NovelToon NovelToon

The Forgotten Princess Of The Tyrant Emperor

Putri yang Dibuang

Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan hutan Moonveil ketika fajar perlahan merekah. Cahaya keemasan menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan panjang di atas tanah lembap. Burung-burung kecil berkicau riang, menghiasi kehidupan seorang putri kerajaan yang terbuang dari istananya sendiri.

Dialah Putri Isolde Anastasia, darah sah dari Ratu Lysandra dan Raja Roland yang sejak usia tujuh tahun diasingkan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selirnya, Lady Morgana. Hutan Moonveil adalah rumah yang menjadikannya berbeda, tajam, berani, dan tak terbiasa tunduk.

Putri Anastasia mengenakan gaun dari kain linen kasar berwarna gading. Gaun itu jauh dari kemewahan balutan sutra istana, namun tetap tampak anggun di tubuhnya yang lentur. Rambut hitamnya dikuncir setengah, diikat dengan pita kulit rusa hasil tangkapannya sendiri. Di pinggangnya tergantung sebilah belati pendek, sarungnya dari kulit cokelat tua yang sudah mulai usang.

Dengan langkah ringan, sang putri mendekati rusa muda yang tengah merumput di tepi rawa. Ia mengangkat busur kayu yang dipahat dengan tangannya sendiri, menarik tali dengan mantap. Gerakannya tidak kikuk seperti seorang bangsawan, melainkan cekatan seperti pemburu hutan. Jemari lentik yang seharusnya hanya tahu menyentuh sutra dan permata kini terbiasa merasakan tegangnya tali busur.

Swiiish! Anak panah melesat, menembus udara. Rusa itu terperanjat dan tak lama terjatuh menapak rerumputan hutan.

“Putri Anastasia!”

Sebuah suara nyaring datang dari arah semak. Seorang wanita setengah baya berlari kecil, sambil mengangkat rok panjangnya agar tak tersangkut ranting. Gaun wol lusuh berwarna kelabu membalut tubuhnya, ditambah celemek cokelat yang kotor oleh tanah dan abu dapur. Dialah Lucia, pelayan setia yang dahulu mengabdi pada Ratu Lysandra, kini mengabdikan sisa hidupnya untuk sang putri.

Lucia terengah, matanya membulat cemas melihat bangkai rusa di tanah. “Putri… apakah tidak cukup hanya memancing ikan di sungai? Mengapa Putri harus menantang binatang sebesar itu?”

Putri Anastasia menoleh perlahan, menatap Lucia dengan sorot mata dingin namun berwibawa. Ia berjalan mendekat, gaun linen miliknya menyapu rumput basah di sepanjang langkahnya. “Jika aku hanya tahu cara memancing ikan, bagaimana kita bisa bertahan hidup di hutan ini, Lucia?” ucapnya tenang.

Ia meraih tanduk rusa yang sudah tak bernyawa, mengangkat kepalanya seakan memperlihatkan trofi. Cahaya pagi membingkai wajahnya yang muda namun tegas, menegaskan keteguhan seorang gadis tujuh belas tahun yang tumbuh bukan dengan dongeng peri, melainkan dengan darah, keringat, dan tanah.

Lucia berdesir, di matanya Putri Anastasia bukanlah anak yang terbuang. Ia adalah singa betina muda yang perlahan ditempa oleh hutan untuk kelak merebut kembali apa yang menjadi haknya.

Dengan bantuan Lucia, tubuh rusa hasil buruan diikat pada sebatang kayu panjang. Keduanya memanggulnya bersama-sama melewati jalan setapak yang dipenuhi akar menjalar. Kabut pagi mulai menipis, berganti dengan aroma tanah basah dan suara dedaunan yang bergoyang diterpa angin.

Tak lama menelusuri jalan, tampaklah sebuah pondok kayu sederhana di antara pepohonan. Atapnya terbuat dari jerami kering, dindingnya dari batang pinus yang disusun rapat. Meski jauh dari kemegahan istana, pondok itu kokoh dan hangat. Di sekelilingnya terdapat kebun kecil tempat Lucia menanam sayuran liar seperti kubis, wortel, dan beberapa tanaman obat.

Putri Anastasia menurunkan hasil buruannya, lalu melangkah masuk ke dalam. Ruangan itu hanya terdiri dari satu aula besar dengan tungku batu di sudut, meja kayu kasar, dan rak tempat beberapa peralatan tersimpan.

Lucia segera menyalakan api, menggantung periuk besi di atas tungku, dan menyiapkan bumbu seadanya. Gaun wol lusuhnya tersibak sedikit, memperlihatkan kaki yang penuh luka gores akibat semak belukar. “Hari ini kita bisa makan enak, Putri,” katanya lirih, bukan karena sekadar rasa di lidah. Tapi perasaan terluka mengingat hari ini tepat sepuluh tahun Putri Anastasia diasingkan ke hutan.

Putri Anastasia duduk di bangku kayu. Ia melepaskan ikatan kulit rusa di pinggangnya lalu menaruh belati ke atas meja. Cahaya api memantulkan kilau dingin pada bilahnya. Dari cara ia menatap senjata itu, jelas terlihat bahwa baginya belati bukan sekadar alat bertahan hidup melainkan sahabat setia yang selalu siap melindunginya.

Lucia menoleh, menatapnya dengan lembut. “Putri seharusnya tidak tumbuh dalam keadaan seperti ini. Tangan yang halus itu seharusnya memegang pena emas, bukan busur kayu. Mata yang indah itu seharusnya menyaksikan pesta dansa di aula istana, bukan kabut hutan yang kelabu.”

Putri Anastasia menegakkan tubuhnya, menatap api yang bergejolak di tungku. Senyum samar muncul, namun matanya tetap tajam dan penuh perhitungan. “Aku tidak menyesali hutan, Lucia. Istana itu membuangku, tapi hutan ini memberiku kehidupan. Di sini aku belajar bahwa kelemahan hanya akan mengundang kematian. Dan aku… tidak berniat mati.”

Keheningan menyelimuti pondok. Hanya suara kayu terbakar yang terdengar, berderak pelan seakan mengamini kata-kata sang putri. Hutan Moonveil bergemuruh pelan diterpa angin, seolah ikut mengakui seorang penguasa yang tumbuh di dalamnya. Bukan di atas takhta emas melainkan di atas tanah liar yang keras.

Malam turun perlahan di hutan Moonveil. Udara menjadi dingin, dan suara serangga bergema dari segala arah. Api unggun di depan pondok menyala hangat, lidah apinya menari-nari melemparkan cahaya oranye ke wajah Putri Anastasia. Ia duduk di sebuah bangku kayu rendah, mengenakan gaun tidur sederhana dari kain wol tipis berwarna biru gelap. Rambut panjangnya terurai bebas, berkilau diterpa cahaya api. Dari sudut pandang manapun, ia tetap terlihat seperti seorang putri meski tak ada mahkota emas yang menghiasi kepalanya.

Lucia sibuk di dalam pondok, merapikan sisa santapan malam. Sesekali ia menoleh ke arah sang putri dengan sorot mata penuh kasih dan cemas. Namun ia tahu di dalam diri Putri Anastasia ada kekuatan besar yang akan muncul saat waktunya tiba.

Putri Anastasia mendongak menatap langit. Bintang-bintang bertaburan, seakan menghamparkan selendang perak di atas kanvas malam. Matanya yang biru pucat memantulkan cahaya bintang, seolah mencari sesuatu di antara kerlip itu.

“Lucia,” ucapnya pelan, suaranya seperti bisikan yang terseret angin. “Apakah Ibunda pernah memandang langit yang sama? Apakah ia pernah menitipkan doanya di antara bintang-bintang itu… untukku?”

Lucia terdiam, tangannya berhenti merapikan kain. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya selalu berakhir dengan tangis yang tak pernah sempat ia keluarkan.

Putri Anastasia tersenyum samar, namun sorot matanya lebih dingin dari udara malam. “Aku akan menemukannya, Lucia. Aku akan menemukan kebenaran tentang kematian Ibunda.”

Di tengah keheningan malam, Putri Anastasia tampak seperti bayangan takdir itu sendiri. Gadis muda yang dipaksa menjadi singa betina, dengan hati penuh luka, dan tekad yang kelak akan mengguncang singgasana yang pernah menolak darahnya sendiri.

Putri & Hutan

Pagi merekah dengan sinar matahari yang menembus dedaunan raksasa. Embun menitik dari ujung daun, membasahi tanah dan rerumputan. Putri Anastasia melangkah tanpa alas kaki di atas rerumputan basah, gaunnya tidak mewah namun menyatu dengan alam tanpa upaya. Senyum samar menghiasi wajah dinginnya, senyum yang jarang muncul saat ia bersama manusia.

Seekor kelinci melintas, dan alih-alih lari binatang kecil itu berhenti, menatapnya dengan mata bulat polos. Putri Anastasia berjongkok, mengulurkan tangan perlahan. Kelincinya meloncat mendekat, seakan hutan mengenali siapa tuannya.

“Lucia selalu takut aku tersesat,” bisiknya lirih, seolah berbicara pada si kelinci. “Tapi hutan ini adalah rumahku. Bagaimana mungkin seseorang tersesat di rumahnya sendiri?”

Tak jauh dari sana, Lucia menunggu dengan cemas dengan keranjang berisi ramuan di tangan kanannya. Ketika melihat sang putri berendam di sungai yang dingin, Lucia menepuk dahinya sendiri.

“Putri Anastasia! Air itu bisa menyeret siapa saja. Mengapa tidak puas hanya duduk di tepiannya?”

Putri Anastasia muncul dari air, rambut hitamnya basah dan melekat di pipinya. Matanya memantulkan kilauan sungai yang begitu jernih dan indah. “Aku bukan orang lain, Lucia. Sungai ini sudah mengenalku sejak kecil. Ia tidak akan berani menelanku.”

Sepanjang hari, Putri Anastasia memanjat pohon oak yang tinggi untuk mengintip sarang burung elang, berlari mengikuti jejak rusa hingga napasnya memburu, atau sekadar berbaring di padang rumput sambil menatap awan. Hutan dan penghuninya bukan lagi ancaman baginya, mereka adalah keluarga yang tak pernah mengkhianati tuannya.

Namun bagi Lucia, setiap langkah sang putri di hutan adalah sumber kecemasan baru. Ia tahu betapa kerasnya dunia luar, betapa mudahnya seorang bangsawan muda hilang dalam gelapnya rencana istana. Tapi melihat tatapan dingin nan bebas dari Putri Anastasia, Lucia selalu dibuat tersadar. Hutan tidak sedang menelan putri itu. Hutan hanya sedang menempanya.

Putri Anastasia menyingkap ranting, menyentuh batang pohon besar dengan jemari halus seakan bertegur sapa dengan sahabat lama. Senyum samar menghiasi wajahnya, dingin tapi hangat bagi alam yang memeluknya. Seekor rusa muda melintas tak jauh darinya. Bukannya kabur, hewan itu berhenti, menatap sang putri dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Anastasia hanya berdiri diam, membiarkan jarak di antara mereka terjaga. Bagi hutan ia bukan ancaman, ia adalah bagian darinya.

Di tepi sungai jernih, ia melepaskan alas kakinya dan mencelupkan kaki ke air yang sejuk. Gelombang kecil berlarian menyentuh kulitnya. Rambut hitam panjangnya jatuh bebas, sebagian basah ketika ia menunduk meminum langsung dari sungai.

“Air di sini lebih jujur daripada anggur di istana,” ucapnya seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Lucia yang sejak tadi mengikutinya berdiri di tepian. Sekuat apa pun ia berlatih, Lucia selalu kalah dalam mengimbangi langkah sang putri. “Putri Anastasia,” ucapnya dengan nada khawatir, “jika Ratu masih ada, beliau pasti tidak akan membiarkan putrinya bermain terlalu lama di sungai.”

Anastasia menoleh dengan senyum tipis. “Kalau Ibunda masih ada, beliau pasti ingin aku bahagia. Dan di sinilah kebahagiaanku, Lucia.”

Sepanjang hari, Anastasia mengisi waktunya dengan berburu, memetik buah hutan, atau sekadar berbaring di padang ilalang sambil menatap langit biru. Awan-awan berarak pelan, membentuk bayangan di atas wajahnya yang cantik dan tegas. Bagi orang lain, hutan mungkin penuh bahaya. Tapi bagi sang putri, hutan adalah rumah yang tidak pernah mengkhianati. Suara burung adalah musiknya, air sungai adalah cermin kehidupannya, dan hewan-hewan liar adalah teman setianya.

Langit gelap menggantung rendah di atas hutan. Angin meraung, menumbangkan ranting-ranting, membawa aroma tanah basah yang kian tajam. Tak lama, hujan turun deras, menusuk tubuh seperti ribuan jarum dingin.

Putri Anastasia berdiri tegak di halaman pondok kayu. Wajahnya menghadap sumber hujan, menikmati bagaimana tetes demi tetes membasahi bajunya hingga kuyup. Di tangannya, sebatang kayu panjang masih digenggam kuat.

“Putri! Masuklah! Kita bisa berlatih besok…” teriak Lucia dari ambang pintu, tubuhnya gemetar oleh dingin.

Anastasia menoleh sekilas. “Tidak ada besok Lucia, dunia tidak menunggu. Jika badai datang, kita hadapi sekarang. Bukan lari darinya.”

Lucia menelan ludah lalu keluar dengan langkah ragu, hujan segera membasahi gaunnya. Sang putri menyerahkan kayu latihan, dan keduanya kembali berhadapan di tengah tanah yang berlumpur. Petir menyambar jauh di kejauhan menggetarkan seluruh isi bumi.

“Pegang erat!” suara Putri Anastasia mengalahkan derasnya hujan. “Jika kau bisa bertahan di sini, kau bisa bertahan di mana pun.”

Mereka berlatih dalam derasnya hujan. Kayu menghantam, kaki terperosok lumpur, tubuh jatuh berulang kali. Setiap kali Lucia jatuh, Anastasia mengulurkan tangan dengan cepat, menariknya bangkit, lalu mendorongnya untuk kembali bersiap.

Ketika hujan reda dan matahari sore muncul, tubuh keduanya dipenuhi lumpur, tangan mereka lecet, tapi semangat tak padam. Anastasia berdiri menatap langit yang kembali cerah.

“Hujan, badai, bahkan kemarau panjang semua itu adalah sahabatku, Lucia. Mereka mengajarkanku bahwa alam tidak pernah kasihan. Alam hanya menguji dan kita harus lulus dari setiap ujiannya.”

Lucia terengah-engah, tapi ia tersenyum meski wajahnya penuh lumpur. “Saya mengerti, Putri. Jika alam pun bisa menjadi sahabatmu, maka tidak ada musuh yang tak bisa kau hadapi.”

Kerajaan Sylvaria memasuki musim kemarau. Namun tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Jika sebelumnya hanya dua bulan maka tahun ini setelah tiga bulan matahari masih membakar hutan tanpa ampun. Langit biru pucat tanpa awan, seolah menolak menurunkan setetes hujan pun. Sungai yang dulu jernih dan mengalir deras kini hanya menyisakan aliran kecil, mengering di beberapa bagian hingga dasar berbatu terlihat. Burung-burung terbang jauh mencari sumber air lain dan tanah mulai retak.

Lucia duduk di teras pondok kayu, mengibas wajahnya dengan sehelai kain lusuh. “Putri… kita tidak bisa terus begini. Persediaan air hampir habis, sungai sudah tak lagi memberi.” Suaranya penuh kecemasan.

Putri Anastasia berdiri tegap di dekat pepohonan, tubuhnya tetap terlihat kuat meski peluh mengalir di pelipisnya. “Air ada di sini, Lucia. Alam selalu menyembunyikan jawabannya bagi mereka yang mau mencarinya.”

Ia mengambil belati kecil, lalu berjalan menyusuri hutan. Lucia mengikuti dari belakang meski langkahnya berat. Putri Anastasia berhenti di dekat rumpun bambu liar yang tumbuh rimbun di tanah yang masih agak lembap. Ia menepuk batang bambu dengan punggung tangannya, mendengar gema samar di dalamnya.

“Dengarkan baik-baik,” katanya. “Bambu menyimpan air di rongganya. Kau hanya perlu tahu batang mana yang matang.”

Dengan satu tebasan, ia menebas bambu muda. Air jernih segera mengalir keluar dari potongan batangnya, menetes seperti hadiah dari bumi. Anastasia menadahnya dengan telapak tangan, lalu menyerahkan kepada Lucia.

Lucia meneguk perlahan, matanya membesar. “Segar… dingin… seperti dari sungai.”

Anastasia hanya mengangguk tipis. “Sungai boleh mengering, tapi hutan tidak pernah benar-benar mati.”

Mereka melanjutkan pencarian. Putri Anastasia menempelkan telinga ke tanah, mencari titik di mana suara aliran samar masih terdengar di bawah permukaan. Dengan belati miliknya ia menggali tanah berpasir di antara akar pohon besar, hingga akhirnya genangan kecil muncul seolah bumi menyerahkan rahasianya.

“Air selalu bersembunyi di tempat rendah, dekat akar yang dalam,” jelasnya, suaranya tenang. “Yang kau butuhkan hanya kesabaran, dan keyakinan bahwa alam selalu menyisakan jalan.”

Lucia memandang sang putri dengan campuran kagum dan haru. Baginya, Anastasia bukan hanya seorang putri yang terbuang. Ia adalah perempuan yang ditempa kerasnya alam, sekaligus mampu memahami rahasia penting yang tersimpan di dalamnya.

Meski hutan dilanda kemarau panjang, pondok kayu mereka kembali dipenuhi suara air menetes dari bambu dan genangan kecil yang berhasil mereka kumpulkan. Dan di balik semua itu, Putri Anastasia berdiri sebagai bukti bahwa ia tidak hanya bertahan hidup tapi ia menaklukkan alam dengan kecerdasan dan instingnya.

Kedatangan Prajurit Kerajaan

Malam turun perlahan di hutan. Bulan pucat tergantung di langit yang kering, sinarnya redup oleh debu musim kemarau. Dari kejauhan suara lolongan serigala bersahutan, panjang dan pilu. Di dalam pondok, Lucia duduk dekat perapian kecil yang apinya mulai meredup. Tangannya meremas kain celemek lusuh, matanya sesekali melirik ke pintu.

“Putri… suara itu… semakin dekat.” Suaranya bergetar.

Putri Anastasia duduk tenang di kursi kayu sederhana, belati tergeletak di atas meja di hadapannya. Tak ada sedikit pun tanda cemas di wajahnya. “Kemarau membuat semua makhluk lapar, Lucia. Mereka tidak datang untuk menakuti kita, mereka hanya mencari hidup.”

Belum sempat Lucia menjawab, dari luar terdengar suara geraman rendah. Pintu pondok bergetar ringan, tanda sesuatu besar bergerak mendekat. Api perapian menyorot bayangan samar di dinding, sosok serigala besar dengan bulu kusam dan mata kelaparan.

Lucia tercekik panik. “Putri! Kita harus…”

Anastasia berdiri, gerakannya tenang namun tegas. Ia mengambil obor kecil dari tungku, menyalakannya dengan sisa api, lalu melangkah keluar pondok. Hujan abu tipis dari dedaunan kering beterbangan ketika pintu dibuka. Di hadapannya terdapat serigala yang berdiri dengan tubuh kurus, bahkan tulang rusuknya terlihat jelas. Matanya menyala dalam gelap menunjukkan keputusasaan.

Putri Anastasia tidak mengangkat belati. Ia hanya menancapkan obor di tanah, sinarnya menari di udara malam. Dengan gerakan perlahan, ia mengambil sepotong daging asin dari kantong kulitnya, lalu melemparkannya jauh ke arah lain, menjauh dari pondok.

“Pergilah,” ucapnya lirih, namun suaranya tegas seperti perintah seorang ratu.

Serigala menoleh, mengendus udara, lalu berlari mengikuti bau daging. Bayangannya menghilang di balik pepohonan, hanya menyisakan keheningan kembali.

Lucia muncul di ambang pintu, wajahnya masih pucat. “Putri… mengapa tidak kau bunuh saja? Bukankah akan lebih aman untuk kita?”

Anastasia menatap langit yang kelam, rambutnya berkibar oleh angin kering. “Hewan-hewan ini bukan musuh kita, Lucia. Mereka hanya bagian lain dari hutan. Jika kita mengusir mereka dengan bijak, mereka akan mencari jalan lain. Membunuh hanya menambah luka pada tanah yang sudah menderita.”

Lucia terdiam, lalu menunduk hormat. Dalam hati ia semakin yakin, Putri Anastasia akan menjadi pemimpin sejati yang memahami bahwa kekuatan bukanlah menaklukkan segalanya, melainkan menjaga keseimbangan.

Hari ini hutan terasa sunyi, burung-burung tidak berkicau seakan merasakan ada sesuatu yang akan berubah. Putri Anastasia melangkah tenang di antara pepohonan dengan busur panah di punggungnya. Darah segar menetes dari tubuh rusa besar yang sudah ia pikul dengan satu tangan. Nafasnya stabil meski keringat sudah membasahi pelipis.

Sementara itu di pondok kayu, Lucia sedang menumbuk ramuan ketika suara derap kuda terdengar. Jantungnya seakan berhenti. Dari balik jendela ia bisa melihat bendera Kerajaan, lambang yang sudah lama tak ingin ia lihat lagi.

Pintu pondok terbuka dengan kasar, beberapa prajurit berzirah melangkah masuk tanpa menunggu izin pemiliknya.

“Di mana Putri Anastasia?” suara pemimpin mereka bergema, dingin dan penuh kuasa.

Lucia berdiri dengan gemetar. “S-Saya… saya tidak tahu…”

Salah satu prajurit mendorong meja kecil hingga jatuh, ramuan yang Lucia kerjakan satu minggu ini tumpah ke lantai. Lucia didesak ke dinding, sengaja dikepung untuk membuat mulutnya bersuara. Dalam hati Lucia berdoa sepenuh hati semoga sang putri tidak segera pulang.

Hampir saja ujung tombak salah satu prajurit mengenai leher Lucia kalau suara langkah tidak terdengar dari luar. Prajurit yang berjaga di ambang pintu tiba-tiba menegang ketika sosok itu muncul. Rambutnya terurai panjang bak sutra keemasan yang berkilau di bawah cahaya lentera istana. Wajahnya bagai pahatan halus para dewa dengan garis yang lembut namun tegas, sebuah harmoni antara keanggunan dan kekuatan meski tanpa hiasan sekali pun. Matanya biru sebening safir, memancarkan kejernihan sekaligus kedalaman yang membuat siapa pun yang menatap tak sanggup berpaling. Bibirnya merah muda bak mawar yang baru mekar saat fajar. Kulitnya putih pucat berkilau seolah terbuat dari porselen yang dilukis dengan tangan paling halus.

Seorang gadis berdiri tegak dengan darah rusa yang melumuri gaunnya. Di bahunya hewan buruan tergantung tak bernyawa, menjadi bukti kekuatan fisiknya. Ia menatap lurus ke arah para prajurit, tatapannya dingin dengan aura menekan seperti baja.

Dug

Tanpa sepatah kata pun, ia menjatuhkan tubuh rusa itu ke tanah dengan suara keras seakan menantang mereka. Hanya dengan tatapan tajam mampu membuat para prajurit yang terlatih pun merasakan bulu kuduk mereka berdiri.

“Lepaskan pelayanku,” suara Anastasia akhirnya terdengar. Indah dan tajam bagai perintah yang tak bisa dibantah.

Di bawah cahaya senja yang merembes dari balik pepohonan, awal dari takdir baru telah tiba. Hutan tak lagi bisa melindungi mereka. Dunia istana sudah mengetuk pintu.

Suasana pondok kayu masih tegang. Para prajurit kerajaan menunduk hormat pada putri sah Kerajaan Sylvaria yang sudah sepuluh tahun meninggalkan istana. Pemimpin pasukan melangkah maju, suara beratnya mencoba menutupi kegelisahan.

“Putri Anastasia… Yang Mulia Raja memerintahkan kami untuk membawa Anda pulang ke Istana saat ini juga.”

Tatapan dingin Anastasia menusuknya. Bibirnya terangkat tipis menunjukkan garis sinis penuh wibawa. “Aku tidak terbiasa bernegoisasi sebelum makan malam,” ucapnya datar.

Lucia yang masih gemetar, mendongak dengan bingung. “P-Putri?”

Anastasia menoleh sekilas pada Lucia. “Lucia, siapkan makan malam. Minta para prajurit ini mengurus tubuh buruanku. Daging rusa itu cukup untuk kita semua.”

Sejenak, keheningan menelan ruangan. Para prajurit saling pandang, tak seorang pun berani membantah. Aura sang putri terlalu berat, terlalu agung, seakan mereka sedang berdiri di hadapan seorang ratu, bukan gadis yang dibuang ke hutan bertahun-tahun lalu.

Dengan canggung dua orang prajurit maju, lalu mulai menguliti rusa di depan pondok sesuai perintah sang putri. Lucia menyiapkan tungku dan ramuan, sementara Anastasia duduk bersila di lantai kayu, seolah pondok sederhana itu adalah aula megah baginya.

Ketika malam tiba, aroma daging panggang bercampur bumbu hutan memenuhi udara. Api unggun menyala di tengah ruangan. Para prajurit yang biasanya hanya makan di meja panjang istana dengan aturan kaku, kini duduk di lantai melingkar bersama Putri Anastasia dan Lucia.

Tak ada pembatas, tak ada kursi emas, hanya lantai kayu dan api hangat.

Anastasia mengambil potongan daging pertama, mencicipinya dengan tenang lalu meletakkannya di piring yang terbuat dari kayu. “Makanlah,” perintahnya.

Para prajurit meski terkejut, mulai menyantap makanan. Malam itu,mereka berbagi roti gandum, buah hutan, dan daging rusa panggang sama rata, tanpa gelar dan tanpa jarak.

Hal itu tidak akan pernah mungkin terjadi di Kerajaan Sylvaria, di mana darah biru dan rakyat jelata dipisahkan oleh tembok tak kasatmata. Namun di hutan ini, di bawah tatapan dingin sang putri semua aturan itu runtuh. Dan di sanalah para prajurit untuk pertama kalinya mengakui Putri Anastasia bukanlah putri yang terlupakan. Dialah pewaris takhta yang sebenarnya, calon ratu Kerajaan Sylvaria.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!