NovelToon NovelToon

BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI

Chapter 1

"Apa-apaan ini, Felix? Apa semua ini?" tanya Fiona, pandangannya menyapu sekeliling ruangan yang terasa seperti sangkar emas. Raut wajahnya yang sebelumnya dipenuhi tekad kini memudar menjadi pucat pasi, dikhianati oleh kenyataan yang terpampang di depan matanya.

Felix, yang kini bermahkota, merespons pertanyaan itu dengan seringai tipis yang dingin. "Oh, ini, Fiona, adalah takdirmu. Sebuah takdir yang seharusnya sudah kamu pahami sejak awal," sahutnya, suaranya mengandung nada meremehkan.

"Bukankah begitu, sayangku? Tidakkah kamu merasa ini adalah klimaks yang sempurna, setelah setiap pengorbanan yang kamu tumpahkan untukku?"

"Sempurna? Setelah tanganku menjadi kotor demi saudara-saudaramu? Setelah aku rela menderita demi melapangkan jalanmu menuju takhta?" sahut Fiona, suaranya meninggi, dipenuhi amarah yang membara. "Aku melakukan semua ini untuk kita, demi masa depan kita! Tapi apa yang aku dapat sebagai balasan? Pengkhianatan! Kamu memberiku sebuah pengkhianatan yang keji, Felix!"

Felix tertawa pelan. "Astaga, Fiona, kamu masih berpikir ini semua tentang kita? Betapa naifnya pemikiranmu," ujarnya, tawanya mengikis keheningan seperti pecahan kaca. "Darahmu yang tumpah adalah bukti pengabdian absolutmu. Dan kini, kamu menjadi bukti bahwa aku bisa membuang siapa pun yang sudah tidak lagi berguna."

"Kamu sudah menuntaskan kewajibanmu, dan sekarang, sebagai seorang Raja, aku tidak bisa lagi memiliki orang yang sama sepertiku." Ia kemudian menatap Fiona dengan tatapan dingin, seolah-olah dia adalah benda tak bernyawa. "Apa yang kamu harapkan? Sebuah tempat di sampingku sebagai Ratu? Oh, tentu tidak. Tempatmu adalah di sini, di mana kamu tidak akan bisa lagi mengancamku, mengancam kekuasaanku."

Fiona meringis saat para penjaga dengan kasar menyeretnya, membaringkannya di atas meja batu yang dingin dan usang. Tangannya diikat erat pada permukaan yang keras, setiap gerakannya memicu gelombang nyeri yang menjalar di sekujur tubuhnya.

"Lepaskan aku! Pengecut tidak tahu diri!" teriaknya, mencoba melawan dengan sisa-sisa kekuatannya, namun usahanya sia-sia belaka. "Kamu hanya bisa bertarung dari balik bayang-bayang!"

Felix berjalan mendekat, pandangannya yang kosong tanpa emosi terpaku pada Fiona yang kini tak berdaya. "Siksaan ini akan menjadi pelajaran pahit, Fiona. Sebuah peringatan bagi siapa pun yang berani meremehkan takhta yang telah aku rebut. Kamu akan merasakan bagaimana rasanya saat martabatmu diinjak-injak, persis seperti saat kamu menghancurkan semua musuhmu." Dia membisikkan kata-kata itu di telinga Fiona, suaranya dingin dan membekukan.

Fiona hanya bisa mengeluarkan geraman frustrasi, air mata mulai mengalir di pipinya saat rasa sakit fisik dan pengkhianatan emosional menyatu menjadi satu beban yang sangat berat.

"Penyiksaan ini hanyalah permulaan, Fiona. Aku akan memastikan kamu tidak akan pernah bisa melupakan siapa yang berkuasa di sini," tambah Felix dengan nada meremehkan yang sama seperti sebelumnya.

Fiona terperangkap dalam lingkaran penjaga yang mengerikan, tawa mereka bergema, memekakkan telinga. "Yang Mulia hanya meminta kami untuk bersenang-senang sebentar dengan mainannya," sambung penjaga lain dengan suara serak, tangannya yang kotor menyentuh kulit Fiona.

Rasa mual menjalar di perut Fiona, bercampur dengan ketakutan yang dingin. "Kau tidak berhak menyentuhku!" jeritnya, memalingkan wajahnya dan mencoba menggerakkan tubuhnya dengan sekuat tenaga, tetapi ikatan di pergelangan tangan dan kakinya semakin menguat, mengunci setiap geraknya.

Di sudut ruangan, Felix tersenyum sinis, seolah-olah dia sedang menikmati pertunjukan yang paling menghibur di dunia. Fiona memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir tanpa henti, saat rasa jijik, marah, dan sakit menusuk ulu hatinya, menyadari bahwa pengkhianatan ini jauh lebih kejam dari yang ia bayangkan.

Tawa para penjaga yang tadinya menggema kini memudar, digantikan keheningan yang mencekam saat salah satu dari mereka, yang paling berotot, melangkah maju. Tangannya yang besar dan kasar melingkari leher Fiona, cengkeraman kuatnya mengunci napasnya.

Mata Fiona membelalak kaget, dipenuhi amarah dan ketakutan yang campur aduk. Ia mencoba melawan, tetapi setiap ons kekuatan yang dimilikinya kini terasa tak berarti.

Tiba-tiba, suara retakan memecah kesunyian, mengakhiri perlawanannya. Tubuh Fiona lunglai, matanya yang tadi memancarkan kobaran api kini kosong tanpa cahaya.

Pandangannya terhenti pada siluet Felix yang berdiri di sudut ruangan, hanya memberikan senyum dingin yang puas. Dengan kepergian Fiona, segala ambisi dan pengorbanan yang ia lakukan kini sirna, tak meninggalkan jejak kecuali kenangan pahit akan pengkhianatan.

Tiba-tiba, seperti terlahir kembali dari neraka, Fiona terkesiap, tubuhnya terhempas dari meja dingin. Napas yang tadi dicekik kini kembali, menusuk paru-parunya dengan kemarahan yang membara.

Kenangan akan tatapan sinis Felix dan suara lehernya yang patah terngiang-ngiang di kepalanya, memicu api dendam yang tak terkendali di dalam hatinya.

Pandangannya yang masih buram karena penderitaan berangsur jelas, dan ia menemukan dirinya terbaring di atas karpet beludru yang tebal. Ia menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan sosok yang duduk di kursi kebesaran, Pangeran Vergil, Pangeran Ketiga dari Kerajaan Alvez, adik kedua dari Felix dan salah satu dari tujuh putra Raja Alex.

Fiona memandangnya, bukan dengan ketakutan, melainkan dengan kalkulasi. Vergil adalah salah satu dari tujuh pangeran yang dibantunya untuk dibunuh. Ia tahu sekarang, ia kembali. Ini adalah kesempatan kedua.

Vergil, merasakan tatapannya, menoleh dengan gerakan anggun. "Kenapa kamu ada di kamarku?" tanyanya dengan suara dingin.

Fiona bangkit, menatap Vergil dengan sorot mata penuh tekad. Ini adalah kesempatan untuk menulis ulang takdir, dan Felix akan membayarnya dengan harga yang jauh lebih mahal.

Dengan hati yang dipenuhi api dendam dan pikiran yang tajam, Fiona berdiri dan melangkah pasti menuju pintu. Ia tidak lagi ingin melarikan diri, melainkan ingin memulai permainan baru.

Namun, baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, sebuah tangan dingin dan kuat mencengkeram pergelangannya, menghentikan langkahnya dengan paksa. Vergil sudah berdiri tepat di belakangnya, kehadirannya yang tiba-tiba membuat bulu kuduknya meremang.

"Kau kira bisa masuk dan keluar dari kamarku begitu saja, calon kakak ipar?" bisiknya, suaranya terdengar begitu dekat hingga Fiona bisa merasakan napas dinginnya di telinga. Sebuah seringai sinis terukir di bibirnya yang tipis, memperkuat kesan bahwa dia adalah sosok yang berbahaya dan tidak terduga.

“Apalagi setelah kau lancang menyentuh tempat tidurku tanpa izin. Bagaimana kalau aku mencicipimu dulu, sebelum kakakku?” tambahnya, nada suaranya berubah menjadi lebih rendah dan mengancam, seolah-olah dia adalah seekor predator yang tengah mengintai mangsanya. "Bukankah begitu, hmm?"

Vergil memiringkan kepalanya sedikit, pandangannya yang dingin menusuk langsung ke dalam mata Fiona, seolah-olah dia sedang mencoba membaca setiap rahasia yang tersembunyi di baliknya.

Cengkeraman Vergil pada pergelangan tangan Fiona menguat, menariknya paksa hingga tubuhnya terhuyung ke belakang dan menabrak dada bidang sang pangeran. Vergil merangkulnya dengan tangan lainnya, menjebak tubuhnya dalam kungkungan yang kokoh.

"Aku tidak menerima jawaban, calon kakak ipar," gumamnya, suaranya lebih rendah dan lebih mengancam dari sebelumnya.

Fiona berjuang, tetapi setiap upayanya sia-sia di hadapan kekuatan Vergil yang menantang. Dengan satu gerakan cepat, Vergil mulai melucuti pakaiannya, dan kain sutra itu meluncur jatuh ke lantai.

"Ini hanya awal dari perkenalan kita," bisik Vergil.

Fiona memejamkan matanya, rasa sakit di hatinya beradu dengan dendam yang membara, dan ia menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.

Ia bersumpah akan membalas semua ini, dan ia akan memastikan Felix menyaksikan kehancuran yang telah ia picu dengan tangannya sendiri.

Chapter 2

"Hm, jadi ini calon kakak ipar yang selama ini diagung-agungkan itu?" ujar Vergil, sebuah senyum sinis mengukir di bibirnya.

"Aku dengar dia sangat setia pada satu pria. Tapi melihat betapa seringnya Felix berganti 'mainan' di istana ini, aku mulai ragu."

"Sepertinya kakakku punya selera yang sangat... dinamis."

"Apa aku harus mencicipimu dulu, calon kakak ipar, sebelum kau menjadi salah satu mainan yang dilempar dan dibuangnya?" katanya, suaranya dipenuhi nada mengejek yang menusuk, membuat Fiona merinding.

"Jangan khawatir, kau bukan yang pertama, dan aku yakin, kau tidak akan menjadi yang terakhir."

"Tidak! Tidak mungkin!" Fiona tiba-tiba terisak, menenggelamkan wajahnya ke dada Vergil seolah mencari perlindungan.

"Ini tidak mungkin benar. Felix tidak akan... dia mencintaiku. Dia bilang aku adalah satu-satunya..." kata-katanya terputus oleh tangisan yang dipalsukan, tangannya mencengkeram jubah Vergil erat-erat.

Ia membiarkan air mata mengalir dari sudut matanya, berharap Vergil tidak menyadari betapa dingin dan liciknya pandangan yang ia sembunyikan.

"Satu-satunya?" Vergil mendengus pelan, menertawakan kebodohan yang berusaha Fiona tunjukkan.

"Apa yang membuatmu berpikir kau akan jadi Ratu? Tidakkah kau tahu? Dia tidak pernah berencana untuk memiliki ratu, hanya boneka yang bisa ia buang kapan saja," ucap Vergil, suaranya kini terdengar serius, tetapi masih dengan nada meremehkan.

Ia merasakan tubuh Fiona yang bergetar di dekapannya, tapi ia tahu itu hanyalah sebuah sandiwara.

"Tinggalkan dia dan jadilah milikku. Aku bisa memberimu kekuatan untuk membalas dendam padanya."

Tanpa ragu, Fiona mengangkat kepalanya, air mata palsunya telah mengering.

Sebuah senyum licik terukir di bibirnya. "Baiklah, kalau begitu. Aku akan menjadi wanitamu," katanya, suaranya penuh tekad dan amarah yang tersembunyi.

"Bagus," bisik Vergil, kini sentuhan tangannya beralih menelusuri punggung telanjang Fiona, menyebabkan gadis itu mengerang pelan.

"Tapi kau akan tetap berada di sisi Felix. Jadilah mataku, berikan aku semua informasi tentangnya, semua gerak-geriknya, dan setiap rencana busuknya."

"Kau akan terus berpura-pura menjadi kekasih yang rapuh, sementara di balik layar, kau adalah bidak terpentingku," perintah Vergil, seringainya melebar.

"Anggap saja ini sebagai pelajaran pertamamu untuk berkhianat. Dan jangan khawatir, kita akan sering 'berlatih' bersama. Aku akan memastikan kau tidak akan merindukan sentuhan 'manis' Felix lagi," imbuhnya, suaranya terdengar serak, dan ia sengaja memberi penekanan pada kata terakhir, membuat erangan Fiona semakin dalam.

Tangan Vergil bergerak semakin cepat, menguasai Fiona sepenuhnya, membuat seluruh tubuh gadis itu diliputi sensasi asing yang memabukkan, jauh lebih intens dari apa pun yang pernah ia rasakan bersama Felix.

Gerakan Vergil begitu kuat, tak terduga, dan menggairahkan, hingga Fiona hanya bisa mengerang dan melengkungkan punggungnya, membiarkan dirinya sepenuhnya dikuasai.

Dia merasakan setiap sentuhan Vergil, setiap tarikan, setiap gerakan, seolah-olah Vergil bukan lagi sekadar pria, melainkan manifestasi dari kegelapan yang menjanjikan kekuatan tak terbatas.

Erangan yang keluar dari bibirnya semakin tak terkendali, bercampur dengan bisikan-bisikan serak Vergil yang penuh janji dan racun.

Perlahan, kesadaran Fiona memudar, tubuhnya yang lelah dan diliputi sensasi kenikmatan akhirnya menyerah, hingga kegelapan merenggutnya dalam pelukan lelap.

Ketika cahaya matahari pagi menerobos celah tirai, Fiona terbangun dengan perasaan nyeri di sekujur tubuhnya.

Ia merasakan kehangatan di sampingnya dan mengira Vergil masih berada di sana, namun saat ia menoleh, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan kehangatan yang memudar.

Dengan napas yang masih tersengal, ia meraih pakaiannya yang berserakan, buru-buru memakainya, lalu berjalan tertatih-tatih menuju jendela.

Di halaman istana, Vergil sedang berlatih, pedangnya berkelebat dalam gerakan yang sangat cepat.

Pedang itu bagaikan perpanjangan dari lengannya, berputar dan menusuk dengan presisi yang sempurna.

Setiap gerakan menunjukkan kekuatan dan akurasi yang menakjubkan, sebuah bakat yang jauh melampaui Felix.

Fiona mengingat kembali kehidupan pertamanya, di mana Vergil menjadi lawan yang sangat tangguh yang hampir mengalahkan semua rencana busuknya dan Felix.

Sekarang, Fiona mendapati dirinya bekerja sama dengan musuh terburuknya, seseorang yang ia ingin bunuh di masa lalu.

Dunia ini memang penuh ironi.

Saat Fiona membuka pintu dan melangkah keluar menuju Vergil, pria itu menghentikan latihannya, tatapan tajamnya menyambut langkah Fiona dengan nada yang dingin dan penuh peringatan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, suaranya terdengar tajam bagai kilatan pedang, tanpa jejak kehangatan dari malam sebelumnya.

"Aku sudah bilang padamu untuk tidak mendekatiku kecuali aku yang memanggil. Kau pikir kau siapa, datang kemari tanpa izin?" cecarnya, matanya menyipit tidak senang.

"Bagaimana kalau ada pelayan yang melihatmu? Bukankah itu akan menimbulkan kecurigaan, calon mata-mata yang ceroboh? Ingat, kau ada di sini untuk menjadi senjataku, dan senjata itu harus tetap tersembunyi. Jadi, kembalilah ke kamarmu dan tunggu sampai aku memberimu perintah. Jika aku melihatmu lagi sebelum aku yang memanggil, kau akan dihukum. Dan aku jamin, kau tidak akan menyukainya."

Fiona membalas tatapan Vergil, lalu berbalik dan kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan pelan.

Ia bersandar di pintu, membiarkan tubuhnya meluncur ke lantai yang dingin, tatapannya kosong.

Vergil benar. Kali ini, sekutunya bukanlah Felix, seorang pangeran yang naif dan mudah ditebak, melainkan Vergil, seorang pria yang cerdas, kuat, dan kejam, sama seperti dirinya sekarang.

Ia harus lebih berhati-hati dan lebih licik, tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun.

Fiona menyadari bahwa bekerja sama dengan Vergil adalah jalan yang berbahaya, tetapi jalan itu juga yang paling efektif untuk mencapai tujuannya.

Rencana balas dendamnya kali ini harus sempurna, tanpa cela, dan Vergil adalah kepingan puzzle terpenting yang ia butuhkan untuk menghancurkan Felix dan semua yang dicintainya.

Tiba-tiba, sebuah ketukan terdengar di pintu kamarnya, diikuti suara riang yang sangat dikenalnya.

"Fiona, ayo kita jalan-jalan di taman! Cuaca hari ini sangat cerah!" seru Felix.

Fiona menghela napas, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, sambil bangkit dan berjalan menuju pintu, memasang ekspresi ceria yang mematikan.

Felix mengajak Fiona menyusuri taman istana, tangannya melingkari pinggang Fiona dengan posesif.

Dia terus berbicara dengan nada ramah dan penuh perhatian, sesekali tertawa renyah seolah tak ada beban.

Fiona hanya membalasnya dengan senyum manis yang dipaksakan, dalam hati merasa jijik dengan setiap sentuhan Felix.

Ia memikirkan betapa munafiknya pangeran itu.

Di kejauhan, tersembunyi di balik pohon cedar tua, Vergil memperhatikan mereka.

Senyum tipis yang penuh perhitungan muncul di wajahnya.

Dia tidak merasakan amarah atau kecemburuan, melainkan kepuasan yang dingin.

Baginya, pemandangan itu seperti melihat seekor mangsa yang tidak menyadari bahwa ia sudah terjebak dalam perangkap.

Ya, Felix mungkin berpikir ia sedang menggenggam hati Fiona, tapi Vergil tahu, ia sudah berhasil menanam 'jarum di dalam tumpukan jerami', yang bernama Fiona.

Jarum yang siap menusuk dan merusak segalanya dari dalam, di saat yang paling tidak terduga.

Chapter 3

"Fiona, lihatlah bunga-bunga ini," ucap Felix sambil menyentuh kelopak mawar merah yang mekar.

"Mereka sama sekali tidak bisa menandingi keindahanmu."

"Setiap kali aku memandangmu, hatiku bagai dilingkupi cahaya."

"Dan aku sadar bahwa seluruh hidupku, mulai dari detik ini dan seterusnya, hanya akan berputar di sekitarmu, karena kau adalah satu-satunya ratu di hatiku."

Ia mencondongkan tubuhnya, menyisir rambut Fiona yang tertiup angin.

Dalam hati, Fiona mencibir, merasa mual mendengar kata-kata manis yang seolah menjijikkan dari mulutnya.

Ia tahu itu hanya omong kosong, karena di kehidupan sebelumnya ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana Felix mengulangi kata-kata yang sama kepadanya.

"Jadi, mari kita lupakan semua masa lalu itu, ya?"

"Kau akan segera menjadi ratuku, dan aku janji, kau akan memiliki segalanya yang kau impikan."

Sebuah senyum manis mematikan terukir di bibir Fiona, sembari ia membalas, "Tentu, Yang Mulia," yang dalam hatinya terdengar seperti janji balas dendam.

Setelah kata-kata romantis itu selesai diucapkannya, ekspresi manis yang sebelumnya ia pasang kini digantikan oleh tatapan dingin dan penuh perhitungan.

Felix menghentikan langkah mereka di dekat kolam air mancur yang indah.

"Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku," bisiknya, suaranya pelan dan menusuk.

"Adik bungsuku, Leo... kau tahu, dia selalu terlalu banyak mencampuri urusanku."

"Kesederhanaannya itu, sungguh menjijikkan."

"Aku ingin kau memberinya 'hadiah' istimewa, sesuatu yang akan membuatnya tidak pernah lagi mengganggu rencanaku."

Jemarinya bergerak dari pinggang Fiona ke tangan gadis itu, mengelus punggung tangannya dengan lembut, kontras dengan perintah kejam yang baru saja ia lontarkan.

"Tentu saja, setelah tugasmu selesai, kita akan segera merayakan kemenangan kita. Jadi, bagaimana, sayang? Kau bersedia membantuku, bukan?"

Meskipun perintah itu menusuknya dengan kegelian, Fiona tetap memasang ekspresi lembut.

Ia mengangkat wajahnya, menatap Felix dengan senyum cerah dan mata berkaca-kaca seolah menahan air mata haru.

"Tentu saja, Yang Mulia," bisiknya, suaranya terdengar lembut dan penuh pengabdian.

"Aku akan melakukan apa pun untukmu. Kau tahu, aku akan melakukan apa saja untukmu."

Tangan Fiona bergerak, menyentuh pipi Felix dengan lembut, ibu jarinya membelai kulitnya, sebuah sentuhan yang begitu intim dan menipu, seolah-olah seluruh dunianya memang hanya berputar di sekitar Felix.

Di balik ekspresi cintanya yang sempurna itu, pikirannya berputar cepat.

Rencana ini terlalu ceroboh, dan ia tahu betul bagaimana Felix dapat menghancurkan dirinya sendiri dengan cara yang paling tidak terduga.

Sebuah rencana untuk membalas dendam yang paling sempurna, perlahan terbentuk di benak Fiona.

Dengan senyum yang masih merekah di wajahnya, Fiona melepaskan diri dari genggaman posesif Felix, berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah yang ringan seolah baru saja mendapat kabar gembira.

Namun, saat pintu kamarnya tertutup rapat, senyum itu menghilang dan digantikan oleh tatapan kosong yang menyimpan amarah.

"Dasar orang bodoh," gumamnya, tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Kau pikir kau bisa mengontrolku, tapi kau tidak tahu kalau dari awal, kaulah yang menjadi bidakku."

"Kau mengira aku akan jatuh dalam perangkapmu, padahal yang sebenarnya, kaulah yang sudah masuk dalam perangkapku."

Fiona kemudian menyalakan lilin, mengambil secarik kertas dan pulpen, lalu mulai menuliskan rencananya dengan detail, sebuah rencana yang akan menghancurkan Felix dari dalam.

Saat Fiona sedang menulis, suara yang familiar tiba-tiba muncul dari sudut kamar, membuat Fiona terperanjat, buru-buru menyembunyikan kertas yang ada di tangannya.

Senyum sinis terukir di wajah tampan Vergil yang bersandar di dinding, seolah sudah menyaksikan seluruh pertunjukan itu.

"Drama yang indah, Fiona."

Ia melangkah mendekat, matanya menatap tajam, membuat Fiona tidak bisa menutupi kecerobohannya.

"Aku sudah menunggumu, 'calon kakak ipar'."

Vergil melanjutkan, "Pangeran Felix berpikir ia cerdas, memintamu untuk membunuh Leo. Tapi dia tidak sadar, dia hanya membuka pintu dan membiarkanmu masuk ke dalam sarang laba-laba. Dan di sinilah aku, menunggumu."

Fiona membalas dengan nada datar, meletakkan pulpennya di atas meja. "Aku pikir siapa, ternyata kau, Vergil," balasnya.

"Kau tahu, aku tidak pernah punya selera yang bagus untuk drama."

"Jadi, bagaimana, ada yang bisa aku lakukan untukmu?"

Vergil memiringkan kepalanya, senyumnya semakin lebar. "Aku penasaran, apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Apa rencanamu untuk 'hadiah' istimewa untuk Leo itu? Felix mungkin tidak menyadarinya, tapi aku tahu kau punya sesuatu yang jauh lebih besar di tanganmu."

Fiona mendengus, melipat tangannya di dada. "Itu bukan urusanmu. Aku tidak akan memberitahumu."

"Aku punya satu permintaan, jika rencana ini berhasil, aku ingin kastil Leo menjadi milikku. Aku ingin seluruh kekayaan dan tanahnya berada di bawah kendaliku."

Vergil tertawa pelan, membuat Fiona menyipitkan matanya. "Menarik. Sangat menarik. Kau tidak menginginkan kekayaan biasa, tapi kekuasaan yang nyata."

"Dan kau berniat menggunakannya sebagai ganti 'nyawa' Leo. Baiklah, aku terima kesepakatan itu."

Senyum Vergil menjadi begitu menakutkan, seperti janji yang mematikan.

"Jadi, bagaimana caramu akan membuat Felix kehilangan posisinya sebagai pangeran mahkota? Dan dengan begitu, semua saudaranya bebas untuk menyerang bahkan membunuhnya, karena dia tidak lagi memiliki perlindungan dari raja?" Vergil menambahkan, nadanya penuh antisipasi.

"Apa kau akan menjebaknya dengan cara yang begitu sempurna hingga dia tidak akan bisa lari?"

"Aku tidak bilang aku akan menyelamatkan Leo," jawab Fiona, suaranya sedingin es.

"Aku setuju untuk melaksanakan perintah Felix. Itu artinya, aku akan membunuh Leo. Namun, setelah Leo tewas, aku akan menyamarkannya sebagai kecelakaan, dan aku akan menyalahkan Felix, dan menjadikan ini sebagai siasat untuk membuatnya terlihat seperti pembunuh berdarah dingin."

"Dengan begitu, Leo akan mati, Felix akan kehilangan posisinya sebagai pangeran mahkota, dan aku akan memiliki kastil Leo, yang sudah kau setujui tadi."

Fiona berbicara dengan nada datar yang mengerikan, tanpa ragu sedikit pun. "Kau akan memiliki apa yang kau inginkan, yaitu Felix yang jatuh."

"Dan aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan, sebuah 'kasta' yang lebih tinggi, yang akan membantuku membuat semua pangeran yang ada di kerajaan ini menjadi bidakku."

Vergil menyunggingkan senyum tipis, merasa terkesan dengan kekejaman dan perhitungan Fiona.

"Aku rasa kita akan cocok, Fiona," bisiknya, suaranya penuh kekaguman.

"Sangat cocok."

Setelah kesepakatan itu dibuat, Fiona tidak membuang waktu. Beberapa jam kemudian, kegelapan telah menyelimuti sebagian besar istana.

Sesuai dengan rencana yang telah ia susun, Fiona memulai langkah pertamanya, menyusuri koridor-koridor yang sepi menuju kebun belakang.

Di sana, ia menemukan Leo yang sedang duduk sendirian, memandangi bintang-bintang. "Leo, bisakah kita bicara sebentar?" bisik Fiona dengan nada lembut, memimpin Leo menuju paviliun terpencil di sisi barat taman istana, jauh dari mata-mata yang mungkin mengintai.

"Ada sesuatu yang menggangguku, dan hanya kau yang bisa kubagi rahasia ini."

Raut wajah Leo berubah penuh perhatian, kebaikan dan kesederhanaannya terpancar jelas. "Tentu, Fiona. Ada apa? Kau tampak murung," jawabnya, suaranya tenang dan penuh empati. Fiona menunduk, seolah menutupi kesedihannya.

"Aku sangat takut, Leo. Pangeran Felix baru saja memberitahuku bahwa dia sangat khawatir tentang sebuah 'racun' yang telah mengancam kesehatan para bangsawan di istana. Dia ingin memastikan kau aman, jadi dia memintaku untuk memberikanmu ini, sebuah penawar yang hanya dia percayai."

Dari balik lipatan gaunnya, Fiona mengeluarkan sebuah botol kristal kecil berisi cairan bening yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.

Dengan senyum yang begitu tulus, yang hanya bisa ia ciptakan setelah bertahun-tahun berlatih, Fiona menyerahkan botol itu pada Leo.

"Minumlah, demi keselamatanmu. Ini untuk memastikan tidak ada yang terjadi padamu," ucapnya, sementara matanya memancarkan kilau keji yang tidak dapat dilihat oleh mata polos Leo.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!