NovelToon NovelToon

Transmigrasi Menjadi Gundik

Hidup Kembali Setelah Mati

"Bu Galuh, kamu sudah mendengar kabar jika hari ini akan ada demo besar - besaran?" Susan langsung membuka pintu ruangan CEO dan berjalan panik ke arahnya.

Galuh yang sedang memeriksa berkas kontrak bisnis yang akan ia tandatangani spontan menoleh ke arah datangnya suara sang asisten. "Ada apa ? Kamu membuatku terkejut." sesaat ia mengabaikan raut kegelisahan sang asisten. Galuh mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di setiap lembar yang ada nama dan jabatannya sebagai CEO di perusahaan Si Nona Manis. Selama 7 tahun ini perusahaan itu sudah memiliki 50 tempat cafe kopi susu yang terkenal di kota Jakarta. Seakan ia tidak percaya dengan isu tersebut.

"Anda harus segera mengambil tindakan, kalau tidak Anda akan menjadi sasaran amukan para pendemo." imbuh Susan, menyakinkan agar Galuh segera mencari persembunyian yang aman.

"Pendemo ?" Galuh mengernyitkan dahi, barulah ia menanggapi dengan serius ucapan wanita berambut gelombang sebahu dengan bando polkadot itu. Selama menjabat sebagai pemimpin tidak pernah sebelumnya ada kerusuhan. " Apa yang mereka inginkan ? Bukankah selama ini perusahaan kita memberikan gaji yang cukup bahkan selalu menaikkan di setiap tahunnya ?" ia pikir ada seseorang yang telah memprovokasi mereka untuk melakukan demo.

Susan terlihat tidak menyerah, "Ada insiden saat karyawan pabrik yang jatuh tempo hari. Mereka menuntut agar pabrik ini ditutup."

Galuh menutup berkasnya, lalu membenahi posisi duduknya lebih tegap. "Insiden kecelakaan ? Mengapa aku tidak tahu sebelumya ? Siapa yang menjadi korban?"

Susan menarik kursi lalu segera duduk. "Itu, Karso, karyawan yang bekerja di bagian gudang. Keluarganya tidak terima karena sekarang Karso lumpuh tidak bisa bekerja lagi."

Belum sampai selesai Susan memberikan informasi lebih detail lagi mengenai kecelakaan di gudang, suara teriakan dan hantaman batu yang mengenai kaca jendela entah bagian gedung mana yang jelas berhasil membuat kedua wanita itu panik.

"Mereka sudah tiba !" seru Susan panik. "Anda harus segera pergi dan mencari tempat perlindungan yang aman." ajaknya agar Galuh mengikuti instruksinya.

"Kamu menyuruhku untuk kabur ? Itu bukan pemecah masalah, justru akan membuat mereka menganggapku tidak bertangung jawab. Aku akan temui mereka." Galuh beranjak dari kursi kebesarannya. Masalah ini harus segera dituntaskan sebelum terjadi kerusakan yang lebih fatal, pikir wanita bernama lengkap Galuh Permatasari.

Wanita yang lahir 35 tahun lalu itu berjalan menuju pintu. Baru saja pintu itu terbuka lebar, sosok pria bertubuh tinggi, tampan dan gagah, dengan sorot matanya yang tajam dan memikat menegur Galuh.

"Sayang, para pendemo datang !" seru Ferdi, ia segera menemui istrinya di ruangannya begitu mendengar suara teriakan di luar perusahaan.

"Hm, aku tahu. Aku akan menemui mereka dan menyelesaikan secara baik - baik !" ujar Galuh dan melewati suaminya begitu saja.

"Tapi, Sayang. Mereka berbahaya!" suara Ferdi sudah tak terdengar lagi.

Ferdi dan Susan berjalan beriringan menyusul atasan mereka.

Teriakan terus menggema di area pelataran perusahaan SI Nona Manis.

"TUTUP PERUSAHAAN!"

"ANJING KALIAN !"

Dan banyak seruan buruk yang terlontar dari mulut mereka.

Salah satu perwakilan pendemo maju ke depan, mengangkat toa dan mulai berbicara. "Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya kita dapat berkumpul di sini hari ini." 

"Hari ini, kami berdiri di sini, bukan untuk bersenang-senang, tetapi untuk menyuarakan kebenaran! Tuntutan kami jelas, tutup perusahaan !"

Kini Galuh berdiri di hadapan mereka dan beberapa sekuriti membentuk lingkaran menjadi tameng berjaga - jaga jika atasannya diserang.

"Tutup perusahaan Si Nona Manis ini ! Kami mendengar perusahaan ini telah memakan korban."

"Kami juga ingin rekan kami mendapatkan kehidupan yang layak. Kami menuntut keadilan dan kesetaraan untuk rekan kami yang sudah kalian tindas."

"Hentikan ...!" teriak Galuh panjang. Sesaat suasana menjadi hening, memberi kesempatan untuk Galuh berbicara. Ia menginterupsi salah satu sekuriti mengambil toa milik pendemo. Lalu, Galuh mulai berpidato dengan lantang.

" Saya sangat menghargai kesediaan Anda menyampaikan aspirasi ini. Saya berkomitmen untuk bekerja keras mencari solusi lain selain menutup perusahaan yang sudah lama berdiri ini.

"Kami masih tidak terima !" sela mereka.

Galuh mengangkat kedua tangannya mengimbau agar mereka tetap tenang.

Sebuah botol kaca melayang tepat mengenai kepala Galuh.

"Galuh!" pekik Ferdi dan langsung menghambur memeluknya memberi perlindungan. "Ini tidak terkendali. Mereka tidak bisa diajak bicara baik. Lebih baik kita pergi." Ferdi mengiring Galuh menghindari kerumunan pendemo, Susan juga mengekor.

Tampaknya mereka tuli untuk mendengar penjelasan pemilik perusahaan. Seperti tersulut emosi, para pendemo melempari kaca jendela dan berhasil memukul mundur para sekuriti. Para pendemo menerobos masuk dan membuat kerusakan di dalam.

Galuh berhasil diamankan, Ferdi dan Susan membawanya ke atas gedung.

"Sepertinya di sini aman." Ujar Ferdi melihat keadaan di bawah.

Galuh merasakan pusing yang sangat. Darah kental dan berbau amis merembes membasahi kepalanya. Tangannya sampai berdarah - darah memegangi kepala.

"Bu Galuh, Anda tidak apa - apa kan ?" Susan terlihat khawatir.

Ferdi memperhatikan keadaan istrinya dan dirasa Galuh bisa berdiri tegak ia melangkah mundur.

"Pusing," bisik Galuh.

Seharusnya dalam keadaan darurat ini, ia harus segera mendapatkan pertolongan, bukan diam bersembunyi di atas gedung.

Setelah rencana dan usahanya berhasil memprovokasi para pekerja, Susan melepas topeng yang selama ini menutupi dirinya yang sebenarnya.

"Galuh," panggil Susan tanpa menyematkan embel - embel BU seperti biasanya.

Galuh menajamkan pendengarannya, menyakinkan diri seolah ia tidak salah mendengar.

Susan mendatangi Ferdi, dan keduanya saling berpelukan mesra. "Rencana kita berhasil!" bisiknya manja lalu mengecup pipinya.

"Kamu benar, Sayang. Dengan begini kita bisa menguasai kekayaan dan memimpin perusahaan." ujar Ferdi membalas ciuman dengan nakal.

Kedua mata Galuh membelalak tak percaya. Kedua pasangan bejat itu telah bersekongkol untuk menjatuhkannya dari posisinya sebagai CEO.

"Kalian ?" air mata Galuh hampir saja menitik.

"Kamu mempermainkan aku. Sakit rasanya Ferdi. Dan kamu Susan, kamu adalah orang yang paling aku percayai, kamu tega."

"Aku tidak peduli. Aku dan Ferdi sudah lama saling jatuh cinta bahkan sebelum dia mengenal kamu." ujar Susan sembari menunjuk muka Galuh.

Galuh menatap Ferdi dengan tatapan jijik dan marah. "Bagaimana bisa kamu melakukannya padaku, Ferdi ? Aku memberikanmu kepercayaan, cinta, dan hati aku, tapi kamu membalasnya dengan kebohongan dan pengkhianatan."

"Seharusnya aku yang menjadi pimpinan, tapi kamu egois tidak memberikan jabatan itu padaku. Jangan salahkan aku berpaling darimu!" Ferdi menujukkan kemesraan lagi membuat Galuh jijik.

"Kami tidak perlu mendengar banyak omonganmu, segeralah enyah dari muka bumi ini !" Sarah berjalan cepat ke arahnya. Galuh pikir ia akan digampar atau kekerasan fisik lainnya sebagai bentuk pelampiasan ketidaksukaannya.

Begitu Sarah dekat, Galuh merasakan tubuhnya terdorong mundur hingga membuatnya kehilangan kestabilan.

"Susan, apa yang ingin kamu lakukan ?"

"Go to hell !"

Galuh menjerit panjang begitu tubuhnya melayang dan terjun ke bawah. Ia pun mati dengan kepala pecah membentur tanah.

.

.

.

"Aaaaarghhh! Tolong jangan bawa aku pergi !" Galuh bangun dengan nafas ngos - ngosan. Ia seperti bermimpi malaikat maut menyeret jiwanya pergi dari jasadnya.

Begitu Galuh bangun, ia mendapati dirinya berada di dalam tubuh wanita gendut berdarah jawa di era kolonial.

Galuh Nilam Sari

"Papi, mendadak kepala mami pusing. Mami tidak jadi ikut ke acara pesta ulang tahun tuan Joris Smit." ujar wanita kelahiran Belanda bernama Wilda De Groot. Ia memijat pelipisnya, menyakinkan kalau ia benar - benar sakit.

"Mami sakit ? Apa perlu papi antar periksa ke klinik ?" Edwin De Groot, pria berusia 50 tahun itu terlihat cemas menatap istrinya. Pria dengan pakaian kolonial, topi putih dan jas putih yang elegan, celana panjang dan kemeja dengan kerah tinggi, menghadirkan kesan yang formal dan berkuasa itu sudah bersiap akan pergi.

"Tidak perlu Papi, Papi berangkat saja sendiri. Mami akan rebahan sebentar, mungkin dengan begitu pusing di kepalaku akan hilang." Wilda mengangkat gaunnya yang panjang dengan motif bunga yang anggun menuju tempat tidurnya.

"Kamu yakin tidak mau diperiksa?" tanya Edwin sebelum pergi, karena ia sudah sangat terlambat.

Wilda mengangguk yakin lalu memejamkan mata.

"Baiklah, Papi berangkat dulu. Papi akan meminta Galuh untuk melayanimu."

Mendengar nama gundik itu disebut Wilda bergegas bangkit dan berkata dengan cepat, "Tidak perlu Papi, aku hanya butuh istirahat."

"Eum, baiklah kalau kamu menolak. Papi pergi dulu." lalu Edwin menutup pintu kamar.

Dirasa keadaan aman dan suaminya tak ada di rumah, Wilda bangkit dari tempat tidurnya. Ia menyelinap keluar kamar memastikan suaminya sudah pergi. "Aman." bisiknya pada diri sendiri.

Wanita berusia paruh baya itu berjalan anggun menuju dapur. Tidak ada orang di rumah, kecuali dia dan Galuh sang Gundik. Semua pelayan sengaja ia suruh pulang sehari ini. Kemudian Wilda membuka pintu belakang.

Cahaya lembut dari lampu minyak menerangi rumah-rumah dan jalan-jalan, sehingga ia masih bisa melihat sosok Jamin di luar rumah.

Jamin sampai terkantuk - kantuk menunggu, ditambah nyamuk - nyamuk yang beterbangan menyuarakan nyanyian malam seakan membuatnya tak kesepian.

"Plak !" satu tepukan berhasil. Nyamuk yang mengigit pipinya pun melayang jatuh. Suatu kebanggaan berhasil membunuh dari ribuan nyamuk.

"Nyonya Wilda !" seru Jamin begitu wanita itu keluar menemuinya.

"Sssttt ...!" Wilda menjeda ucapannya, menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada orang yang lewat. "Lakukan tugasmu sekarang ! Ini upah 5 gulden , cukup ?" Wilda menyerahkan uang dengan dibungkus kain hitam.

Meski remang - remang terlihat jelas wajah sumringah dari Jamin. Ia menimbang bungkusan kecil itu, "Cekap, Nyonya." balasnya kemudian.

Wilda memperhatikan reaksi pria jawa tulen itu setelah menerima upahnya, "Bagus. Aku akan membiarkan pintu ini tertutup tanpa terkunci. Jadi, kamu bebas untuk masuk tanpa ada orang yang curiga."

Orang pribumi itu berdiri dengan tubuh tegak, tapi mata yang murung dan bahu yang sedikit terangkat menunjukkan beban yang dipikulnya.

Ketika Nyonya Belanda itu memberikan perintah, orang pribumi itu menganggukkan kepala dengan patuh, tapi tatapan matanya menunjukkan rasa tidak setuju. Ia berjalan menjauh dengan langkah yang berat, seolah-olah beban tugas yang diberikan terlalu berat untuk dipikul. Namun, karena imbalan yang menggiurkan membuatnya menerima pekerjaan ini.

.

.

Di balik dinding yang tebal dan jendela yang besar, rumah kolonial Belanda yang menjadi simbol kekuasaan dan kemewahan ini bak istana bagi Galuh yang selama 3 bulan tinggal di sana sebagai Gundik. Arsitektur yang khas Belanda dan taman yang terawat dengan baik menambah rumah itu terkesan anggun dan megah.

Beberapa alasan yang membuat wanita dengan bobot 100 kg ini menjadi Gundik Belanda.

Pertama, menjadi gundik orang Belanda dianggap dapat meningkatkan status sosial dan ekonomi kehidupannya. Dan yang kedua, Gundik sering kali mendapatkan perlindungan finansial dan materi dari pasangan Belanda mereka.

Sekarang yang Galuh rasakan setiap hari adalah makan enak dan tidur nyenyak. Tidak hanya itu, perhiasan juga lengkap.

Karena terlalu kenyang, Galuh pun tidur lebih awal.

Satu jam kemudian.

Di balik bayang-bayang malam, Jamin bergerak dengan senyap, dengan pakaian yang tidak mencolok dan tidak menarik perhatian. Ia berusaha untuk tidak meninggalkan jejak, dengan gerakan yang cepat dan senyap, Jamin berhasil masuk melewati pintu belakang dan menyusuri dimana kamar Galuh berada.

Terdapat salah satu pintu kamar yang diberi tanda. Jamin mendorong pintu itu.

Suara pintu yang terbuka kasar membuat Galuh bangun dari tidurnya.

"Siapa kamu !" bentak Galuh kaget.

"Serahkan semua perhiasanmu, atau kalau tidak kamu akan aku bunuh !" Jamin mengancam dengan menunjukkan senjata clurit nya.

Galuh menghampiri kotak perhiasan yang ada di atas meja rias. Menggenggam erat kotak itu. "Tidak akan. Pergi kamu ! Tolong, ada maling!" teriak Galuh histeris. Namun sepertinya nihil, tidak ada orang yang datang sampai detik itu.

Galuh berusaha mempertahankan apa yang menjadi miliknya.

Begitu juga dengan Jamin, ia harus segera menyelesaikan tugasnya membuat Gundik Belanda ini celaka atau bahkan mati.

Jamin berusaha merebut kotak perhiasan dari tangan Galuh. Namun kalah tenaga.

Tidak ada pilihan lain selain menggunakan senjatanya.

Galuh juga demikian, mengambil langkah seribu sehingga terjadilah aksi kejar - kejaran di dalam kamar. Karena bobot tubuh Galuh yang berat ia tersandung hingga kepalanya terbentur ujung tempat tidur.

Galuh merasakan pusing lalu pingsan.

Wilda yang sejak tadi mengintip kejadian di luar dan tak mendengar suara Galuh berteriak, ia pun masuk.

"Nyonya, Galuh pingsan!" ujar Jamin yang hanya amatiran sebagai pencuri pun menjadi takut jika Galuh mati seketika.

Rencana Wilda untuk menakuti Galuh pun berubah menjadi panik. Ditambah suara mobil Edwin pulang.

Jamin segera kabur tak jadi mencuri kotak perhiasan Galuh.

Wilda menjadi panik, jika terjadi sesuatu dengan Gundik kesayangannya pasti tamatlah riwayatnya.

"Bagaimana ini ?" gumam Wilda bingung harus melakukan apa.

Terdengar suara langkah sepatu yang semakin mendekat. Apalagi, pintu kamar Galuh terbuka.

Edwin sengaja masuk untuk melihat apa yang dilakukan Galuh sehingga malam ini belum tidur.

"Wilda!" seru Edwin mendekati istrinya berada di kamar Galuh.

"Papi. Tadi aku mendengar suara teriakan 'MALING' dari dalam kamar Galuh. Dan saat aku kesini, Galuh sudah tidak sadarkan diri, Papi."

Edwin seketika cemas, ia menghambur ke arah Galuh. "Panggil semua orang!" suruhnya yang dimaksud adalah para pembantu.

"Di rumah tidak sedang ada orang."

"Kemana mereka semua ?" heran Edwin.

"Pulang."

Edwin mendesah kesal. "Cepat panggil siapa saja di luar."

Belum sampai Wilda beranjak Galuh mengerjapkan mata. "Aww, sakit!" keluhnya sembari menyentuh keningnya yang benjol.

"Galuh! Kamu tidak apa - apa ?" Terlihat kecemasan dari wajah tua Edwin.

"Hah, Kamu mengenalku?" heran Galuh karena begitu asing dengan suasana di sekitarnya. Apalagi dengan penampilan sepasang paruh baya di depannya.

"Tentu saja. Kamu Galuh Nilam Sari. Istri simpanan ku."

"Hah ! Kamu pria tua adalah suamiku ? Ini tidak mungkin." Galuh memijat pelipisnya yang semakin pusing.

Pengalaman Mandi

Keesokan paginya.

Galuh bangun dari tidur panjangnya. Ia pikir semalam bermimpi jika menjadi seorang Gundik Belanda Tua. Nyatanya, setelah membuka mata ia melihat dirinya berada di sebuah kamar yang lain, bukan rumahnya di tahun 2025. Ia yakin jika dirinya sudah mati, entah bagaimana bisa tubuhnya bertransmigrasi ke era kolonial ini.

Lalu Galuh bangkit, menurunkan kedua kakinya yang terasa berat menapaki lantai yang terasa dingin meski hari sudah pagi. Terlihat jelas tidurnya semalam sangat nyenyak, kasur yang terasa empuk yang dilapisi seprai putih bersih itu sedikit berantakan. Suasana kamar ini sangat mewah dan tenang. Bantal-bantal yang lembut dan empuk disusun rapi di kepala tempat tidur memberi kesan damai dan rileks, sementara tirai yang tipis dan transparan menggantung di jendela, membiarkan cahaya matahari masuk dengan lembut memberikan kesan yang hangat dan nyaman pada kamar.

"Ini tidak mungkin. Aku kembali hidup di tubuh wanita gendut." Gumam Galuh masih tidak percaya dengan bentuk tubuh yang lain. Ia menatap pantulan dirinya di cermin datar yang besar seukuran tubuhnya.

Sanggul rambut yang rapi dan elegan, dengan tusuk konde yang cantik yang menghiasi rambut hitamnya. Sanggul yang khas Jawa itu menambah kesan mewah dan anggun.

Galuh memiringkan tubuhnya, terlihat pantatnya yang empuk dan lembut. Tubuh ini memiliki penampilan yang unik dan menarik, dengan wajah yang manis dan mata yang cerah, menunjukkan kepercayaan diri dan kepositifan.

Di balik kebaya yang elegan dan kemben yang ketat, wanita Jawa itu menyembunyikan hati yang kompleks. Ia menjadi gundik Belanda, menjalani kehidupan yang penuh kontras antara tradisi dan budaya Barat. Namun, di balik senyum manis dan mata lembut, tersimpan cerita tentang misi mengubah takdir dengan tekad yang kuat.

Seketika pintu terbuka lebar. Pria tua yang semalam ia lihat terlihat masuk lalu menyambutnya dengan manis. " Nyai Galuh, kamu sudah sadar ? Semalam kamu pingsan. Dokter bilang, kamu harus banyak istirahat dan mengalami amnesia ringan." ujar Edwin dengan gaya bahasa melayu. Sehingga Galuh dengan mudah mengerti apa yang diucapkan pria tua itu.

Edwin meraih tangan yang penuh lemak itu lalu membawa ke depan mulutnya. Galuh membiarkan saja pria itu mengecup punggung tangannya.

Rasa yang campur aduk, antara terkejut dan tidak nyaman. Sentuhan yang tidak terduga dan terlalu intim membuat Galuh merasa tidak nyaman lalu menarik tangannya sehingga menciptakan jarak.

"Nyai," Seolah Edwin melayangkan protes.

Galuh belum biasa diperlakukan seperti ini dengan orang lain apalagi pria tua yang sudah banyak uban dan berkumis putih.

"Eum, maafkan saya Tuan. Saya sedikit grogi." Galuh tidak punya alasan yang cukup baik untuk disampaikan.

"Grogi ?" bahasa yang asing yang belum pernah keluar dari mulut gundiknya.

Jika dirinya berada di era kolonial, berarti jiwa Galuh yang asli pasti berada di era modern yang sekarang sudah tewas. Ia memutuskan menjalani kehidupan ini meski terasa asing dan berat.

"Tuan ?" Galuh menjeda kalimatnya. Seakan bertanya siapa yang menjadi lawan bicara ini.

"Aku Edwin De Groot. Bahkan kamu lupa dengan namaku." Edwin menjadi gelisah, lalu menuntun Galuh untuk duduk di kursi. "Istirahatlah,"

Galuh mengikuti instruksi pria itu. Kelihatannya pria ini sangat baik dan kasih sayang terhadapnya begitu tulus.

"Bagaimana keadaanmu, apa memar di kepalamu masih terasa sakit ?"

"Tidak, sekarang sudah lebih baik." sahut Galuh singkat. Pikirannya terusik, bagaimana bisa gadis jawa yang gendut ini mau menikah dengan pria tua yang seusia dengan ayahnya.

"Baguslah kalau begitu. Aku sampai cemas tak bisa tidur semalam memikirkanmu."

"Gila banget!" teriak Galuh dalam diam.

Terdengar langkah beberapa pembantu masuk lalu berdiri berjajar di hadapannya. Masing - masing membawa baki berisi kebaya ganti yang mewah dan menawan, meminta Galuh untuk memilih yang mana yang mau dipakai untuk hari ini.

Galuh terkesima dengan kehidupan Gundik Belanda ini, lebih terhormat dan dimanja. Pasti ada maunya, pikirnya kemudian.

" Nyai Galuh, mandi dan berganti pakaianlah ! Ini ada beberapa hadiah yang mungkin bisa menghiburmu. Aku dan Wilda akan menunggu mu di ruang makan." lalu Edwin bangkit meninggalkan Galuh bersama para pembantu.

"Dia memanggilku, Nyai Galuh ?" Gumam wanita berusia 20 tahun itu dalam diam tidak menyangka mendapat sebutan sebagai nyai yang masih terdengar asing di telinga.

Seperginya Edwin dari kamar Galuh, para pelayan mulai bertindak. Ada yang ingin melepas kembennya ada yang menarik tusuk kondenya.

Tangan Galuh yang besar menahan tangan salah satu pembantu yang ingin menarik kembennya. "Aku bisa sendiri, tolong tinggalkan aku."

Para pembantu terkejut dan saling melempar pandang. Tidak seperti hari kemarin, sikap nyai Galuh hari ini terdengar santun dan lembut.

"Tapi, Nyai, kami harus membantu Anda untuk mandi." ujar Kasminah berusaha melayani.

"Kami takut jika dihukum tuan Edwin." sela Jumikah.

Nyai Galuh memahami situasi mereka, lalu menanggapi dengan tersenyum manis, senyuman yang jarang sekali dilihat oleh mereka. "Memangnya aku masih bayi ? Kalian cukup tunggu saja aku di sini." Lalu Galuh memilih satu kebaya ungu dan kemben berwarna hitam.

Di dalam kamar mandi.

Memakai atau melepas kebaya adalah bukan hal asing lagi bagi Galuh, karena setiap tanggal 21 April ia selalu memakai baju adat di kantor sebagai bentuk apresiasi di hari Kartini. Bedanya ini ukuran tubuhnya yang jumbo jadi agak susah saat melepas kebaya.

Kamar mandi di era kolonial ini seperti oasis kemewahan dan keanggunan, dengan perpaduan gaya Eropa dan pengaruh lokal. Kamar mandi ini juga dilengkapi dengan bak mandi besar yang terbuat dari marmer, wastafel dengan desain yang rumit, dan toilet yang dihiasi dengan detail yang halus, sehingga menciptakan suasana yang mewah dan elegan. Tidak hanya itu, dindingnya juga tinggi dan langit-langit yang berhias, menambah kesan kemewahan dan keagungan pada kamar mandi yang indah ini.

Galuh yang menempati tubuh gadis gemuk ini memiliki pengalaman mandi yang berbeda karena ukuran tubuhnya. Dia memerlukan lebih banyak waktu dan usaha untuk membersihkan diri terutama saat menggosok lipatan lemak, serta memerlukan peralatan tambahan seperti sabun yang melembutkan kulit. Andai ada shower yang lebih besar untuk memudahkan proses mandi. Sayangnya shower belum ada di era itu. Ini menjadi tantangan baginya, karena ukuran tubuhnya yang lebih besar. Namun, dengan kesabaran dan perawatan yang tepat, dia dapat menikmati pengalaman mandi yang nyaman dan menyegarkan.

Galuh keluar dengan mengenakan kebaya ungu yang terbuat dari kain sutra yang lembut dan mengkilap, memberikan kesan yang sangat elegan dan mewah. Warna ungu yang kaya dan mendalam menambahkan sentuhan kemewahan dan kecanggihan pada penampilannya membuatnya terlihat sangat anggun dan feminin.

Para pembantu sampai ternganga menatapnya.

"Kalian bisa membantuku menyanggul ?" Galuh menjeda kalimatnya menatap mereka yang langsung bereaksi mengangguk kan kepala. " Kalau begitu tolong!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!