.”

Tubuh Feng Jun sempat menegang, lalu perlahan luluh di bawah sorot mata pemiliknya. Ia mengangguk pelan.

Senyum tipis melintas di wajah Chunhua.

Tangannya bergerak turun, menelusuri dada bidang yang panas, meninggalkan jejak seolah menandai kepemilikan. Detak jantung pria itu kian cepat, napasnya semakin berat.

Tirai ranjang bergoyang pelan diterpa angin, bayang-bayang merah jatuh ke tubuh mereka. Aroma dupa makin pekat, menutup dunia luar.

Lalu, keheningan kamar pecah.

Suara erangan terputus-putus memenuhi ruang, bercampur napas berat dan desisan gairah.

Chunhua menunduk, bibirnya menempel di leher Feng Jun. Bekas gigitannya merah segar, segera dijilat perlahan, meninggalkan basah yang membuat pria itu menggeliat.

Erangan kecil lolos dari tenggorokannya, tertahan, tetapi jelas.

“Sungguh luar biasa…” bisik Chunhua di telinganya, suaranya rendah, bergulir seperti kabut. “…bahwa aku kembali hidup. Dan kamu… kamu ada untuk mengingatkan aku.”

Jemari Chunhua bergerak ke bawah, menuntut kepatuhan dengan setiap sentuhan.

Dia menindih tubuh pria itu, menciumnya dengan kelaparan yang nyaris buas. Lidahnya menuntut, menggali, meninggalkan bekas merah dari leher hingga dada.

Seolah setiap cakaran dan gigitan adalah pembuktian. Dan setiap desah Feng Jun adalah pengingat bahwa ia hidup kembali.

Ketika tubuh mereka bersatu, Chunhua menutup mata rapat-rapat. Ia tidak ingin melihat Si Yan yang mati, tidak ingin mengingat pisau berlapis api ungu milik Chang Yi.

Setiap ciuman, setiap desah adalah cara untuk menghapus bayangan itu.

Yang ia butuhkan hanyalah panas tubuh di pelukannya, suara lirih yang membuktikan satu hal:

Bahwa sekarang dia adalah Murong Chunhua.

Sang Putri Agung dari Daliang.

Ketika gairah mereda, Chunhua berbaring di sisinya, memeluk kehangatan yang masih tersisa di tubuh pria itu.

Kelopak matanya berat. Aroma samar keringat dan darah bercampur, tetapi anehnya justru membuatnya tenang. Perlahan dia tertidur, membiarkan dirinya karam dalam kelelahan.

Entah berapa lama dia terlelap, suara berderit halus Memecah kesunyian. Engsel pintu bergeser pelan, tak berani mengganggu lebih dari seharusnya.

“Yang Mulia, air mandi sudah disiapkan.”

Suara lembut itu mengalun, tenang, penuh ketundukan.

Dia menoleh perlahan. Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda, berusia sekitar dua puluh tahun, mengenakan pakaian pelayan senior berwarna biru tua dengan tepi putih bersih. Rambutnya ditata dalam sanggul sederhana, hanya dihiasi sebatang jepit emas yang berkilau samar diterpa cahaya pagi.

Sinar matahari menembus celah tirai, jatuh di wajahnya, menyoroti garis manis yang berpadu dengan ketegasan.

Chunhua mengenalinya dari ingatan tubuh ini.

Su Yin.

Pelayan pribadi, sekaligus tangan kanan paling loyal milik Putri Fangsu.

“Ya,” jawab Chunhua datar, suaranya dingin tanpa riak emosi.

Ia menyingkap selimut tipis yang Menutupi tubuhnya. Kain satin melorot pelan, memperlihatkan kulit pucat yang berkilau lembut dalam cahaya pagi. Kulit itu tampak halus, rapuh, seolah tak pernah disentuh kerasnya dunia luar.

Kaki itu menginjak karpet bulu binatang, meninggalkan bekas samar yang segera hilang.

Su Yin menunduk dalam-dalam, seolah keindahan itu adalah pemandangan yang tak pantas dipandang langsung.

Chunhua melangkah menuju kamar mandi. Uap tipis sudah melayang keluar dari pintu terbuka. Sambil berjalan, ia berucap pelan, “Panggilkan tabib. Biarkan mereka merawat Feng Jun.”

“Segera, Yang Mulia,” jawab Su Yin tanpa ragu, kemudian memanggil seorang dayang kecil untuk menjalankan pesanan Chunhua.

Kabut memenuhi kamar mandi, menempel di dinding batu yang licin. Air panas beriak di kolam marmer, memantulkan cahaya lilin yang remang.

Chunhua masuk, membiarkan air merendam tubuhnya.

Uap tipis mengepul, memenuhi ruangan dengan aroma samar kelopak bunga yang terapung di permukaan. Panas air menyapu kulitnya, perlahan mengendurkan otot-otot yang masih kaku setelah malam panjang.

Ia menutup mata.

Dalam kabut kehangatan itu, pikirannya semakin jernih. Potongan-potongan ingatan yang bukan miliknya perlahan tersusun rapi.

Dunia ini sebenarnya adalah sebuah novel.

Calon suami sah tubuh ini adalah sang protagonis, sementara dirinya hanya penjahat kecil yang hadir untuk menonjolkan kehebatan tokoh utama.

Tubuh barunya bernama Murong Chunhua, Putri Agung Fangsu, adik Kaisar.

Pemilik asli tubuh ini tak hanya merencanakan pemberontakan, tetapi juga dikenal rakus dan bernafsu. Ia memaksa pernikahan dengan An Changyi, lalu menodai pria itu dengan paksaan.

Dan seperti yang bisa ditebak, An Changyi membalasnya dengan cara yang sama.

Chunhua membuka mata perlahan. Tangannya menangkup air bertabur kelopak, lalu menjatuhkannya kembali, menimbulkan riak kecil. Senyum tipis muncul di bibirnya.

Karena sudah hidup kembali, dia tidak ingin mati lagi dengan cara menyedihkan seperti pemilik tubuh sebelumnya.

Jadi, sebelum pernikahan itu berlangsung, ia sendiri yang akan membatalkannya.

Ketika ia keluar dari kamar mandi, tubuhnya dibalut jubah tipis sutra putih. Rambut basahnya terurai panjang, meneteskan air ke permadani.

Kamar tidurnya sudah berubah wajah. Kekacauan semalam lenyap, seolah tidak pernah terjadi. Seprai baru terhampar, lantai dibersihkan, bahkan aroma samar yang mengganggu pun sudah menghilang, digantikan oleh wangi lembut ambergis.

Beberapa tabib berjongkok di sisi ranjang, merawat tubuh Feng Jun yang penuh bekas cakaran dan gigitan. Bibirnya memar, napasnya berat.

Jari mereka gemetar meski berusaha terlihat stabil. Wajah-wajah mereka kaku, berusaha netral, namun sorot mata mereka tak bisa menutupi ngeri yang tersisa.

Chunhua mengangkat alis samar.

Aneh.

Bukankah mereka seharusnya sudah terbiasa?

Mereka adalah tabib pribadi Istana Putri.

Mengingat Murong Chunhua asli tidak mengenal kelembutan dalam hubungan pria-wanita, kejadian ini seharusnya bukan yang pertama.

Kenapa masih terkejut?

Chunhua melihat lagi luka Feng Jun yang belum ditutup dan meringis dalam hati.

Mungkinkah karenaku?

Ia mendesah ringan. Sepertinya dia sudah bergerak terlalu jauh.

Chunhua merasa iba selama tiga detik.

Ketika dia duduk di depan meja rias, cermin perunggu memantulkan wajahnya—pucat, cantik, dengan mata yang tidak pernah benar-benar hangat.

Dia menyentuh wajahnya, mengaguminya sejenak.

Siapa sangka, Putri Fangsu ini memiliki penampilan yang sama dengannya, hanya saja versi yang lebih terawat dan lemah.

Di belakangnya, Su Yin bergerak cekatan, mengeringkan helaian panjang dengan kain halus, menata rambut, lalu menyanggulnya perlahan. Jemari gadis itu terampil, nyaris tanpa suara.

Dari pantulan cermin, Chunhua melihat Su Yin lebih jelas.

Pelayan muda itu masih berusia sekitar dua puluh tahun, namun sorot matanya matang, penuh keteguhan. Rambutnya yang hitam pekat ditahan dengan jepit emas—jepit yang Chunhua kenali dari ingatan tubuh ini.

Itu adalah pemberian Murong Chunhua saat pertama mereka bertemu.

Chunhua menatap pantulan jepit itu lama.

Tiba-tiba sebuah ingatan muncul, sebuah akhir yang getir.

Dalam jalur cerita novel, loyalitas Su Yin berakhir sia-sia.

Saat pemberontakan pecah, Murong Chunhua dikhianati oleh salah satu anteknya yang berpaling kepada An Changyi, membawa seluruh informasi penting bersamanya.

Su Yin, demi melindungi tuannya, memilih untuk mengorbankan diri. Ia menahan pasukan musuh, tubuhnya ditembus ribuan anak panah, hingga gugur di tempat.

Akan tetapi, pengorbanan itu sia-sia.

Murong Chunhua tetap tertangkap. Dan An Changyi, untuk membalas penghinaan yang pernah dia terima, membiarkan beberapa pria memerkosanya sampai mati.

Akhir tuan dan pelayan sama-sama mengenaskan.

Yang satu mati terinjak, yang lain mati tercabik.

Chunhua menutup mata sejenak, lalu menghela napas.

“Tidak ada yang bagus dari akhir itu,” gumamnya datar.

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Senyum itu bukan karena humor, melainkan sekadar kebiasaan menutupi gigi.

Jika ia ingin menyelamatkan dirinya, pembatalan pernikahan adalah opsi terbaik. Itu adalah jalan keluar paling awal, paling sederhana, sebelum dia maupun An Changyi bersinggungan.

Akan tetapi, jika dia ingin menyelamatkan pelayan setia ini, cara terbaik adalah menarik Su Yin keluar dari lingkaran perebutan kekuasaan.

Selain tidak ada gunanya membiarkan pelayan itu mati sia-sia, anggaplah dia membalas budi pada Murong Chunhua karena menempati tubuhnya.

“Su Yin,” panggil Chunhua tiba-tiba.

Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menunduk hormat. “Ya, Yang Mulia?”

Chunhua menatap pantulan wajah Su Yin di cermin. Matanya tenang, bibirnya melengkung tipis.

“Usiamu sudah dua puluh tahun, bukan?” tanyanya.

Su Yin tertegun sesaat, lalu menjawab hati-hati. “Ya, Yang Mulia.”

“Apakah ada seseorang yang kau sukai?”

Su Yin tersentak. Tangan yang sedang menyanggul rambut nyaris tergelincir. Tubuhnya langsung gemetar, lalu ia jatuh berlutut di belakang Chunhua.

“Yang Mulia… hamba tidak berani!" Terdengar suara 'buk' nyaring saat dahinya beradu dengan lantai.

Chunhua tertegun, begitu juga para tabib yang melirik penasaran.

Jarak tempat tidur dan meja rias tidak terlalu dekat atau jauh, tetapi mereka terlalu fokus mengobati pria malang di tempat tidur, jadi suara Chunhua hanya terdengar samar-samar. Mereka saling melihat rekannya, seolah bertanya hal buruk apa yang dilakukan Nona Su hingga dia harus bersujud memohon ampun.

Chunhua tidak mengerti percakapan tatap mata para tabib itu, dia hanya tidak menyangka reaksi Su Yin akan sekeras itu.

"Jika ini adalah cara Yang Mulia hendak menyingkirkan hamba, mohon, ampunilah! Hamba hanya ingin tetap berada di sisi Yang Mulia. Hamba tidak ingin menikah, tidak ingin keluarga lain. Hamba… hanya ingin melayani.”

Suara Su Yin bergetar, nyaris panik.

Chunhua mengedip kemudian memijat keningnya.

Ia bisa merasakan ketakutan yang tulus dari pelayan itu.

“Bangunlah. Putri ini tidak ingin mengusirmu,” katanya datar. “Hanya saja, kau sudah seusia ini. Normalnya, seorang wanita akan memiliki keluarganya sendiri. Aku hanya bertanya, tidak lebih.”

Su Yin mengangkat kepala perlahan, matanya berkaca-kaca, namun segera menunduk lagi. “Hamba… tidak ingin ada yang lain. Hamba hanya ingin melayani Yang Mulia seumur hidup.”

Chunhua menatap gadis itu beberapa lama, lalu kembali tersenyum tipis.

Begitu setia. Begitu bodoh. Jika dibiarkan, kesetiaan ini hanya akan berakhir di hujan panah.

Kamar kembali hening.

Hanya suara samar tusuk rambut emas yang menusuk rambut, suara kain yang menggesek lembut, dan napas Su Yin yang masih belum stabil.

Di luar, kehidupan istana Putri masih berjalan sebagaimana biasanya. Namun, dari dalam kamar ini, Istana Putri Agung akan perlahan berubah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!