NovelToon NovelToon

Not Everyday

Misi rahasia

Gue duduk di ruang tamu dengan wajah kecut, karena Gue malas mengikuti acara tema yang nggak jelas ini. Mana Mama sama Papa pakek acara rahasian segala lagi.

Kursi empuk yang biasanya nyaman sekarang berasa kayak kursi introspeksi, eh salah, interogasi. Meja penuh pastel, risoles, dan kue lapis legit yang Mama tata secantik mungkin. Jelas-jelas ini bukan jamuan biasa.

"Ma," Gue berbisik lirih. "Boleh nggak sih aku di kamar aja? Capek Ma, aku habis kerja lembur kemarin di perusahaan. Inikan gara-gara Papa, masa anaknya sendiri di siksa kayak anak tiri."

Mama mendelik, tajem banget tatapannya. "Nggak usah banyak ngeluh. Duduk manis. Ada tamu yang sebentar lagi datang. Jangan bikin malu Mama."

Gue mendesah. "Tamu, tamunya Mama, aku yang ikut repot. Emangnya siapa sih? Jangan-jangan..." Gue sengaja menahan kalimat, pura-pura mikir keras. "Jangan-jangan calon suami lagi?" males banget kalau kayak begini.

Papa yang baru keluar bawa teko teh, cuma berdehem. Mama malah tersenyum penuh arti, ternyata kali ini bukan hanya ngenalin lewat HP aja, kayaknya orangnya yang muncul kali ini.

Bel pintu berbunyi. Reflek Gue liat ke arah jendela. Dari cela tirai, seorang lelaki berjas biru tua turun dari motor ojol. Dia buru-buru bayar, terus merapikan jasnya sambil liat pantulan di spion motor. Hampir aja Gue ngakak, tapi buru-buru balik lagi ke posisi duduk.

Mama sudah sigap buka pintu. "Silakan duduk, Darly!" suaranya semanis mungkin.

Lelaki itu masuk dengan senyuman lebar, rambut klimis mengkilap kayak habis di siram minyak kelapa sawit. "Terimakasih, Tante. Senang sekali bisa berkunjung ke sini."

Gue rasa-rasanya mau muntah mendengar kata-kata sarkasnya.

"Ini Alya, anak Tante," kata Mama sambil megangin bahu Gue.

Darly langsung jalan ke arah Gue. "Halo, Alya. Senang sekali bisa bertemu sama kamu. Aku Darly." Dia mengulurkan tangan, senyumnya berlebihan banget. kayak iklan pasta gigi.

Gue ragu sejenak, lalu menjabat juga. "Hai." suara Gue hambar, sengaja.

Kami duduk bersebrangan. Mama dan Papa di kursi samping, mata mereka berbinar penuh harapan.

"Silakan di cicip dulu makanannya. Ini Tante yang buat khusus untuk kamu." kata Mama yang kayak orang nggak tahan pengen punya menantu.

Darly terlihat semakin bahagia dengan mengambil sepotong kue lapis legit. Dia potong kecil, lalu makan dengan gaya aneh banget. Pelan mengunyah dramatis, dan mendesah puas. "Hem... luar biasa. Rasanya premium sekali. Seperti bisnis kelas atas, harus punya kualitas unggulan."

Gue spontan hampir tersedak jus jeruk. "Serius? Kue lapis itu di bandingin sama bisnis?"

Darly tertawa renyah. "Kamu pasti belum terbiasa dengan cara pikir CEO. Semua hal bisa di analisis seperti bisnis. Bahkan cara kamu minum jus jeruk itu—"

"Stop. Jangan analisis cara Gue minum jus ini. Itu creepy." Gue buru-buru meletakkan gelas.

Mama menepuk paha Gue keras. "Alya!" katanya setengah berbisik tapi jelas-jelas mengancam.

"Hehe, Darly memang orang yang pintar. Alya nanti banyak belajar kalau menikah denganmu." kata Papa ikut menengahi.

Gue memutar bola mata. "Belajar bisnis dari cara minum jus? Keren banget."

Darly terlihat malah semakin percaya diri. "Aku ingin membagi pola pikir ini sama calon pasangan hidupku. Karena aku yakin, bersama-sama kita bisa membangun kerajaan bisnis yang lebih besar."

Gue bersandar, melipat tangan di dada. "Calon pasangan hidup, katamu. Baru lima menit kenal, udah ngomong gitu."

Darly mendekat sedikit. "Aku tipe orang yang percaya pada intuisi. Dan aku tau kamu adalah pilihan yang tepat. Menjadi istri CEO muda, bukan hal yang setiap hari datang."

Gue menahan napas, menatap dia. Kata-katanya menggema di kepala, not everyday.

"Betul banget apa yang di katakan Darly, Alya. Kamu harus bersyukur. Nggak semua perempuan mendapatkan kesempatan kayak begini." Mama menimpali.

Gue mendengus. "Syukur? Ma, aku bahkan belum kenal dia. Baru aja liat dia... eh..." Gue berhenti sebentar, menimbang. Haruskah Gue bongkar soal ojol tadi?

Darly menatap dengan penuh percaya diri. "Baru liat apa?"

Gue tersenyum miring. "Baru aja liat kamu turun dari motor ojol depan rumah."

Sekilas wajahnya kaku. Mama dan Papa langsung kaget. "Alya!" seru mereka bersamaan.

Darly buru-buru tertawa, agak kaku. "Oh, itu. Itu hanya strategi penyamaran. Aku nggak mau orang-orang tau aku seorang CEO. Jadi aku sering menyamar naik ojol."

Gue nyaris nggak bisa menahan ketawa. "Penyamaran? Kamu pikir ini film yang ada di drama-drama romantis?"

Papa cepat-cepat batuk kecil, berusaha menutupi suasana. Mama menyodorkan piring pastel. "Darly, coba yang ini. Kamu pasti suka."

Darly mengangguk sopan, lalu makan lagi dengan gaya penuh aksi. "Hmm, enak sekali, Tan. Sama seperti investor luar negeri, mereka juga suka makanan yang berkualitas."

Gue menyilangkan kaki, menatapnya datar. "Setiap kalimat kamu kayak brosur perusahaan, deh."

Dia malah tersenyum semakin lebar. "Itu tandanya aku semakin konsisten. Seorang pemimpin sejati harus punya konsistensi dalam setiap perkataan."

Gue pura-pura tepuk tangan pelan. "Wow. Hebat banget. Kalau gue sendawa habis minum soda, kamu juga bakal bilang itu contoh inovasi udara."

Papa menahan senyum, tapi Mama melotot lagi. "Alya!"

Gue angkat bahu. "Ya, bener kan?"

Darly mencondongkan badan. "Aku suka perempuan yang kritis. Itu artinya kamu punya pikiran terbuka. Pasangan seperti itu bisa jadi partner bisnis sekaligus partner hidup yang ideal."

Gue terdiam sebentar, lalu tersenyum sinis. "Atau partner yang tiap hari pusing dengerin presentasi?"

Suasana sempat hening. "Darly, apa kamu ada rencana khusus kedepan? Supaya Alya bisa dengar langsung." Papa akhirnya buka suara.

Darly langsung menegakkan badan, matanya berbinar. "Oh tentu, Om! Lima tahun lagi aku ingin menguasai pasar Asia. Sepuluh tahun lagi, perusahaan akan go internasional. Alya, coba kamu bayangkan, kamu jadi nyonya besar, punya akses ke dunia luar negeri, keuangan aman, hidup terjamin."

Gue memandangnya lama. "Kedengerannya kayak... tawaran paket asuransi."

Dia tertawa. "Kamu lucu sekali."

Mama dan Papa ikut serta tertawa, tapi kayak secara terpaksa. Di iringi tatapan Mama yang lagi-lagi kayak mau menerkam Gue.

Gue menghela napas panjang. Kepala Gue rasanya kayak udah penuh, dan bentar lagi rasanya ingin meledak. Setiap kalimat dari dia kayak brosur MLM. Rasanya Gue pengen kabur, tapi Gue masih tahan.

Sampainya Gue bener-bener nggak kuat lagi. "Ma, Pa, aku pusing. Aku keluar sebentar, butuh udara."

Mama buru-buru mau menahan. "Alya—"

Tapi Gue udah berdiri. "Nggak lama kok, Ma."

Gue langsung melangkah keteras, menarik napas dalam-dalam. Langit sore mulai berwarna oranye keemasan. Indah banget, jauh lebih jujur daripada semua kalimat Darly barusan.

Kalau ini yang namanya calon suami idaman, kayaknya Gue lebih memilih jomblo selamanya.

-------

Note : Jangan lupa berikan dukungan kalian agar aku lebih semangat dalam menulis, dengan cara -> like, subscribe, bunga, bintang, & komentarnya, thanks all🥰

Pertemuan di tikungan

Kepala Gue masih ngerasa pusing banget. Wangi parfum menyengat Darly menempel di hidung Gue. Rasanya kayak habis diceburin ke kolam pewangi mobil. Sejak tadi, kepala Gue penuh dengan suara sok bijak ala brosur bank yang keluar dari mulutnya.

Gue butuh udara segar. Lebih baik Gue kabur. Tanpa membawa apapun, yang penting Gue happy daripada hati yang kayak habis di peras blender.

Di komplek ini terlihat sepi walaupun ada beberapa orang yang duduk di teras depan rumah masing-masing. Tapi rasanya di belakang Gue kayak ada suara motor berderit menggema dari ujung jalan.

Braaak-braak-braak!

Gue reflek liat ke belakang, dan hampir kejedot tiang listrik sangking kagetnya.

Yang lewat itu... motor bebek tua dengan cat pudar yang udah susah dibedain antara abu-abu atau sekedar debu. Joknya bolong, ditutup sarung kotak. Dan pengendaranya? Lelaki jangkung, kurus, pakek jaket jeans belel. Helmnya? Pink pudar, jelas bukan ukuran kepala dia.

Motor itu mengerem mendadak pas liat Gue mau nyeberang. Kreeeek! Suara remnya bikin bulu kuduk Gue merinding, kayak denger kapur digores ke papan tulis.

"Eh, eh, maaf! Hampir nyenggol ya?" lelaki itu membuka kaca helm, senyumnya lebar banget, kayak nggak sadar kalau motor dia nyaris bubar jalan.

Gue nyaris mundur setengah langkah. "Motor lo... masih bisa jalan?"

Dia ngakak, motornya langsung batuk-batuk protes. "Ya buktinya Gue masih bisa nyamperin lo. Kalau lo bilang nggak bisa jalan, Berarti lo lagi halu."

Gue hampir nggak bisa tahan ketawa. Serius nih orang?

"Nama Gue Adrian," katanya sambil nyodorin tangan. Tangannya agak kotor bekas oli. Gue menatap sebentar, lalu melirik tangan Gue sendiri yang baru di kasih lotion mahal sama Mama.

"Hmm... nggak usah deh. Takut lotion gue kalah dengan oli lo."

Adrian malah ketawa makin keras. "Wah, berarti lotion lo harus upgrade ke level bengkel."

Gue akhirnya nyengir juga. Entah kenapa, walaupun tampangnya berantakan, ada sesuatu dari dia yang bikin gue ngerasa lebih lega dibanding sejam duduk dengan Darly.

Entah kenapa kami jadinya jalan bareng. Dia dorong motornya pelan sambil cerita, katanya motor itu warisan tiga generasi tukang ojek. Gue nggak tau bohong atau bener, tapi cara dia cerita tuh kocak banget, kayak stand up comedy jalanan.

"Lo kuliah di mana?" Gue akhirnya nanya.

"Eh..." dia garut kepala. "Kuliah di jalan raya."

"Serius?"

"Serius. Tiap hari ini Gue belajar mengalah sama angkot, cara ngegas pas lampu kuning, cara rem mendadak biar nggak nyium pantat truk. Itu ilmu berharga, loh."

Gue ngakak sampai perut sakit. Sialan, lelaki ini beneran bisa bikin orang lupa masalah.

Di tengah jalan, kami mampir di warung kecil. Adrian langsung pesenin es teh buat gue tanpa nanya dulu.

"Lo, minum ini aja, aman. Nggak ada saham, nggak ada bunga. Cuma daun teh."

Gue nyaris nyemburin minuman. Otak Gue otomatis ke Darly lagi. Bayangin aja, lelaki itu kalau pesan teh bisa kayak presentasi laporan keuangan.

"Lo kerja apa?" akhirnya Gue penasaran.

Adrian meneguk tehnya, lama, kayak sengaja bikin Gue penasaran. "Kerja, macam-macam. Kadang tukang parkir, kadang juru ketik, kadang service kipas angin. Intinya Gue fleksibel. Multi talenta."

"Serius amat..." Gue geleng. "Nggak capek?"

Dia nyengir. "Capek sih. Tapi kalau nggak capek, hidup jadi hambar. Lagi pula, Gue suka liat wajah orang seneng pas kipas anginnya nyala lagi. Itu priceless, bos!"

Gue bengong. Terus ketawa lagi. Lelaki begini baru pertama kali Gue temuin.

"Lo biasanya nongkrong di sini tiap sore?" Gue akhirnya nanya lagi sambil nyeruput es teh. Warung ini sederhana banget, cuma bangku panjang kayu, meja penuh dengan noda kopi, dan kalender iklan pupuk tahun kemarin.

Adrian nyandarin sikunya ke meja. "Kadang. Kalau dompet Gue lagi setuju sama isi hati, Gue mampir beli es teh. Kalau enggak, ya cukup ngeliatin aja orang lain minum."

Gue nyengir. "Sad banget hidup lo."

Dia malah ketawa. "Enggak sad kok. Gue anggap itu latihan iman. Lo tau kan, ngeliatin sesuatu tanpa harus punya."

"Lo ngomongnya kayak ustaz gagal audisi." Gue pura-pura serius.

Adrian ngakak lagi, sampe hampir keselek gorengan tempe. "Gagal audisi! Gila, baru kali ini Gue dibilang gitu. Eh, tapi kalau ada audisi ustaz stand up comedy, Gue daftar deh."

Gue tepuk jidat. "Lo yakin? Bisa-bisa ceramah lo isinya tentang oli motor sama knalpot bocor."

Dia keliatan pura-pura mikir, jari telunjuk ngetuk meja. "Hmm... menarik juga. Judulnya, jalan menuju surga lewat bengkel pinggir jalan."

Gue nggak tahan, ketawa sampe mata Gue berair.

Adrian tiba-tiba ngeluarin sesuatu dari kantong jaket belelnya. Ternyata... sebungkus permen karet yang udah setengah kempes.

"Lo mau? Ini limited edition, tinggal satu doang," katanya sambil sodorin.

Gue angkat alis. "Lo yakin itu masih aman? Bungkusnya aja kayak abis nyemplung got."

"Justru itu yang bikin kuat daya tahannya. Anti mainstream." dia mengedip.

Akhirnya Gue ambil juga. Gue kunyah, ternyata... aneh banget rasanya. Antara mint sama rasa plastik. "Rasanya kok kayak... bau lemari dapur." Gue spontan ngomong.

Adrian langsung ngakak terbahak-bahak. "Wah, lidah lo peka banget! Itu varian baru, namanya fresh kitchen."

"Lo nggak serius kan?"

Dia hanya mengangguk aja sambil ketawa-ketawa.

Langit makin gelap. Waktu udah kelewatan. "Eh, Gue harus balik. Mama bisa panik kalau Gue kelamaan di luar."

Adrian berdiri, tepuk-tepuk celana jeansnya yang belel. "Oke, mari kita pulang. Naik mobil sport Gue."

"Mobil sport?" Gue refleks liat kanan-kiri, berharap ada mobil parkir. Tapi yang ada cuma motor bebek bututnya itu.

Adrian naik duluan, tepuk jok bolongnya. "Nih, mobil sport level rakyat. Spoiler ada, cuma bentuknya bekas kardus mie instan diikat di belakang."

Gue hanya bisa menggeleng aja. Mau nolak Gue naik apaan, akhirnya Gue naik juga atas bujukan dia.

Perjalanan pulang bener-bener gila. Setiap kali motor belok, Adrian pura-pura jadi komentator balapan.

"Dan sekarang kita masuk tikungan tajam! Wuuuusshh!"

"Lo bisa fokus nggak? Jangan kayak komentator F1!"

"Tenang, penumpang cantik, semua sudah terjamin oleh... doa orang tua."

Gue otomatis megang erat pegangan di belakang jok, deg-degan campur ngakak.

Pas lampu merah, ada anak kecil jualan tisu. Adrian langsung beli, tapi bukan di pakek buat ngelap keringat atau kaca spion. Melainkan di kasih ke Gue.

"Ini tisu buat jaga-jaga sampai rumah."

"Sial! Lo ngejek Gue?"

Dia malahan ketawa ngakak aja. Sampai di depan pagar rumah, Adrian berhentiin motor yang ngajak ribut sepanjang jalan itu. Gue turun, dan dia senyum lebar.

"Oke, Nona lotion, selamat sampai tujuan. Semoga malam lo jauh dari kata kurang menyenangkan."

Gue langsung melotot. Adrian nyengir penuh misteri, matanya berkilat. "Gue cuma nebak aja kok."

Dia langsung tancap gas, ninggalin Gue yang masih di depan pagar. Laki-laki yang benar-benar aneh.

Visi, misi, dan pusing

Gue masih berdiri di depan pagar, napas belum sepenuhnya normal, nggak sengaja liat Mama udah berdiri aja di depan teras. Gue berjalan santai walaupun tatapan tajam Mama kaya laser, hidungnya kembang kempis kayak asap cerobong kereta api.

Begitu Gue berjalan mendekat, Mama langsung mendekat. "Alya! Kamu sudah kelewatan ya! Main pergi aja, tanpa ngomong apa-apa!" suara Mama terdengar marah campur khawatir.

"Ma... aku cuma... jalan sebentar, kok, nggak jauh juga. Sekalian mencari tenaga ekstra, lagian itu semua gara-gara tamu dari Mama." Gue mencoba santai, walaupun jantung Gue rasanya mau meledak liat tatapan Mama.

"Sebentar? Kamu pikir ninggalin tamu begitu aja hal yang sepele gitu? Kamu semakin hari, semakin kurang ajar aja ya? Mama mencarikan kamu jodoh, karena Mama sudah malu dengan usia kamu yang sudah dua puluh lima tahun belum juga menikah. Mama sama Papa udah tua, Alya. Kapan kamu mau menjadikan kami ini seorang kakek atau nenek kalau kamu aja sibuk sama duniamu sendiri?" Mama keliatan banget keselnya.

Papa akhirnya keluar sambil menghela napas. "Biarkan dia jalan-jalan sebentar, Ma. Mungkin Alya lagi gugup, atau lagi menimbang sesuatu. Mungkin juga dia butuh lega sejenak. Lagipula, Darly masih ada di dalam."

Sial, artinya Gue ketemu dengan lelaki itu lagi. Kenapa belum juga balik ke kandang dia sih, udah malem juga. "Jadi... dia masih di dalam, Pa?"

"Ya...," Mama berkata sambil menghela napas panjang. "Mama berusaha menahan dia, supaya kamu sama Darly bisa ngomong berdua. Ini kesempatan bagus, agar kalian bisa lebih deket lagi."

"Ma—"

"Jangan membantah, Alya!"

Gue menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Sial, ini artinya Gue nggak bisa kabur lagi.

Terdengar suara langkah ringan dari arah pintu. Darly muncul, jas biru tuanya masih rapi, rambut klimis, dan senyumnya... pengen banget Gue nutup mata.

"Selamat malam, Alya," kata Darly dengan nada sok ramah tapi berlebihan. "Apa kamu baik-baik saja? Syukurlah jika kamu sudah pulang. Semoga hari-harimu selalu menyenangkan, dan tentunya membuatmu bahagia. Alya, asal kamu tau, jika kita bersama, hal ini nggak akan membuatku terganggu. Kamu akan selalu bebas kemana pun kamu mau. Kamu adalah nyonyanya."

Gue ngeliat Mama yang melototi Gue, seakan berkata, jawab, atau kamu tau akibatnya.

"Ya...," Gue menjawab pelan, berusaha terdengar biasa.

Akhirnya kami masuk ke dalam rumah dan duduk kembali. Darly duduk menyilangkan kaki, dan menatap Gue serius. "Aku ingin kamu tau sedikit tentang diriku. Aku bukan hanya CEO, tapi juga visioner. Aku mengatur segala hal dari A sampai Z, termasuk kehidupan pribadi."

Gue memiringkan kepala. "Segala hal?"

Darly terliat puas. "Ya.... Kalau kamu mau, aku bisa menjelaskan secara detail."

Gue menahan tawa. "Detail? Tolonglah, ini rumah, bukan ruang rapat."

Dia mengangkat bahu. "Prinsip hidup tetap prinsip hidup, Alya. Setiap keputusan harus direncanakan dengan matang. Contohnya, memilih pasangan hidup, kamu dan aku, harus ada strategi."

Gue menelan ludah. Pakek acara strategi hidup? Jadi dia mau bikin proyek bisnis perjalanan gitu? Makin kesini, makin ngelantur nih orang.

Mau ngejawab lagi Gue males, tapi liat Mama udah kayak sorot lampu, nekan Gue. "Oh... jadi maksudmu, kita ini kayak proyek masa depan?"

"Bukan proyek, tapi investasi masa depan," jawabannya serius.

Gue menahan tawa. Sungguh, masa depan Gue kayak saham yang bisa naik-turun tanpa notifikasi kayaknya.

"Alya... dengerin penjelasan Darly." Mama, yang keliatan merasa suasana agak tegang, ikut nimbrung.

"Mama... aku dengerin kok dari tadi. Cuma kalau denger terlalu lama, kepala aku bisa... meledak karena istilah-istilah sahamnya."

Papa begitu aja menepuk bahu Gue pelan. "Cukup, Alya. Jangan buat Darly merasa nggak nyaman."

Darly tersenyum manis. "Aku malahan senang jika Alya bisa berkata jujur, Om. Aku lebih suka yang jujur daripada pura-pura senyum."

Gue menatapnya, dengan perasaan aneh. Sok pamer, tapi entah kenapa... ada sisi yang berbeda dari nih orang. Matanya tajam, tapi menatap penuh perhatian.

"Jadi... Gue ingin tau, Darly. Kamu kan sering ngomongin aset, saham... masa depan. Apa untuk saat ini itu sangatlah penting, untuk di bahas dalam pertemuan pertama kita?"

Dia mencondongkan badannya lagi. "Tentu itu penting, Alya. Kita bisa lebih terbuka dari awal. Apalagi... aku juga tau apa yang penting bagimu. Apa impianmu, apa yang kamu suka... bahkan hal kecil seperti parfum atau lotion."

Gue nyengir tipis. "Kenapa kamu bertanya, jika memang kamu seorang CEO? Belikan aja jika memang aku butuh apapun. Benarkan, Darly?"

Darly mengangguk. "Kamu benar sekali. Tapi bukannya kamu harus tau, detail kecil bisa memberi petunjuk besar, Alya."

Gue menatapnya, masih merasa aneh. Tapi ada sedikit rasa geli. "Wah... CEO yang jeli banget."

Dia tersenyum, menepuk dada. "Aku bukan hanya CEO, Alya. Aku juga mentor hidup. Semua hal bisa jadi pelajaran."

Gue hampir nyengir ngakak. Tapi Gue sadar, ini baru satu jam kami ngomong. Kalau bukan demi Mama, sudah Gue usir nih orang. Mama sama Papa dari tadi hanya senyam-senyum nggak jelas juga liatin Gue. Terpaksa Gue ladenin dulu nih orang.

"Dari tadi sebenarnya aku penasaran satu hal. Apa diluar kalau kamu ngomong harus kayak begini?" akhirnya Gue bertanya secara paksa.

"Selalu. Hidup harus di analis, bukan hanya dijalani. Contohnya, cara aku memilih menu makan siang, nggak pernah sembarangan, semua harus efisien dan berkualitas."

Gue menelan tawa. Jadi dia nanti mau makan, atau audit finansial?

"Alya, Mama dan Papa ada kerjaan sebentar, kamu dan Darly ngobrol berdua aja dulu." Mama sedikit mendekat. "Awas, jika kamu ngomong yang kasar lagi!" kata Mama sedikit berbisik, menekan, dan langsung menarik tangan Papa untuk segera pergi setelah berkata manis pada Darly.

Sedangkan Gue, hanya mengangguk aja, pura-pura patuh.

Darly lagi-lagi menatap Gue serius. "Alya, aku ingin kamu tau... menjadi istri CEO itu nggak setiap hari bisa di dapatkan. Aku menghargai setiap detik yang kita habiskan bersama. Ini bukan sekedar kata-kata manis, tapi strategi hidup kita bersama."

Gue menahan senyum kecut. Lagi-lagi strategi hidup bersama. Ini orang terlalu kepedean, atau gimana sih?

Percakapan terus berlanjut, Gue mencoba bertanya hal-hal santai, tapi Darly selalu balik dengan contoh saham, aset, atau strategi hidup. Gue merasa dia kayaknya terganggu, atau gaya hidupnya memang suka pamer? Kayaknya ada yang nggak beres dengan nih orang.

Tapi setidaknya Gue belajar satu hal, ternyata menjadi istri seorang CEO itu aneh, kalau nikahnya sama dia. Kalau kayak Papa, itu... udah level beda lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!