NovelToon NovelToon

Ayah Dari Anakku

Kata Yang Menyakitkan

KALAU NOVEL INI NANTI BAKALAN NYEBELIN HARAP MAKLUM NGGAK BISA DIUBAH, SUDAH TAMAT. KALAU MAU BACA CEK IGKU elara_murako. BANYAK NOVELKU YANG LEBIH SERU, KOK. DAN PASTI NGGAK NGESELIN.

NOVEL INI EMANG DIBUAT UNTUK BIKIN DARAH TINGGI. JADI HARAP KALAU KOMEN NGGAK SOPAN DALAM HATI SAJA, JANGAN DITULIS, YA. KARENA YANG AKAN JELEK NAMA KALIAN SENDIRI, BUKAN ORANG LAIN. INGAT, ORANG MENILAI DARI CARA KITA BICARA.

🍁🍁🍁

"Kita putus saja, ya?" permintaan Dira malam itu membuat hati Bia sangat terluka. Bibir Bia bergetar, ia menahan air mata yang terus mendesak ingin keluar.

Pada akhirnya putus menjadi pilihan paling tepat dibandingkan terus menyimpan Bia sebagai kekasih rahasia. Toh, mereka juga harus berdiam di kota yang berbeda.

"Apa harus berakhir seperti ini?" tanya Bia lirih. Ia memeluk bantalnya erat dan menyandarkan punggung ke tembok. "Aku gak bisa hidup tanpamu."

Dira menarik napas panjang. Suaranya begitu berat. "Aku akan sangat sibuk. Mungkin tak bisa memperhatikan kamu lagi. Selain itu jika sampai ketahuan, karirku bisa berakhir. Aku mohon pengertiannya darimu."

Tangan Bia bergetar. Wanita mana yang hatinya tidak terluka ketika pria yang ia sangat cintai mengakhiri hubungan mereka begitu saja.

"Aku tidak akan macam-macam. Aku juga gak akan manja. Kamu gak perlu telpon aku setiap hari. Aku pasti sabar. Asalkan bukan begini." Bia masih meratap, mencoba mencoba mengambil hati Dira kembali.

"Maaf. Aku gak bisa, Bi. Aku sangat memohon padamu. Lepaskan aku dan biarkan aku mengejar karirku."

Bia menunduk. "Apa aku egois?" tanyanya dalam hati. Beberapa kali ia berkedip, mengambil napas lalu mengeluarkannya pelan. Kalimat itu tertahan di ujung tenggorokan. Matanya mulai berkaca-kaca. Nyeri, batinnya seakan berteriak.

"Hubungan kita memang membahayakan karirmu. Aku mengerti," jawab Bia tegas meski sempat ada jeda ketika ia menelan salivanya. Telapak tangannya bergetar ketika mengucapkan itu. "Asal kamu kembali suatu hari nanti," batinnya.

Minggu lalu Dira memenangkan kontes "Star Event". Mulai besok ia resmi menjadi penyanyi yang bernaung di label R ever. Popularitas Dira naik dengan signifikan. Alasannya bukan hanya suara bass yang seksi, pun wajah rupawan yang dapat membuat gadis manapun tergila-gila.

"Terima kasih sudah mau mengerti." Dira juga tidak bisa menampik jika hatinya sakit. Bia, gadis lugu yang ia pacari lima tahun lalu telah dikenalnya sejak TK. Hubungannya dengan Bia tidak hanya sebagai sepasang kekasih, baginya Bia adalah adik juga sahabat. Tentu Dira akan sangat kehilangan karena setelah putus pasti ada bagian yang berbeda dari mereka.

"Menjadi penyanyi terkenal adalah impianmu, kan? Kau berjuang keras untuk semua itu, bagaimana bisa aku menghalangi jalanmu?" Bahkan di balik rasa sakit, Bia masih sempat menyemangati Dira. Kekasih baginya buka hanya orang yang berbagi bahagia dan kesedihan saat bersama, tapi juga orang yang sabar menunggu meski harus terpisah.

Hingga akhirnya Dira menutup telpon, barulah tangis Bia pecah. Ia menahan suara tangisan dengan membekap mulutnya menggunakan bantal. Di balik dinding kamar ini, ada Tante Rubi sedang pulas tertidur setelah lelah bekerja seharian. Bia tidak ingin mengganggu hanya karena urusan percintaan remaja seperti ini. Biarlah sementara Bia menikmati lukanya hingga sembuh meski berbekas.

Dari jendela kecil yang gordennya masih tersingkap, Bia menatap bintang di langit. Ia mengusap matanya yang basah. "Dira. Setelah semua membaik, apa kamu akan kembali padaku?" tanya Bia. Tidak ada jawaban kecuali suara dedaunan di luar yang tertiup angin.

Sementara itu cahaya rembulan menyelimuti sosok jangkung yang berdiri di sisi balkon apartemen mewah yang memiliki puluhan lantai. Ia memegang sebuah ponsel dengan tangan gemetar. Wajahnya yang rupawan layu seiring air mata yang mulai membuat mata almond-nya berkaca-kaca. "Untuk kali ini ampuni aku," ucap Dira penuh penyesalan.

Mereka Pasti Kecewa

"Matamu bengkak?" tanya Noe. Setidaknya ada satu orang yang peduli dengan keadaanya walau Bia tahu kepedulian Noe hanya sebatas ia sedang mencari bahan untuk digosipkan.

Bia mengangguk. Ia masih menunduk sambil merapikan alat-alat tulis di atas meja untuk bersiap menerima materi hari ini.

"Kamu kenapa memangnya, Bi?" tanya Noe. Bia menggeleng. Jawaban Bia memang membuat Noe sedikit kecewa. Hanya saja apapun tentang Bia tidak terlalu penting bagi mahasiswa lain. Meski gagal, tidak akan berefek apapun.

Ketika menggeser tasnya tanpa sengaja Bia menjatuhkan pensil ke lantai. Gadis itu menunduk untuk mengambilnya. Namun ketika kembali mengangkat kepala, Bia mendadak merasa pening. Penglihatannya kabur dan seperti ada benturan keras di belakang kepala.

Tangan Bia meraih sisi meja untuk bersandar. Tak tahu kemana energi yang masih tersisa tadi hingga Bia jatuh terkulai ke lantai. Kontan keadaan kelas yang masih ramai berubah panik. Akibat tiadanya mahasiswa di kelas Bia membuat mahasiswi kebingungan sendiri membawa Bia ke ruang kesehatan. Bahkan mereka bergotong royong mengangkat tubuh Bia yang sedikit gemuk.

"Wajahnya pucat sekali," komentar dokter ketika melihat keadaan Bia. Tubuh gadis itu sudah terbaring di atas ranjang pasien. Noe dan dua mahasiswi lain masih di sana untuk memberikan keterangan.

"Apa dia sudah terlihat sakit sejak tiba di kampus?" tanya dokter.

Noe mengingat-ingat. "Aku hanya melihat matanya sembab," jawab Noe.

Mendengar jawaban Noe, dokter mulai memeriksa Bia. Berkali-kali ia menggeleng setiap merubah posisi stetoskopnya.

"Sebaiknya hubungi keluarganya agar dibawa ke rumah sakit. Tolong hubungi bagian kemahasiswaan juga," saran dokter.

Tiga orang yang menunggu Bia hanya sanggup memanggil bagian kemahasiswaan. Tidak ada satu pun yang tahu bagaimana cara menghubungi keluarga Bia karena gadis itu sangat tertutup. Ponselnya juga dikunci.

Satu jam kemudian Bia mulai membuka mata. Gadis itu terkejut melihat tantenya duduk dengan wajah kecewa berhadapan dengan rektor dan juga seorang dokter. Pucat sekali wajah tantenya hingga membuat aura hitam merasuk menggangu pikiran Bia.

"Maaf, Bu. Masalah ini akan menjadi aib bagi universitas ini. Apalagi Drabia salah satu mahasiswa berprestasi dan mendapat beasiswa penuh. Harusnya ia menjadi contoh bagi mahasiswa lain," ucap rektor sambil berdiri berkacak pinggang seolah sedang menghakimi Tante Rubi.

"Saya janji masalah ini tidak akan diketahui mahasiswa lain." Rubi masih memelas bagi kelanjutan hidup keponakannya. "Gadis itu yatim piatu, selain mengandalkan kepintarannya, ia tidak memiliki apapun. Kasihani dia."

Rektor menggeleng. Ia menunduk dengan wajah kalut. "Maaf, saya terpaksa menghapus Drabia dari daftar penerima beasiswa dan dia resmi dikeluarkan sebagai mahasiswa di kampus ini," tekan rektor.

Bia mematung. Ia tidak mengerti apa yang terjadi tapi yang barusan ia dengar mengguncang seluruh sel di otaknya. Bia turun dari ranjang pasien. Langkah yang sempoyongan tidak menghentikannya untuk terus mendekati tiga orang dewasa yang sedang membahas nasibnya.

"Salah saya apa, Pak? Saya selalu belajar dengan rajin. Tiga bulan ini saya selalu mendapat nilai terbaik di fakultas." Bia menangis. Suaranya parau. Bahkan ia tidak sadar betapa pucatnya wajah dan keringat yang membasahi tubuhnya terasa dingin ketika disentuh.

Rektor melipat tangan di depan dada. Ia menunjuk wajah Bia dengan kesal. "Salah apa? Kamu hamil tanpa suami dan mempermalukan nama universitas ini, apa itu wajar?"

Mulut Bia terbuka. Matanya turun dan tangannya gemetaran. Ia menganggap apa yang dikatakan rektor sebagai mimpi buruk singkat. Namun setelah telapak tangan Tantenya begitu keras menyentuh pipi, Bia sadar ia tidak bermimpi.

"Siapa laki-laki itu? Bagaimana bisa kamu melakukan hal sekotor ini dengannya? Orangtua kamu sudah tidak ada, harusnya kamu belajar yang rajin. Kamu malah mencoreng wajahku. Apa yang adikku katakan mendengar putrinya membuat aib bagi keluarga?" bentak Rubi. Napasnya semakin cepat. Ia malah tidak bisa menahan emosi melihat keponakannya.

Rubi mengambil tas di atas meja lalu berjalan pergi ke luar ruang kesehatan. Bia masih mematung di sana. Dibandingkan rasa malu yang harus ia terima, Bia lebih takut pada kenyataan jika hidupnya hancur saat ini juga.

"Nak, lebih baik kau jujur pada Tantemu. Paksa pria itu untuk bertanggung jawab. Sekarang hidupmu hanya bisa mengandalkan ayah dari bayi dalam perutmu," nasehat dokter yang memeriksanya.

Bia menggeleng. Tanggung jawab? Bagaimana? Ayah dari bayi ini memutuskan hubungan dengannya tadi malam dan Bia menyetujui itu seperti orang yang bodoh.

Bia duduk di lantai dengan tatapan kosong. Kehadiran Bia dalam hidup Dira saat ini saja sudah menjadi penghalang. Apalagi dengan hadirnya seorang anak yang tidak diinginkan. Bia memegangi perutnya. Ia menatap wajah rektor yang memerah.

"Bagaimana bisa begini? Kenapa harus aku?" tanya Bia pada takdirnya yang sudah terbayang akan segelap terowongan. Ia bahkan tidak memiliki jalan keluar selain, meminta kesanggupan Dira untuk meninggalkan cita-citanya seperti apa yang kini Bia alami. Namun Bia yakin Dira bisa, karena ia tahu pria itu sangat mencintainya.

**🍁🍁🍁

Kalau Suka jangan lupa like dan ramaikan sama komen, ya? Ajak teman-teman sejagad MT untuk baca novel ini 🙏**

Pembohong Jahat

Betapa hancurnya pikiran seseorang, tidak membuatnya lupa jalan pulang. Bia menangis sepanjang jalan dari kampus, di dalam bis, hingga di trotoar menuju rumah. Setelah tahu apa yang di dalam perutnya, Bia merasa tubuhnya tidak sekuat dulu.

Pintu terbuka, satu per satu sepatu Bia lepas. Ia menyusuri lorong sempit rumahnya menuju kamar Rubi untuk memastikan jika wanita itu baik-baik saja.

"Tante, Bia minta maaf. Bia janji akan membuat pria itu bertanggung jawab," ucap Bia memelas. Namun tidak ada jawaban apapun dari tantenya. Bia menunduk. Ia bergelut dengan rasa bersalah dan kesedihan. Ia yakin Tantenya tidak akan memberi maaf semudah itu.

Bia pergi ke kamar. Tasnya Bia simpan di atas nakas dan berniat menelpon Dira. Mungkin kemarin Bia dengan mudah mengalah karena urusannya hanya ada mereka berdua. Kali ini lain, ada nyawa di dalam perut Bia yang membutuhkan pengakuan dari seorang ayah.

Sengaja Bia membawa ponselnya ke ruang tamu. Televisi ia nyalakan agar apa yang ia katakan tidak langsung di dengar tetangga seutuhnya. Maklum ini hanya apartemen kecil dimana setiap ruangan disekat dengan gipsum sehingga suara sekecil apapun rentan terdengar tembok sebelah.

Nasib memang memiliki jalannya sendiri. Apapun yang Bia alami kadang tidak seindah rencananya. Tayangan televisi ketika pertama kali ia nyalakan justru berisi berita gosip selebriti. Parahnya, Bia melihat wajah Dira di sana. Pria itu menunduk malu melewati barisan wartawan dengan tangan yang menuntun mesra perempuan cantik di belakangnya.

"Penyanyi baru, Dira Kenan tertangkap kamera sedang bersama pemain film papan atas, Cloena Parviz. Mereka dicurigai tengah berpacaran setelah foto-foto mesra keduanya beredar di internet." Seorang pembawa acara infotaiment membacakan berita terpanas hari ini.

Jantung Bia berdetak dengan tempo cepat hingga aliran darah berlari seperti tak tentu arah. Ada rasa panas menyentuh sampai ubun-ubun. Bia masih tetap di sana, melihat barisan foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi. Bukan satu bahkan lima hingga sepuluh foto Dira sedang bersama wanita yang kini ia tuntun. Dimulai dari foto makan bersama, belanja bersama hingga keluar dari hotel yang sama.

Bia menggigit bagian bawah bibirnya. "Demi karir? Kamu bohong! Katanya jika pacaran karir kamu berakhir. Nyatanya kamu selingkuh dengan wanita itu. Tega sekali kamu, sementara aku di sini menanggung malu." Suara Bia terdengar geram.  Tangannya menggenggam erat ponsel dan giginya beradu kuat seakan siap memaki.

Bia lekas membuka kunci ponsel. Nama Dira masih tersimpan baik di kontak ponselnya. Ia menekan tombol telpon. Namun bukan suara sambungan yang ia dengar, Bia justru mendengar suara peringatan jika nomor itu sudah tidak aktif.

Jangan tanya seperti apa hancurnya perasaan Bia. Ia hamil dan pria yang menghamilinya berselingkuh dengan wanita lain. Wanita itu bukan orang biasa, dia pemain film yang orang sering kagumi kecantikannya, Cloena Parviz.

Bia melihat bayangannya sendiri di depan cermin. Pipi tembam dan lipatan di perut membuat ia sadar bagaimanapun Dira juga laki-laki. Kemarin anggap saja dia sedang gila dan sekarang ia mulai sadar jika tubuh langsing dan wajah rupawan wanita lain lebih menggoda. Namun, masalahnya bukan itu. Nasib anak dalam kandungan Bia ....

Jika saja Bia tidak mendengar suara keras dari kamar Tantenya, ia sudah menangis di sana. Gadis itu terkaget lalu berlari ke kamar Rubi. Setelah di depan pintu, Bia mengetuk-ngetuk keras kamar itu. Tidak ada jawaban dan semakin membuat Bia panik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!