"Anggap saja pernikahan ini tidak pernah terjadi," ujar seorang wanita cantik dengan raut wajah sedihnya. Air matanya berlinang membasahi pipi lembutnya.
Amira namanya, wanita berusia 19 tahun itu tampak begitu marah karena terjadinya perjodohan ini. Orang tuanya memaksa dirinya untuk menikah dengan laki-laki yang masih menjadi keluarganya sendiri. Perasaan kecewa, marah, hancur kini menyiksa batinnya. Bagaimana tidak, ia sudah memiliki kekasih hati, dan kini ia terpaksa harus menjalani pernikahan dengan pria yang sama sekali tak pernah ia cintai.
"Saya juga tidak mau dengan pernikahan ini, tapi mau bagaimana lagi ini adalah keinginan orang tua."
"Terus kenapa kamu gak nolak?"
"Saya hanya ingin bakti pada orang tua. Apalagi Aba yang sedang sakit parah, aku tidak mau membuatnya sedih dan kecewa sehingga membuat kesehatannya semakin memburuk." ujar seorang pria yang kini duduk di ranjang kamar pengantin.
Pria bernama Rayhan yang berprofesi sebagai dokter itu sejak tadi mengelus dadanya mencoba untuk bersabar menghadapi sifat Amira yang sangat kekanak-kanakan. Ia pun tak menginginkan perjodohan ini jika bukan karena orang tuanya. Sebelumnya ia sudah pernah menikah dengan seorang wanita cantik bercadar, namun kisah cintanya berhenti kala sebuah tragedi kecelakaan yang menewaskan istri dan calon bayinya. Rasa cintanya pada mendiang istrinya membuat ia tak berpikir untuk menikah lagi, namun kedua orang tuanya memaksa. Sehingga ia pun tak tega jika harus melawan apalagi sampai menyakiti perasaannya.
***
Amira melangkahkan kakinya menuju mobil berwarna hitam. Matanya tertuju pada pria yang tengah melambaikan tangan padanya di balik kaca jendela mobil. Ia pun membuka pintu mobil itu dengan perasaan sedih.
"Ucapin salam dulu dong, Amira. Masa sama Kakaknya kaya gitu, udah lama gak ketemu lhoo!" Suara bariton pria berumur 28 tahun itu menyapa gendang telinga Amira.
"Assalamualaikum!" Tegas Amira seraya menyalami sang Kakak.
"Nah gitu dong. Kenapa kaya abis nangis?"
"Menurut Kak Rasyid aku kenapa?" Amira mendelik kesal, memutar bola matanya.
"Ya sabar, Mira. Ini buat kebaikan kamu, Ummi dan Abi cuman gak mau kamu salah pergaulan."
"Kalian jahat!" Amira kembali menangis, memalingkan wajahnya ke arah jendela kaca.
Rasyid pun hanya bisa menggeleng pasrah lalu melajukan mobilnya menuju rumah.
Setelah hampir 20 menit perjalanan, mobil pun sampai di salah satu perumahan elit yang berada di kota Bandung. Amira keluar dari mobilnya yang langsung di sambut hangat oleh kedua orang tuanya.
"Abi jahat, Amira masih mau sekolah disana. Abi sama Ummi malah nyuruh Amira buat pulang ke Indonesia." Protes Amira yang langsung menghentakan kakinya dan langsung masuk ke dalam rumah.
Ummi Salma dan Abi Rafiq saling bertatapan. Keduanya menghela nafas, harus mempersiapkan penjelasan yang sebaik-baiknya untuk sang putri.
Amira duduk di sofa dengan mata yang berlinang. Ia menyimpan tas di sebelahnya lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia masih tidak terima ketika di paksa untuk keluar dari Universitas yang dia impikan selama ini.
"Abi melakukan ini semua karena Abi sayang kamu. Abi gak mau putri Abi satu-satunya menjadi rusak karena pergaulan bebas disana. Abi sudah salah mengizinkanmu untuk sekolah disana, dan dari pada Abi menyesal selamanya, lebih baik Abi menghentikannya di tengah jalan." Abi Fariq menghampiri putrinya, mengusap puncak kepala sang anak memberi pengertian.
"Iya sayang, Ummi sama Abi cuman mau memberikan yang terbaik untuk kamu. Kita melakukan ini semua karena kita sayang sama kamu, Nak," sahut Ummi Salma.
"Tapi Amira nggak mau, Amira maunya kuliah disana. Amira nggak mau kuliah di Indonesia!" Amira berkata dengan nada tinggi, membuat semua orang terheran dan semakin melihat perubahan Amira.
"Mau kuliah atau mau pacaran?" celetuk Rasyid pada adiknya. Amira mendongakan kepalanya menatap sang Kakak.
"Pacaran dari mana, Kak? Kalau ngomong tuh jangan ngaco, fitnah aja!"
"Nah liat akibat pergaulan bebas jadinya kaya gini kan. Gak sopan!" ujar Rasyid.
"Lagian kamu ngeselin banget jadi orang. Aku juga tahu kamu kan yang ngomporin Ummi sama Abi buat aku keluar dari kuliah?"
"Astagfirullahalaidzim, jaga bicara mu, Amira. Siapa yang ngajarin bicara gak sopan seperti itu? Dia itu kakak mu!" Abi Fariq menggelengkan kepalanya menatap Amira marah. Amira pun menunduk dan terdiam.
"Tahu tuh, Bi. Semenjak kuliah disana dan kenal sama laki-laki bernama Noah jadi kurang ajar begini. Gak ada sopan santunnya," tutur Rasyid.
Amira terkejut ketika sang Kakak mengetahui nama pria yang menjadi kekasihnya saat ini. Matanya membulat, ekspresi wajahnya tak bisa membohongi semua orang.
"Apa? Kaget Kakak tahu kamu pacaran sama dia? Jangan kamu pikir Kakak gak tahu kamu ngapain aja disana!" Sambung Rasyid.
"Lo mata-matain gue yaa?" Amira menatap kesal sang Kakak.
"Amira!" Teriak Abi Fariq menatap marah Amira. Laki-laki berumur 50 tahun itu berdiri sambil berdecak pinggang. "Bicara yang sopan, dia Kakak mu!"
Untuk pertama kalinya seumur hidup Amira di marahi oleh sang Ayah. Ia pun semakin menangis dan menjauhi tubuhnya dari sang Ayah.
"Bicara yang baik, Nak. Kenapa kamu jadi seperti ini, sayang." Ummi Salma memeluk Amira yang menangis sesegukan. Mencoba memberi pengertian dengan cara yang lembut.
"Abi gak nyangka kamu bakal mengkhianati kepercayaan Abi selama ini. Abi mengizinkan mu kuliah di luar negeri yang mayoritasnya bukan Islam karena Abi percaya padamu. Abi mau kamu menggapai mimpimu dengan berkuliah di Universitas yang kamu impikan selama ini. Meski awalnya ragu, tapi Abi kalah dengan membayangkan betapa bahagianya kamu berkuliah disana. Abi sangat percaya pada putri Abi satu-satunya yang selama ini selalu patuh, baik, dan selalu mengingat Allah. Sangat sopan pada semua orang, lembut tutur katanya dan tak pernah tinggal shalat lima waktu. Tapi sekarang putri Abi berbeda, dunia luar sudah mencemarinya. Dan ternyata Abi salah, kamu mengkhianati kepercayaan Abi. " ujar Abi Fariq.
Amira yang merasa takut pun tak berani menatap sang Ayah. Ia meremas jari-jarinya kuat. Namun ia masih tidak menyangka Ayah yang selama ini selalu lembut dan memanjakannya kini memarahinya.
"Abi akan menjodohkan kamu dengan Rayhan anaknya Tante Asma."
Amira seketika mendongakan kepalanya menatap sang Ayah. Ia mengerutkan keningnya dan menggelengkan kepalanya tak setuju.
"Gak, Amira gak mau nikah dulu, Abi. Amira mau mengejar cita-cita dulu!"
"Tidak ada penolakan, mau gak mau, suka gak suka, kamu harus menikah dengan Rayhan."
"Abi jahat, jadi Amira di suruh balik ke Indonesia karena mau d jodohkan?" Amira berdiri menatap kecewa pada kedua orang tuanya.
"Ini semua demi kebaikan kamu, sayang," Ummi Salma memberikan pengertian.
"Yang sopan kalau bicara sama orang tua, duduk!" Abi Fariq tegas, menunjukan telunjuknya di depan Amira.
Amira pun kini menangis sesenggukan, ia kembali duduk di dekat sang Ibu. Menatap sang Ayah dengan tatapan penuh kesedihan. Ia tidak terima di jodohkan dengan anak dari keponakannya sang Ibu. Ia sudah memiliki tambatan hati, ia mencintai Noah yang saat ini sedang menunggunya.
"Pokoknya Amira nggak mau di jodohkan dengan Mas Rayhan. Dia sudah tua, udah gitu duda lagi!" Amira mengusap air matanya kasar.
"Dia duda karena istrinya meninggal, Amira. Lagi pula umurnya baru 30 tahun, tua dari mananya. Itu bukan tua tapi matang. Cocok untuk kamu yang masih ke kanak-kanakan. Udah jangan menolak, ini keputusan Ummi dan Abi yang pasti baik buat kamu. Rayhan adalah laki-laki shaleh yang bisa membimbing kamu," ujar Abi Rafiq.
"Lagi pula kita sudah mengenal persis Rayhan. Insyaallah dia akan bisa menjadi suami yang baik untuk kamu, Mira. Ini akan lebih memudahkan mu dari pada menikah dengan orang luar," sahut Rasyid.
"Iya, Nak. Kita masih keluarga namun tidak terlalu dekat. Dalam Islam boleh kok, zaman nabi juga banyak yang menikah dengan keluarganya sendiri. Kalau kamu menikah dengan Rayhan, kamu akan bahagia, Nak. Tanten Asma sangat menyayangimu, begitupun juga dengan Om Basir," sahut Ummi Salma.
Amira kini berdiri menatap orang tuanya dan juga Kakaknya, "Pokoknya Amira nggak mau di jodohin. Apalagi sama Mas Rayhan. Apapun alasannya, aku gak akan mau nikah sama dia!"
"Kamu mau milih laki-laki brandalan yang gak jelas asal-usulnya itu hah?" Rasyid emosi, baru kali ini ia melihat adik kecilnya ini berontak dan berani melawan.
"Noah laki-laki baik, Kak. Dia sayang banget sama Amira. Kita udah merencanakan untuk masa depan. Dia mau nikahin aku, tapi tunggu satu tahu lagi setelah dia lulus!" Amira membela diri, ia mencoba memberikan pengertian agar di setujui hubungannya bersama Noah.
"Kamu ini masih anak kemarin sore, Amira. Tahu apa kamu tentang laki-laki dewasa? Dia sengaja bilang gitu sama kamu biar dia bisa manfaatin kamu. Dia laki-laki tidak baik, Amira!" ujar Rasyid.
"Tahu apa Kakak tentang Noah? Jangan so tahu, aku lebih tahu karena aku yang mengenalnya." Amira kembali berbicara dengan nada tinggi.
"Astagfirullah!" Rasyid menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Adiknya ini benar-benar sudah terkena racun.
"Amira bicara yang sopan!" tutur Abi Rafiq.
"Pokoknya aku nggak mau di jodohin sama Mas Rayhan. Aku mau menikah dengan pilihanku sendiri. Titik!"
"Abi, Ummi serta Kakak mu tetap akan menikahkan kamu dengan Rayhan. Setuju atau tidak setuju, keputusan ini tidak akan bisa di ubah. Kami tahu yang terbaik untuk kamu!" ujar Abi Rafiq.
"Kalian jahat!"
Amira menghentakan kakinya berjalan menuju ke lantai atas memasuki kamarnya. Abi Rafiq duduk dengan lemas tak menyangka putrinya akan menjadi seperti ini. Dulu sebelum Amira pergi ke luar negeri anaknya itu selalu menurut apapun yang ia katakan. Tak pernah sekalipun putri kecilnya itu melawan apalagi berteriak di hadapannya. Namun sekarang? Ia sudah kehilangan putri kecilnya yang lugu dan polos.
Sedangkan Ummi Salma hendak mengejar Amira namun Abi Rafiq mencegahnya.
"Biarkan dia tenangin dulu pikirannya!" ujar Abi Rafiq. Ummi Salma pun mengangguk menurut.
"Nak, umur kamu masih sangat muda. Khadijah pun sudah pergi tiga tahun yang lalu. Baba mau seorang cucu sebelum Baba pergi dari dunia ini!" Seorang pria paruh baya berumur 65 tahun itu menatap putra sulungnya penuh harap. Tangannya di hiasi infusan dengan oksigen yang terpasang di hidungnya.
Rayhan menggenggam erat tangan sang Ayah. Perasaannya tak segagah tubuh tegapnya yang saat ini di balut dengan jas putih. Matanya menatap sedih pada kondisi sang Ayah yang selama 3 hari ini di rawat di Rumah Sakit tempat dirinya bekerja.
"Rayhan belum kepikiran menikah lagi, Bi. Khadijah masih terbayang setiap harinya. Rasanya tak tega jika harus menduakannya," ujar Rayhan.
"Sampai kapan kamu belum siap terus, Nak? Kamu butuh keturunan untuk menjadi penerus mu," ujar wanita yang masih cantik di usianya yang sudah menginjak 50 tahun.
"Sampai Allah menyiapkan hati Rayhan, Umma. Insyaallah Rayhan sedang mengusahakannya."
"Tapi umur Baba kayanya gak akan lama lagi. Penyakit jantung Baba makin hari makin parah. Baba mau seorang cucu!" sahut Basir.
Rayhan menghela nafas, sudah setahun yang lalu Umma dan Babanya meminta untuk ia menikah kembali setelah tiga tahun menduda.
"Insyaallah Baba akan panjang umur!" Rayhan menggenggam tangan sang Ayah, memberinya kekuatan dan semangat.
"Baba sudah menjodohkan kamu dengan anaknya Tante Salma dan Om Rafiq!" ujar Basir lemas.
Rayhan memicingkan matanya menatap sang Ayah tak menyangka, "Maksud Baba, Baba menjodohkan Rayhan dengan Amira?"
Basir mengangguk, begitupun juga dengan Asma yang menatap sang anak dengan senyuman penuh harap.
"Iya, Nak. Umma dan Baba mu sudah menjodohkan kamu dengan Amira. Kami semua sudah sepakat dengan perjodohan ini."
"Kenapa gak minta persetujuan Rayhan dulu, Umma. Rayhan belum siap menikah lagi. Apalagi dengan Amira yang umurnya jauh di bawah Rayhan. Amira masih kecil, Rayhan bahkan suka mengasuhnya waktu kecil. Rasanya aneh jika harus menikah dengannya," Rayhan menggeleng tak setuju.
"Umur kalian beda 10 tahun, cukup untuk menikah. Umma dan Baba malahan beda 15 tahun, tapi Rumah tangga kami langgeng dan malah lebih harmonis. Lagi pula Amira sekarang sudah 19 tahun. Cocok untuk menikah di usia perempuan," ujar Asma.
"Maaf, Umma. Bukannya Rayhan membantah, tapi rasanya Rayhan gak bisa."
"Umur Baba sebentar lagi, Rayhan. Baba mau lihat kamu menikah dan punya anak," Tangan Basir semakin menggenggam erat sang anak. Terdapat banyak harap pada putra sulungnya itu.
Rayhan menunduk dalam, ada rasa berat dalam hatinya. Sosok mendiang sang istri yang begitu ia cintai masih membekas dalam hatinya. Sosok yang lembut dan menenangkan masih melekat di jiwanya. Khadijah, wanita yang sangat ia cintai yang sudah pergi meninggalkan jiwa dan raganya selama ini.
"Kasih waktu Rayhan untuk memikirkannya, Umma, Baba."
"Kita sudah sepakat, Rayhan. Jadi tidak ada waktu untuk kamu berpikir lagi. Perjodohan ini tetap akan terjadi. Minggu depan kita langsung mengkhitbah Amira," sahut Asma.
"Allahuakbar!" Rayhan menghela nafas berat, ia mengadahkan wajahnya menatap ke langit-langit. Disisi lain ia belum siap, namun disisi lain juga ia tak mau mengecewakan kedua orang tuanya.
"Tapi, Umma, Baba... "
"Rayhan, Umma dan Baba pasti memberikan yang terbaik untuk kamu. Kami tidak akan menjerumuskan anak sendiri," ujar Asma.
Rayhan menatap kedua orang tuanya silih bergantian. Ia tak tega pada wajah-wajah yang menyimpan banyak harap padanya itu. Kedua wajah yang selalu memberikan senyum kebahagiaan selama ini padanya, dan rasanya ia tak tega jika harus menyematkan kesedihan pada hati mereka.
"Baiklah Umma, Baba, Rayhan setuju dengan perjodohan ini."
Basir dan Asma pun tersenyum lebar. Ia tahu putranya tak pernah membantah sedikitpun perintahnya.
***
"Bi, Amira gak mau keluar kamar dari tadi. Dia belum makan nasi dari pagi. Ummi takut Amira kenapa-napa!" Ummi Salma berada di depan pintu kamar Amira dengan perasaan khawatir. Tangannya menenteng sebuah piring yang berisikan nasi beserta lauknya.
"Sayang, buka kuncinya, Nak. Ummi mau masuk!"
"Amiraa!" ujar Abi Rafiq lembut, tangannya mengetuk pintu kamar sang putri. Rasa bersalah karena telah memarahi putrinya sejak tadi terus menghantuinya.
"Putri, Abi. Buka pintunya, sayang. Maafin Abi yaa, kita bicara dulu sebentar, Nak!" Abi Rafiq kembali mengetuk pintu, namun sang pemilik kamar tidak kunjung membukanya.
"Kenapa, Mi, BI?" tanya Rasyid yang baru saja pulang dari Masjid.
"Adik kamu nggak mau buka pintu dari tadi," ucap Ummi Salma.
Rasyid menghela nafas, ia sudah merasa Amira sangat keterlaluan membuat orang tuanya khawatir.
"Amira buka pintunya atau Kakak dobrak sekarang juga!" Teriak Rasyid, membuat sang pemilik kamar itu langsung membukakan pintunya.
Amira terlihat sedang menangis, matanya merah dan sembab. Wanita berumur 19 tahun itu pun menghindar dan kembali menyusupkan wajahnya di bantal.
Ummi Salma dan Abi Rafiq saling memandang, keduanya duduk di sebelah ranjang Amira. Ummi Salma mengusap punggung Amira, dan Abi Rafiq mencium puncak kepala putrinya.
"Princesnya Abi sedih yaa karena di marahin tadi. Maafin Abi yaa, Abi tadi cuman emosi karena kamu ngeyel dan bicaranya kasar," ujar Abi Rafiq.
"Abi udah gak sayang lagi sama Amira. Abi sekarang jahat!"
"Abi melakukan ini karena Abi sayang sama kamu. Kalau gak sayang Abi akan membiarkan mu terjerumus ke dalam jurang." Abi Rafiq berbicara selembut mungkin.
"Iya, Nak. Abi sama Ummi sayang banget sama kamu. Sekarang makan dulu yaa?" Bujuk Ummi Salma.
Amira menggelengkan kepalanya, "Gak mau, Amira gak mau makan sebelum Abi sama Ummi membatalkan perjodohan ini."
"Yasudah jangan makan aja selamanya. Karena kita gak mungkin membatalkan perjodohan kamu dengan Rayhan," sahut Rasyid dengan melipatkan kedua tangannya di dada.
Mendengar itu Amira semakin menangis. Wanita muda itu tidak terima dengan perjodohan ini. Ia sangat mencintai Noah, pria yang menurutnya sangat tampan dan romantis.
"Abi dan Ummi serta Kakak itu tidak mengekang mu, Amira. Kita ini menjaga mu, kamu harusnya bersyukur punya orang tua yang sangat peduli. Kamu tahu berapa banyak berita di luar sana yang anak perempuannya di perkosa dan di bunuh bahkan oleh pacarnya sendiri. Apa kamu tidak takut? Apa kamu masih menyalahkan Abi sama Ummi karena menjaga mu? Kamu harusnya bersyukur!" Suara Abi Rafiq kini benar-benar tinggi. Amira yang melihat kemarahan sang Ayah kembali menunduk karena takut.
"Kamu harus tahu, sayang. Kamu itu anak perempuan kami satu-satunya. Ummi dan Abi hanya takut kamu kenapa-napa. Kelak kamu akan mengerti ini semua, Nak." Ummi Salma menangis terisak. Abi Rafiq mengusap punggung sang istri menguatkannya.
"Sudah, Mi. Biarkan saja dia, ayo kita keluar!" ketus Abi Rafiq mendidik.
"Minggu depan Rayhan akan datang mengkhitbah mu!" timpal Rasyid sebelum akhirnya pergi meninggalkannya.
"Apa?" Amira semakin frustasi.
Sudah enam hari Amira berada di Indonesia, namun ia belum pernah keluar rumah. Ia sudah sangat jenuh dengan rutinitas yang sama setiap harinya.
Hari ini ia berencana untuk bertemu dengan teman-temannya di salah satu cafe. Ia sudah bersiap dengan pashmina berwarna coklat tua yang menghiasi wajah cantiknya. Tak lupa ia memanjangkan pashmina itu menutupi dada, dari pada ia harus kena marah Abi dan Umminya lagi karena kala itu berani keluar tanpa jilbab lebar. Apalagi Kakaknya yang sangat sangat posesif.
Amira mengayunkan langkahnya menuju lantai bawah dimana kedua orang tuanya dan juga sang Kakak sedang santai di ruang keluarga. Dengan menyiapkan hati Amira melangkahi satu persatu anak tangga dengan harapan semoga mendapatkan izin untuk keluar rumah sendirian.
"Abiii!" Amira menghampiri sang Ayah lalu menghambur ke pelukan pria bertubuh tegap itu.
"Mashaallah, anak Abi udah cantik ini." Abi Rafiq mengelus pipi Amira. Kekesalannya terhadap sang anak hanya bertahan sebentar saja. Rasa sayangnya mengalahkan segalanya. Apalagi pelukan hangat dari putri kecilnya yang selalu melemahkannya.
Amira mencium pipi sang Ayah dengan senyuman yang sangat merekah di pipinya.
"Hati-hati, Bi. Kalau lagi bersikap manis gitu biasanya ada maunya!" Celetuk Rasyid seraya memegang stick PS di tangannya. Ummi Salma tertawa kecil mendengarnya.
Sedangkan Amira memutar bola matanya malas, ia tak menghiraukan ucapan sang Kakak posesif sekaligus nyebelinnya itu.
"Abi ganteng deh, Amira sayang banget sama Abi tau." Amira mengeratkan pelukannya. Membiarkan kepalanya bersandar di dada bidang sang Ayah.
"Abi lebih sayang sama kamu. Meskipun akhir-akhir ini kamu agak nyebelin, tapi rasa sayang Abi terus bertambah setiap harinya!" ujar Abi Rafiq, Amira mengerucutkan bibirnya.
"Mau kemana udah rapih gini, Nak?" tanya Ummi Salma yang sedang ngemil di sebelahnya.
"Heheheh!" Amira tersenyum lebar, "Amiraa mau ketemu sama temen-temen SMA, Mi, BI. Boleh yaa?"
"Tuh kan kata Kakak juga apa, Amira pasti ada maunya!"
"Ishhh," Amira mendelik kesal.
"Lhoo padahal hari ini Ummi rencananya sama Abi mau ngajak kamu ke Rumah Sakit," ujar Ummi Salma.
"Emang siapa yang sakit, Mi?"
"Itu Om Basir Ayahnya calon suami kamu, beliau sakit jantungnya kambuh lagi. Baru aja hari ini abis Dzuhur Ummi mau kesana. Kamu harus ikut yaa?"
Amira menghela nafas mendengar kata calon suami. Rasanya ia ingin muntah mendengar kata menjijikan itu.
"Yaahh, Ummi kenapa gak bilang dari tadi sih. Amira udah janjian sama temen-temen!"
"Lhoo Ummi udah pesen sama Kak Rasyid buat ngasih tahu kamu!"
"Gak ada tuh, Kak Rasyid gak ngasih tahu aku, Mi."
"Hehe, maaf lupa, Mi!" Rasyid menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Eeuuhh, nyebelin banget sih!" Amira menatap sang Kakak kesal.
"Yaa maaf!"
"Maaf, maaf!" Kesal Amira.
"Yasudah, kalau bisa undur dulu aja yaa sayang ketemuan sama temen-temennya. Abi kasih bonus boleh deh pergi sendirian tanpa di temenin Kak Rasyid keluarnya. Asal hari ini kamu ikut ke Rumah Sakit, gimana?" Abi Rafiq menatap putrinya penuh kasih sayang.
"Ya udah deh, Bi. Tapi janji yaa besok Amira boleh pergi sama temen-temen sendirian?"
"Iya boleh, asal cuman dua jam!"
"Ih masa... "
"Mau ngga?"
"Iya-iya deh!"
Amira akhirnya menyimpan tasnya disana, ia pun tiduran di atas paha sang Ayah sambil memainkan handphonenya. Tak apalah ia tidak jadi main hari ini, yang penting besok bisa main sendirian tanpa di temani sang Kaka.
***
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam warahmatullah!"
Amira mengikuti kedua orangtuanya yang kini memasuki kamar VVIP di salah satu rumah sakit. Amira membawa parsel yang berisikan buah-buahan lengkap di dalamnya.
Disana terdapat Rayhan yang tengah memeriksa sang Ayah. Pria matang itu menunduk menjaga pandangannya. Sedangkan Amira menatap jengah pada pria berumur 30 tahun itu. Dulu ia masih ingat laki-laki itu selalu mengajak main dirinya ketika ia masih kecil, namun entah mengapa kini ia menjadi sebal seketika saat tahu ia akan di jodohkan dengan Rayhan.
"Om, Tante!" Amira bersalaman dengan kedua Om dan Tantenya yang sangat menyayanginya sejak dulu. Ia sangat akrab dengan keduanya. Hanya saja setelah dewasa ia dan Rayhan menjadi tidak terlalu dekat karena pertemuan yang sangat jarang.
"Sehat, Nak?" Asma memeluk Amira penuh kasih sayang. "Duuhhh, rindu banget Tante sama kamu."
"Alhamdulillah, Tante. Amira sehat. Tante gimana kabarnya?" Amira tampak bahagia, Tantenya ini sudah ia anggap seperti Ibu keduanya.
"Tante sehat, sayang."
Asma begitu sumbringah, bagaimana tidak, keluarga yang begitu ia sayangi kini akan menjadi mantunya sendiri.
"Tante sombong, sekarang jarang ajak Amira lagi ke Mall."
"Kamu kan sibuk terus, apalagi pas di luar negeri. Duuhh, sampe Tante sungkan nelfonnya takut lagi sibuk terus."
"Hehe.... Sekarang ngga dong, Tan."
"Kapan pulang dari Paris, Nak?" sahut Basir. Amira pun mendekati pria paruh baya itu dan berdiri di sampingnya.
"Hari Minggu, Om." Amira tersenyum sopan, "Om yang sehat lagi yaa. Jangan sakit terus!"
"Iyaa, Om pasti sehat. Nanti kan bakal duduk dampingin kamu dan Rayhan di pelaminan."
Uhuk uhuk
Rayhan yang sedang meneguk air putih pun tiba-tiba tersedak, ia mengatur nafasnya lalu menyimpan gelasnya di atas meja.
Semua mata tertuju padanya, pria berwajah tampan dan kalem itu nampak terlihat sekali salah tingkahnya.
"Maaf!" ujarnya.
"Udah salaman belum kalian?" tanya Ummi Salma dengan senyuman hangat. Ia adalah orang yang paling semangat dalam ide perjodohan ini, karena ia akan besanan dengan keponakannya sendiri.
Amira terdiam, ia memalingkan wajahnya dari Rayhan dan pura-pura tak mendengar ucapan sang Ibu.
"Mmm... " Rayhan terlihat salah tingkah. Entah kenapa ia menjadi secanggung ini. Padahal dulu ia hanya menganggap Amira sebagai anak kecil yang selalu ia ajak jajan jika sedang kumpul keluarga. Dan setelah tiga tahun tidak bertemu, akhirnya ia bertemu kembali dengan Amira yang sudah dewasa seperti ini.
Ia masih ingat dulu sering sekali main di Playground bersama dengan Amira. Mengantarnya belanja mainan wanita, juga memainkan rambutnya yang panjang dan kecoklatan. Tak di sangka, kini ia akan menikah dengan wanita kecil ini. Rasanya bagaikan mimpi.
"Maklum, Dek. Mungkin mereka udah jarang ketemu!" Celetuk Asma.
Semua orang pun tertawa kecil, membuat Rayhan semakin salah tingkah, sedangkan Amira semakin mendelik kesal.
"Nanti juga mereka bakal terbiasa," sahut Abi Rafiq.
"Nggak nyangka yaa kita bakal jadi besan," timpal Basir.
Kedua pria paruh baya itupun tertawa bahagia.
"Bagaimana kabar mu, Amira? Sudah lama tidak bertemu!" ujar Rayhan akhirnya mengasongkan tangannya.
"Baik!" Amira menyalami pria di depannya dengan senyuman yang di paksakan.
Hai teman-teman, jangan lupa untuk vote dan komennya yaa...
Terimakasih banyak❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!