NovelToon NovelToon

Terjebak Obsesi Sang Playboy

Mau ke Mana Kau?!

Mentari meninggi, kejam menembus hiruk pikuk kota. Klakson meraung di luar Zhimin Apartment, langkah kaki bergemuruh—janji dan beban pagi yang tak terhindarkan. Sekolah. Kantor. Hidup yang tak berhenti.

Di balik jendela, dua tubuh terperangkap selimut dingin. Waktu seolah enggan berlalu.

Viona Mollice membuka mata. Bulu mata lentiknya bergetar, menahan badai dalam dada. Kepalanya berdenyut, dan dahinya sakit. "Di mana aku?" Suaranya serak, tenggelam dalam hening kamar asing.

Viona merasa tubuhnya berat bukan main, seperti beban dunia membekap dan mengekang nafasnya. Tatapannya yang samar menelusuri setiap sudut ruangan bernuansa dingin dan netra itu. Panel batu dengan garis tegas maskulin. Lantai kayu tampak menebar kehangatan, tapi anehnya tidak sampai ke hatinya. Serta, lampu gantung berpendar redup seakan menyimpan misteri yang tak terungkap.

Di balik ketenangan itu, sepi dan kebingungan berbisik tanpa henti hingga akhirnya mata Viona membesar sempurna.

“Kamar pria!” Jantung Viona berpacu.

Dengan alis yang berkerut tajam dan pikiran melaju kencang seperti kereta liar, Viona bergumam pelan. “Kenapa aku di sini?”

Detik berikutnya, kelopak mata Viona kembali membesar dan dia langsung membeku saat tatapan penuh kecemasan jatuh pada tubuhnya sendiri.

Selimut tebal yang melilitnya tak bisa menyembunyikan kenyataan getir—dia sama sekali tidak mengenakan sehelai benang pun di bawah sana.

Viona menggigit bibirnya, berusaha menepis rasa panik yang mengoyak hatinya.

Namun, pergerakan di samping kanannya yang disertai dengan pelukan hangat di perutnya justru semakin mengejutkan Viona dan membuat jantungnya berpacu liar.

Dia seperti ikan yang terperangkap di jala—berusaha melepaskan diri, tapi semakin terjepit.

Kepala dan netranya bergerak bersamaan mengikuti lengan panjang itu, hingga wajah seorang pria berambut hitam legam memenuhi penglihatannya.

Panik merayap ke setiap sudut hatinya, bola matanya melebar dan hampir meluncur keluar dari kelopak. “Dia?!” pikir Viona terkejut.

Mulutnya segera ditutup rapat, takut suara kecilnya terbang bebas dan mengundang bahaya.

Dingin menusuk punggungnya, sampai ujung tulang belakang bergetar tak karuan. Viona menarik napas pelan, berusaha menenangkan diri.

Tangannya merengkuh lengan pria itu perlahan, kemudian mendorong tubuhnya hingga terbaring telentang. “Syukurlah, dia tidak bangun,” bisiknya dalam hati.

"Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku dan dia … bisa berakhir seperti ini?" Viona mencoba mengingat detail kecil yang mungkin menjelaskan bagaimana dia bisa terbangun di tempat ini, bahkan bersama seorang pria.

Perlahan, ingatan samar mulai merangkai potongan-potongan momen: dentuman musik yang menggema, wajah-wajah yang tertawa riuh di bawah kelap-kelip lampu pesta.

“Minum ini atau cium dia!” Suara salah satu pria terngiang, mengusik pikirannya. Bibir Viona mengatup keras, napasnya tercekat menahan malu dan takut yang tak terucapkan.

Pandangannya tertuju pada gelas berisi cairan kuning yang terhidang di atas meja. Cairan itu tampak menggoda, memancarkan kilauan hangat di bawah lampu redup, tapi di dalam dada Viona merayap rasa takut yang sulit dijelaskan.

Matanya perlahan bergeser, bertemu dengan sosok pria tampan yang tak jauh darinya. Wajahnya datar, tatapannya sulit ditebak—ada sesuatu di sana, apakah itu rasa penasaran, kemarahan, atau justru kebingungan?

Jantung Viona berdetak tak beraturan, napasnya sesak.

“Aku minum saja,” gumamnya getir dengan suara yang hampir tak terdengar. Tangannya gemetar meraih gelas itu, lalu perlahan menenggak isinya.

Setelah itu, ingatannya menjadi gelap seolah-olah segala sesuatu di sekitarnya menguap, hanya meninggalkan rasa khawatir yang menggelayuti pikirannya.

Sekarang, dengan tubuh telanjan9 dan pikiran dipenuhi rasa bingung, rasa bersalah turut menghantuinya. "Bodoh, kau itu alkoholik. Kenapa malah meminum minuman sialan itu?!" rutuk Viona sambil memukul kepalanya sendiri, mengutuk keputusan impulsif yang diambil di tengah kebisingan malam itu.

Malam riuh seolah melebur dalam kegalauan yang menghantui, meninggalkan satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, "Bukankah dia pria semalam?"

"Benar, itu dia," imbuh Viona penuh keyakinan setelah berhasil mengingat sosok semalam, tatapannya kembali jatuh pada wajah tampan pria itu.

Setiap ornamen di wajahnya seolah dipahat oleh seniman, terlihat sangat sempurna. Alis yang rapi, bulu mata lentik, hidung lancip, dan bibir tebal yang sedikit merekah—semuanya begitu menggoda.

Saat matanya tertuju pada sosok pria itu, netra coklat Viona turun menelusuri dada bidang berototnya, berakhir pada perut yang terdapat enam sekat—mempertegas seksinya.

Viona merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat, pikiran-pikiran indah mulai berkelebat di kepala cantiknya.

Namun, Viona segera menggeleng demi mengenyahkan pikiran kotor dari otak kecilnya.

"Apa yang kau pikirkan?" gumam Viona dengan nada frustrasi, dia juga memukul kepalanya karena kesal pada dirinya yang terpedaya dengan pesona pria itu.

Dia benar-benar tidak habis pikir, semalam dirinya menolak tantangan untuk mencium pria itu, tetapi malah terbangun di ranjang yang sama begitu pagi tiba. Bahkan, dalam keadaan yang ... luar binasa.

Suara hati Viona segera berteriak, "Tidak, tidak ada yang terjadi di antara kami." Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meski bukti-bukti yang ada begitu jelas.

Menghela napas, Viona berusaha mengumpulkan keberanian untuk bangkit dan pergi sebelum pria di sebelahnya bangun. Dia tidak ingin berhadapan, apalagi berurusan dengannya lagi.

Dengan gerakan hati-hati, Viona menarik selimut yang menyelimuti tubuhnya, menyadari bahwa panas di wajahnya mungkin bukan hanya karena kesal, tetapi juga karena rasa malu yang tak tertahankan.

Dia bergerak perlahan, berusaha tidak membuat suara agar tidak membangunkan pria yang kini terbujur di sampingnya.

Namun, saat dirinya mencoba untuk menurunkan kakinya dari ranjang, siksaan baru menyapanya—rasa sakit di area pribadinya menandakan bahwa semalam bukan sekadar mimpi.

"Awww!" pekiknya meringis, rasa sakit itu seperti tamparan realitas yang mengoyak lapisan denialnya.

Mahkota yang dijaganya selama ini, telah direnggut oleh keputusan impulsifnya. Air mata yang hampir menetes hanya bisa ditahan, meski hatinya berteriak meminta untuk melepaskannya.

Baru saja dia merasa sedikit tenang, suara serak seorang pria memecahkan keheningan.

"Mau ke mana kau?!" Suara Daniel Radcliffe yang serak memecah keheningan.

Tegas, meski masih mengantuk.

Pertanyaan itu menuntut jawaban, setiap detik seakan memperlambat jantung Viona.

Dia tidak ingin menjawab. Tidak ingin menjelaskan. Mengakui Daniel di sana sama seperti membuka luka yang belum siap disentuh.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" pikir Viona, dadanya sesak bertarung antara menyangkal atau menghadapi kenyataan pahit.

Dalam keheningan yang menegangkan itu, Viona merasa semua keputusan yang akan dia ambil seolah membawa dampak besar bagi masa depannya.

Hari ini adalah titik balik dan Viona tahu, entah apa yang akan terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Apa Yang Kau Inginkan?

Begitu membuka kelopak matanya, sepasang netra perak Daniel Radcliffe—yang tidak hanya memesona, tetapi juga menyimpan banyak misteri dan ketegangan—tertuju lurus pada punggung mulus Viona.

Senyum miring Daniel terlukis di wajahnya, menampakkan kesan nakal sekaligus menggoda. "Setelah mengambil keuntungan dariku dan menikmati wajah tampan, juga tubuh seksiku ... kau mau kabur?" Suaranya memecah keheningan, mengalir lembut dan penuh nada tanya.

Viona tergagap. "A—aku mau pulang." Takut dan gugup menyergap dirinya bagai badai yang menghancurkan ketenangan.

Namun, Viona berusaha untuk tetap tenang. "Apa pun yang terjadi, aku tidak menyalahkanmu. Ini salahku juga. Jangan merasa bersalah." Kata-katanya cepat, terbungkus napas yang nyaris putus.

Viona tahu, situasi ini memerlukan keberanian. Akan tetapi, setiap kalimatnya menguras rasa tenang yang coba dipertahankan.

Dia berhenti, bahunya turun, napasnya cepat. "Anggap saja tidak terjadi apa pun di antara kita."

Daniel menggertakkan rahang, tatapannya tajam. Dia mendekat, duduk santai. Satu lengannya bertumpu di belakang Viona.

"Ini perintah?" bisik Daniel, nafasnya hangat menyentuh telinga Viona.

Viona merasa seluruh tubuhnya bergetar. Keberanian dan ketakutan berbaur dalam jantungnya, menciptakan riuh rendah yang tak bisa dia kendalikan.

Viona menahan diri untuk tidak berbalik menatap Daniel, merasa seolah jika dia melakukannya, semua rahasia yang terlindung dalam jiwanya akan tersingkap.

"Ti—tidak, ini bukan perintah," jawab Viona terbata, mengusap tengkuknya yang dingin. "Tapi keinginanku."

Daniel meraih celana pendek yang berserakan di lantai—tepat di depan Viona—langsung mengenakannya tanpa rasa malu. Dalam sekejap, suasana intim di antara mereka terasa semakin menegang.

Viona yang tengah berjuang melawan rasa grogi, tak bisa menahan diri untuk tidak memejamkan matanya. Jantungnya berdebar seolah bersatu dengan bunyi detak jam di dinding, dia menyadari bahwa situasi ini jauh dari yang dia bayangkan.

Setelah selesai, Daniel menatap lekat Viona yang masih menundukkan kepala. Ego dan harga diri Daniel tersentil oleh kata-kata yang keluar begitu saja dari bibir wanita itu, terutama saat melihatnya enggan bertatap muka.

Di kepala Daniel, terlintas banyaknya wanita yang menginginkan perhatian dan kasih sayangnya.

Seharusnya, Daniel yang berkata dan bersikap seperti itu, bukan Viona! Rahang Daniel semakin mengeras, tatapannya juga semakin tajam, mengalahkan laser.

"Semua wanita menginginkan ini jadi kenangan indah, kau malah sebaliknya?" tanya Daniel dingin.

“Kau seharusnya berterima kasih padaku karena sudah berbaik hati membantumu, bukan malah bersikap seperti ini!” Daniel melanjutkan, berkacak pinggang seolah mengejek keberanian Viona untuk membalas.

Mendengar ini, api kemarahan Viona semakin menyala. Dengan gesit, dia menyingkirkan tangannya dari wajah dan membuka kedua matanya.

Dia menatap Daniel dengan tatapan nyalang, “Sungguh mulia hatimu, Tuan,” ucapnya pelan, tapi setiap kata disertai tekanan yang tiada tara. Senyum terpaksa yang menghiasi wajah masamnya mencerminkan betapa pahitnya situasi itu.

"Ya, aku berhati mulia," sahut Daniel, bangga. "Berterima kasihlah!"

“Terima kasih,” ucap Viona datar, penuh keterpaksaan. “Dan biarkan aku pergi,” tandasnya.

Dia merapikan selimut yang membungkus tubuhnya, bersiap untuk pergi. Saat ingin berdiri, kakinya bergetar sedikit, tapi dia berusaha keras terlihat kuat.

Daniel bangkit dan berjalan ke nakas. Dia mengambil selembar kertas putih dan dengan cepat mencetak angka lima diikuti delapan nol di belakangnya.

Daniel mendekat, menyelipkan kertas di antara selimut dan dada Viona.

"Apa yang kau lakukan?!" pekik Viona terkejut. Dia menyilangkan tangan di depan dada.

Daniel menyilangkan tangan di dada, senyumnya meremehkan. "Itu bayaranmu. Jangan pergi sebelum menerimanya!"

Viona melihat angka itu dengan mata terbelalak. Lima miliar rupiah! Sangat menggiurkan.

Namun, angkanya merobek harga dirinya.

Dia bukan perempuan bayaran!

Daniel tersenyum puas. "Pergi dan cairkan uang itu!"

Memang begini seharusnya. Daniel yang mencampakkan seorang wanita, bukan malah sebaliknya. Jika sudah begini, harga dirinya bisa terselamatkan.

Tatapan Viona semula tertuju pada angka yang tertulis di kertas—menggoda dirinya untuk lepas dari kesulitan ekonomi—beralih pada wajah tampan dan angkuh di depannya.

Rasanya, Viona sangat ingin mencabik-cabik wajah tampan Daniel yang berhasil membuatnya merasa rendah dan tidak berarti.

Namun, keinginan itu harus dia kubur dalam-dalam agar dirinya tidak lagi berurusan dengan Daniel, apalagi sampai harus berhadapan dengan polisi.

“Aku tidak butuh uangmu!” seru Viona sambil meremas cek itu dan melemparkannya ke wajah Daniel.

Daniel tenang, meskipun dahinya berkerut. Dia kembali ke nakas, mengambil cek lain, dan mulai menulis.

Viona merasa jantungnya berdegup kencang, setiap goresan pena di atas kertas itu seolah menggambarkan kekuatannya yang semakin melemah.

“Ini lima kali lipat dari yang sebelumnya,” ujar Daniel dengan suara datar, tapi tajam. “Aku tidak terbiasa memakai barang gratisan!” Tatapan tajamnya seperti predator, menyiratkan kekuasaan yang ingin dia tunjukkan.

Viona merasakan getar rasa tertekan di dalam dirinya, dia berusaha menjaga ekspresinya agar tidak terlihat lemah.

"Anggap saja ini tips, karena kau memuaskanku—aku bahkan jadi orang pertama untukmu." Suara Daniel mengejek. "Dengan uang ini, kau tidak perlu kerja keras lagi."

Hati Viona teriris. Harga dirinya direnggut.

Napas Viona tersengal, tapi dia memaksa tubuhnya tegak. Dia menahan air mata.

"Aku memang miskin, sampai harus kerja keras untuk mencari uang." Suara Viona menggema tenang, keberanian menyala di matanya saat menatap Daniel, "tapi aku tidak akan pernah menjual tubuhku."

Viona meraih cek itu hati-hati, menatap Daniel dalam-dalam, lalu mengembalikan cek itu. "Kau benar, aku bisa hidup enak dari uangmu. Tapi aku tidak butuh itu!" Suaranya tegas.

Daniel melangkah maju, matanya menyala.

Viona terdesak mundur hingga terjatuh duduk di ranjang. "A—apa yang mau kau lakukan?" Suaranya terbata, tubuhnya bergetar.

Daniel menunduk, wajahnya kini sangat dekat, hanya berjarak sejengkal dari wajah Viona yang terbungkus selimut tipis.

Perlahan tangannya menyelipkan cek itu kembali ke dada Viona. Tatapannya menancap dalam, mata Daniel seolah menyihir, mengunci Viona dalam kekakuan.

"Ambil cek ini," bisik Daniel dengan suara yang bergetar, tetapi penuh hasrat, "kalau kau tidak mau … aku melakukan sesuatu yang sudah aku inginkan sejak aku membuka mata pagi ini."

Antara Aku dan Dia

Viona keluar dari Zhimin Apartemen dengan langkah berat. Harga dirinya terasa remuk di lantai marmer yang dingin.

Daniel telah menghancurkan kebanggaannya, merobek hatinya, dan menyebarkan kehormatannya ke seluruh ruangan hingga memantul ke dinding dan plafon mewah itu.

Dalam keriuhan pagi, Viona mengusap air mata yang terus mengalir, tetapi setiap usapan membuatnya semakin merasa tidak berdaya.

"Kenapa ini terjadi padaku?" gumamnya. Mengingat Yule Club, hatinya semakin berat.

"Seandainya aku tidak pergi ke sana," pikirnya. Dia menepis ingatan tentang Daniel, sosok yang hadir di tengah impiannya untuk mendapatkan uang kuliah. “Tidak akan terjadi hal menjijikkan ini.”

Sejak awal, Viona hanya ingin berjuang. Uang kuliah menuntut semua upaya. Dia bekerja keras, mengumpulkan setiap sen.

Namun, klub malam itu menjadi titik balik. Dia merasa naif karena berpikir ini adalah jalan keluar.

Dia teringat betapa bersinarnya dunia yang dia impikan ketika meninggalkan rumah. Kuliah di universitas terbaik, meraih gelar, dan menjadi sukses. Kini, semua angan-angan itu hancur, seperti bintang yang redup.

Viona menatap kosong ke arah kendaraan yang melintas, setiap deru mesin terasa seperti pengingat akan kesalahan dan penyesalan.

Viona menyadari bahwa melanjutkan hidup adalah satu-satunya pilihan.

Dengan langkah berat, dia berjalan menuju halte bus. Setiap langkahnya dipenuhi kebingungan dan kesedihan.

"Kalau sudah begini, apa lagi yang menungguku di masa depan?" Pertanyaannya terapung di udara, tanpa ada jawaban yang datang.

Viona tahu, dia perlu melepaskan kemarahan dan kehampaan yang terus membelenggunya.

Namun, proses itu bukanlah hal yang mudah; seolah terjebak dalam lingkaran setan di mana kesalahan dan harapan saling berkelindan tanpa henti.

"Tak ada! Sama sekali tidak ada!" teriaknya di dalam hati, merasakan betapa dunia yang dikenalnya terasa semakin kejam. Terutama bagi seorang wanita sepertinya—yang dianggap tak lagi suci—tak layak dicintai, apalagi diperjuangkan.

"Si brengsek itu!" geram Viona, gigi-giginya saling bergesekan. Amarahnya meluap saat gambar wajah Daniel menghantui pikirannya. "Seharusnya dia bertanggung jawab, bukan hanya memberikan uang seolah aku ini menjual diri padanya." Suaranya penuh ketidakpuasan, sementara di dalam hati, ada perasaan hampa yang jauh lebih dalam.

Perasaannya rusak, pikirannya kacau, semua berkecamuk karena perlakuan Daniel yang semakin menyakiti batinnya.

Saat berjalan, Viona tidak memperhatikan langkahnya karena pikirannya telah berkelana jauh, membuatnya tanpa sengaja menabrak seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun.

“Aduh!” Suara anak kecil terjatuh menyentak Viona dari lamunan. Dengan buru-buru, dia berjongkok di depan Billy, membantunya untuk berdiri.

“Maaf, maaf,” ucap Viona, wajahnya langsung berubah penuh sesal. “Kakak tidak sengaja.” Dia mulai membersihkan debu di celana Billy dengan lembut, merasa khawatir sekaligus bersalah.

“Kamu baik-baik saja? Ada luka tidak?” tanyanya, penuh perhatian sambil memeriksa tubuh kecil yang terjatuh.

Billy menggeleng, wajahnya lesu dan senyumnya tampak dipaksakan. “Saya tidak apa-apa, Kak,” jawabnya singkat.

Saat suasana sunyi melingkupi, langkah cepat seorang wanita tiba-tiba memecah hening itu. Wajahnya tampak sedikit panik, matanya menyapu sekeliling hingga berhenti pada Viona.

"Maaf, Nona. Anak saya tadi lari-lari, jadi tak sengaja menabrak Anda," ujar Nyonya Melina sambil segera meraih pergelangan tangan Billy yang berdiri tak jauh. Suaranya tegas, tapi tergesa, "Billy, minta maaf sekarang."

Viona berdiri, menatap wanita itu dengan senyum. "Tidak apa-apa, Tante. Justru saya yang kurang hati-hati."

Billy menunduk. “Kakak, maaf.”

Viona mengusap kepala Billy. "Tidak apa-apa, Tampan. Kakak juga minta maaf, ya."

Billy mengangguk, lalu tersenyum tipis. Senyum itu menular pada Viona.

Kemudian Viona melihat map berkas di tangan ibu Billy.

Nyonya Melina mengikuti arah pandang Viona, membuatnya teringat akan tujuan awalnya keluar rumah pagi itu. "Maaf, Nona. Kami harus pergi," ucapnya.

"Tunggu!" sergah Viona menghentikan langkah dua insan berbeda generasi yang ada di dekatnya.

Nyonya Melina membawa Billy berbalik menghadap Viona, lalu bertanya dengan lembut. "Nona, ada apa?"

"Kalau saya boleh tahu, untuk apa berkas itu?" tanya Viona hati-hati sambil menunjuk ke arah dokumen yang dipeluk erat oleh Nyonya Melina, tidak ingin wanita paruh baya itu salah paham padanya.

Wanita itu menatap berkas di tangannya, lalu tersenyum lembut. "Perkenalkan, saya Melina Scott," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Saya Viona Mollice," sahut Viona, menerima jabat tangan itu.

"Ini adalah proposal untuk mengajukan dana santunan anak yatim, Nona. Saya akan mengajukannya pada salah satu anak konglomerat yang tinggal di apartemen itu," terang Nyonya Melina sambil menunjuk ke arah apartemen yang ada di seberang jalan.

Viona mengikuti arah telunjuk wanita itu, dan hatinya langsung teringat pada pria brengsek yang tinggal di lantai paling atas gedung itu—Daniel.

"Banyak yang bilang, dia orang baik dan pasti akan membantu saya," imbuh Nyonya Melina memecah lamunan Viona tentang Daniel.

Tanpa diduga, Viona tiba-tiba merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas—cek yang diberikan Daniel kepadanya dengan penuh paksaan dan intimidasi. Meski ragu dan bingung bagaimana caranya memberikan penjelasan pada Nyonya Melina, Viona tetap menyerahkan cek itu sambil berkata, “Nyonya, ambil ini.”

Nyonya Melina memandang kertas itu lama, raut wajahnya mulai kebingungan, tak sepenuhnya mengerti maksud Viona.

"Emm, begini ...." Viona mencari alasan terbaik. "Saya baru saja keluar dari apartemen itu dan bertetemu dengan orang yang Anda maksud. Dia hari ini ada urusan penting, jadi tidak bisa ditemui. Jadi, dia minta saya untuk menyerahkan cek ini."

Di dalam hatinya, Viona tidak henti merapalkan kata maaf atas kebohongannya. Dia juga berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa, berbohong untuk kebaikan tidak akan menjadi masalah.

Mata Nyonya Melina bergetar.

Tangisannya pun pecah saat melihat jumlah yang tertera pada cek tersebut. Dia memeluk Viona dan mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih, Nona ... terima kasih banyak."

Viona membalas pelukan itu dengan hangat, merasakan sedikit kelegaan di tengah kekacauan yang melandanya. "Sama-sama, Tante. Semoga ini bisa membantu," bisiknya tulus.

Nyonya Melina melepaskan pelukannya, menatap Viona dengan mata berkaca-kaca. "Anda benar-benar malaikat, Nona. Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikan Anda."

Viona tersenyum lembut. "Tidak perlu membalas apa-apa, Tante. Saya senang bisa membantu."

Nyonya Melina mengangguk, lalu berjongkok di depan Billy. "Billy, bilang apa sama Kakak?"

Billy menatap Viona dengan mata berbinar. "Terima kasih, Kakak," ucapnya tulus.

Viona mengusap kepala Billy lagi. "Sama-sama, Jagoan. Belajar yang rajin, ya."

Nyonya Melina berdiri, menggenggam erat tangan Billy. "Kami permisi dulu, Nona. Sekali lagi, terima kasih banyak."

Viona mengangguk. "Hati-hati di jalan, Tante."

Nyonya Melina dan Billy berjalan pergi, meninggalkan Viona yang masih berdiri di halte bus dan menatap kepergian mereka dengan senyum tipis.

Meskipun hatinya masih terasa sakit dan hancur, dia merasa sedikit lebih baik setelah membantu Nyonya Melina dan Billy. Setidaknya, dia bisa melakukan sesuatu yang baik di tengah kekacauan ini.

Viona menghela napas panjang, lalu menatap langit pagi yang mulai cerah. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi dia bertekad untuk terus berjuang dan tidak menyerah pada keadaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!