NovelToon NovelToon

Terjebak Obsesi Sang Playboy

Mau ke Mana Kau?!

Mentari sudah meninggi, menyebarkan cahaya keemasan yang menembus hiruk-pikuk kota tanpa ampun.

Di luar Zhimin Apartment, suara klakson bersahutan, langkah kaki pejalan terburu-buru bergemuruh memenuhi udara pagi yang riuh, menyibakkan janji dan beban tak terucap—sekolah, kantor, kehidupan yang tak pernah berhenti.

Namun, di balik jendela kaca yang membatasi dunia itu, dua tubuh masih terperangkap dalam selimut dingin, membeku dalam waktu yang enggan melaju.

Viona Mollice membuka matanya perlahan, bulu mata hitam lentiknya bergetar seperti sedang menahan badai yang mengamuk di dalam dada. Kepala dan dahinya berdenyut bagai dihantam batu besar, alisnya mengerut dalam pergulatan rasa yang sulit dijelaskan.

Dia menarik napas dalam, suaranya serak nyaris tenggelam dalam hening, “Di mana ini ...?”

Viona merasa tubuhnya berat bukan main, seperti beban dunia membekap dan mengekang nafasnya. Tatapannya yang samar menelusuri setiap sudut ruangan bernuansa dingin dan netral, panel batu dengan garis tegas maskulin, lantai kayu yang menebar kehangatan yang anehnya tidak sampai ke hatinya, serta lampu gantung berpendar redup seakan menyimpan misteri yang tak terungkap.

Di balik ketenangan itu, sepi dan kebingungan berbisik tanpa henti, menusuk ke relung hati yang rapuh.

Segalanya yang ada di ruangan itu seakan memberitahu Viona bahwa dirinya tengah berada di kamar seorang pria, dan itu membuat dadanya berdebar tak karuan.

Alis Viona mengerut tajam, pikirannya melaju kencang seperti kereta liar. “Kenapa aku berada di kamar seorang pria?” gumamnya dalam hati dengan dada berdebar tak menentu.

Seketika, tubuhnya membeku saat kelopak matanya membesar sempurna, dia langsung menjatuhkan tatapan penuh kecemasan ke arah tubuhnya sendiri.

Selimut tebal yang melilitnya tak bisa menyembunyikan kenyataan getir—dia sama sekali tidak mengenakan sehelai benang pun di bawah sana.

Viona menggigit bibirnya, berusaha menepis rasa panik yang mengoyak hatinya.

Namun, pergerakan di samping kanannya yang disertai dengan pelukan hangat di perutnya justru semakin mengejutkan Viona dan membuat jantungnya berpacu liar.

Dia seperti ikan yang terperangkap di jala—berusaha melepaskan diri, tapi semakin terjepit. Kepala dan netranya bergerak bersamaan mengikuti lengan panjang itu, hingga wajah seorang pria berambut hitam legam memenuhi penglihatannya.

Panik merayap ke setiap sudut hatinya, bola matanya melebar dan hampir meluncur keluar dari kelopak. “Dia?!” pikir Viona terkejut.

Mulutnya segera ditutup rapat, takut suara kecilnya terbang bebas dan mengundang bahaya.

Dingin menusuk punggungnya, sampai ujung tulang belakang bergetar tak karuan. Viona menarik napas pelan, berusaha menenangkan diri.

Tangannya merengkuh lengan pria itu perlahan, kemudian mendorong tubuhnya hingga terbaring telentang. “Syukurlah, dia tidak bangun,” bisiknya dalam hati.

"Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku dan dia … bisa berakhir seperti ini?" Viona mencoba mengingat detail kecil yang mungkin menjelaskan bagaimana dia bisa terbangun di tempat ini, bahkan bersama seorang pria.

Perlahan, ingatan samar mulai merangkai potongan-potongan momen: dentuman musik yang menggema, wajah-wajah yang tertawa riuh di bawah kelap-kelip lampu pesta.

“Minum ini atau cium dia!” Suara salah satu pria terngiang, mengusik pikirannya. Bibir Viona mengatup keras, napasnya tercekat menahan malu dan takut yang tak terucapkan.

Pandangannya tertuju pada gelas berisi cairan kuning yang terhidang di atas meja. Cairan itu tampak menggoda, memancarkan kilauan hangat di bawah lampu redup, tapi di dalam dada Viona merayap rasa takut yang sulit dijelaskan.

Matanya perlahan bergeser, bertemu dengan sosok pria tampan yang tak jauh darinya. Wajahnya datar, tatapannya sulit ditebak—ada sesuatu di sana, apakah itu rasa penasaran, kemarahan, atau justru kebingungan?

Jantung Viona berdetak tak beraturan, napasnya sesak.

“Aku minum saja,” gumamnya getir dengan suara yang hampir tak terdengar. Tangannya gemetar meraih gelas itu, lalu perlahan menenggak isinya.

Setelah itu, ingatannya menjadi gelap seolah-olah segala sesuatu di sekitarnya menguap, hanya meninggalkan rasa khawatir yang menggelayuti pikirannya.

Sekarang, dengan tubuh telanjan9 dan pikiran dipenuhi rasa bingung, rasa bersalah turut menghantuinya. "Bodoh, kau itu alkoholik. Kenapa malah meminum minuman sialan itu?!" rutuk Viona sambil memukul kepalanya sendiri, mengutuk keputusan impulsif yang diambil di tengah kebisingan malam itu.

Malam riuh seolah melebur dalam kegalauan yang menghantui, meninggalkan satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, "Bukankah dia pria semalam?"

"Benar, itu dia," imbuh Viona penuh keyakinan setelah berhasil mengingat sosok semalam, tatapannya kembali jatuh pada wajah tampan pria itu.

Setiap ornamen di wajahnya seolah dipahat oleh seniman, terlihat sangat sempurna. Alis yang rapi, bulu mata lentik, hidung lancip, dan bibir tebal yang sedikit merekah—semuanya begitu menggoda.

Saat matanya tertuju pada sosok pria itu, netra coklat Viona turun menelusuri dada bidang berototnya, berakhir pada perut yang terdapat enam sekat—mempertegas seksinya.

Viona merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat, pikiran-pikiran indah mulai berkelebat di kepala cantiknya.

Namun, Viona segera menggeleng demi mengenyahkan pikiran kotor dari otak kecilnya.

"Apa yang kau pikirkan?" gumam Viona dengan nada frustrasi, dia juga memukul kepalanya karena kesal pada dirinya yang terpedaya dengan pesona pria itu.

Dia benar-benar tidak habis pikir, semalam dirinya menolak tantangan untuk mencium pria itu, tetapi malah terbangun di ranjang yang sama begitu pagi tiba. Bahkan, dalam keadaan yang ... luar binasa.

Suara hati Viona segera berteriak, "Tidak, tidak ada yang terjadi di antara kami." Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meski bukti-bukti yang ada begitu jelas.

Menghela napas, Viona berusaha mengumpulkan keberanian untuk bangkit dan pergi sebelum pria di sebelahnya bangun. Dia tidak ingin berhadapan, apalagi berurusan dengannya lagi.

Dengan gerakan hati-hati, Viona menarik selimut yang menyelimuti tubuhnya, menyadari bahwa panas di wajahnya mungkin bukan hanya karena kesal, tetapi juga karena rasa malu yang tak tertahankan.

Dia bergerak perlahan, berusaha tidak membuat suara agar tidak membangunkan pria yang kini terbujur di sampingnya.

Namun, saat dirinya mencoba untuk menurunkan kakinya dari ranjang, siksaan baru menyapanya—rasa sakit di area pribadinya menandakan bahwa semalam bukan sekadar mimpi.

"Awww!" pekiknya meringis, rasa sakit itu seperti tamparan realitas yang mengoyak lapisan denialnya.

Mahkota yang dijaganya selama ini, telah direnggut oleh keputusan impulsifnya. Air mata yang hampir menetes hanya bisa ditahan, meski hatinya berteriak meminta untuk melepaskannya.

Baru saja dia merasa sedikit tenang, suara serak seorang pria memecahkan keheningan.

"Mau ke mana kau?!" Suara Daniel Radcliffe tegas meski masih terbalut rasa kantuk.

Dia mengajukan pertanyaan yang menuntut jawaban, dan setiap detik yang berlalu seolah memperlambat denyut jantung Viona.

Viona tidak ingin menjawab, tidak ingin menjelaskan. Mengakui kehadiran Daniel di sana, sama seperti membuka luka yang belum siap disentuh.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" pikir Viona, dadanya sesak bertarung antara menyangkal atau menghadapi kenyataan pahit.

Dalam keheningan yang menegangkan itu, Viona merasa semua keputusan yang akan dia ambil seolah membawa dampak besar bagi masa depannya.

Hari ini adalah titik balik dan Viona tahu, entah apa yang akan terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Apa Yang Kau Inginkan?

Begitu membuka kelopak matanya, sepasang netra perak Daniel Radcliffe—yang tidak hanya memesona, tetapi juga menyimpan banyak misteri dan ketegangan—tertuju lurus pada punggung mulus Viona.

Senyum miring Daniel terlukis di wajahnya, menampakkan kesan nakal sekaligus menggoda. "Setelah mengambil keuntungan dariku dan menikmati wajah tampan, juga tubuh seksiku ... kau berniat melarikan diri?" Suaranya memecah keheningan, mengalir lembut dan penuh nada tanya.

Viona merasa seakan terjepit oleh situasi yang menyesakkan, dia menjawab dengan tergagap, "A—aku mau pulang." Rasa takut dan gugup menyergap dirinya bagai badai yang menghancurkan ketenangan.

Namun, Viona berusaha untuk tidak terlihat lemah. Dia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian.

"Apa pun yang terjadi di antara kita, aku tidak akan menyalahkan apalagi menuntutmu. Ini salahku juga. Jadi, kau tidak perlu merasa bersalah atau terbebani." Kata-katanya meluncur cepat, terbungkus dalam satu tarikan napas yang nyaris tak terputus.

Viona tahu, situasi ini memerlukan keberanian. Akan tetapi, setiap kalimatnya menguras rasa tenang yang coba dipertahankan.

Ketika dia menghentikan perkataannya, bahunya terangkat turun, napasnya terlihat cepat dan tidak teratur, mencerminkan kegelisahan yang tak dapat disembunyikan. "Aku akan menganggap tidak terjadi apa pun di antara kita, kau juga harus menganggapnya begitu," ujarnya seraya berusaha meyakinkan diri sendiri.

Namun, seruan hati Viona tak bisa mengalihkan perhatian Daniel. Dia menggertakkan rahang, tatapannya tajam dan dalam, seakan dia berusaha untuk menembus semua batasan yang ada.

Dalam gerakan perlahan, Daniel mendekat dan duduk dengan santai, tapi aura yang ditimbulkannya terasa menekan di sekitar Viona. Satu lengannya bertumpu di belakang tubuhnya, memberikan kesan bahwa dia tidak hanya sekadar ingin bermain.

"Apa ini sebuah perintah?" bisik Daniel, suaranya seperti angin lembut yang membungkus Viona dengan kehadirannya.

Hembusan nafasnya yang hangat menyentuh telinga Viona, membuatnya terperangkap dalam ketegangan yang penuh misteri.

Viona merasa seluruh tubuhnya bergetar. Keberanian dan ketakutan berbaur dalam jantungnya, menciptakan riuh rendah yang tak bisa dia kendalikan.

Viona menahan diri untuk tidak berbalik menatap Daniel, merasa seolah jika dia melakukannya, semua rahasia yang terlindung dalam jiwanya akan tersingkap.

"Ti—tidak, ini bukan perintah," jawab Viona terbata, suaranya tersendat dalam ketidaknyamanan. Dia mengusap tengkuknya yang terasa dingin akibat embun dingin yang merembes dari aura magnetis Daniel. "Tapi keinginanku," lanjutnya dengan suara semakin pelan seolah mengakui sebuah kebenaran yang selama ini disembunyikan.

Daniel meraih celana pendek yang berserakan di lantai—tepat di depan Viona—langsung mengenakannya tanpa rasa malu. Dalam sekejap, suasana intim di antara mereka terasa semakin menegang.

Viona yang tengah berjuang melawan rasa grogi, tak bisa menahan diri untuk tidak memejamkan matanya. Jantungnya berdebar seolah bersatu dengan bunyi detak jam di dinding, dia menyadari bahwa situasi ini jauh dari yang dia bayangkan.

Setelah selesai, Daniel menatap lekat Viona yang masih menundukkan kepala. Ego dan harga diri Daniel tersentil oleh kata-kata yang keluar begitu saja dari bibir wanita itu, terutama saat melihatnya enggan bertatap muka.

Di kepala Daniel, terlintas banyaknya wanita yang menginginkan perhatian dan kasih sayangnya.

Sharusnya, Daniel yang berkata dan bersikap seperti itu, bukan Viona! Rahang Daniel semakin mengeras, tatapannya juga semakin tajam, mengalahkan laser.

“Di saat semua wanita menginginkan ini terjadi dan menjadikannya kenangan indah tak terlupakan, kau malah sebaliknya?” tanya Daniel dengan nada dingin, seolah berusaha mengoyak pertahanan Viona yang rapuh.

“Kau seharusnya berterima kasih padaku karena sudah berbaik hati membantumu, bukan malah bersikap seperti ini!” Daniel melanjutkan, berkacak pinggang seolah mengejek keberanian Viona untuk membalas.

Mendengar ini, api kemarahan Viona semakin menyala. Dengan gesit, dia menyingkirkan tangannya dari wajah dan membuka kedua matanya.

Dia menatap Daniel dengan tatapan nyalang, “Sungguh mulia hatimu, Tuan,” ucapnya pelan, tapi setiap kata disertai tekanan yang tiada tara. Senyum terpaksa yang menghiasi wajah masamnya mencerminkan betapa pahitnya situasi itu.

“Ya, aku memang berhati mulia,” sahut Daniel, bangga dengan dirinya sendiri. “Jadi, berterima kasihlah padaku!”

“Terima kasih,” ucap Viona datar, penuh keterpaksaan. “Dan biarkan aku pergi,” tandasnya.

Dia merapikan selimut yang membungkus tubuhnya, bersiap untuk pergi. Saat ingin berdiri, kakinya bergetar sedikit, tapi dia berusaha keras terlihat kuat.

Daniel bangkit dan berjalan ke nakas. Dia mengambil selembar kertas putih dan dengan cepat mencetak angka lima diikuti delapan nol di belakangnya.

Daniel mendekat, lalu menyelipkan kertas tersebut di antara selimut dan dada Viona. “Apa yang kau lakukan?!” pekiknya, terkejut dan merasa tertipu dengan tindakan impulsif Daniel. Dia menyilangkan tangan di depan dada, mencoba melindungi diri dari situasi yang tidak biasa ini.

Daniel berdiri di hadapannya Viona sambil menyilangkan tangan di dada, wajahnya menunjukkan senyum miring yang kental dengan niat meremehkan. “Itu bayaran untukmu, dan kau tidak boleh pergi sebelum menerimanya!”

Viona mengambil kertas dan melihat angka yang tertera di sana dengan mata terbelalak. Lima miliar rupiah, sebuah angka yang sangat menggiurkan.

Namun, angkanya juga merobek harga dirinya. Dia bukan perempuan yang bisa dihargai dengan uang, dan apapun yang terjadi kemarin hanyalah satu kesalahan yang tak perlu dibayar dengan cara ini.

Sementara itu, Daniel tersenyum puas melihat perubahan raut wajah Viona. "Pergi dari sini dan cairkan uang itu!" ucapnya.

Memang begini seharusnya. Daniel yang mencampakkan seorang wanita, bukan malah sebaliknya. Jika sudah begini, harga dirinya bisa terselamatkan.

Tatapan Viona semula tertuju pada angka yang tertulis di kertas—menggoda dirinya untuk lepas dari kesulitan ekonomi—beralih pada wajah tampan dan angkuh di depannya.

Rasanya, Viona sangat ingin mencabik-cabik wajah tampan Daniel yang berhasil membuatnya merasa rendah dan tidak berarti.

Namun, keinginan itu harus dia kubur dalam-dalam agar dirinya tidak lagi berurusan dengan Daniel, apalagi sampai harus berhadapan dengan polisi.

“Aku tidak butuh uangmu!” seru Viona, meremas cek itu dengan tangan yang bergetar karena rasa marah dan frustrasinya meluap.

Tanpa berpikir panjang, dia melemparkan cek itu tepat di hadapan Daniel, seolah itu semua adalah simbol penolakan yang kuat atas semua yang ditawarkan.

Daniel tampak tenang, meskipun ada kerut di dahi dan rahangnya menegang. Dengan senyuman sinis, dia melangkah kembali ke nakas. Tanpa mengalihkan tatapan dari Viona, dia mengambil selembar cek lainnya dan mulai menulis.

Viona merasa jantungnya berdegup kencang, setiap goresan pensil di atas kertas itu seolah menggambarkan kekuatannya yang semakin melemah.

“Ini lima kali lipat dari yang sebelumnya,” ujar Daniel dengan suara datar, tapi tajam. “Aku tidak terbiasa memakai barang gratisan!” Tatapan tajamnya seperti predator, menyiratkan kekuasaan yang ingin dia tunjukkan.

Viona merasakan getar rasa tertekan di dalam dirinya, dia berusaha menjaga ekspresinya agar tidak terlihat lemah.

"Jadi, anggap saja ini tips, karena kau berhasil memuaskan aku—aku bahkan jadi orang pertama untukmu." Suara Daniel penuh ejekan dan matanya yang tajam menyorot wajah Viona saat dia menambahkan, "Dengan uang ini, kau tidak perlu lagi kerja keras untuk memenuhi kebutuhanmu nanti.”

Hati Viona teriris tajam. Harga dirinya yang selama ini dia jaga, seolah direnggut paksa oleh Daniel yang memperlakukannya seperti benda lusuh tak berharga.

Napas Viona tersengal dan dadanya berdebar kencang, tapi dia memaksa tubuhnya tetap tegak. Dia menahan air mata yang ingin mengalir, dan menguatkan diri agar tidak jatuh di hadapan Daniel—seseorang yang sudah menganggapnya rendah.

"Aku memang miskin, sampai harus kerja keras untuk mencari uang." Suara Viona menggema tenang, tapi berani dan matanya tak bergeming menatap Daniel, "tapi aku tidak akan pernah menjual tubuhku."

Viona meraih cek itu dengan hati-hati, jarinya gemetar sedikit saat menggenggam kertas berharga itu.

Dia pun mengembalikan cek itu dengan tegap, tanpa seberkas keraguan pun di matanya. "Kau benar, aku memang bisa hidup enak dari uangmu. Tapi aku tak pernah mau jadi perempuan yang cuma numpang hidup!" Suaranya menggelegar, mengguncang ruang di antara mereka hingga udara seperti membeku. 

Daniel melangkah maju, tatapannya menyala-nyala penuh tekad yang hampir meremukkan hati.

Viona terdesak mundur, langkahnya terhenti ketika punggungnya menyentuh tepi ranjang yang empuk. Ia terjatuh duduk dengan dada berdebar tak beraturan, napasnya tercekat.  "A—apa yang kau inginkan?!" Suaranya gemetar, tubuhnya juga ikut bergetar, terpaku dalam ketegangan yang menyelimuti pagi itu. 

Daniel menunduk perlahan, wajahnya kini hanya seujung jarak dari wajah Viona yang terbungkus selimut tipis.

Dengan gerakan penuh tenaga, tapi tersamar, tangannya menyelipkan cek itu ke dada Viona seolah memberinya ultimatum tanpa kata.

Tatapan Daniel menusuk jiwa, membiusnya dalam keheningan yang membara.  "Ambil cek ini," bisik Daniel dengan suara serak yang dipenuhi hasrat dan ancaman, "atau aku akan melakukan sesuatu yang ingin kuperbuat sejak mataku terbuka pagi ini."

Antara Aku dan Dia

Viona keluar dari Zhimin Apartemen dengan langkah berat seolah ada beban ratusan kilo yang menjerat kakinya, setiap langkah kakinya seakan mengantarkan sisa-sisa harga diri yang nyaris runtuh, seolah remuk berantakan di atas lantai marmer yang dingin dan keras.

Daniel telah menghancurkan kebanggaannya, merobek-robek hatinya, dan menyebarkan potongan-potongan kehormatannya ke seluruh penjuru ruangan, memantul ke dinding-dinding hingga menyentuh plafon ruang mewah itu.

Dalam keriuhan pagi itu, Viona mengusap air mata yang terus mengalir dengan susah payah, tetapi setiap usapan itu hanya membuatnya semakin merasa tidak berdaya.

"Kenapa semua ini harus terjadi padaku?" gumamnya pelan dengan suara yang bergetar. Setiap kali mengingat perjalanan yang membawanya ke Yule Club—tempat di mana segalanya mulai berubah menjadi mimpi buruk—hatinya terasa semakin berat.

"Seandainya aku tidak pergi ke tempat terkutuk itu," lanjutnya, suara hatinya meluap dengan emosi yang belum tertumpahkan. Dia menepis ingatan tentang pria yang telah mengubah takdirnya, sosok brengsek yang hadir di tengah impiannya untuk mendapatkan uang tambahan demi kuliah. “Tidak akan terjadi hal menjijikkan antara aku dan dia.”

Sejak awal, Viona hanya ingin berjuang. Uang kuliah yang membengkak menuntut semua upaya yang bisa dia lakukan. Dia bekerja keras, berusaha mengumpulkan setiap sen yang tak terhitung jumlahnya.

Namun, keputusan untuk melangkah ke klub malam itu tampaknya menjadi titik balik yang kelam. Dia merasa naif karena berpikir bahwa semua ini hanyalah bagian dari usaha merebut masa depan yang lebih baik.

Dia teringat betapa bersinarnya dunia yang dia impikan ketika meninggalkan rumah. Kuliah di universitas terbaik, meraih gelar yang diimpikan, dan menjadi sukses.

Namun, kini semua angan-angan itu terasa hancur, seperti bintang yang pernah bersinar dengan terang mendadak redup.

Viona menatap kosong ke arah kendaraan yang melintas, setiap deru mesin terasa seperti pengingat akan kesalahan dan penyesalan.

Viona menyadari bahwa melanjutkan hidup adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.

Dengan langkah berat, dia mulai berjalan menuju halte bus. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kebingungan dan kesedihan.

"Kalau sudah begini, apa lagi yang menungguku di masa depan?" Pertanyaannya terapung di udara, tanpa ada jawaban yang datang.

Viona tahu, dia perlu melepaskan kemarahan dan kehampaan yang terus membelenggunya.

Namun, proses itu bukanlah hal yang mudah; seolah terjebak dalam lingkaran setan di mana kesalahan dan harapan saling berkelindan tanpa henti.

"Tak ada! Sama sekali tidak ada!" teriaknya di dalam hati, merasakan betapa dunia yang dikenalnya terasa semakin kejam. Terutama bagi seorang wanita sepertinya—yang dianggap tak lagi suci—tak layak dicintai, apalagi diperjuangkan.

"Si brengsek itu!" geram Viona dengan gigi-gigi saling bergesekan. Amarahnya meluap saat gambar wajah Daniel menghantui pikirannya, menambah beban yang sudah menggelayuti hatinya. "Seharusnya dia bertanggung jawab, bukan hanya memberikan uang seolah aku ini menjual diri padanya." Suaranya penuh ketidakpuasan, sementara di dalam hati, ada perasaan hampa yang jauh lebih dalam.

Perasaannya rusak, pikirannya kacau, semua berkecamuk karena perlakuan Daniel yang semakin menyakiti batinnya.

Saat berjalan, Viona tidak memperhatikan langkahnya karena pikirannya telah berkelana jauh, membuatnya tanpa sengaja menabrak seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun.

“Aduh!” Suara anak kecil terjatuh menyentak Viona dari lamunan. Dengan buru-buru, dia berjongkok di depan Billy, membantunya untuk berdiri.

“Maaf, maaf,” ucap Viona, wajahnya langsung berubah penuh sesal. “Kakak tidak sengaja.” Dia mulai membersihkan debu di celana Billy dengan lembut, merasa khawatir sekaligus bersalah.

“Kamu baik-baik saja? Ada luka tidak?” tanyanya, penuh perhatian sambil memeriksa tubuh kecil yang terjatuh.

Billy menggeleng, wajahnya lesu dan senyumnya tampak dipaksakan. “Saya tidak apa-apa, Kak,” jawabnya singkat.

Saat suasana sunyi melingkupi, langkah cepat seorang wanita tiba-tiba memecah hening itu. Wajahnya tampak sedikit panik, matanya menyapu sekeliling hingga berhenti pada Viona.

"Maaf, Nona. Anak saya tadi lari-lari, jadi tak sengaja menabrak Anda," ujar Nyonya Melina sambil segera meraih pergelangan tangan Billy yang berdiri tak jauh. Suaranya tegas, tapi tergesa, "Billy, minta maaf sekarang."

Viona berdiri tegak, menatap wanita paruh baya itu dengan senyum lembut. "Tidak apa-apa, Bibi. Justru saya yang kurang hati-hati, jalan sambil melamun," ucapnya sembari menundukkan kepala sedikit, pipinya merona malu.

Billy menunduk, dadanya berdebar tak nyaman, suara kecilnya nyaris tersedak saat berkata, “Kakak, maaf.”

Viona membungkuk sedikit, tangan halusnya mengusap kepala Billy penuh pengertian. "Tidak apa-apa, Tampan. Kakak juga minta maaf, ya," katanya lembut, memberi kehangatan yang perlahan menenangkan hati anak itu.

Billy mengangguk cepat, lalu memamerkan senyum tipis yang berusaha memecah kegundahan. Senyum kecil itu menular pada Viona, sedikit mengikis sedih yang sempat menyelimutinya tadi.

Kemudian netra Viona tidak sengaja bertabrakan dengan map berkas yang ada di tangan ibu Billy, membuatnya harus menajamkan indera penglihatannya untuk membaca judul yang tertera di sana.

Nyonya Melina mengikuti arah pandang Viona, membuatnya teringat tujuan awal keluar rumah pagi ini. "Maaf, Nona. Kami harus pergi," ucapnya segera menarik tangan Billy pergi dari hadapan Viona.

"Tunggu!" sergah Viona menghentikan langkah dua insan berbeda generasi yang ada di dekatnya.

Nyonya Melina membawa Billy berbalik menghadap Viona, lalu bertanya dengan lembut. "Nona, ada apa?"

"Kalau saya boleh tahu, untuk apa berkas itu?" tanya Viona hati-hati sambil menunjuk ke arah dokumen yang dipeluk erat oleh Nyonya Melina, tidak ingin wanita paruh baya itu salah paham padanya.

Wanita itu menatap berkas di tangannya, lalu tersenyum lembut. "Perkenalkan, saya Melina Scott," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Saya Viona Mollice," sahut Viona, menerima jabat tangan itu.

"Ini adalah proposal untuk mengajukan dana santunan anak yatim, Nona. Saya akan mengajukannya pada salah satu anak konglomerat yang tinggal di apartemen itu," terang Nyonya Melina sambil menunjuk ke arah apartemen yang ada di seberang jalan.

Viona mengikuti arah telunjuk wanita itu, dan hatinya langsung teringat pada pria brengsek yang tinggal di lantai paling atas gedung itu—Daniel.

"Banyak yang bilang, dia orang baik dan pasti akan membantu saya," imbuh Nyonya Melina memecah lamunan Viona tentang Daniel.

Tanpa diduga, Viona tiba-tiba merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas—cek yang diberikan Daniel kepadanya dengan penuh paksaan dan intimidasi. Meski ragu dan bingung bagaimana caranya memberikan penjelasan pada Nyonya Melina, Viona tetap menyerahkan cek itu sambil berkata, “Nyonya, ambil ini.”

Nyonya Melina memandang kertas itu lama, raut wajahnya mulai kebingungan, tak sepenuhnya mengerti maksud Viona.

"Emm, begini..." Viona menggantung kalimatnya, berusaha mencari alasan terbaik. "Saya baru saja keluar dari apartemen itu dan bertetemu dengan orang yang Anda maksud. Dia hari ini ada urusan penting, jadi tidak bisa ditemui. Jadi, dia minta saya untuk menyerahkan cek ini."

"Saya baru aja keluar dari apartemen itu dan bertemu dengan orang yang Ibu maksud, beliau hari ini ada urusan penting dan tidak bisa ditemui. Jadi, beliau meminta saya untuk memberikan cek ini pada Ibu," terang Viona dengan lancar dan tanpa hambatan saat menciptakan kebohongan itu.

Di dalam hatinya, Viona tidak henti merapalkan kata maaf atas kebohongannya. Dia juga berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa, berbohong untuk kebaikan tidak akan menjadi masalah.

Mata Nyonya Melina bergetar, tangannya yang terulur untuk menerima kertas pemberian Viona pun turut bergetar. Pancaran matanya penuh haru dan rasa syukur yang tak terbendung.

Detik berikutnya, tangisan Nyonya Melina pecah saat melihat jumlah yang tertera pada cek tersebut. Nyonya Melina menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, sambil terus mengucapkan syukur di sela-sela tangisannya.

Dia juga langsung memeluk Viona dan berkali-kali mengucapkan terima kasih, "Terima kasih, Nona ... terima kasih banyak."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!