Pagi itu, Rubi sudah bersiap-siap menjemput sahabatnya, yang bernama Fatimah. Rencananya, Rubi akan membuat kejutan di hari ulang tahun Fatimah, dengan menyatakan jika dirinya sudah sembuh, dan baru saja bertunangan dengan seorang pria yang ia gadang-gadang sebelumnya.
Namun, hal yang tidak di inginkan siang itu terjadi. Hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan ... Malah berubah menjadi hal tragis, berakhir duka.
Sama-sama berbincang, dan bergurau dalam mobil, hingga membuat fokus Rubi menyetir terganggu.
Dari arah berlawanan, tetiba ada sebuah motor yang menyebrang begitu saja.
"Rubi ... Awas ...!!!" Pekik Fatimah, menyadarkan fokus Rubi.
Rubi tersentak. Kaki yang seharusnya menekan rem, malah semakin kuat menginjak gas mobilnya. Itu semata-mata karena Rubi tegang, jadi ia tidak konsentrasi.
Kecelakaan tidak dapat terhindarkan. Hingga ....
BRAK!!!
Mobil Rubi menghantam pembatas jalan, hingga terbalik.
Ditengah kesadaran mereka, Fatimah masih mampu meraba lengan sahabatnya untuk ia genggam.
"Rubi ...." Lirih Fatimah, dengan darah yang sudah mengalir diwajahnya.
Rubi pada saat itu tidak sadarkan diri. Hingga, Meraka berdua langsung dilarikan ke Rumah Sakit.
Mahendra-suami Fatimah tidak terima, dan sempat menuntut Rubi atas kejadian naas itu. Akan tetapi, di sisa tenaga yang masih Rubi miliki, wanita berusia 22 tahun itu memohon, agar suaminya tidak kegabah.
1 hari setelah di rawat, Rubi yang semula kritis, kini malah berangsur membaik. Dan Fatimah, ia kini bergantian dinyatakan kritis, meski sehari itu ia sempat sadar.
"Aku ingin bertemu Rubi, Mas!" Pinta Fatimah begitu lirih.
"Baik, nanti kita menemui Rubi sama-sama! Yang penting kamu sehat dulu!" Mahendra tak sampai hati melihat wajah Fatimah semakin melemah. Meskipun wajahnya datar, namun sorot mata itu menatap iba.
Fatimah duduk dikursi roda, dan dibawa Mahendra menuju ruangan Rubi.
Pagi itu, Rubi yang di tunggui sang kakak-Arman, kini perlahan bangkit, menangis melihat kedatangan sahabatnya.
Meskipun sama-sama berwajahkan pucat, namun sorot mata Rubi lebih kuat.
"Maafkan aku, Fatimah!" Seru Rubi menggapai tangan sahabatnya.
Fatimah juga ikut menangis. Air matanya luruh, namun bibirnya mampu tersenyum.
"Ruby ... Semua sudah ketetapan Allah! Jangan lagi menyalahkan dirimu." Fatimah juga membalas genggaman tangan Rubi.
"Mas Hendra ... Mendekatlah, karena ada yang ingin aku bicarakan!" Pinta Fatimah menoleh suaminya.
Mahendra agak mengernyit. Ia tetap mengikuti permintaan istrinya, sambil menarik kursi untuk dia duduki.
"Apa kamu perlu sesuatu?" Tanya Mahendra begitu lembut.
Fatimah menggeleng lemah. Ia menatap suaminya, lalu berganti menatap sahabatnya-Rubi ... Seakan ada sesuatu yang harus ia sampaikan saat itu juga.
"Mas ... Kamu menyayangiku 'kan? Kamu juga menyayangi putri kita 'kan?" Tanya Fatimah tetiba. Sorot mata itu sudah terlihat sayu, namun ia paksa untuk kuat.
Perasaan Mahendra sudah tidak enak. Rasa takut kehilangan istrinya seketika memuncak kuat, bagai terdorong ditepi jurang.
"Hal itu tidak perlu kamu tanyakan! Kalian berdua separuh nyawa Mas. Mas tidak akan dapat hidup tanpa kalian!" Papar Mahendra. Meski terdengar ambigu, namun Ruby mengenyahkan begitu saja.
Fatimah tersenyum penuh syukur. "Mas ... Manusia tidak akan ada yang tahu bagaimana kisahnya di akhir! Aku hanya berpesan padamu ... Jika kelak tiba masanya jiwaku terputus oleh dunia ini ... Maka menikahlah dengan Rubi! Dia tidak hanya sahabat ... Tapi sudah ku anggap sebagai adiku sendiri! Aku akan pergi dengan tenang, jika melihat Naumi berada ditangan wanita tepat!" Lirih Fatimah yang mampu mengiris dada penghuni ruangan itu.
Mahendra mendongak, ia tak mampu menatap mata istrinya. Air matanya sudah menggantung, sebentar lagi terjatuh.
"Nggak ... Kamu sudah sembuh, Fatimah! Lihatlah ... Tubuhmu sudah membaik dari sebelumnya. Aku nggak ingin kamu berbicara kelantur seperti ini!"
Ruby hanya mampu menggelengkan kepala lemah, serta membeku di tempat. "Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Fatimah! Kamu sahabat baiku satu-satunya. Kamu duniaku, dan ... Aku nggak ingin berpisah darimu!" Tangisan Ruby semakin menjadi.
Fatimah hanya mampu tersenyum, melihat bagaimana ketulusan sahabat, serta suaminya itu. Namun apa daya, disisi lain kecelakaan itu ... Fatimah telah lama mengidap penyakit ganas, dan rahasia itu tersimpan rapat.
2 hari setelah permintaan itu, Fatimah benar-benar pergi untuk selama-lamanya.
Kepergiannya sangat bersih. Ia tertidur sehabis melaksanakan sholat dhuhur. Wajah cantik itu masih terbalut mukena putih, semakin membuat terang, wajahnya bagaikan bulan purnama.
Keluarga besar Fatimah maupun Mahendra, sudah tahu dengan permintaan terakhir Fatimah. Dan demi menghargai mendiang istrinya, Mahendra akhirnya menyetujui pernikahan itu.
Namun, siapa sangka, jika neraka pernikahan yang Mahendra janjikan untuk Ruby.
Baru 2 bulan merajut kasih dengan Gama, setelah perceraiannya. Rupanya kisah itu terpaksa kandas di tengah jalan kembali.
Ruby pun mendapat kecaman wanita murahan dari keluarga Gama. Setelah hubungannya berakhir, Ruby malah menikah dengan seorang Duda.
Yakni Mahendra Adiguna Wijaya.
***
4 bulan berlalu.
Bocah berusia 1 tahun, dalam gendongan wanita tua itu menangis nyaring, hingga membuat sang Nenek kualahan.
Namanya Naumi Ivani Wijaya. Sudah 4 bulan, semenjak ditinggalkan Ibunya ... Naumi sering kali rewel, karena badanya sering sekali panas.
Naumi sejak lahir hanya meminum ASI sang Ibunda, tanpa mau meminum dari Dot. Namun, hal tersebut rupanya Kini mampu mencekik sang Ayah dan juga Neneknya, perihal ketergantungan itu.
Bu Indah-ia kini sudah duduk diruang tengah, setelah menidurkan sang cucu. Naumi tidak memiliki suster khusus, karena dulu Fatimah menolak, saat Mahendra menawarinya pengasuh.
Meski begitu, banyak pelayan di rumah itu, yang terkadang juga membantu Bu Indah mengurus, serta menjaga Naumi. Terutama Bik Melas.
"Ada apa, Bu?" Mahendra baru saja tiba, agak mengernyit, kala ia menjatuhkan tubuh beratnya diatas sofa.
"Sudah 4 bulan, dan Ibu cukup kualahan menjaga putrimu, Hendra! Lagian kamu mau sampai kapan mengulur waktu? Fatimah juga pasti akan bahagia jika permintaan terakhirnya terpenuhi." Jelas sekali wajah tua Bu Indah begitu lelah.
Mahendra tercengang. Ia menegakan posisi duduknya, menatap sang Ibu dengan sorot tidak setuju.
"Bu ... Aku yakin, Fatimah tidak begitu tulus mengatakannya! Dia hanya kasian pada sahabatnya yang belum laku itu. Sudahlah, Bu ...!!! Yang terpenting, aku akan fokus membesarkan Naumi terlebih dulu!" Setelah mengatakan itu, Mahendra langsung bangkit, dan berjalan ke lantai dua.
Naumi yang masih berusia 4 bulan itu, semakin hari semakin rewel. Dan terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit oleh Mahendra.
"Hendra ... Cobalah hubungi Ruby agar dia datang kesini!" Pinta Bu Indah sambil menenangkan cucunya.
Mahendra bersikukuh menolak, tidak ingin melibatkan Rubi dengan putri kecilnya itu.
"Nggak, Bu! Jika Ibu lelah, biar Hendra yang gantiin buat jaga Naumi. Ruby bukan siapa-siapa kita. Jadi Ibu jangan terus menggantungkan Naumi padanya!" Tolak Hendra.
"Jika kamu nggak mau menghubungi Ruby ... Maka Ibu sendiri yang akan memintanya datang kesini!" Bu Indah memberikan Naumi pada Bik Melas. Ia kini berjalan agak menyingkir untuk melakukan panggilan telfon.
'Rubi ... Semua ini gara-gara kamu! Jika saja waktu itu kamu tidak mengajak Fatimah pergi ... Pasti sampai saat ini pun, dia masih bersamaku disini. Dasar kamu pembunuh!' geram batin Mahendra.
Tepat 1 tahun kepergian Fatimah, Mahendra baru menikahi Ruby. Itupun akibat desakan keluarga pihak Fatimah.
Dan setelah beberapa bulan menginjak 1 tahun itu, Rubi sering kali bolak balik ke rumah Fatimah demi memberikan ASI untuk baby Naumi. Dan bersyukurnya, Naumi sangat nyaman diberikan oleh ASI miliknya.
Desakan pernikahan itupun tak luput dari orang tua Fatimah. Mereka merasa tidak tenang, takut jika putrinya disana akan bersedih, melihat suaminya beringkar janji.
Apalagi ... Ada Naumi yang membutuhkan hangatnya pelukan sosok Ibu. Dan Fatimah yakin, Ruby wanita yang tepat.
Ruby Rikaya-wanita cantik berusia 23 tahun itu ... Kini telah mengenakan kebaya pengantin bewarna putih, berjilbab senada, dengan riasan tidak terlalu mencolok.
Pernikahan diadakan secara tertutup, namun resmi.
Dihadiri oleh keluarga inti, dan para kerabat, pernikahan sederhana itu cukup berjalan khidmat.
Pak Gendra menjabat tangan calon menantunya, menatap wajah Mahendra dengan tegas.
"Engkau saudari Mahendra Adiguna Wijaya, saya nikahkan engkau dengan putri kandung saya bernama Ruby Rikaya Gendrasono, dengan mas kawin satu set perhiasan, dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!" Pak Gendra menghentakan jabatan tanganya.
"Saya terima nikah dan kawinya Ruby Rikaya Gendrasono binti Pak Gendra Ahmad Sono, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
Sah!!!
Sah!!!
Pernikahan pun terjadi. Mahendra mendekat, Rubi sangka suaminya itu akan mencium keningnya. Namun siapa sangka, Mahendra malah membisiki istrinya itu dengan kalimat tajam.
"PEMBUNUH!"
Ruby tersentak. Bibirnya terkatup, namun wajahnya jelas menolak pernyataan suaminya barusan.
Bukan! Rubi bukan pembunuh!
Beberapa orang memberikan selamat, tak halnya juga kedua orang tua mendiang Fatimah.
"Tante titip Naumi ya, Sayang! Jangan pernah berkecil hati atas kepergian sahabatmu! Tante dan Om sudah ikhlas. Biar Fatimah disana juga bahagia dengan langkah barunya," Bu Trisa kini memeluk sekilas tubuh Ruby. Wanita tua itu menitikan air mata. Ada perasaan haru yang sulit sekali ia jabarkan.
"Ruby meminta maaf kepada Tante! Rubi jika tidak ingin berada di posisi seperti ini. Jika pun Rubi dapat meminta Takdir ... Biarkan Rubi saja yang menggantikan Fatimah!" Ruby memegang kedua lengan Bu Trisa. Air matanya juga ikut luruh.
Dan siang itu juga, Ruby diajak pindah ke rumah suaminya.
Tidak ada hal romantis yang terucap. Semuanya terasa hambar, seakan Ruby lah disini ... Wanita tidak tahu diri.
Bu Indah-ia berbicara dengannya juga hanya seperlunya saja. Dibilang benci tidak! Tapi dibilang suka ... Tidak terlalu. Hati kecilnya menolak, karena wanita yang saat ini menjadi menantunya itu ... Dialah penyebab kematian menantu pertamanya.
***
Belum apa-apa, kedatangan Ruby sudah disambut oleh bocah kecil, yang saat ini sedang berlatih jalan dengan Bik Melas.
Usia Naumi sekarang hampir 2 tahun kurang 2 bulan.
"Mam-Mam ... Mam-Ma," celoteh Naumi kala melihat Rubi sudah bersimpuh menanti jalan putri sambungnya itu.
"Naumi sayang ... Ayo berjalan lebih dekat lagi! Mamah tunggui disini," sorak Rubi dengan wajah antusiasnya.
Naumi semakin bergerak cepat. Meski jalannya terseak seok. Hingga akhirnya ...
Hap!!!
"Yeeee ... Anak Mamah hebat ya, sudah bisa jalan!" Rubi lalu mengangkat Naumi dalam gendongannya.
Karena sering sakit, Naumi jadi terlambat dalam hal apapun. Dan lagi ... Mungkin bocah sekecil itu membutuhkan sosok Ibu, agar mampu memupuki semangat jiwanya.
Kehadiran Ruby, membuat semangat jalan Naumi membaik. Selama setahun lalu ... Rubi sering datang, melatih Naumi berjalan, memberikannya ASI dari sumbernya langsung, atau membuatkan makan, dan melatih hal-hal lain, agar Naumi dapat lebih semangat.
Didalam, Bu Indah baru selesai mandi. Ia keluar menghampiri pelayannya-Bik Melas. Wanita tua berusia 55 tahun itu menyudahi aktivitasnya, dan menghadap sang majikan.
"Bik, tolong panggilkan Ayuk! Suruh dia menemui saya diruang tengah!" Ujar Bu Indah.
"Baik, Bu!"
Bik Melas berlalu, mencari Ayuk di taman belakang.
"Ada apa, Bik?" Wanita berusia 40 tahun itu meletakan alat pelnya.
"kamu dipanggil Ibu, Yuk! Cepetan masuk! Oh ya ... Non Ruby sudah datang, ini mau tak buatkan minum dulu!" Pungkas Bik Melas.
Ayu mengangguk. Ia lalu mencuci tangannya terlebih dulu, dan berjalan masuk kedalam menemui Majikannya.
"ibu cari saya?" Ayuk sudah tiba disamping sofa ukir besar itu.
Bu Indah bangkit. Ia menoleh kedepan sekilas, lalu kembali menatap pelayanya. "Kamu kedepan! Gantiin ajak Naumi, agar menantu saya biar bisa membersihkan diri. Naumi kalau sudah sama Ruby, sulit sekali dipisahkan!"
"Oh, baik Bu! Permisi!"
Rubi dan Naumi masih sibuk didepan bermain Ayunan. Didepan teras terdapat ayunan kayu mengkilat, yang biasa Bu Indah gunakan untuk mengajak cucunya bermain.
"Permisi Non Ruby!" Sapa Ayuk terlebih dahulu.
Rubi tersadar, lalu menoleh. "Mbak Ayuk, ada apa ya?"
"Itu, Non ... Sini biar Non Naumi sama saya dulu. Non Rubi kalau mau bersih-bersih badan silahkan." Ucap Ayuk.
Rubi terkekeh. Ia lupa, jika saat ini ia masih memakai abaya serta jilbabnya.
Naumi sekan tahu. Ia mendongak menatap wajah Ibu sambungnya. "Sayang ... Naumi sama Bik Ayuk dulu, ya! Mamah mau mandi dulu. Nanti ... Mamah akan buatkan Naumi makanan yang lezat!"
Ruby bersiap turun dari ayunan, dan memberikan Naumi pada Ayuk.
Naumi menangis. Tanganya terentang kearah Ruby lagi.
"No ... No! Mam, no ... No!" Naumi menolak, masih menangis dengan celotehan lucunya.
"Nggak, Sayang! Mamah hanya sebentar kok!" Rubi mencium pucuk kepala putrinya. "Mbak ... Ajak main ayunan lagi saja, biar tangisanya reda!"
"No ... No! A-yuk ... No, no!" Naumi masih menangis, menatap Bik Ayuk dengan wajah kesalnya.
Sementara didalam. Ruby menarik kopernya, dan berhenti didepan sebuah kamar. Kamar itu berada di lantai dua.
Ruby membuka pintu kamar itu. Didalam, Mahendra tersentak kala ia keluar dari kamar mandi. Tatapanya penuh rasa tidak suka, namun harus ia tahan.
"Permisi Mas ...." Ruby agak segan saat mendapat tatapan intimidasi dari suaminya di sebrang.
Mahendra berjalan mendekat. Pria berusia 29 tahun itu berhenti disamping istrinya, tanpa mau menatap wajah Ruby.
"Aku tahu bagaimana sifat licikmu, Ruby! Kau pasti sudah menantikan hal ini, bukan? Kau juga merencanakan kematian Fatimah! Janda busuk sepertimu, pasti tak akan ada pria yang mau!" Kecamnya. Setelah mengatakan itu, Mahendra berlalu begitu saja.
Ruby tidak diberi ruang untuk berbicara. Ia menoleh, menatap kepergian suaminya dengan wajah penuh luka. Kedua sorot mata sendunya sudah mulai berair, diiringi sesak yang kian menyergap.
Tidak ingin larut, Rubi lantas segera melanjutkan aktivitasnya. Naumi lebih penting dari pada ocehan murahan itu.
Ruby menatap lurus kedepan. Kebencian jelas terpantul dari sorot matanya. 'Jika bukan karena permintaan sahabatku ... Demi Allah aku tidak sudi mengenalmu, Mahendra!'
Ruby kembali melanjutkan jalanya. Membereskan semua kekacauan yang diciptakan suaminya sendiri.
***
Sore itu, Ruby agak sibuk di dapur. Ia membuatkan makan untuk Naumi. Pikir Ruby, mumpung putri kecilnya itu masih tertidur.
Nanti, setelah selesai, Ruby akan memandikan Naumi, lalu diajaknya jalan sore sambil makan.
Hal itu sudah kerap Rubi lakukan, semenjak kepergian sahabatnya-Fatimah. Bukan ingin sok caper dengan Mahendra. Tapi Ruby lebih peduli, dan mementingkan masa tumbuh Naumi.
Namun tetap saja, di keluarga Mahendra, Rubi tidak pernah dianggap. Kedatangannya mendapat sikap acuh. Bahkan kebaikannya untuk Naumi nyaris tak terlihat.
Terkadang, ada rasa sesal yang memupuk jiwanya. Tangan Rubi masih sibuk mengaduk soup untuk Naumi. Namun pikirannya terbang jauh, mengingat semua kebaikan yang telah Gama berikan.
Ruby masih teringat, bagaimana Gama menolak, ketika ia memutus pertunangannya 1 tahun yang lalu.
Sejek dulu pun Ruby mencintai Gama. Ruby tidak pernah lelah mengejar cinta pria itu. Namun disaat Gama mulai menatap kearahnya ... Ruby malah dijodohkan dengan pria matang bernama-Ganesha Maheswara.
Mendengar perceraian Ruby, Gama kembali mendekat. Ia meyakinkan Ruby, bahwa cinta serta usahanya tidak sia-sia. Ruby bersedia, dan mereka kembali merajut kisah asmara. Namun lagi-lagi hubunganya kandas.
Tak terasa, air mata Ruby berhasil luruh diwajah tirusnya.
"Nggak! Bagaimana bisa?! Pernikahan kita sebentar lagi terjadi, Ruby! Aku hanya kerja sebentar! Tolong ... Jangan buat Aku sakit!" Masih teringat jelas, bagaiman reaksi Gama dalam panggilan telfon itu.
Gama menempuh study di luar negeri, sekaligus ia bekerja di perusahaan asing. Pendapat kepercayaan sebagai penanggung jawab dari Bosnya, hal itu membuat Gama sedikit lama bekerja, dari waktu yang ia berikan pada Rubi. Mendapati Rubi menjadi seorang janda pun, hal itu tidak mengubah rasa cintanya kepada sang pujaan.
"Gama, maafkan aku! Aku terpaksa menikah, karena aku tidak mungkin menunggumu lebih lama lagi! Tolong, segeralah lupakan semua kisah kita." Begitu panggilan berakhir, Ruby meluruhkan tubuhnya diatas lantai, menangis sejadi-jadinya.
Setelah masakan siap, Rubi kini beranjak menuju depan, untuk melihat sudah bangun atau belum putrinya itu.
Baru ia akan membuka pintu kamar Naumi, belum sampai, tapi dari dalam pintu itu terbuka. Dan rupanya sang Mertua lah yang baru saja keluar.
Bu Indah terkejut, namun wajah dinginya menghempas itu semua.
"Naumi masih tidur, Bu?" Tanya Rubi hati-hati.
"Masih!" Jawab acuh Bu Indah. Setelah mengatakan itu, ia melenggang dari hadapan menantunya.
Ruby hanya mampu tersenyum getir. Bukan hal asing lagi yang ia terima. 1 tahun membantu merawat Naumi, ia juga selalu mendapat sikap acuh seperti itu.
Ruby mengenyahkan itu semua dari pikirannya. Ia membuka pintu kamar itu sedikit. Rubi pikir, jika nanti Naumi bangun dan menangis, ia akan dengar.
Namun sebelum itu, Rubi membuka pintu balkon kamar Naumi. Rencananya, ia akan menyiram tanaman, yang berada disamping kamar putrinya itu.
Sesekali, Ruby melihat kedalam kamar Naumi, sambil ia menyirami bunga-bunga indah didepanya. Ruby yakin, Fatimah lah yang mengoleksi semua bunga-bunga hias itu.
Oh, Fatimah ... Damailah di surga.
Ruby hanya mampu tersenyum, mengikhlaskan kepergian sahabatnya.
Sementara di dalam, entah dari mana Mahendra tadi, yang jelas ia baru saja turun dari mobil, dan kini berniat untuk melihat sang putri.
Waktu sudah menunjukan pukul 16.00
Mahendra membuka pelan kamar putrinya. Naumi masih nyenyak bergelayut dalam mimpinya.
"Bobok yang nyenyak, Sayang!" Mahendra meninggalkan kecupan hangat pada kepala Naumi.
Dan untuk beberapa detik, Mahendra masih belum tersadar jika pintu balkon kamar Naumi terbuka. Baru, setelah ia ingin berbalik dan menoleh, tatapan Hendra mengernyit.
"Siapa yang sudah membuka pintu balkon? Apa Bik Risma lupa menutupnya? Kenapa bisa ceroboh sekali? Padahal ini sudah sore!" Ditengah rasa geramnya, Mahendra menutup pintu balkon itu. Ia tidak menyadari, jika disamping kamar putrinya, istrinya sedang menyiram beberapa tanaman.
Mahendra bergegas keluar. Ia berjalan kearah dapur, untuk menemui pelayannya itu.
"Bik ... Bik Risma ...!!!" Panggil Hendra dari arah ruang makan.
"Ada apa, Hendra?" Tegur sang Ibu yang baru saja turun dari lantai dua.
Bersamaan itu, Bik Risma baru saja masuk kedalam. "Aden cari saya?"
"Bik ... Kenapa pintu balkonnya di biarin terbuka? Ini sudah masuk jam 4 sore! Takutnya nyamuk-nyamuk pada masuk ke dalam kamarnya Naumi!" Kalimat Hendra terkemas rapi, meski ia sedikit merasa kesal.
Bik Risma mengingat kembali. "Perasaan ... Saya nggak ada buka pintu balkon, Den! Saya hanya menidurkan Non Naumi, lalu keluar!"
"Mungkin itu hanya perasaan kamu, Hendra!" Sahut Bu Indah menengahi.
Nafas Mahendra sudah memburu. Benar-benar kenyataan itu terjadi didepan matanya, bagaimana Ibunya masih tidak percaya.
"Oh ya ... Tadi Ibu habis bertemu Ruby, saat dia akan masuk ke dalam kamar Naumi. Atau, mungkin saja istrimu yang membuka Hendra? Coba lah tanyakan pelan-pelan. Ibu ingatkan, jangan sampai kamu membentaknya!" Bu Indah tahu betul siapa putranya.
Mahendra mendesah dalam. Ia lalu berjalan keluar, untuk mencari istrinya. Dan benar saja, di teras depan ia bertemu Ruby.
"Bagaimana kamu dapat membuka pintu balkon, disaat putriku sedang tertidur!" Sentak Hendra menunjukan wajah tidak suka.
Ruby tercengang. Memang ia yang membuka pintu balkon itu, agar ia dengan bebas dapat memantau Naumi tidur. Tapi kenapa suaminya itu sampai membentaknya?
"Mas, tadi aku menyiram bunga di samping kamar Naumi! Aku sengaja membukanya, agar ... Jika Naumi bangun aku bisa tahu." Balas Ruby menjelaskan.
"Dimana otakmu, Ruby! Kamu ingin ya, jika banyak nyamuk dari luar yang masuk kedalam kamar putriku?! Perlu saya ingatkan kembali sama kamu, jika kehadiranmu ini ... Hanya ucapan kosong istriku! Jadi, jangan sok-sokan kamu lebih tahu semuanya tentang Naumi!" Kecam Hendra sambil menuding wajah istrinya. Setelah mengatakan itu, Hendra langsung melenggang begitu saja.
Lagi-lagi suara Ruby hanya mampu tertahan. Dadanya bergemuruh, terasa sesag sekali. Ia mengerjabkan beberapa kali, agar air matanya tidak luruh saat ini juga.
Tidak ingin larut, Ruby langsung masuk kedalam. Ia kini berjalan menuju dapur untuk mencuci tanganya terlebih dulu.
Pikir Ruby, masa tumbuh Naumi lebih penting dari rumah tangganya yang kurang sehat itu.
***
Sementara di lain tempat. Sore ini Mahendra memutuskan untuk menyendiri di sebuah cafe, sekedar menikmati segelas ekspresso. Mungkin dengan cara itu, ia dapat menenangkan pikirannya yang sedang kacau.
Pelayan pria itu sudah meletakan coffe tadi di atas meja Mahendra. "Silahkan!"
Setelah kepergian pelayan tadi, Mahendra dengan cepat menyeruput coffe tadi. Aroma cafein coffe itu, mampu menenangkan pikiran Hendra, disaat asap bening itu menyembul di udara.
Dari luar, seorang wanita cantik dengan penampilan elegan, kini sempat mematung sejenak, kala melihat pria masalalunya duduk sendiri dengan tenang.
"Mahendra ...!" Sapa wanita berambut lurus sepinggang itu. Wajahnya sangat cantik, dengan hidung mancung, dan juga kedua mata yang membelalak.
Mahendra mendongak. Saking terkejutnya, ia sampai berdiri. Ia sedikit memikir, menelisik wajah wanita didepanya, hingga ... Senyum manis berhasil menarik kedua sudut bibirnya.
"Diandra?! Benar, kamu Diandra 'kan?"
Wanita bernama Diandra itu tersapu malu. "Kamu rupanya masih mengingatku."
Merasa segan, Mahendra menyuruh temanya itu untuk duduk.
"Kamu datang dengan siapa, Di?" Tanya Mahendra sambil mengedarkan pandangan kearah pintu.
Diandra tersenyum getir. "Aku baru saja bercerai, Hendra!"
Mahendra sedikit memajukan setengah badanya. Wajahnya tersentak, merasa sekali tidak enak menyinggung masalah pribadi temanya.
"Diandra, sungguh aku minta maaf! Aku tidak tahu jika kamu baru bercerai!" Sorot mata Hendra tampak sekali menyesal.
Diandra tersenyum anggun. "Tidak apa-apa! Kamu sendiri ... Dimana istrimu?"
"Istriku sudah meninggal 1 tahun yang lalu!" Jawab Mahendra mencoba berbesar hati.
Diandra tercengang. Ia juga sama sekali tidak tahu. "Maaf, aku juga baru tahu. Aku turut berduka, Hendra!"
"Sudah kehendak takdir, Di! Yang terpenting, sekarang putriku tumbuh dengan baik, meski tanpa sosok Ibu!" Mahendra tersenyum getir.
"Berapa usianya? Kasian sekali kalau masih kecil. Pasti sangat membutuhkan kasih sayang sosok Ibu." Diandra seolah memancing reaksi pria didepanya itu.
"2 tahun, Di!"
"Kamu tidak ingin mencarikan Ibu pengganti, Hendra? Kasian sekali, karena usia segitu masih membutuhkan pelukan hangat, dan juga sedang manja-manjanya dengan sosok Ibu!" Pungkas Diandara kembali.
Mahendra mendesah dalam. Entah mengapa, seketika ia teringat Ruby di rumah. Istrinya itu pasti sangat kelelahan selalu menjaga buah hatinya.
Tetapi ... Tapi bukan hal itu yang Hendra pikirkan. Yang ada, kehadiran Ruby hanya menambah masalah dalam hidupnya saja.
"Oh ya, Di ... Sekarang kamu tinggal di mana?" Mahendra mencoba mengalihkan pertanyaannya.
Mahendra hanya tidak ingin, rumah tangganya dengan Ruby di ketahui oleh banyak orang. Apalagi para rekanya.
"Aku tinggal didekat swalayan, tepatnya di Apartemen Cempaka! Kalau kamu ingin berkunjung, mampir saja nggak papa! Disana, aku juga tinggal bersebelahan dengan Karina. Kamu masih ingat 'kan?" Timpal Diandra.
"Masih-masih! Senggang waktu aku akan mampir," jawab Mahendra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!