18 tahun yang laluu
"Ahah, mata sipit! Wlee…" Mita menjulurkan lidah sambil jingkrak-jingkrak di depan Maxwel, tetangga sekaligus musuh bebuyutannya.
Anak 9 tahun itu langsung manyun, matanya melotot, rahangnya naik-turun kayak mau kunyah singkong padahal nggak ada apa-apa di mulut.
"Mita item! Dekil! Kusam! Jelek! Huh!" katanya cepat-cepat kayak orang rebutan mikrofon dangdut.
"Eh, apa-apaan! Cantik jelita begini dibilang jelek?" Mita berkacak pinggang, terus mengibaskan rambutnya ala bintang iklan sampo.
"Cantik apaan? Halah! Paling yang suka sama kamu itu anak-anak kucing garong!"
Mita makin sewot. " Eh sipit! Jangan salah! Di sekolah banyak yang naksir aku, lho! Ya kan?" Ia menoleh ke dua temannya yang lagi main boneka di teras.
Temannya cuma cengengesan. Max langsung ngakak, " Paling mereka matanya minus semua! Mana ada orang normal suka sama kamu!"
Mata mita membesar, lalu dia menunjuk maxwel yang tengah duduk di depan teras toko bangunan milik bapaknya.
"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.
" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.
Mita mendengus, lalu maju dengan langkah gedebug-gedebug kayak gajah ngamuk.
"Apa lagi?!" Max melotot.
Tanpa aba-aba, set!!!
Rambut Max ditarik Mita. "Aduhhh!" Max pun balas jambak rambut Mita. Terjadilah duel jambak-jambakan, cubit-cubitan, bahkan Mita sempat gigit lengan Max.
"Papaaaaah!" teriak Max heboh kayak ayam disembelih.
Dua teman Mita lari manggil mamaknya. Tak lama, Mak Leha muncul dengan daster biru dan jilbab bergo hitam, berlari tergopoh-gopoh sambil teriak "Hei-hei, apaan lagi ini!"
Di sisi lain, Pak Sution atau sering di panggil koh tion juga datang buru-buru, sama-sama narik anak masing-masing.
"Udah-udah! Berhenti!" seru mereka barengan, kayak paduan suara.
Mita masih manyun sambil nyembulin lidah. Max juga nggak mau kalah, ngedumel kayak kaset rusak.
"Kamu ini, Mit " Mak Leha berkacak pinggang "anak cewek kok kerjanya ngejekin cowok. Sana main sama temenmu!"
Lalu mita menunjuk dua temannya yang sudah ngumpet di balik boneka dengan tatapan tajam.
"Kamu juga, Max!" suara berat koh tion bikin bocah itu langsung kaku. "Setiap hari papa jadi wasit tinju kalian, setiap hari loh ya. Capek papa, tau!"
Mita nyengir sambil bikin muka-muka aneh. Set! Mak Leha langsung menjewer telinganya.
"Aduh, Mak! Lepas, Mak! Kuping mita mau copot!" teriak Mita sambil jingkrak-jingkrak.
Tapi Mak Leha malah tambah kencengin jeweran sambil nyeret anaknya ke dalam rumah. Sesampainya di dalam, baru dilepas. Mita meringis sambil ngelus telinga merahnya, sementara temannya ngintip dari balik pintu sambil cekikikan.
Di seberang jalan, Max senyum-senyum puas. "Rasain kamu Mita!"
Belum sempat lama, suk! telinganya dijewer koh tion.
"Ahh! Papahh, sakit! Ampun!" Max teriak melengking.
"Udah, jangan banyak alasan! Itu kaleng cat berantakan semua. Susun sampai rapi! Kalau belum rapi, jangan harap bisa masuk rumah!" bentak koh tion.
Dengan wajah manyun, Max pun jongkok, nyusun kaleng cat satu per satu. Bibirnya masih komat-kamit.
"Tunggu aja, Mit! Aku bakal balas dendam! Huh!"
Keesokan harinya…
Anak usia 6 tahun itu sudah rapi dengan seragam merah putihnya. Mak Leha memasukkan botol minum ke dalam sisi tas Mita, lalu anak itu mencium tangan mamaknya.
"Assalamualaikum, Mak."
"Waalaikumsalam, hati-hati ya, Mit. Kalau jalan di pinggir jangan di tengah, nanti di tabrak orang"
" Siap, Bu Bos!" Mita berdiri tegak sambil hormat gaya komandan upacara. Mak Leha sampai terkekeh melihat tingkah putrinya.
Dengan riang, Mita keluar rumah sambil bersenandung. Matahari pagi menyinari Kampung Jati Miring. kampung unik, bukan hanya karena namanya, tapi juga karena mayoritas warganya tukang bangunan. Termasuk Abah Adul, abahnya Mita, yang sering ambil kerjaan borongan.
Di tengah jalan menuju sekolah, Mita melompat-lompat kecil, wajahnya penuh senyum. Namun tiba-tiba....
sreeeet!
Air comberan terpercik tepat ke wajah dan seragam putihnya.
"Ya Allah!" Mita mengusap wajahnya. Jilbab putihnya langsung kotor.
Di depannya, Max sudah ngakak di atas sepedanya, ketawa puas sampai lesung pipinya nongol dan matanya ilang.
"Hahahaha! Rasain! Makan tuh cipratan!" serunya sambil sengaja mengayuh sepeda pelan-pelan biar bisa terus mengejek mita.
Mita mengepal tangan. "Maxxx… awassss kamu!"
Dengan geram, Mita melepas salah satu sepatu hitamnya, lalu melempar ke arah Max. Tapi bocah itu sigap menghindar.
"Ciaatt! Gak kena! Wleee" ejeknya.
Namun, tuukk!
"Ya Allah!" teriak seseorang.
Sepatu itu malah nyasar kena muka Pak Ustad yang kebetulan lewat naik motor Supra hitam. Seketika motor oleng dan…
sruuukkk!
Pak Ustad nyungsep ke pinggir jalan bersama motornya.
Mita langsung terbelalak, kedua tangannya menutup mulut. "Astaghfirullah… gawat ini!"
Ia menoleh ke arah Max. Tapi dasar bocah nakal, Max malah ngacir ngebut sambil teriak
"Pak Ustaaaad! Itu ulah Mitaaaa!"
Mita makin pucat. "Mati aku!"
Sebelum pak ustad bangkit seutuhnya, mita melepas sepatu sebelahnya dan lari kocar kacir "maaf pak ustaddd!"
"Mita!!! Maxwelll!!.... dasar bocah-bocah semprull!"
___
Hay, semuanyaa... Jangan lupa like dan komen, dan tunggu bab selanjutnya...
"Mita!"
Mita menoleh ke belakang. Seorang perempuan berhijab moka berlari kecil ke arahnya sambil membawa map merah. Itu Dinda, guru Bahasa Indonesia di SMA 01 Jati Miring.
"Ada apa, Din?" tanya Mita.
"Ini, tolong sampaikan map ini ke kepala sekolah, ya? Aku nggak kuat, perut mules banget." Dinda langsung menyodorkan map itu sambil menahan perut.
"Iya deh" jawab Mita sambil menerima map.
Begitu map berpindah tangan, Dinda buru-buru lari terbirit ke arah toilet guru. Mita hanya bisa menggeleng pelan, lalu melanjutkan langkah menyusuri koridor menuju ruang kepala sekolah.
"Permisi, Pak" ucapnya sopan dari ambang pintu.
Di dalam, tampak Pak Iwan, wakil kepala sekolah, bersama beberapa guru pria lainnya. Ruang guru di sekolah ini memang dipisah antara laki-laki dan perempuan.
"Eh, Bu Mita. Ada apa?" sapa Pak Iwan dari balik meja.
Mita masuk perlahan dan menyerahkan map merah itu. "Ini titipan dari Bu Dinda, Pak, untuk Kepala Sekolah."
Pak Iwan menerimanya. "Baik, nanti saya kasih ke Pak Adrian. Kebetulan beliau lagi keluar."
Kebetulan ruang kepala sekolah menyatu dengan ruang guru ini, cuman ruangannya agak kecil.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi."
Pak Iwan mengangguk. Mita pun kembali melangkah ke koridor. Sepanjang jalan, beberapa siswa menyapanya dengan sopan, dan ia balas dengan senyum ramah.
Ting! Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk.
Nama Mamak terpampang jelas di layar.
📩
Mamak: Mita, kalau pulang nanti, mamak titip tempe, tahu, sama kelan. Kalau masih ada ikan, beliin tongkol. Kalau nggak ada tongkol, ikan serah aja.
Mita: Iya, Mak. Ada lagi nggak? Nanti kayak biasanya, udah dibeli eh ada yang ketinggalan.
Mamak: Kagak! Udah itu aja.
Mita tersenyum kecil, lalu menaruh ponselnya di atas meja. Pandangannya sempat jatuh pada tumpukan lembar jawaban hasil ulangan biologi kelas XI IPS¹ sebelum otaknya kembali disibukkan dengan pekerjaan.
Ia mengambil botol tumbler berisi teh manis yang dibawanya dari rumah, lalu berjalan menuju kantin sekolah.
"Bude, beli es batu" katanya sambil menyerahkan tumbler ungu itu pada Bude Surti, penjaga kantin.
"Ya ampun, Bu Mita. Berapa kali bude bilang, nggak usah bayar. Wong es-nya cuma seuprit" ucap Bude Surti dengan logat Jawanya yang khas.
Mita nyengir. Tangannya meraih beberapa cemilan di meja. "Kalau gitu, bude hitung sama ini aja, ya"
"Semua enam ribu " jawab Bude Surti.
Mita menyerahkan uang receh dua ribuan, lalu menerima kembali tumbler dan kantong plastik kecil dari tangan bude.
"Makasih, Bude" katanya dengan senyum hangat.
Ia pun kembali ke ruang guru, meletakkan tumbler di atas meja bersama kantong jajan yang barusan dibelinya.
Tangannya meraih sebuah pulpen dari tempat bulat hasil prakarya siswa. Tangan satunya sibuk memegang tumbler, sementara mulutnya menyesap es teh dingin.
"Ahhh… swuegerrr " desah Mita puas, sampai matanya merem-melek sebentar.
Setelah menaruh tumbler di meja, Mita kembali fokus mengoreksi hasil ulangan. Baru beberapa kertas, kepalanya sudah geleng-geleng. Ada yang jawabannya ngaco, ada yang di luar nalar, bahkan ada yang kayaknya nulis sambil piknik di luar angkasa.
"Hadehh… apa pula ini? Pinggang encok?? Ya Allah, siapa sih yang nulis ginian?" Mita meneliti lembar jawabannya. Nama di pojok kertas tertulis Muhammad Akmal.
"Akmal,, Akmal… pinter banget kamu, dari sepuluh soal yang bener cuma satu!" gumamnya sambil mencoret-coret nilai. Kertas itu langsung dipindahkan ke tumpukan remedi.
Belum selesai gregetan, matanya hampir copot saat membaca lembar berikutnya.
"Ya Allah, ya Rabbi… siapa pula yang punya jawaban kayak gini?" ia membalik kertas, "Ismail… oh, Mail…" ucapnya sambil bernada
Mita sampai melongo, lalu menepuk jidat. "Dari sepuluh soal, semua jawabannya manusia purba?! Ya Allah, Mail, otakmu purba kali ya!"
Mita memijat keningnya. Setelah selesai menilai dan memasukkan nilai yang di atas KKM ke dalam buku, ia buru-buru meneguk es teh lagi.
"Hahhh… kepala langsung pusing liat jawaban mereka" keluhnya, lalu meraih roti coklat yang tadi dibeli di kantin. Gigitan demi gigitan habis dalam sekejap.
Tak lama, bel sekolah berbunyi nyaring.
para guru segera berhamburan menuju kelas masing-masing untuk mengajar jam pelajaran keempat.
Mita berjalan di koridor bersama Bu Fatma, guru matematika minat.
Bu Mita, sekarang usianya berapa ya?" tanya Bu Fatma tiba-tiba.
"Hmm, saya dua puluh empat, Bu" jawab Mita sambil merapikan buku pelajaran yang dipeluknya.
"Oooh, berarti sudah mateng jadi istri dong ya" sahut Bu Fatma dengan nada menggoda.
Mita tersenyum kaku. "Haha,, Bu Fatma bisa aja."
"Bu Mita sudah ada yang punya belum?"
Mita dalam hati langsung teriak, Waduh, ada apa dengan Bu Fatma hari ini? Udah kayak intel aja pertanyaannya!
"Eumm… saya masih sendiri, Bu."
Plak! Bu Fatma menepuk buku di tangannya sambil menyeringai.
"Nahhh, kebetulan sekali ini, Bu. Ibu mau nggak sama anak saya? Soalnya anak saya sebentar lagi pulang kampung. Dia dapat tugas ngajar di sekolah kita. Jadi kalau kalian mau PDKT gampang, karena satu sekolah."
Mita sampai bengong. Rasanya baru kali ini ada orang tua nawarin anaknya secara langsung, kayak lagi promosi barang obral di pasar.
Tak lama, Bu Fatma masuk ke kelas X MIPA, meninggalkan Mita yang masih syok di koridor.
"Ah, lupakan aja Mita! Bu Fatma cuma bercanda. Iya, bercanda!" gumamnya sambil geleng-geleng kepala, mencoba menepis pikiran aneh.
Mita melanjutkan langkahnya menuju kelas XI IPS¹. Begitu masuk, murid-murid langsung duduk tegak dan memberi salam serempak setelah ketua kelas memberi aba-aba.
"Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Mita membalas salam, lalu mulai mengabsen nama satu per satu. Setelah selesai, tiba-tiba ada yang nyeletuk.
"Bu, gimana hasil ulangan kemaren??"
Suara itu datang dari Anisa, siswi manis yang duduk di depan.
Mita menarik napas panjang. "Banyak yang anjlok."
"Hah?!" seru murid-murid kompak.
"Bu, perasaan jawaban saya benar semua deh. Saya sebelum ulangan rajin baca buku" protes Akmal dengan wajah polos.
"Benar semua kepalamu, Mal. Dari sepuluh soal, yang betul cuma satu" jawab Mita ketus.
Kelas langsung pecah tawa.
"Bu, yang paling tinggi siapa nilainya?" tanya ketua kelas penasaran.
Mita diam sebentar, menyipitkan mata, lalu menatap mereka satu-satu dengan gaya dramatis. Murid-murid pun menunggu dengan wajah penuh harap.
"Yang paling tinggi…" Mita sengaja menggantung ucapannya.
"Gak ada."
"Haahhh…" kelas kompak menghela napas pasrah.
"Masa nggak ada, Bu?" protes Anisa lagi.
"Iya memang nggak ada. Karena yang paling tinggi itu ada beberapa orang, tapi nilainya hampir sama, cuma beda tipis. Paling mentok 85."
"Siapa, Bu?" Akmal masih kepo.
"Fiqa."
Semua murid langsung menoleh ke arah Fiqa, gadis berkacamata di tengah kelas. Wajah Fiqa langsung merah, antara bangga dan malu.
"Nah" lanjut Mita, "karena banyak yang belum tuntas, jadi hari ini kita remedi. Ibu kasih waktu 30 menit buat baca dan ngintip materi. Cukup halaman 20 sampai 23. Soalnya cuma lima."
"Yeaaahhh…" suara campur aduk, antara lega dan nyesek.
"Nanti kalau sempat, kita juga ada sesi tanya jawab buat nambah nilai. Materinya masih sama kayak ulangan kemarin."
___
Hay jangan lupa like dan komen, dan tunggu bab selanjutnyaa🥰
"Baik, ibu akan sebutkan nama-nama yang tuntas! Ada Alma, Anisa, Fiqa, Rayhan, Jihan, Hendri, Hamzah, Karina, dan yang terakhir Risky!" suara Mita terdengar tegas tapi tetap hangat.
"Sisanya remedi! Tolong yang remedi pindah duduk di sebelah kiri, dan yang tuntas di sebelah kanan."
Setelah memberi instruksi, Mita memberi waktu murid-murid untuk membaca materi. Sementara itu, dirinya tenggelam dengan buku catatan, menulis beberapa soal tambahan untuk sesi tanya jawab.
Waktu terus berjalan. Hingga jarum jam menunjuk pukul setengah empat sore, bel panjang berbunyi menandakan sekolah usai.
Mita masih bertahan di meja guru, memeriksa buku latihan dan lembar ulangan kelas X dan XII. Matanya sampai berkunang-kunang.
"Ahhh…" keluhnya sambil meregangkan badan. Bunyi krek terdengar dari tulangnya.
Melihat jam tangan, Mita buru-buru merapikan tumpukan buku. Setelah semuanya rapi, ia ikut keluar bersama guru-guru lain.
Cuaca di luar benar-benar terik. Untung Mita selalu sedia payung, biar nggak meleleh di jalan.
Sepanjang perjalanan, kebiasaan lamanya muncul yaitu bersenandung kecil. Dari dulu memang begitu, walau suaranya kadang mirip tikus kejepit.
"Tanam-tanam ubi, tak perlu dibaje"
"Orang berbudi, kite berbahase"
"Semarakkan hari ini,,"
"Kite nyanyi ramai-ramaiii"
"Goyang badan, gerak kaki"
"Nyanyikan lagu damaaai"
"hobah!"
Dengan hebohnya, Mita sampai mengibaskan payung bak dirigen orkestra jalanan.
Langkahnya berhenti di lapak kaki lima Mak Jainab. Ia menutup payung, lalu masuk sambil menyapu pandangan ke meja yang penuh tempe, tahu, sayuran, dan bumbu dapur.
"Assalamu’alaikum, Mak Jainab!" sapa Mita riang.
Mak Jainab yang lagi selonjoran sambil merem langsung terlonjak bangun.
"Eh, ya Allah!"
Mita terperanjat. "Astaghfirullah, Mak jainab! Kayak manusia bangkit dari kubur aja."
Mak Jainab buru-buru membetulkan kupluk lusuh yang hampir melorot.
"Ealah, Bu Mita, bikin kaget aja. Nyari apa, Bu?"
"Ada ikan, Mak?" tanya Mita sambil meraih 3 tempe berbungkus daun pisang dan sebungkus tahu putih.
"Mau ikan apaan?" Mak Jainab berjalan ke arah gabus putih tempat ikan berjejer.
"Ikan tongkol, Kalau nggak ada tongkol, ikan sereh aja."
Sambil memilih baby kelan, Mita bergumam, "Biar nggak pusing, beli dua aja deh sekalian."
"Pas banget, masih ada tongkol. Mau berapa kilo?"
"Tongkol sekilo, sereh sekilo."
Sambil menunggu ikannya dibersihkan, Mita menaruh belanjaannya di meja, lalu berjalan ke kursi kayu panjang di lapak. Ia duduk, kipas-kipas wajah dengan tangan, keringat menetes tapi senyum tetap merekah.
"Bu Mita!"
Mita tersenyum sambil melambai ke anak-anak SMA yang menegurnya. Tak lama, Mak Jainab selesai menghitung dan merapikan belanjaannya. Mita menghampiri perempuan setengah abad itu.
"Berapa semua, Mak?" tanya Mita.
"54 ribu" jawab Mak Jainab.
Mita menyodorkan uang pas, mengambil kantong belanjaannya, dan melangkah pulang. Cuaca sudah agak teduh, jadi Mita menutup payungnya.
Begitu sampai di depan rumah, Koh Tion muncul sambil memberi catatan kepada anak buahnya yang sedang menurunkan tumpukan besi dari truk. Toko bangunan milik Koh Tion memang sudah berkembang pesat selama 10 tahun terakhir. Pelanggan datang bukan cuma dari kampung, tapi juga dari kota. Kepandaiannya dalam berdagang dan kegigihan mengelola bisnis membuat harga yang ditawarkan cukup bersahabat. Memang ya, kata orang, orang Tionghoa itu pandai berdagang!
Anaknya, Maxwel Nasution, sudah lama menetap di luar negeri bersama abangnya sejak SMP. Sekarang Maxwel sedang menempuh S2 di Singapura. Koh Tion sendiri biasanya pergi ke Singapura saat perayaan Imlek atau Tahun Baru.
Mita menatap toko besar di depan rumahnya
Ahh, tenang deh, hidup gue sekarang nggak ada musuh bebuyutan lagi gumamnya dalam hati.
"Eh, Mitaaa baru pulang ya?" sapa Koh Tion ramah.
"Iya, Koh."
"Wah, makin laris aja nih tokonya" kata Mita sambil basa-basi.
Koh Tion terkekeh. "Iya, Mit, syukur." Matanya melirik ke kantong belanjaan di tangan Mita. "Baru pulang belanja ya?"
"Eh, iya nih, Koh. Biasa titipan mamak" jawab Mita santai.
"Oh, ya sudah Mit. Koh Tion masuk dulu ya, ada urusan lain."
"Ah, iya, Koh" jawab Mita.
Lelaki setengah abad itu masuk kembali ke toko. Mita masuk ke rumahnya, sementara di dalam toko, Koh Tion merogoh ponselnya dari saku celana. Senyumnya langsung mengembang.
"Halo, Max?"
"Halo, Pah. Papah apa kabar?" suara berat terdengar dari seberang.
"Puji Tuhan, papah sehat. Kamu gimana?"
"Aku baik, Pah. Minggu depan aku wisuda."
Koh Tion tersenyum bangga. "Puji Tuhan, Max! Akhirnya S2 kamu selesai."
"Papah datang kan?" suara Max terdengar setengah menahan tawa.
"Ya pasti dong! Papah pasti datang" jawab Koh Tion semangat.
Selama panggilan berlangsung, Koh Tion tak henti-hentinya tersenyum lebar sambil bercanda dengan putra bungsunya. Bahkan suara tawanya sampai terdengar oleh anak buah yang sedang bekerja.
Sementara itu, Mita kembali ke dapur setelah berganti pakaian santai setelan celana belel dan kaos ukuran jumbo. Tangan Mita sigap membersihkan sayur kelan. Suara minyak di penggorengan berdesir.
Duar!
Suara letupan terdengar dari penggorengan.
"E eh… ya Allah, jangan kena muka cakepku!" Mita mundur sedikit, sambil menahan tawa dan kaget sendiri.
"Lih… gitu aja kaget!" sungut Mak Leha sambil menyesap teh di meja makan.
Mita melirik mamaknya. "Kaget, Mak! Wajar dong, nanti kalau muka Mita kena minyak panas gimana? Bisa kabur orang yang mau ngelamar!"
"Alahhh kamu mau nikah? Tuh sama anak tetangga depan aja, gak usah pusing cari cowok lain! Sekarang gimana kabarnya ya? Pasti makin ganteng kan? Dulu waktu kecil aja ganteng, mirip Lee Minho."
Mita mendelik, bahunya sampai bergoyang. "Lee Minho,,, Lee Minho… mana ada Lee Minho modelnya kaya gitu, usilnya kebangetan!" Mita sampai menggeprek bawang putih dengan kasar.
"Lah, jangan begitu, Mit. Mana tahu jodoh! Kalau kamu jadi mantunya Koh Tion, hidup udah pasti tentram. Pokoknya gak ada drama token listrik ngamuk minta makan!"
"Ihh, sampai kapanpun kagak bakal bisa, Mak! Kami beda agama! Lagi pula Max itu musuh bebuyutan Mita! Ingat itu Mak, MUSUH BEBUYUTAN. TITIK!" Mita membalik ikan di penggorengan dengan ekspresi dramatis.
"Eh, Mitt.. jangan bilang gitu. Kita gak tahu rencana Allah selanjutnya. Siapa tahu kisah cintamu kayak film-film itu tuh…" Mak Leha berpikir sejenak. "Nah ituuu satu amin beda tuhan, ehh? Beda tuhan satuuuu eh, apa, Mit? Mamak lupa!"
Mita menggilir bahu sambil melirik ikan yang sedang digoreng. "Mana Mita tau, Mak. Mita jarang nonton."
"Nah itu, Ayat-Ayat Cinta!" Mak Leha menggebrak meja sambil tertawa kecil.
Mita mendelik, gumamnya hampir tak terdengar, "Jauh amat ke satu amin beda tuhan…"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!