NovelToon NovelToon

Belenggu Ratu Mafia

Perintah Mutlak

Leo percaya bahwa setiap dapur memiliki detak jantungnya sendiri. Di "The Alchemist's Table", detak jantung itu adalah sebuah ritme yang tenang, terkontrol, dan presisi. Sebuah orkestra simfoni di mana setiap instrumen tahu perannya. Desis mentega yang meleleh di atas wajan panas adalah senar biola, kertak pisau di atas talenan kayu adalah perkusi, dan komando Leo yang tegas adalah tongkat konduktornya. Ia menamai restorannya "The Alchemist's Table" bukan karena arogansi, melainkan karena keyakinan. Di sini, ia adalah seorang alkemis. Ia mengambil bahan-bahan mentah tanah, api, air dan mengubahnya menjadi emas yang bisa dinikmati. Emas yang bisa membangkitkan kenangan, memicu emosi, dan untuk sesaat, membuat dunia di luar sana lenyap.

Malam itu adalah malam yang sempurna. Udara dipenuhi aroma thyme panggang dan bawang putih. Di sudut, Rina, sous-chef kepercayaannya, bergerak dengan efisiensi tanpa suara, menyiapkan garnish dengan pinset seolah sedang merangkai perhiasan. Di bagian pastry, Dani muda sedang melukis piring dengan saus karamel, alisnya berkerut penuh konsentrasi. Ini adalah kuil Leo, sebuah ekosistem harmoni yang ia bangun dari nol. Setiap piring yang keluar dari dapurnya adalah sebuah doa.

"Chef, meja dua belas memuji foie gras-nya," lapor Tio, manajer restoran yang setia, sambil menyelinap masuk. Tio adalah pria paruh baya yang selalu tampak sedikit cemas, perannya adalah menjadi benteng antara kesucian dapur dan kekacauan dunia luar. "Mereka bilang rasanya seperti mimpi."

"Mimpi tidak membayar sewa, Tio. Apa mereka memesan hidangan utama?" balas Leo tanpa mengalihkan pandangan dari sepotong daging Tomahawk premium yang sedang ia siapkan. Marmer lemaknya sempurna, seperti peta galaksi yang terukir di daging merah tua.

"Tentu saja, Chef," Tio terkekeh. "Oh, dan reservasi atas nama Bapak Hartawan untuk jam sembilan dibatalkan mendadak."

Leo mengangkat alis. Hartawan adalah seorang taipan properti yang tidak pernah sekalipun membatalkan janji. "Alasannya?"

Tio mengangkat bahu, kegugupannya sedikit meningkat. "Tidak ada. Sekretarisnya hanya bilang 'ada urusan tak terduga'. Anehnya, tiga meja lain juga batal. Seolah-olah ada sesuatu malam ini."

Leo tidak memikirkannya lebih jauh. Dunia di luar sana penuh dengan urusan yang tak terduga. Dunianya ada di sini, di atas wajan besi yang panasnya sudah mencapai suhu yang tepat. Ia melumuri Tomahawk itu dengan minyak zaitun, menaburkan garam laut kasar dan lada hitam yang baru digiling. Sebuah ritual. Sebuah permulaan transmutasi.

Kemudian, orkestranya berhenti.

Bukan secara bertahap, tapi mendadak. Seolah seorang raksasa menginjak gedung opera. Di ruang makan, denting garpu dan pisau di atas piring porselen yang elegan lenyap. Tawa seorang sosialita di meja dekat jendela terpotong di tengah jalan. Obrolan para tamu kelas atas yang biasanya riuh riang berubah menjadi bisikan gugup, lalu hening total. Keheningan itu begitu pekat, tidak wajar, dan penuh muatan takut, menjalar hingga ke ambang pintu dapur seperti gelombang kejut yang tak terlihat.

Para staf di dapur saling berpandangan, merasakan perubahan atmosfer yang drastis. Rina menghentikan gerakan pinsetnya. Dani menahan napas.

"Tio, apa itu?" Suara Leo tajam, merasakan suasana itu sebagai sebuah ancaman.

Tio mengintip keluar melalui jendela bundar di pintu dapur. Ketika ia berbalik, wajahnya pucat pasi, lapisan keringat tipis membasahi pelipisnya. "Dia di sini, Chef," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

"Dia siapa?"

"Sang Ratu."

Leo mengerutkan kening dan mengambil tempat Tio di jendela. Dan di sanalah ia melihat sumber dari keheningan itu. Di sanalah ia melihat episentrum dari gempa ketakutan yang baru saja melanda restorannya.

Seorang wanita melangkah masuk, didahului oleh seorang pria raksasa yang tubuhnya seolah dibangun dari beton kokoh. Pria itu adalah Marco "Si Banteng" Santoro, berhenti di ambang pintu, matanya yang kecil dan tajam menyapu seluruh ruangan. Tatapannya berhenti sejenak pada setiap wajah pria di ruangan itu, sebuah pernyataan ancaman yang dingin dan instan. Para pengusaha yang biasanya penuh kuasa kini menunduk menatap piring mereka. Para pria muda yang angkuh mendadak tampak seperti anak sekolah yang takut ketahuan berbuat salah.

Setelah Marco memberikan sinyal aman yang nyaris tak terlihat, barulah wanita itu melangkah melewati ambang pintu.

Isabella "The Empress" Rosales.

Ia mengenakan gaun sutra berwarna merah darah yang memeluk lekuk tubuhnya dengan kesempurnaan bidadari. Gaun itu sederhana, tanpa hiasan, namun di tubuhnya, gaun itu menjadi sebuah pernyataan. Rambut hitam legamnya yang panjang tergerai lurus, berkilau di bawah cahaya lampu gantung, kontras dengan kulitnya yang seputih pualam. Wajahnya cantik secara brutal, tulang pipi yang tinggi, rahang yang tegas, dan bibir penuh yang seolah diciptakan untuk mencium atau memerintah. Tapi bukan kecantikannya yang membekukan seisi ruangan. Melainkan auranya. Aura kekuasaan absolut yang diusung dengan keanggunan. Setiap langkahnya tegas, tanpa keraguan, seolah lantai marmer itu miliknya, seolah udara yang ia hirup pun harus meminta izin terlebih dahulu.

Marco menarik kursi di meja terbaik, meja yang baru saja dikosongkan oleh pembatalan Hartawan, dan Isabella duduk dengan punggung tegak lurus, menempatkan tas tangannya yang kecil dan hitam di atas meja dengan suara pelan yang terdengar seperti ketukan palu hakim.

Leo mundur dari jendela, merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Bukan karena takut. Bukan. Itu adalah adrenalin murni seorang seniman yang karyanya akan dinilai oleh kritikus paling berbahaya di dunia. Ini adalah ujian.

Pesanan datang beberapa menit kemudian, dibawa oleh Tio sendiri, tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan catatan itu pada Leo.

"Tomahawk, Chef. Untuk Nona Isabella." Tio menelan ludah. "Tingkat kematangan... medium rare."

Leo hanya mengangguk, ekspresinya tenang. Di dalam pikirannya, dunia luar telah lenyap. Hanya ada dirinya, apinya, dan sepotong daging yang menuntut kesempurnaan. Ia meletakkan Tomahawk itu di atas wajan yang mendesis ganas. Aroma daging panggang yang surgawi mulai memenuhi dapur, sebuah tantangan bagi keheningan yang mencekam di luar. Ia membalik daging itu hanya sekali. Ia menyiramnya dengan mentega panas, bawang putih yang dihancurkan, dan sebatang thyme segar. Orkestranya telah kembali, tetapi kali ini, mereka hanya bermain untuk satu penonton.

Lima belas menit kemudian, mahakarya itu siap. Disajikan di atas piring porselen hitam, dihiasi hanya dengan sebatang thyme yang sedikit hangus dan beberapa butir garam Maldon. Sederhana, jujur, sempurna.

Leo memperhatikannya dari jendela saat Tio yang gugup menyajikan hidangan itu di hadapan Isabella. Ia melihat Isabella mengamati steak itu sejenak, lalu memotong seiris kecil daging dengan gerakan anggun dan presisi. Daging itu sempurna, bagian luarnya berkerak gelap, bagian dalamnya berwarna merah muda yang hangat dengan sari daging yang meleleh. Itu adalah puisi di atas piring.

Isabella memasukkan potongan kecil itu ke dalam mulutnya, mengunyahnya perlahan, matanya terpejam sejenak. Leo menahan napas. Inilah momen kebenaran. Lalu, Isabella membuka matanya. Ekspresinya tak terbaca. Ia meletakkan garpu dan pisaunya dengan pelan di samping piring. Dengan satu gerakan tangan kecil yang nyaris tak terlihat, ia memanggil Tio.

Beberapa detik kemudian, piring itu kembali ke dapur, dibawa oleh Tio yang wajahnya kini sudah seperti kain lap basah.

"Chef," kata Tio dengan suara gemetar, meletakkan piring itu di atas meja stainless steel. "Nona Isabella bilang, steaknya salah."

Leo menatap piring itu. Potongannya sempurna. Warnanya sempurna. "Salah apanya?" tanyanya, suaranya tetap tenang, tetapi ada nada dingin di dalamnya.

"Dia bilang... i-ini masih mentah." Tio tergagap. "Dia mau... dia mau well-done."

Keheningan yang tadi melanda ruang makan kini berpindah sepenuhnya ke dapur. Rina hampir menjatuhkan pinsetnya. Dani membeku. Memasak steak premium seharga jutaan rupiah hingga well-done bukan lagi sebuah permintaan. Itu adalah sebuah penghinaan. Itu adalah vandalisme kuliner.

"Tidak," jawab Leo, suaranya datar dan final. Ia berbalik, menganggap percakapan itu sudah selesai.

"Chef, tolong!" Tio memohon, suaranya putus asa. "Anda tidak mengerti siapa dia. Orang di bar sebelah menghilang karena menyajikan anggur yang salah untuknya!"

"Dan aku adalah chef di restoran ini," balas Leo, menatap Tio tajam. "Di dapur ini, kehormatan resep lebih tinggi dari reputasi tamu mana pun. Katakan padanya, dengan hormat, permintaannya ditolak."

Tio tampak seperti akan menangis, tetapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Leo saat prinsipnya diusik. Ia berbalik dengan langkah berat, seperti orang yang berjalan menuju tiang gantungan.

Namun, ia tidak perlu sampai ke pintu. Pintu dapur berayun terbuka dengan keras, menghantam dinding. Marco Si Banteng masuk, tubuhnya yang besar seolah menyerap semua cahaya dan udara di ruangan itu. "Bosku mau bicara dengan kokinya," geramnya, suaranya berat seperti batu gerinda. "Sekarang."

Leo meletakkan pisaunya dengan pelan. Ia melepas celemeknya, melipatnya dengan rapi, dan meletakkannya di atas meja. Ia berjalan melewati Marco yang mendengus seperti banteng sungguhan, dan melangkah keluar dari kuilnya, memasuki arena gladiator.

Seluruh mata di ruang makan tertuju padanya. Ia berjalan melintasi permadani keheningan dan berhenti tepat di depan meja Isabella. Untuk pertama kalinya, ia melihat wanita itu dari dekat. Matanya berwarna gelap seperti kopi hitam, dalam dan tanpa dasar. Tidak ada kehangatan di sana, hanya perasaan yang tajam dan berbahaya.

"Ada masalah dengan steak saya, Koki?" tanya Isabella. Suaranya tidak keras, tetapi membelah keheningan dengan mudah.

"Tidak ada masalah dengan steaknya, Nona," jawab Leo, nadanya sopan namun tidak membungkuk. Tulang punggungnya lurus. "Masalahnya ada pada permintaan Anda. Saya tidak akan menyajikan sepotong daging berkualitas tinggi yang sudah saya masak hingga hancur."

Marco menggeram pelan di belakangnya, sebuah ancaman yang nyata. Isabella mengangkat satu tangan yang ramping untuk menenangkannya, matanya tidak pernah lepas dari Leo. Keberanian atau kenaifan, pria ini membuatnya geli. Semua orang di kota ini gemetar mendengar namanya, tapi chef di hadapannya justru berdiri tegak, berdebat dengannya soal sepotong daging.

"Jadi," kata Isabella pelan, bibirnya nyaris tidak bergerak. "Kau menolak perintahku?"

"Saya menolak merusak karya seni saya," koreksi Leo, suaranya tetap tenang. "Anda membayar untuk keahlian saya, dan keahlian saya mengatakan steak itu sudah sempurna."

Keheningan yang mencekam menggantung di udara, begitu berat hingga terasa sesak. Para tamu lain menahan napas, menjadi penonton bisu dalam duel antara seekor singa betina dan seorang pria yang kelihatannya naif. Leo telah menghadapi kritikus makanan yang sombong dan investor yang serakah, tetapi ini berbeda. Ini adalah bentrokan dua kekuatan di wilayah abu-abu antara seni dan kekuasaan. Ia tidak akan mundur. Tidak untuk steaknya. Tidak di dalam kuilnya.

Ia melihat tatapan dingin Isabella berkedip sepersekian detik namun bukan amarah, melainkan keterkejutan murni. Keterkejutan itu kemudian bermetamorfosis menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya, minat. Minat murni seorang predator yang telah menghabiskan seumur hidupnya melihat mangsa berlari, dan untuk pertama kalinya, menemukan satu yang berdiri diam dan balas menatap.

Sudut bibir merah Isabella perlahan terangkat, membentuk senyum tipis yang tidak mencapai matanya. Itu adalah senyum puas, senyum seseorang yang baru saja menemukan anomali langka di dunia yang membosankan dan dapat diprediksi. Seolah ia baru saja memutuskan bahwa hidangan di depannya tidak lagi menarik, tetapi orang yang memasaknya adalah menu utama yang jauh lebih menggugah selera.

Ia bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Undangan Menuju Neraka

Perintah itu menggantung di udara seperti vonis mati. "Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Isabella bangkit berdiri, gaun merahnya mengalir seperti darah segar di lantai marmer, dan meluncur keluar dari restoran tanpa menoleh ke belakang. Marco Si Banteng memberinya satu tatapan terakhir pada Leo, tatapan yang menjanjikan bahwa tidak ada jalan untuk lari sebelum mengikuti bosnya.  Mereka pergi dengan meninggalkan keheningan yang seribu kali lebih berat dari sebelumnya.

Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Para tamu membeku, manajer restoran Tio tampak seperti arwah yang lupa cara kembali ke tubuhnya. Lalu, seolah bendungan pecah, kekacauan meletus. Beberapa tamu buru-buru melemparkan uang ke meja dan pergi, tidak ingin menjadi saksi dari apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Yang lain mulai berbisik dengan panik. Tio berlari menghampiri Leo, wajahnya pucat dan putus asa.

"Chef! Apa yang kau lakukan?! Kau menantang Isabella Rosales! Kita harus pergi, tutup restoran, lari ke luar negeri!" seru Tio, menarik-narik lengan kemeja Leo.

Leo dengan tenang melepaskan genggaman Tio. Ia menatap restorannya yang kini porak-poranda oleh ketakutan. Orkestranya telah hancur. Kuilnya telah dinodai. Anehnya, di tengah kepanikan itu, ia merasakan ketenangan yang dingin. "Pulangkan semua tamu, Tio. Beri mereka pengembalian uang penuh. Malam ini, The Alchemist's Table tutup."

"Tutup? Chef, kita harus lari!"

"Aku tidak akan lari dari dapurku sendiri," kata Leo, suaranya datar. Ia berbalik dan berjalan kembali ke dapurnya, meninggalkan Tio yang memanggil-manggil namanya dengan frustrasi.

Malam itu, Leo tidak pulang. Setelah semua staf pergi dengan tatapan cemas dan ucapan semoga berhasil yang terdengar seperti ucapan selamat jalan, ia sendirian. Ia melakukan apa yang selalu ia lakukan di saat dunianya terasa akan runtuh, leo membersihkan restoran sendirian, hal itu akan memberikannya ketenangan sesaat namun juga membuatnya fokus. Ia menggosok setiap permukaan meja stainless steel hingga berkilau. Ia membongkar, membersihkan, dan merakit kembali kompor gasnya. Ia mengasah setiap pisaunya dengan batu asah, gerakan maju-mundurnya yang seirama menjadi sebuah mantra. Setiap gesekan baja di atas batu adalah cara untuk menajamkan pikirannya yang kalut.

Ia tidak naif. Ia tahu siapa Isabella. Ia tahu perintah itu bukanlah undangan untuk minum teh. Namun, di dalam dirinya, ada sebuah prinsip yang lebih keras dari baja pisaunya. Prinsip bahwa seorang seniman tidak boleh mengorbankan karyanya demi menyenangkan seorang diktator jahat. Malam itu, ia telah mempertahankan prinsip itu. Apa pun yang terjadi besok pagi adalah konsekuensinya. Sambil mengeringkan pisaunya yang terakhir, ia menatap pantulan wajahnya di bilah yang mengilap. Wajah tampan seorang chef. Wajah seseorang yang keesokan paginya mungkin akan memasak hidangan terakhirnya.

Pukul delapan pagi, sebuah sedan hitam tanpa plat nomor berhenti dengan mulus di depan restorannya yang masih tutup. Pintu belakang terbuka, dan Marco keluar, mengenakan setelan yang sama seperti semalam. Ia tidak mengetuk. Ia hanya berdiri di sana, kehadirannya lebih mencekam daripada alarm kebakaran.

Leo sudah siap. Ia mengenakan seragam chef-nya yang paling bersih, seolah hendak menghadapi peristiwa paling penting dalam hidupnya. Ia menyerahkan kunci restoran pada Tio yang telah menunggunya dengan mata merah sejak subuh.

"Jaga tempat ini, Tio," kata Leo pelan.

"Chef..." suara Tio tercekat.

"Buatkan aku kopi jika aku kembali," tambah Leo dengan senyum tipis, lalu berjalan keluar menghampiri takdirnya.

Perjalanan itu hening. Mobil itu meluncur di jalanan kota yang sibuk, sebuah mobil kedap suara yang memisahkan Leo dari dunia normal. Orang-orang berjalan ke kantor, anak-anak berangkat ke sekolah, kehidupan berjalan seperti biasa, tidak menyadari drama sunyi yang terjadi di dalam mobil mewah ini. Marco menyetir dengan fokus, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keheningannya adalah sebuah pernyataan 'Leo bukan tamu', ia adalah paket yang sedang diantar.

Mereka tidak menuju ke sebuah vila tersembunyi atau gudang tua seperti di film-film. Mereka menuju ke jantung kota, berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca hitam dan dinding baja, menjulang angkuh di atas bangunan lainnya. "The Empress Tower". Milik Isabella, tentu saja.

Lift pribadi membawa mereka langsung ke lantai teratas yaitu penthouse. Saat pintu lift terbuka, Leo disambut oleh pemandangan yang membuatnya berhenti sejenak. Ruangan itu adalah sebuah mahakarya desain minimalis. Dindingnya terbuat dari kaca yang menjulang dari lantai ke langit-langit, menyajikan panorama luas kota yang terhampar di bawah seperti papan catur raksasa milik Isabella. Perabotannya sedikit, dipilih dengan selera yang sempurna dan harga yang tak terbayangkan. Lukisan abstrak raksasa tergantung di satu dinding, warnanya yang kelam dan kacau menjadi satu-satunya sumber "mencolok" di ruangan yang begitu steril. Ruangan itu indah, kuat, tetapi dingin. Sangat dingin. Seperti mausoleum yang mewah.

Isabella berdiri di dekat jendela, membelakangi mereka, menatap kerajaannya. Hari ini ia tidak mengenakan gaun merah darah. Ia memakai celana panjang sutra hitam dan blus putih sederhana, rambutnya diikat ekor kuda yang rapi. Tanpa gaun perang dan suasana intimidatif restoran, ia tampak lebih muda, hampir seperti wanita biasa. Hampir.

"Tinggalkan kami, Marco," katanya tanpa berbalik.

Marco mengangguk sekali pada Leo, sebuah isyarat yang bisa berarti 'semoga berhasil' atau 'selamat tinggal', lalu pergi, pintu lift menutup di belakangnya dengan desisan pelan.

Kini hanya ada mereka berdua, di puncak dunia.

"Pemandangan yang indah, bukan?" Isabella akhirnya berbicara, suaranya tenang. "Dari sini, semuanya terlihat begitu teratur. Begitu kecil." Ia berbalik menghadap Leo, matanya menilai. "Semalam kau menolak perintahku di wilayahmu. Kau menjaga kesucian kuilmu itu. Aku menghargainya."

Leo diam, menunggu.

"Sekarang," lanjut Isabella, "kau berada di wilayahku. Di kuilku." Ia memberi isyarat ke arah sebuah ruangan lain yang terhubung dengan ruang utama. Sebuah dapur.

Leo melangkah masuk dan lagi-lagi terkesima. Dapur itu adalah impian setiap chef. Kompor induksi canggih, oven konveksi ganda, kulkas walk-in dengan pintu kaca, dan satu set pisau Jepang yang harganya mungkin setara dengan gaji Leo setahun. Semuanya berkilau. Semuanya sempurna. Dan semuanya... belum pernah dipakai. Tidak ada goresan di talenan, tidak ada noda di kompor, tidak ada aroma apa pun selain aroma pembersih dan barang baru. Dapur ini memiliki segalanya, kecuali jiwa.

"Aku lapar," kata Isabella, menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, menyilangkan tangan di dada. "Masakkan aku sarapan."

Ini dia. Tesnya. Bukan sebuah ancaman fisik, melainkan sebuah tantangan yang lebih dalam. "Apa yang Anda inginkan?" tanya Leo.

Isabella tersenyum tipis. "Kejutkan aku. Kau seorang alkemis, bukan? Ubahlah apa pun yang kau temukan di sana menjadi emas."

Leo menarik napas dalam-dalam. Ini bukan lagi tentang menolak. Ini tentang membuktikan. Ia membuka kulkas raksasa itu. Di dalamnya ada bahan-bahan paling mewah dari seluruh dunia. Telur angsa, jamur truffle hitam, kaviar Beluga, salmon dari Skotlandia. Tapi di sudut rak paling bawah, ia menemukan sesuatu yang sederhana, selusin telur ayam kampung biasa, beberapa tomat ceri, dan seikat daun basil segar.

Ia tersenyum dalam hati. Emas tidak selalu harus berkilau.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mulai bekerja. Gerakannya yang tadinya sedikit kaku karena gugup kini menjadi cair dan penuh percaya diri. Ia mengambil alih dapur steril itu. Suara pertama adalah kertak pisaunya yang memotong bawang dengan kecepatan kilat. Lalu desis minyak zaitun di atas wajan. Ia memecahkan tiga butir telur ayam kampung ke dalam mangkuk, mengocoknya dengan garpu hingga sedikit berbusa—tidak terlalu banyak. Ia tidak membuat hidangan yang rumit. Ia akan membuat frittata sederhana.

Isabella tidak beranjak dari tempatnya. Ia memperhatikan setiap gerakan Leo dengan intensitas yang aneh. Ia melihat bagaimana jemari pria itu menari di atas bahan-bahan, bagaimana bahunya yang tegang menjadi rileks saat ia fokus pada pekerjaannya. Aroma bawang yang ditumis, diikuti oleh aroma tomat yang mulai matang dan wangi basil yang segar, perlahan mulai mengisi apartemen yang dingin itu. Untuk pertama kalinya, penthouse itu memiliki aroma rumah. Aroma kehidupan.

Leo bekerja dalam diam, menuangkan adonan telur ke dalam wajan, memasukkannya ke dalam oven selama beberapa menit, dan menyiapkannya di atas piring putih sederhana. Sebuah frittata yang mengembang sempurna, berwarna keemasan, dihiasi bintik-bintik merah tomat dan hijau basil.

Ia meletakkan piring itu di atas meja marmer di tengah ruangan. Di sampingnya, ia menempatkan segelas jus jeruk yang baru ia peras dan sepotong roti panggang yang ia olesi mentega.

Isabella berjalan mendekat dan duduk. Ia menatap hidangan sederhana itu untuk waktu yang lama. Lalu, ia mengambil garpu, memotong sepotong kecil frittata, dan memasukkannya ke dalam mulut.

Dan di sanalah Leo melihatnya. Sesuatu yang tidak pernah ia duga akan ia lihat. Saat Isabella mengunyah, kekerasan di wajahnya luntur. Ketegangan di bahunya mengendur. Matanya yang biasanya tajam dan dingin, untuk sesaat, tampak berkaca-kaca, menatap ke kejauhan seolah ia baru saja merasakan sebuah kenangan yang telah lama terkubur. Selama tiga puluh detik yang terasa abadi, ia bukan lagi "The Empress". Ia hanyalah seorang wanita yang menyantap sarapan yang mengingatkannya pada sesuatu yang telah hilang.

Leo melihat celah itu. Kerapuhan yang tersembunyi di balik benteng baja.

Isabella menghabiskan setiap potong di piringnya dalam diam. Setelah selesai, ia meletakkan garpunya, dan topengnya kembali terpasang. Kelembutan sesaat tadi telah lenyap, digantikan oleh tatapan kalkulasi yang tajam.

"Keahlianmu," katanya pelan, "terlalu berharga untuk sekadar restoran."

Leo menunggu, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan datang selanjutnya. Tawaran pekerjaan? Ancaman?

Isabella mendorong kursinya ke belakang dan berjalan ke sebuah meja kerja dari kayu eboni. Ia mengambil sebuah map tipis berwarna cokelat dan kembali ke meja makan. Ia tidak membukanya. Ia hanya mendorongnya melintasi permukaan marmer yang dingin hingga berhenti tepat di depan Leo.

"Semalam, kau menunjukkan kepadaku bahwa kau memahami nilai dari sebuah karya. Kau tahu bagaimana melindungi asetmu," kata Isabella, matanya mengunci mata Leo. "Aku punya aset yang sedang terancam. Sebuah masalah yang butuh solusi yang... elegan."

Jari-jari Leo ragu-ragu, lalu membuka map itu. Isinya bukan kontrak kerja atau dokumen keuangan. Hanya ada satu lembar foto berukuran 8x10. Foto seorang pria paruh baya dengan rambut keperakan dan senyum dingin yang tidak mencapai matanya. Di bawah foto itu ada sebuah nama, Viktor Rostova.

Leo mendongak, menatap Isabella dengan bingung.

Isabella mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya kini turun menjadi bisikan konspirasi yang berbahaya. "Kau bukan hanya seorang koki, Leo. Aku bisa melihatnya dari caramu berdiri, caramu berpikir. Kau melihat dunia secara berbeda. Kau melihat kelemahan dalam sistem."

Ia mengetuk foto Viktor Rostova dengan satu kuku jarinya yang dipernis sempurna.

"Jadi, beritahu aku, Alkemis." Pertanyaannya bukanlah sebuah permintaan, melainkan sebuah perintah. Sebuah tes akhir yang akan menentukan segalanya.

"Menurutmu, apa kelemahan pria ini?"

Kelemahan Seorang Tirani

Pertanyaan itu meluncur dari bibir Isabella. "Menurutmu, apa kelemahan pria ini?"

Waktu di penthouse mewah itu seolah berhenti. Di bawah mereka, kota Jakarta bergerak dengan hiruk pikuknya yang tak peduli, tetapi di sarang singa ini, hanya ada keheningan yang memekakkan dan tatapan Isabella yang menuntut. Leo menatap foto Viktor Rostova, otaknya yang biasanya tenang kini berpacu liar. Ini bukan lagi tes memasak. Ini adalah tes bertahan hidup, sebuah wawancara kerja untuk posisi yang tidak pernah ia lamar, di sebuah perusahaan yang bisnisnya adalah kekerasan dan ketakutan.

Ia tahu ia tidak bisa menjawab "Saya tidak tahu." Itu adalah jawaban seorang pengecut, dan wanita di hadapannya tidak punya waktu untuk pengecut. Ia juga tidak bisa langsung memberikan analisis yang brilian, itu akan membuka kedoknya terlalu cepat. Ia harus tetap menjadi sang Alkemis. Sang Chef.

Leo menarik napas perlahan, membiarkan keheningan menggantung sedikit lebih lama, sebuah trik kecil untuk merebut kembali kontrol.

"Setiap bahan," mulainya, suaranya tenang, "memiliki profil rasa yang unik, Nona Rosales. Manis, asam, pahit, gurih. Untuk bisa mengolahnya, kita harus memahaminya terlebih dahulu. Manusia juga sama."

Ia mengangkat foto itu sedikit lebih dekat ke matanya, memindai setiap detail seolah sedang memeriksa kualitas sepotong daging. Isabella memperhatikan dalam diam, alisnya sedikit terangkat, tertarik oleh analogi yang tak terduga itu.

"Lihat setelan jasnya," lanjut Leo, jarinya menunjuk kerah kemeja Viktor yang kaku. "Merek Italia, potongan yang sempurna, tapi terlalu kaku. Terlalu terkancing. Seperti seseorang yang mencoba terlalu keras untuk menunjukkan kelas, padahal ia bukan berasal dari sana. Profil rasanya... sedikit pahit, seperti cokelat hitam, berusaha menjadi elegan tapi melupakan unsur kenikmatan."

Ia mengalihkan perhatiannya ke mata Viktor. "Dan matanya. Dingin, ya. Tapi ada sesuatu di sana. Bukan kekosongan, melainkan... kebosanan. Ini adalah mata seorang pemain catur yang telah memenangkan seribu pertandingan melawan lawan yang sama. Ia tidak lagi menikmati permainannya, ia hanya menjalankan gerakan karena hanya itu yang ia tahu."

Leo meletakkan foto itu kembali ke atas meja marmer dengan pelan. "Orang seperti ini, yang terobsesi dengan kontrol dan kesempurnaan penampilan, biasanya memiliki fondasi yang rapuh. Mereka membangun tembok yang tinggi bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka sangat takut pada apa yang ada di dalam tembok itu. Kelemahannya bukanlah sesuatu yang bisa Anda serang dengan peluru, Nona. Kelemahannya adalah kesombongan. Arogansinya."

Ia mendongak, menatap langsung ke mata Isabella. "Dia tidak akan pernah menduga ancaman datang dari tempat yang ia anggap rendah. Dari dapur, misalnya. Dia akan meremehkan seorang koki. Dia akan meremehkan hidangan yang disajikan kepadanya. Dia begitu yakin akan superioritasnya sehingga dia buta terhadap ancaman yang tidak terlihat seperti ancaman. Kelemahannya... adalah egonya yang sebesar gedung ini."

Hening.

Isabella tidak mengatakan apa-apa selama hampir satu menit penuh. Ia hanya menatap Leo, dan tatapan itu perlahan berubah. Jika sebelumnya tatapannya adalah tatapan seorang rekruter yang sedang menguji kandidat, kini tatapan itu menjadi sesuatu yang lebih personal, lebih intens. Tatapan seorang penikmat seni yang baru saja menemukan sebuah mahakarya yang tersembunyi di balik tumpukan barang rongsokan.

Perlahan, ia bangkit dari kursinya. Pakaiannya berdesir lembut saat ia bergerak mengitari meja, mendekati Leo. Ia tidak berjalan dengan cepat, setiap langkahnya disengaja, seperti macan kumbang yang mendekati mangsanya yang menarik. Leo tetap diam di tempatnya, merasakan medan listrik di udara menebal dengan setiap langkah yang diambil Isabella.

Ia berhenti tepat di belakang Leo, begitu dekat hingga Leo bisa merasakan kehangatan samar dari tubuhnya dan menghirup aroma parfumnya yang mahal, aroma bunga lili dan sesuatu yang lebih gelap, seperti lapisan ozon sebelum badai.

"Kau lebih dari sekadar tukang masak, Leo," bisik Isabella, suaranya tepat di sebelah telinga Leo, mengirimkan getaran aneh ke seluruh sel tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, sebuah reaksi aneh yang tidak bisa ia kendalikan.

Tangan Isabella terulur dan menyentuh bahu Leo. Jari-jarinya yang ramping dan dingin terasa kontras dengan kain katun seragam chef-nya yang hangat. Sentuhan itu ringan, nyaris seperti sentuhan seorang sahabat, tetapi di bawahnya ada beban kekuasaan yang tak terhingga. "Seseorang yang hanya tahu cara memasak tidak akan bisa melihat semua itu hanya dari selembar foto."

Jarinya bergerak perlahan dari bahu ke dadanya, menelusuri garis kerah seragamnya. Gerakan itu intim, posesif, dan sangat berbahaya. "Aku ingin tahu rahasiamu."

Leo menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. "Saya hanya seorang pengamat yang baik, Nona. Seorang chef harus begitu." ujar Leo menyanggah. "Benarkah?" Isabella kini berdiri di sampingnya, tubuh mereka nyaris bersentuhan, tetapi energi di antara mereka terasa padat. Ia mencondongkan tubuhnya, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Leo. "Seorang pengamat yang baik... atau seorang pembohong yang hebat?"

Tatapan mereka terkunci. Leo bisa melihat bintik-bintik emas di mata gelap Isabella, bahkan bisa merasakan napasnya yang hangat di kulitnya. Ini adalah jenis keintiman yang berbeda. Bukan keintiman romantis, melainkan keintiman dua predator yang saling mengukur kekuatan, saling menguji pertahanan. Ada daya tarik yang tak terbantahkan di sana, sebuah pengakuan dari dua jiwa yang sama-sama memahami arti dari kekuasaan.

"Semua orang punya kelemahan, Chef," bisik Isabella lagi, matanya berkelip penuh tantangan. "Sesuatu yang jika disentuh... akan membuat mereka hancur. Kau sudah memberitahuku kelemahan Viktor. Sekarang katakan padaku..." Ia mengangkat tangannya dan ujung jarinya dengan sangat pelan menyusuri garis rahang Leo, sebuah sentuhan yang mengirimkan api dan es ke seluruh tubuhnya. "...apa kelemahanmu?"

Leo tidak menjawab. Ia hanya balas menatap, menolak untuk menunjukkan rasa takut atau hasrat yang bergejolak di dalam dirinya. Pertahanannya sangat tenang.

Isabella tertawa pelan, sebuah suara serak yang terdengar erotis dan mengancam pada saat yang bersamaan. "Tidak apa-apa. Aku suka misteri. Aku akan punya banyak waktu untuk mencari tahu."

Ia menarik diri, memutuskan kontak fisik yang menegangkan itu. Ruangan itu kembali terasa luas, tetapi jejak sentuhannya masih membekas di kulit Leo.

"Aku punya tawaran untukmu, Leo," katanya, nadanya kembali terdengar santai, meskipun percikan di matanya masih ada. "Aku tidak butuh tukang masak pribadi. Aku punya lusinan orang yang bisa memasak untukku. Yang aku tidak punya adalah... dirimu. Aku ingin pikiranmu. Aku ingin caramu melihat dunia. Aku ingin kau berada di sisiku, bukan di dapur, tapi di sini."

Ia memberi isyarat agar Leo mengikutinya. "Ikut aku. Aku akan tunjukkan padamu seperti apa kantormu nanti."

Leo mengikutinya seperti tersihir, melewati ruang tamu yang luas menuju sebuah pintu baja tanpa pegangan. Isabella menekan panel sidik jari yang tersembunyi di dinding, dan pintu itu bergeser terbuka tanpa suara, menampakkan sebuah ruangan yang membuat Leo berhenti bernapas.

Ini adalah pusat komando. Ruang perang. Satu dinding sepenuhnya tertutup oleh layar-layar monitor. Beberapa menampilkan data pasar saham global dan pergerakan mata uang kripto. Yang lain menampilkan rekaman CCTV dari berbagai sudut kota. Pelabuhan, gudang, klub malam. Di satu layar, Leo melihat seorang wanita muda berambut ungu dengan tindikan di bibirnya sedang mengetik dengan kecepatan super, dia adalah Bianca "Ghost" Moretti. Di tengah ruangan ada sebuah meja holografik besar yang saat ini menampilkan peta tiga dimensi kota Jakarta, dengan wilayah-wilayah yang ditandai dengan warna merah dan biru.

"Ini adalah tempat di mana proses alkimia yang sesungguhnya terjadi," kata Isabella, menyapu ruangan itu dengan tangannya. "Bukan mengubah bahan menjadi makanan, tapi mengubah informasi menjadi kekuasaan. Mengubah kekacauan menjadi keuntungan."

Ia berjalan ke meja holografik dan dengan beberapa gerakan cepat, menampilkan data tentang operasi pengiriman Viktor Rostova. Angka, jadwal, nama kontak. "Viktor itu seperti chef yang buruk," katanya dengan nada menghina. "Dia menggunakan bahan-bahan terbaik seperti kekerasan, intimidasi dan penyuapan, tapi resepnya selalu sama. Brutal dan tanpa kehalusan. Mudah ditebak."

Leo menatap data itu, dan pikirannya secara otomatis mulai melihat pola, melihat celah, melihat kelemahan dalam rantai pasokan yang tampak kokoh itu. Ia merasakan sensasi yang sama seperti saat ia merancang menu baru, sensasi melihat kemungkinan di mana orang lain hanya melihat kerumitan.

"Kau lihat, bukan?" kata Isabella, memperhatikan ekspresi terfokus di wajah Leo. Ia tahu ia benar. "Pikiranmu tidak diciptakan untuk memikirkan suhu oven. Ia diciptakan untuk ini."

Sebelum Leo bisa merespons, Isabella sudah bergerak lagi. "Tapi pekerjaan ini tidak hanya butuh pikiran yang tajam." Ia menuntunnya keluar dari ruang perang, menyusuri koridor marmer yang sunyi menuju bagian lain dari penthouse itu. Ia berhenti di depan sebuah pintu kayu ek besar. "Pekerjaan ini juga butuh kepercayaan mutlak."

Ia membuka pintu itu. Itu adalah kamar tidurnya.

Ruangan itu sangat berbeda dari sisa apartemen. Meskipun masih mewah, ada kehangatan di dalamnya. Sebuah karpet Persia tebal menutupi lantai. Rak buku tinggi menjulang hingga ke langit-langit, penuh dengan buku-buku tebal, sejarah, filsafat, puisi. Di meja kecil samping tempat tidur, ada sebuah buku yang terbuka, seolah baru saja dibaca. Di dinding seberang, ada jendela raksasa yang sama seperti di ruang tamu, membingkai pemandangan kota yang berkilauan. Dan di tengah ruangan, ada sebuah tempat tidur super besar dengan sprei sutra berwarna hitam pekat.

Ruangan itu terasa sangat pribadi. Sangat intim. Membawa Leo ke sini adalah sebuah pernyataan. Sebuah pelanggaran batas yang disengaja.

Isabella berjalan ke jendela, menatap lampu-lampu kota. "Setiap malam, aku melihat ke bawah sana," katanya pelan, suaranya kini kehilangan nada arogansinya, digantikan oleh jejak kelelahan. "Melihat semua kehidupan itu, semua mimpi, semua perjuangan. Dan aku merasa sendirian."

Ia berbalik dan menatap Leo. "Di dunia ini, kepercayaan adalah komoditas paling langka. Setiap orang di sekitarku menginginkan sesuatu dariku. Kekuasaanku, uangku, namaku. Marco setia, tapi ia berpikir dengan ototnya. Bianca jenius, tapi ia hidup di dunianya sendiri. Aku tidak punya siapa-siapa... yang bisa melihatku."

Jantung Leo berdebar. Ini adalah kerapuhan yang ia rasakan dari sarapannya tadi, kini diungkapkan dengan kata-kata.

Isabella melangkah mendekatinya, gerakannya lambat dan pasti. Ia berhenti tepat di depan Leo, begitu dekat hingga Leo bisa menghitung bulu matanya yang lentik. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan erotis yang begitu kental hingga nyaris bisa disentuh. Ini bukan lagi soal pekerjaan. Ini adalah penyerahan diri dan dominasi.

Ia mengangkat tangannya dan kali ini tidak ada keraguan. Telapak tangannya menempel di dada Leo, tepat di atas jantungnya yang berdebar kencang. Ia bisa merasakannya. Ia tersenyum. "Kau milikku sekarang, Leo," bisiknya, suaranya serak karena hasrat dan kekuasaan. "Setiap detak jantungmu. Setiap ide cemerlang di kepalamu. Setiap keahlian yang kau sembunyikan. Semuanya milikku."

Ia mendorongnya perlahan hingga punggung Leo menyentuh kaca jendela yang dingin. Sensasi dingin di punggungnya dan panas dari tubuh Isabella di depannya membuat kepala Leo pening. Di belakangnya, seluruh kota terbentang seperti permadani cahaya. Di depannya, ada seorang wanita yang lebih berbahaya dan lebih memikat dari apa pun yang pernah ia kenal.

"Kau akan menjadi rahasiaku," lanjut Isabella, matanya menggelap. "Alkemisku. Dan aku..." Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Leo, napasnya yang panas membuat bulu kuduknya berdiri. "...akan menjadi kelemahan terbesarmu."

Saat bibirnya hampir menyentuh kulit leher Leo, saat dunia Leo menyusut hanya pada aroma, sentuhan, dan kehadiran wanita ini—

BZZT. BZZT.

Sebuah getaran keras datang dari interkom di dinding. Suara Isabella yang serak dan penuh hasrat langsung lenyap, digantikan oleh kilat amarah di matanya karena gangguan itu. Ia menekan tombol dengan kasar. "Apa?!" bentaknya.

Suara Marco yang panik terdengar dari speaker, terdistorsi oleh statis. "Bos! Maaf mengganggu. Ada masalah di Pelabuhan. Konainer C-7... isinya anggur dari Perancis. Orang-orang Viktor baru saja membakarnya."

Leo bisa merasakan tubuh Isabella menegang.

"Hanya itu?" tanya Isabella dingin. Membakar satu kontainer anggur adalah kerugian, tapi bukan bencana.

"Tidak, Bos," jawab Marco, suaranya terdengar berat. "Mereka meninggalkan pesan. Mereka tidak menyentuh botol-botol mahal itu. Mereka hanya mengambil semua corkscrew, semua pembuka botolnya. Dan mereka meninggalkan satu botol Château Pétrus di atas abu dengan sebuah catatan."

Isabella terdiam, matanya menyipit. "Apa isi catatannya?"

Hening sejenak di ujung sana, sebelum Marco menjawab dengan enggan. "Catatannya berbunyi, 'Bahkan Ratu pun tidak bisa menikmati anggur terbaiknya... tanpa alat yang tepat untuk membukanya'."

Penghinaan. Murni dan telak. Itu bukan serangan terhadap bisnisnya, itu adalah serangan terhadap statusnya, ejekan langsung terhadap kekuasaannya. Viktor tidak mencuri. Ia melumpuhkan. Ia menunjukkan bahwa Isabella punya semua harta dunia, tapi ia tidak bisa menikmatinya.

Amarah murni yang dingin dan terkendali kini membakar di mata Isabella. Momen intim di antara mereka hancur berkeping-keping, digantikan oleh realitas perang yang brutal. Kelembutan dan hasrat lenyap, hanya menyisakan Sang Ratu yang murka.

Ia menjauh dari Leo, menciptakan jarak yang dingin di antara mereka. Ia berjalan cepat ke lemari pakaiannya, membuka sebuah laci tersembunyi, dan mengeluarkan sebuah pistol hitam ramping yang ia selipkan di bagian belakang pinggangnya dengan gerakan yang terlatih.

Ia berbalik menghadap Leo. Wajahnya adalah topeng kekuasaan yang tanpa emosi, tetapi matanya berkobar seperti api neraka. Pertarungan pikiran, rayuan, dan permainan psikologis telah berakhir.

"Permainan sudah dimulai," desisnya. Ia menatap Leo bukan lagi sebagai objek hasrat atau seorang jenius yang misterius, tetapi sebagai aset yang harus segera digunakan. Sebagai senjata barunya.

"Kau bilang kelemahannya adalah kesombongan dan dia buta terhadap ancaman yang tidak terlihat seperti ancaman. Sekarang, buktikan."

Ia berjalan ke pintu tanpa menunggu jawaban.

"Ikut aku."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!