Hidup ini memang penuh dengan peristiwa yang tak terduga, di mana kita berpapasan dengan berbagai orang yang memiliki peran berbeda.
Beberapa di antaranya mungkin hanya sekedar kenangan, sementara yang lain menjadi bagian penting yang tak terpisahkan.
Ada yang datang sebagai teman sejati, ada pula yang menjadi pasangan hidup yang menemani kita melalui suka dan duka.
Banyak dari kita percaya bahwa pertemuan dengan belahan jiwa atau jodoh sudah ditentukan oleh takdir. Ada keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, termasuk pertemuan dengan orang-orang penting, sudah tertulis dalam takdir.
Kadang, kita merasa bahwa ada kebetulan-kebetulan yang membawa kita kepada seseorang, dan kemudian kita menyadari bahwa ada makna yang lebih dalam di balik peristiwa tersebut.
Cinta sejati memang dapat bertahan dalam ujian waktu, tetapi ada juga hal-hal yang sudah ditentukan oleh takdir. Kita mungkin tidak bisa mengubah jalan hidup kita sepenuhnya, tapi kita bisa memilih bagaimana kita meresponsnya. Apakah kita akan menyambut setiap peristiwa dengan tangan terbuka, atau membiarkannya lewat begitu saja.
Takdir memang misterius, tapi yang pasti adalah bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan. Kita bisa membentuk hidup kita dengan pilihan-pilihan kita sendiri, sambil tetap percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang mengarahkan kita. Jadi, mari kita nikmati setiap momen, temani orang-orang yang penting dalam hidup kita, dan percaya bahwa apa pun yang terjadi, itu semua adalah bagian dari perjalanan hidup yang indah.
Bla....Bla.....Bla....
Semua artikel yang Kiara baca membahas tentang cinta—jodoh, dan takdir---hingga kepalanya benar-benar pusing. Padahal hari ini dia harus mengumpulkan data untuk dosen pembimbingnya.
Namanya, Reygantara Sasmita, atau yang biasa dipanggil Pak Regan, adalah dosen Kiara di kampus yang super tegas dan super duper galak.
Segudang tugas tak masuk akal selalu membuat mahasiswa frustrasi. Belum lagi saat koreksinya—selalu ada saja yang kurang, yang salah, bikin pusing kepala. Memang tampan, tapi dikampus dosen itu terkenal dengan ketegasannya. Meskipun begitu masih banyak mahasiswi yang mengaguminya.
"Kia, elo tugas dari Pak Regan udah?"
"Udah setengah jadi, An." Jawab Kiara, "Elo udah belum?"
"Iya, gue lagi cari buku referensi. Tapi belum nemu," kata gadis itu terlihat mencari buku di rak buku.
"Elo buat apa?" tanya Kiara.
"Gue lagi bikin tugas tipografi. Gue lagi cari buku punyanya Josef Müller-Brockmann berjudul Grid Systems in Graphic Design - Buku ini membahas tentang sistem grid dalam desain tipografi. Bantu gue cariin dong, Ki?" pinta Anne, sahabat dari SMA.
"Kayaknya udah diambil anak- anak. Kenapa nggak yang lain aja? Typography Essential punyanya Rosemary Sassoon juga bagus Buku itu membahas dasar-dasar tipografi dan aplikasinya dalam desain," papar gadis cantik bernama Kiara Safira Azahra , teman-teman memanggilnya Kia.
Cantik, kalem, dan cerdas.
Ketika tugas desain muncul, mata Kia langsung berbinar. Jarinya cekatan menggerakkan keyboard laptopnya, ide-ide kreatifnya mengalir tanpa henti. Otaknya yang encer di bidang itu jadi pelabuhan rahasia yang selalu membuatnya merasa istimewa.
"Elo yakin itu bagus? Gampang nggak dipelajari?"
"Gampang kok. Yang penting elo tau tekniknya aja. Elo pasti bisa?"
"Oke deh, gue coba," angguk Anne, menerima buku itu dan membawanya ke petugas perpustakaan.
"Udah jam 4 sore, gue harus buru-buru balik. Kalau nggak---nyokap gue bisa ngomel-ngomel?" kata Kia, sambil mengemasi semua barang-barangnya yang berserakan di atas meja perpustakaan kampus.
-
-
Sampai di rumah, Rosaline, mamanya, menarik tangan Kia dengan kasar, membuat Kia terkejut dan sedikit kesakitan. Matanya menyala penuh kemarahan saat melihat jam di dinding, seolah-olah Kia telah melakukan kesalahan besar. Tanpa aba-aba, gagang sapu yang ada di tangan wanita baya itu terayun cepat, menghantam Kia dengan keras.
Kia terjatuh ke lantai, menahan rasa sakit yang menjalar di punggungnya. Dia tidak mengerti apa yang telah dia lakukan salah, tapi dia tahu bahwa ibunya sangat marah. Rosaline berdiri, napasnya terengah-engah karena kemarahan.
Bugh....
"Aaaaaaa, sakit, Mah! Sakit!" suaranya terdengar nyaris teriak, matanya membelalak kaget.
Bugh....Bugh ...Bugh
"Sakit, Mah, sakit! Hiks....Hiks!"
"Sakit ya? Makanya patuhi aturan yang mama buat di rumah ini!" bentak Rosalind, membuat Kia merintih sambil terisak-isak.
Rosalind mendelik sambil mengacungkan gagang sapu yang tadi baru saja mendarat keras di tubuh putri keduanya.
"Kamu tahu ini jam berapa? Udah jam lima sore, kamu malah telat pulang kuliah!" suaranya menukik tajam, penuh kemarahan. "Kan mama sudah bilang, sebelum jam empat kamu harus sudah sampai rumah. Kamu harus masak, buat makan malam. Tapi kamu, susah banget dibilangin! kamu nggak seperti Kakak kamu yang selalu nurut perkataan mama?"bentak Rosalin melipat tangan, dagunya terangkat tinggi, membandingkan Kia dengan Ratu yang selalu patuh. "Kamu pulang telat, mau jadi apa, hah?"
Nada suaranya yang melengking itu seakan memenuhi seluruh rumah, sementara di luar, para tetangga mendengar— bukan sekali mungkin, tapi berkali-kali---tak seorang pun berani mendekat atau menyela amarah Rosalin.
Kia menunduk, napasnya tersengal, tak berani melawan, namun air matanya terus mengalir sambil menahan kesakitan di sekujur tubuh.
"Maafkan aku, Mah. Aku ada tugas, makanya aku pulang kesorean?" isaknya.
"Papamu bangkrut. Dia di PHK. Kerjaannya hanya keluyuran nggak jelas. Dia sudah nggak nafkahin mama. Mama sudah nggak bisa biayai kuliah kamu. Sebaiknya kamu keluar aja. Nggak usah kuliah!" ucap Rosalin, membuat Kiaraa terkejut bukan main.
"Nggak, Mah. Aku mau terus kuliah," ucap Kia, menggeleng-gelengkan kepalanya
Rosalin menyandarkan diri di kursi sambil menarik napas panjang, matanya tajam menatap Kia.
"Mama nggak sanggup nguliahin dua anak sekaligus. Lagian, jurusan yang kamu pilih itu percuma. Lain halnya sama Ratu yang ambil kedokteran. Kamu mendingan kerja aja, bantu mama beresin keuangan keluarga." Suaranya mengandung nada meremehkan, seperti menegaskan posisi Kia yang kalah dibanding saudarinya.
Kia menunduk, bibirnya bergetar saat air mata mulai tumpah.
"Aku nggak mau, Ma. Aku ingin terus kuliah," jawabnya dengan suara serak, hatinya hancur mendengar kata-kata ibunya.
Rosalin menggeleng pelan, wajahnya kaku. "Kalau kamu mau tetap kuliah, kamu bayar sendiri. Jujur aja, setelah papamu di-PHK, kita nggak punya pemasukan lagi. Keuangan berantakan. Mama nggak bisa lagi nguliahin kamu."
Kia menggigit bibir, berusaha menahan isak yang makin pecah. "Tapi, Ma... Bukannya kakek sudah nyiapin biaya kuliah buat aku?"
"Tidak!" potong Rosalin dengan tegas, suaranya seperti palu yang memukul hati Kia. "Itu buat Ratu. Dia yang lebih butuh."
Kia menatap ibunya dengan campuran kecewa dan marah, suaranya serak tapi tegas, "Kenapa mama harus membeda-bedakan? Aku juga anak mama...!" ucap gadis itu memberanikan diri.
Rosalin menatap Kia tajam, nada dinginnya menusuk kalbu. "Kamu memang anak mama. Tapi Mama benci kamu."
Kia mendongak menatap mamanya dengan tatapan tak percaya.
"Sebaiknya kamu berhenti kuliah. Biarkan Ratu menyelesaikan kuliahnya!" kata mamanya lagi.
"Tapi aku masih mau kuliah, Mah?"
Tatapan Rosalin menusuk, sedingin es yang membekukan jiwa. Kasih sayang yang terluka itu tercetak jelas sejak Kia masih kecil—sebuah luka yang semakin lama kian menganga. Entah apa dosa Kia di mata mamanya, hingga hati wanita itu membeku, membenci anak kandungnya sendiri seolah dia hanyalah bayangan yang tak pernah diharapkan. Rasa itu menggurat tajam, melukai tanpa suara, menyisakan ruang kosong yang semakin dalam di antara keduanya.
"Mama nggak punya uang untuk membiaya kuliah kamu. Kebutuhan kita juga banyak. Lagian jurusan yang kamu ambil tidak penting. Jadi---biarkan Ratu yang menyelesaikan kuliahnya?"
"Mama jahat....!" seru Kia, berlari menuju kamarnya.
Rosalin terkejut saat Kia menggebrak pintu kamarnya, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Sementara itu, Ratu tampak begitu senang melihat adiknya menangis tersedu-sedu. Apalagi setelah tadi mamanya sempat memukul Kia, kebahagiaan Ratu semakin nyata terpancar.
*****
Makan malam tiba. Kia baru keluar dari kamarnya dan bergabung di meja makan. Di sana sudah ada Mamanya, Tio, papanya, dan Ratu.
Saat Kia duduk di kursi, Rosalin menatapnya abai. Tio sang ayah bisa melihat itu.
"Kia, tubuh kamu kenapa? Kenapa lebam-lebam begitu?" tanya Tio, tak sengaja matanya menatap luka-luka pada tangan putrinya.
"Nggak apa-apa, Pah . Aku kurang hati-hati di kampus. Aku jatuh?" jawab gadis itu menunduk, sambil menutupi luka-lukanya dengan jaket rajut.
Ia tak mau papa dan mamanya bertengkar. Karena nanti pastinya dia yang akan jadi sasaran.
"Nggak. Nggak. ini bukan luka karena terjatuh. Tapi luka karena dipukul sesuatu!" kata sang ayah tak percaya. Kia semakin menunduk. Dia berharap papanya tidak tahu.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Tio, namun tatapannya beralih ke arah istri dan putrinya yang lain.
"Nggak ada, Pah. Aku memang terjatuh dari tangga," jawab Kia yang mulai panik.
"Papa bukan orang bodoh, Ki. Papa tau, itu luka sabetan!" jawab sang papa, "Ma, kamu yang melakukannya?" tanyanya, dengan nada menekan.
Roslina terlihat diam. Tangannya bergerak menuangkan sup ke dalam mangkuk.
"Jawab, Ki. Jangan takut!" kata Tio.
"Nggak, Pah. Kia memang jatuh," bohongnya.
"Mah, apa mama yang melakukannya?"
Rosalin terdiam, tak berani menjawab. Justru ia berpura-pura sibuk.
BRAKK.....
Tio menggebrak meja.
Ketiganya nampak terkejut.
"Katakan, Mah!" teriak Tio memarahi istrinya, membuat Rosalin terjengit kaget.
"Itu---aku....!"
"Kamu kan yang melakukan itu? Kenapa, Mah? Kenapa kamu tega melukai anakmu sendiri?" bentak Tio pada istrinya.
Roslina terdiam, tak berani menjawab.
"Jawab, Mah?" tekan Tio. Tatapannya nyalang.
"Karena aku membencinya, Pah. Aku sangat membencinya... Setiap melihatnya, aku teringat......!" balas Rosalina dengan teriak, tangannya mengacung ke arah Kia yang menangis.
"Rosalinaaaaaa....!" teriak Tio hampir melayangkan tamparannya ke pipi sang istri, namun tangan Tio hanya menggantung.
"TAMPAR, PAH. TAMPAR!!!" teriak Rosalina, suaranya melengking.
Bersambung......
Aku revisi ya.....
Happy reading....😂😂😂😂
"Hanya demi dia, papa tega marahi mama!" seru Rosalin, "Bentak mama....!"
"Karena kamu sudah keterlaluan Ma....?" Tio menghela nafasnya berat, "Kamu sangat keterlaluan!"
"Keterlaluan apa? Aku bicara sesuai fakta....!"
"Hentikan Ma....!" kesal Tio.
Rosalin kesal bukan main .
Tio juga sama, daripada semakin runyam --- ia pun pergi meninggalkan meja makan, serta meninggalkan rumah.
Rosalin menatap tajam ke arah Kiara, matanya memerah penuh kebencian yang sulit dibendung. Rasa sakit dan dendam menggunung di dada, memaksa tangannya menggenggam sup panas itu dengan erat. Tanpa ragu, ia tumpahkan cairan itu ke tubuh Putrinya.
Jeritan Kia meledak, menyayat kalbu dengan rasa panas pada kulit. Isak tangisnya pecah, mengisi udara dengan pilu yang menusuk—namun Rosalin tetap teguh, hatinya sudah membeku, tanpa setitik belas kasih.
Ratu menatap lekat-lekat saat kuah panas itu tumpah ke dada adiknya. Matanya melebar, jantungnya berdebar kencang. Tapi anehnya, di balik kejutan itu, ada kilatan senyum yang tak bisa disembunyikan. Melihat adiknya meringis kesakitan seolah menghapus sedikit rasa kecewa.
Rosalin memanggilnya dengan suara tenang, "Ayo, Sayang. Kita makan di luar aja!" ajak Rosalin pada putrinya yang lain.
Sementara itu, Kia berjalan terseok menuju kamar, tubuhnya yang terasa panas membuat langkahnya berat. Tangannya gemetar saat mencoba merendam kulit yang perih itu ke dalam baskom berisi air dingin, berharap rasa perih segera mereda.
Kenapa Tuhan? Kenapa mama begitu benci gue? gue salah apa? Gue salah apa?
Sejak kecil sampai sekarang, perlakuan mama ke gue beda. Dia lebih sayang Ratu daripada gue?
Hampir setiap hari, Tuhan. Setiap hari....!
Kalau kayak gini lebih baik gue mati aja. Gue enggak berharap di lahirin, Tuhan.....
*****
"Nyokap elo nggak waras! Sebenarnya---dia itu beneran nyokap kandung lu bukan sih?" marah Anne melihat sahabatnya luka-luka di sekujur tubuhnya.
"Kata papa, dia nyokap kandung gue kok?" sahut Kia menundukkan kepala.
Anne adalah orang yang paling dekat dengannya. Sudah seperti saudara sendiri. Mereka berteman semenjak duduk di bangku SMA.
"Kalau bener nyokap kandung elu, nggak mungkin dia tega ngelakuin ini. Ini sudah termasuk tindakan kriminal?" geramnya.
"Ne, nyokap gue kayak gini karena dia frustasi. Bokap kena PHK. Sementara nyokap gue harus kerja banting tulang membantu pengeluaran rumah tangga. Mungkin dia frustasi karena hal tersebut?" bela Kia. Dia meringis menahan sakit.
"Ya ampun, Ki. Kalau cuma alasan itu, nggak tiap hari kali lu kenapa penganiayaan!" kata Anne. Menggebu-gebu.
Hening sejenak.
"Ne, gue butuh kerja. Elo ada Chanel nggak?" tanya Kia.
"Hah, serius elo mau kerja?"
"Heum. Kerja apa aja, Ne. Yang penting part time kerjaannya?"
"Emmmm, apa ya?" nampak Anne sedang berpikir.
"Nanti gue tanya-tanya deh!"
"Oke, gue tunggu ya, Ne?"
"Siap. Kalau ada kerjaan, gue lansung kasih tahu elu?"
"Okeh. Thanks, Ne!" saking senangnya, Kia memeluk Anne. Sontak orang-orang yang berada di kantin langsung menatap mereka aneh.
"Elo sih, Ki. Kita jadi pusat perhatian kan?"
Keduanya pun tertawa.
"Ya elah, senyum kek?"
"Nggak bisa. Senyum gue mahal!"
"Anne- elo dipanggil Pak Regan!"
-
-
Tok...Tok...Tok
"Masuk!" ucap seseorang dari dalam. Suaranya tegas.
Langkah Anne ragu---namun tetap maju. Kini ia berdiri di hadapan dosen yang memang galak dan tegas itu, alias Abangnya sendiri.
Reygantara Sasmita. Sosok yang memikat dengan wajah tampan dan aura percaya diri yang tak terbantahkan. Meski usianya masih muda, gelarnya sebagai dosen termuda di kampus membuatnya menjadi pusat perhatian para mahasiswi dan dosen wanita. Bukan hanya karena kecerdasannya yang tajam, tapi juga karena ketegasan yang terpancar dari setiap kata dan langkah — seakan-akan dia telah menaklukkan dunia bahkan sebelum ia benar-benar memulainya.
"Apa apa, Bang?" tanya Anne mendudukkan dirinya di sofa, padahal sang Abang nya belum mengizinkannya duduk.
"Kamu tahu kenapa Abang panggil kamu ke sini?" tanya dosen itu. Tatapannya tegas, tak terbantahkan.
"I-iya, Tau. Paling soal tugas kan?" kata gadis itu dengan santainya, "Tugas gue belum jadi, Bang. Entar deh, di rumah gue serahin. Eh, iya, elo kan hari ini pindah ke apartemen ya?" kelakar gadis itu, "Gue samperin ke apartemen aja deh?"
"Jangan karena Abang itu Abang kamu, kamu jadi seenaknya ya, Ne! Kamu tuh mau Abang kasih nilai D?"
"Jangan dong, Bang. Masa sama adek sendiri seperti itu?"
"Tapi tetep kamu mahasiswi abang!"
"Ih, Abang.....!"
"Besok harus selesai. Kalau nggak, jangan salahkan abang kasih nilai jelek sama kamu?"
"Dasar pelit! Sama adek sendiri begitu?" balas Anne, mengerucutkan bibirnya.
"Boda amat. Abang kasih tau mama, baru tahu rasa!"
"Dasar tukang ngadu.....!"
"Oya, Bang. aku mau tanya dong?"
"Tanya apa?"
"Abang punya kenalan temen yang lagi butuh karyawan part time?"
Regan menurunkan kacamatanya, lalu menatap adiknya dengan intens.
"Kamu mau kerja part time?" tanya pria itu.
"Bukan buat gue. Tapi buat temen gue?"
"Oh, si cengeng Kia?"
"Ish, jangan gitu, Bang! Jatuh cinta tau rasa!" sungut gadis manis itu, "Ada nggak?"
"Kalau part Time sih nggak ada. Kalau dua jam mungkin ada?" kata Regan, nampak terlihat serius.
"Hah, kerjaan apa?"
"Bersih-bersih....!"
"Ih, Abanggggggggggg.....!!!!"
********
Brugh....
"Eh, sorry!" ucap Kia, engga sengaja nyenggol lengan seorang pria sampai obat-obatnya terjatuh ke lantai.
"Nggak apa-apa,"
"Gue bantuin?"
Kia dengan sigap hendak membantu memunguti obat-obat itu, namun dengan gerakan cepat si pria langsung menepis tangannya.
"Nggak usah. Gue bisa sendiri," jawab Si pria terdengar menyebalkan. Lalu tanpa kata si pria langsung pergi meninggalkan Kia yang masih termangu.
Keluar dari ruangan dokter, Kia melangkah menuju tempat pengambilan obat dengan langkah pelan. Tangannya otomatis meraih ponsel, berharap ada pesan penting yang menghibur hatinya, tapi layar tetap kosong tanpa kabar. Dengan napas berat, ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas.
Tatapannya tiba-tiba terhenti, menyorot sosok yang begitu familiar. Postur tubuh itu sulit ia lupakan, seperti terpatri di ingatan. Tapi ada yang membuatnya tercengang—sosok itu berdiri dekat perempuan muda dengan perut buncit, seolah merangkul masa depan yang baru. Mata Kia melebar, jantungnya berdegup tak menentu.
"Itu ..... !" Kia hendak mengejar sosok itu, namun tiba-tiba suara petugas apotek memanggilnya. Terpaksa Kia mengurungkan niat untuk memanggil sosok itu.
*****
Minggu pagi, suara gaduh kembali memenuhi rumah. Kia terbangun oleh teriakan yang tajam, suaranya menusuk telinga seperti pisau. Dari ruang tamu terdengar sumpah serapah yang dilontarkan mamanya ke papanya dengan suara bergetar penuh kemarahan. Bunyi barang pecah belah menghancurkan keheningan, disusul tangisan pelan yang membayang di antara jeritan mereka. Kia meremas selimutnya, tubuhnya gemetar takut.
Tak heran, pagi ini Ratu sudah tidak ada di kamar; mamanya membawa adiknya mengungsi ke rumah nenek, mungkin sengaja menjauhkan mereka dari badai pertengkaran itu. Hati Kia sesak, berharap semuanya bisa berhenti sejenak.
Namun saat suara langkah papanya menghilang di ambang pintu, pertengkaran pun mereda. Tapi wajah Mamanya tak juga menampakkan ketenangan—alih-alih, kerut kesal masih membekas di dahi. Tatapannya menyipit penuh amarah yang tak terucap. Sementara Kia, yang tengah dudu dikursi yang ada di kamarnya, tak bisa menghindar jadi sasaran pelampiasan kemarahan mamanya.
Rosalin memukulnya dengan membabi-buta, sebagai pelampiasan karena rasa kesal di dadanya. Kia diam, dia tak melawan. Menjadi bulan-bulanan mamanya sejak dulu sudah biasa.
Dulu, papanya yang sering membela, namun setelah di-PHK, pria itu jarang di rumah, entah apa yang dilakukan papanya di luar sana. Pria yang menjadi cinta pertamanya itu seperti sedang menjauh dan menyendiri.
Kia tersenyum kecil, namun senyum itu tak mampu menyembunyikan kepedihan yang merayap dalam dada. Luka kemarin masih menganga, tapi kini ada luka baru yang lebih dalam, tak terlihat di permukaan tubuhnya. Hati Kia berdarah, terluka oleh orang yang seharusnya merangkulnya dengan cinta dan kasih sayang. Namun kenyataan malah berbalik; setiap harinya, yang dia terima hanyalah deretan luka yang menusuk jiwa. Rasa sakit itu menggerogoti harapannya, meninggalkan kegersangan di tempat seharusnya tumbuh kebahagiaan.
Sementara Ratu—pasti sedang bahagia bersama neneknya, ibu dari mamanya, yang sangat menyayanginya. Apalagi Ratu termasuk cucu kesayangan nenek karena berhasil masuk universitas kedokteran. Nenek tentu semakin sayang padanya, berbeda dengan dirinya yang memilih jurusan desain grafis. Dia selalu dipandang sebelah mata oleh semua orang.
Bersambung....
Komen dong....
Hehehehe.....
Kia meringis kesakitan saat salep hangat menyentuh kulitnya yang terluka. Jaket yang dikenakannya menjadi penyelamat, melindungi bagian dadanya dari siraman kuah panas yang hampir mengenai kulitnya.
Di tengah malam yang sunyi dan dingin, air mata Kia mengalir deras tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat pasi. Matanya terpaku pada gemerlap bintang di langit, seolah mencari jawaban atas kegetiran hatinya yang menyesakkan dada.
"Kenapa, Tuhan? Apa salah gue sampai Mama begitu benci sama gue?" gumamnya tercekik, suara hatinya pecah dalam keputusaan yang mencekam. Rasanya seperti terkoyak, terasing dari cinta yang seharusnya hangat dan menyembuhkan, namun kini berubah menjadi duri yang menusuk dalam diam.
Sejak kecil, Kia merasakan perbedaan perlakuan dari ibunya, Rosalin. Ibu yang seharusnya menjadi sosok yang paling dekat dan penuh kasih sayang, malah memperlakukannya dengan dingin dan membeda-bedakan. Ratu, kakaknya, selalu menjadi prioritas utama. Ratu bersekolah di sekolah mahal, les ini dan itu, dan kini kuliah di universitas ternama. Sementara Kia, hanya bersekolah di tempat yang biasa-biasa saja, tanpa les tambahan.
Meskipun begitu, Kia tidak pernah menyerah. Dia belajar dengan tekun dan berhasil meraih juara satu di sekolah. Namun, pujian dan pengakuan yang seharusnya dia dapatkan dari ibunya, tidak pernah datang. Rosalin tidak pernah sekalipun memujinya, seolah-olah prestasinya tidak berarti apa-apa.
Kia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi luka lama itu masih terasa sakit, membekas di hati seperti luka yang tidak pernah sembuh. Dia berharap suatu hari nanti, ibunya bisa melihatnya dengan mata yang berbeda, bisa menerimanya apa adanya. Tapi sampai saat itu tiba, Kia hanya bisa terus berjalan, mencari jalannya sendiri, dan berharap bahwa cinta dan pengakuan yang dia cari tidak hanya akan datang dari dirinya sendiri.
-
-
Malam harinya.
BRAKK….
“Berhenti!” suara Rosalin melengking dipenjuru rumah.
Kia yang sedang tertidur, terlonjak kaget ketika mendengar suara pintu dibanting. Suaranya sangat keras sekali.
“Papa masih punya anak dan masih punya tanggungan. Harusnya setelah kena PHK, papa cari kerja. Jangan kelayapan terus!”
“Papa juga lagi cari kerja, Mah. Mama pikir papa cuma main?”
“Terus mana buktinya kalau cari kerja? Masa sudah satu bulan lebih, sampai sekarang belum ada hasil?”
“Ya sabar dulu lah. Mama tau sendiri, usia papa sudah nggak produktif lagi buat mencari kerja. Nggak gampang, Mah, cari kerja di kota besar!”
“Mana bisa mama sabar. Sementara kebutuhan kita semakin menuntut?”
“Ini nih, yang buat papa nggak betah di rumah. Mama hanya bisa menuntut, tapi tidak bisa memberikan solusi!”
“Papa lah yang harus mikir semua. Papa kan kepala keluarga!”
“Ya sudah. Jual saja sawah dan kebun. Duitnya bisa buat usaha! Biar papa usaha saja?”
“Oh, ya nggak bisa. Sawah dan kebun sengaja nggak mama jual, itu untuk kebutuhan Ratu. Ingat, Pah. Kuliah kedokteran tidak murah?”
“Sudah tau nggak murah, tapi mama paksa Ratu masuk ke sana!”
“Ratu itu pinter, Pah?”
“Kia juga pinter,” Tio tak mau kalah, “Tapi mama nggak nyuruh Kia ke sana?”
Rosalin langsung kicep.
“Kelak kalau Ratu jadi dokter, dia yang akan mengangkat derajat keluarga!”
“Kia juga bisa?”
“Pokoknya nggak bisa!”
“Jangan beda-bedain anak, Mah. Masa depan seseorang, nggak ada yang tahu!”
Hening sejenak.
“Papa mau kemana?” tanya Rosalin.
“Ke rumah temen. Ada kerjaan nganter barang ke luar kota?”
“Alesan. Bilang aja mau ngelayap!”
“Terserah mama. Mama emang nggak pernah percaya sama papa!”
Di kamar—Kia sudah tak mendengar lagi suara pertengkaran kedua orang tuanya. Sepertinya papanya sudah pergi dari rumah.
********
Dengan langkah malas, Kia keluar dari kamar. Tidak ada sarapan di atas meja.
Mana mungkin mamanya membuatkannya sarapan.
Ratu tidak ada di rumah. Dia lagi pergi ke rumah nenek, ibu dari mamanya.
Sementara papanya, dari semalam belum pulang. Sudah pasti, mamanya tidak akan pernah mau, dan tak pernah sudi membuatkannya sarapan. Sejak dulu pun seperti itu
Kia mendesah pelan. Ia pun pergi meninggalkan rumah dalam keadaan perut kosong.
-
-
Kia baru saja menikmati suapan terakhir di kantin saat tiba-tiba suara Anne memecah kesunyian pagi itu.
"Kiiiii…!” teriak Anne, langkahnya cepat mendekat, membuat gadis itu hampir tersedak dan mengeluarkan batuk kecil dari tenggorokannya.
“Apa sih, Ne! Ngagetin aja!” gerutu Kia sambil menepuk dada, napasnya masih tercekat.
Anne tertawa kecil, lalu melirik ke piring Kia yang masih bersisa setengah.
“Tumben sarapan di kantin? Gak dibuatin sarapan nyokap?” tebak Anne sambil tersenyum sedih.
Kia hanya mengangguk kecil, senyumnya dibuat-buat seperti menutupi perasaannya.
“Eh, tangan lu kok kayak ada luka bakar gitu?” Anne melirik, matanya tajam menatap bekas kemerahan dan mengering di kulit punggung tangan Kia. Dengan cepat, Kia menarik tangannya ke balik meja, sembunyi-sembunyi.
"Ah, gue teledor. Kesiram air panas saat mau bikin susu.” Suaranya lirih, seperti tak ingin menimbulkan pertanyaan lebih lanjut.
Anne mengernyit, raut wajahnya berubah, seolah melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka biasa. Tapi ia tak memaksa. Ia tahu sahabatnya telah berbohong.
“Masa?”
“Iya. Masa gue Bo'ong sih?”
Anne tak bertanya lagi, ia pun memilih untuk percaya.
“Oya, gue ada kerjaan buat elo. Tapi cuma 2 jam saja seharinya,” kata gadis itu.
“Kerja apa sehari cuma dua jam?”
“Bersih-bersih apartemen, mau?”
“Heh, serius?” Kia menyipitkan kedua matanya.
“Iya. Dari sepulang elu kuliah, sampai jam 5 sore doang? Gimana?”
Kia nampak berpikir sejenak.
“Seratus ribu perhari?” ujar Anne lagi.
“Hah, serius?” kaget Kia, seperti tak percaya.
Di kota, dapat bayaran seratus ribu sehari sudah termasuk besar, pikir Kia sambil menggeser posisi duduknya yang menegak. Apalagi dia cuma kerja dua jam saja, rasanya seperti dapat durian runtuh. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
"Lumayan, bisa buat bayar kuliah. Jasa desain bisa buat jajan," gumamnya dalam hati, memantapkan diri.
“Orang ini akan pulang sore ataupun malam. Nggak tentu sih. Yang jelas saat orang ini pulang ke apartemennya, apartemen harus dalam keadaan bersih dan rapi? Elo juga nggak perlu ketemu nih orang,” ucap Anne lagi.
Selama Kia menjalin persahabatan dengan Anne, ia tidak mengetahui bahwa Anne dan Regan adalah kakak beradik. Ketika Kia mengunjungi rumah sahabatnya, ia tidak pernah bertemu dengan Regan, yang merupakan dosen di universitas tempat keduanya berkuliah.
“Gimana?”
“Oke. Gue setuju,” jawab Kia.
“Oke.Nanti gue bilang ke orangnya?”
“Siapa sih? Sepupu elo?” tanya Kia.
“Hehe, ada deh….!”
Jam kuliah tinggal sepuluh menit lagi. Mereka berjalan cepat menuju kelas, langkah kaki terdengar berat di lorong kampus yang mulai ramai. Di benak mereka sudah terbayang sosok Pak Bambang, dosen galak yang tak pernah ragu memberi tugas menumpuk dan nilai sulit.
Keduanya duduk di bangku yang biasa mereka pakai, namun tatapan mereka tiba-tiba terhenti pada sosok asing yang sedang menelungkup tidur di atas meja, tepat di belakang mereka. Mereka sama sekali tidak tahu siapa pria itu.
"Siapa?" tanya Anne, dengan kodean mata. Kia mengedikan bahu. Dia benar-benar tidak tahu siapa sosok pria yang telah tertidur itu.
Anne duduk, tapi tatapannya tak lepas dari pria itu. Dia terlalu penasaran dengan sosok itu.
"Kayaknya mahasiswa baru,"bisik Anne di telinga sahabatnya.
"Nggak tau, dan nggak mau tau,"
Pintu kelas terbuka pelan, dan Pak Bambang melangkah masuk dengan ekspresi serius yang sudah dikenal semua mahasiswa. Wajahnya yang tegas dan mata yang tajam membuat suasana kelas langsung berubah. Satu per satu buku dibuka, tangan mereka bergerak cepat menata catatan, seolah-olah mereka sedang bersiap menghadapi badai.
Suasana kelas yang tadinya ramai dan santai, kini berubah menjadi tegang dan penuh konsentrasi. Beberapa mahasiswa terlihat cemas, ada yang menelan ludah berat, seakan-akan pelajaran dari Pak Bambang adalah sesuatu yang mengerikan.
Pak Bambang memandang sekeliling kelas dengan mata yang tajam, seolah-olah memeriksa kesiapan mahasiswa-mahasiswanya. Suaranya yang berat dan tegas terdengar saat dia mulai berbicara, "Baiklah, hari ini kita akan membahas tentang...".
Mahasiswa-mahasiswa yang sudah siap dengan pena dan buku catatan mereka, memperhatikan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut Pak Bambang.
Beberapa mahasiswa yang duduk di barisan depan terlihat sangat fokus, mereka mencatat setiap poin penting yang disampaikan oleh Pak Bambang. Sementara itu, mahasiswa-mahasiswa yang duduk di barisan belakang terlihat sedikit lebih santai, meskipun mereka juga berusaha untuk memperhatikan.
Lalu tatapan nya menoleh ke arah meja dimana di sana ada seorang mahasiswa yang tengah tertidur, menelungkup kan mukanya ke meja.
"Siapa itu yang tidur?" serunya, nada suaranya kencang sekali.
"Sssstttt, bangun woiii....! Dosen sudah masuk ke kelas?" ucap Anne, berusaha membangunkan pria itu.
"Hey, bangun!" teriak dosen itu dengan suara melengking yang menggema di ruang kelas.
Tiba-tiba, pria yang sedang terlelap terjaga, matanya membelalak kaget. "Oke, lemon tea segera datang......," ucapnya setengah ngantuk, tanpa sadar suaranya meluncur tiba-tiba.
Seketika itu juga, gelak tawa mahasiswa dan mahasiswi pecah memenuhi ruangan, menciptakan suasana riuh yang sulit diredam.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!