“Nara, sayang...Bangun, jangan tinggalin Mami, sayang... Naraa..” seorang wanita paruh baya berurai air mata mengguncang tubuh putrinya yang terbaring lemah di brankar dorong. Tangannya bergetar mengusap darah yang memenuhi kepala putrinya, hingga terlepas saat brangkar itu masuk ke ruangan gawat darurat.
“Pi, anak aku pi.... Nara.. Tolongin Nara, pi, tolongin!!” Tubuhnya ambruk dalam pelukan sang suami yang sejak tadi terdiam.
“Dia anak yang kuat, Mi.. Dia pasti bangun, dia gadis kecil kita yang kuat..” Tetes air mata jatuh begitu saja setelah sejak tadi berusaha dia bendung. Kedua pasangan itu saling menguatkan satu sama lain di depan ruangan anaknya.
Tap
Tap
Tap
Terdengar langkah kaki di lorong, sontak keduanya beralih melihat seorang pria yang datang dengan stelan jas lengkap, langkahnya sangat cepat, air mata yang berurai jelas, juga wajah penyesalan dan rasa bersalah tergambar.
“Ba.. Bagaimana dengan istri saya, Pa?” tidak ada yang baik-baik saja. Aaron Wiranda, direktur perusahaan cabang Evander grup, yang merupakan suami dari Nainara Evander kini berdiri lemas di sana.
Plak!
Plak!
Dua tamparan keras melayang di pipi pria itu, tamparan yang berasal dari tangan besar Jordan Evander.
“Kenapa menjadi suami saja kamu tidak becus! Brengsek!!” raung Jordan, wajahnya merah padam.
Bugh!!
Satu hantaman keras melayang, membuat sudut bibir Aaron pecah.
Amarah seorang ayah yang begitu menyayangi putrinya, tentu saja akan menyalahkan orang yang berada di dekat putrinya sekarang.
“Di mana? Di mana janji kamu yang katanya akan prioritasin putri saya, hah? Kenapa untuk menjaganya saja kamu tidak bisa, dasar pria sialan, tidak tau di untung!”
Bugh!!
Lagi dan lagi, Jordan benar-benar melampiaskan rasa sakitnya pada sang menantu yang kini hanya tertunduk dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya akibat pukulan beruntun itu dari sang mertua.
“Maaf Pi... Maafkan Aaron yang tidak bisa menjaga Naina, maafkan Aaron, Mi..” pria itu berlutut di hadapan kedua orang tua tersebut, wajahnya penuh penyesalan.
“Brengs—“ saat kaki Jordan hendak kembali melayang untuk menendang sang menantu, Mami Audrey menahannya dengan pelukan. Wanita itu menggeleng pelan, menatap sang suami lama.
“Kita tidak bisa menyalahkan dia, ini kecelakaan sayang, tolong jangan buat ini semakin runyam, fokus saja ke Nara sekarang!” ujar wanita itu berhasil membuat Jordan tak berkutik.
.
.
.
Dua jam lebih mereka duduk di depan ruangan Naina, kini beberapa dokter keluar dari sana.
“Keluarga pasien atas nama Nainara?”
“Saya ayahnya dok,” jawab Jordan cepat mendekati dokter itu. Begitu pun dengan Aaron dan Mami Audrey. Mereka menatap cemas, apalagi wajah sang dokter tidak tertebak.
“Bagaimana kondisi putri saya, dok? Dia baik-baik saja kan? Tidak ada luka serius kan, dok?” pertanyaan dari Mami Audrey, air matanya kembali jatuh membasahi pipi.
Dokter itu tak segera menjawab, dia menghela nafas panjang, lalu “ kondisi pasien dalam keadaan kritis, Nyonya.” Ucap sang dokter akhirnya, sorot matanya sayu.
“Ap… apa maksud dokter? Maksud dokter Nara masih bisa diselamatkan, kan?” suara Audrey bergetar, tubuhnya mulai melemas, beruntung Jordan cepat menopangnya.
“Kecil kemungkinan, pasien terlalu banyak kehilangan darah, dan benturan di kepalanya begitu parah, saat ini kita hanya bisa berharap agar keajaiban itu bisa ada, dan—“
“Selamatkan putri saya dok, tolong! Berapa pun biayanya, yang terpenting putri saya selamat, tolong dokter!” kalimat penuh permohonan dari Jordan. Sang dokter hanya menepuk pundaknya sekilas, “do’akan yang terbaik, Tuan,” ujarnya lalu pergi dari sana. Sebelum menjauh, Aaron sempat menghentikan langkah sang dokter.
“Apa sudah boleh masuk ke ruang pasien, Dok?” Tanyanya pelan.
“Tidak untuk sekarang, mungkin nanti setelah pasiennya di periksa kembali,” Hanya anggukan kecil, Aaron menghampiri Mami Audrey, ikut memapah wanita paruh baya itu untuk duduk di kursi tunggu.
Dretttt...
Drett...
“Mami tunggu di sini sebentar, aku angkat telepon dulu!”
.
.
Malam hari, suasana dalam ruangan Naina sangat sepi. Bunyi peralatan medis serta bau antiseptik menguar jelas. Wanita dengan wajah yang tampak di penuhi alat-alat medis di tubuhnya terbaring lemah. Sementara di sisi lain, di sebelah ranjang, berdiri wanita yang sama, menatap tubuhnya yang berbaring di sana.
“I... Ini aku? Apa yang terjadi?” Dia mematung, heran sendiri. Tangannya bergerak untuk menyentuh, tapi pergerakannya urung saat mendengar suara pintu yang terbuka. Wajah wanita itu tersenyum sumringah, dia berlari pelan, “Sayang, kamu datang?” ujarnya semangat hendak memeluk tubuh tinggi tegap itu, tapi pria itu tidak peduli dan tidak menganggap kehadirannya.
“Sayang, ini aku, haloooo..” dia kembali mencoba untuk membuyarkan pria di depannya, namun lagi-lagi tidak di gubris, hingga wanita itu sadar bahwa sekarang itu mungkin adalah jiwanya yang tak terlihat.
“Nainara Evander,” suara itu pelan, membuat jiwa Naina tertegun. Untuk pertama kalinya sang suami memanggilnya dengan nama lengkap. Haruskah dia senang sekarang? Dan lagi, ini pertama kalinya juga dia melihat Aaron dengan wajah sembab yang bisa dia pastikan karena menangisi dirinya.
“Wanita bodoh, naif, dan tak tau diri!” Seketika wajah Naina terpaku, saat melihat Aaron tersenyum smirk, lalu mengusap wajahnya kasar.
“Kamu terlalu ikut campur akhir-akhir ini, juga terlalu curiga, sayang.. Hahahah” tawanya menggema, dia mendekat ke arah ranjang, memperbaiki rambut Naina sekilas.
“Kamu tahu, aku sudah cukup nyaman dengan Naina yang bodoh, yang bisa di atur semua ku..” pria itu mendesah pelan, menatap wajah Naina sangat lama.
“Tapi entah siapa yang meracunimu satu tahun terakhir, hingga kamu mulai curiga dan pintar sedikit, katakan siapa yang mengajarimu sampai berani sadap ponselku, hmm?” pria itu meremas kuat tangan Naina, berbicara seorang diri tanpa ada tanggapan.
“Kalau aku terus membiarkanmu hidup, posisiku akan berbahaya, jadi.....”
“pria sialan, to-tolong jangan.... Jangan lakukan itu, aku masih mau hidup, Aaron!” meski dia berteriak histeris dan berusaha menggagalkan rencana Aaron yang hendak mencabut beberapa peralatan yang terpasang di tubuhnya, tapi semua itu sia-sia karena Naina tak di dengar juga tak bisa melawan. Wanita itu menangis dan terus menyumpahi Aaron, hingga saat selang oksigen nyaris terlepas, dering ponsel Aaron menghentikan aksi pria itu.
“katakan!” suaranya begitu dingin, tapi ada senyum sinis dan puas bersamaan di sana.
“Lakukan sekarang, dia orang tua itu baru saja keluar dari rumah sakit menuju ke rumah. Dan rencananya mereka akan kembali beberapa jam lagi untuk berjaga di rumah sakit.”
“.......... “
“Lakukan pekerjaan kalian, buat itu seolah-olah kecelakaan, dan pastinya tidak boleh meninggalkan jejak sedikit pun, paham!” tegas Aaron memerintah. Jantung Naina nyaris copot mendengarnya. Dia paham dan sangat mengerti maksud dari pria itu. Astaga, dia benar-benar memelihara iblis selama ini.
Tangisan Naina pecah, dan tanpa pikir panjang, dia keluar dari ruangannya, berencana menghentikan niat yang Aaron rencanakan.
“Tidak, tolong jangan mereka...” Tangisnya, berlari sekencang mungkin di jalanan yang sangat ramai.
Hingga malam yang dingin, di sebuah jalan yang masih rame di jam segitu, sebuah mobil yang tidak asing di pandangannya menghantam keras pembatas jalan, menabrak beberapa mobil lain di depannya, dan terguling beberapa kilometer dari tempat kejadian.
Iya, jiwa Naina menjadi saksi mata bagaimana tragisnya kecelakaan yang di alami kedua orang tuanya malam itu. Wanita itu syok, dadanya seakan di remas, Nafasnya tercekat, dia berjalan pelan menghampiri mobil yang sudah hancur dengan asap yang mulai mengepul. Naina mundur beberapa langkah, memegang dadanya kuat sembari menangis pilu, kepalanya pening, dan perlahan tubuhnya mulai ambruk dan—
“Tidakkkkkkkkk..... Jangan tinggalin Nara, Mi.. Pi. Bangun..”
“Kak, bangun! Kakak!”
Suara itu terdengar jauh, menggema di antara tangisan Naina. Tubuhnya terasa berat, napasnya sesak, sampai kemudian percikan air dingin menghantam wajahnya.
“Jangan... jangan ambil kedua orang tua Nara…” isaknya masih lirih.
“Ih, apaan sih? Gak jelas banget! Kakak, bangun, kamu telat ke sekolah!”
Mata Naina terbelalak. Ia mendongak dengan napas memburu. Bukan di jalan, bukan di rumah sakit. Kini ia berada di sebuah kamar mewahnya saat masih SMA. Di depannya berdiri seorang cowok menatap aneh ke arahnya.
“Nathan... "
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Iya, ini Nathan adek paling ganteng se-dunia, kenapa? Terpesona ya?” Anak itu menyeringai lebar, berujar penuh bangga dengan suara khas remaja 15 tahun.
Nainara mengerjap matanya berulang kali, jantungnya berdegup tak karuan. “N-Nathan?” gumamnya nyaris tak terdengar. Dia bahkan mencubit pipinya sendiri dengan keras.
“Aihhhhhh! Sakit!” serunya, terkejut tapi juga terharu. Air matanya tiba-tiba menggenang. Astaga... ini bukan mimpikan?
“Ka-kamu bisa melihat kakak? Ta-tapi kenapa wajah kamu masih seperti bocah? Dan lagi kamu–kamu bukannya di luar negeri, ka—“
“Apaan sih kakak aneh banget tau gak! Ngelantur ngomongnya, pake di tanya bisa lihat lagi, di kira Nathan buta apa?” Nathan mendengus, lalu tergelak kecil. “Dan apa tadi katanya Nathan kayak bocah? Ya.. yang benar aja sih kak, anak SMA tampan dan sepopuler juga cool gini di bilang bocah, dasar!!. Sejak kapan Nathan ke luar negeri? nanti lah saat kuliah baru ke sana,” ujar Nathan penuh semangat.
“Eh tapi kakak kenapa sebenarnya? Kenapa wajahnya kayak plonga plongo tak jelas? Ada yang salah kah? Oh atau kesadaran kakak masih belum sepenuhnya? Aku saranin ya kak, sekarang kakak pergi mandi sana! Nanti telat kan nggak lucu!” perintah Nathan sembari menarik tangan Nainara untuk segera bangun dari ranjangnya.
Plakkk!!
“Sakittttt kak... Gila bangun-bangun main pukul, KDRT itu namanya ya, aku lapor Mami sama Papi, mati nanti!” teriak Nathan lagi dan lagi menggema di telinganya. Teriakan manja yang selalu dia dengar saat masih remaja.
“I.. Ini aku benaran kan Nathan? Oh god.. Mana ponsel kakak?” gegas tangannya bergerak cepat mencari ponselnya. Ponsel jadul yang cukup trend di jamannya.
“14 februari 2014, ini serius tahun 2014 apa ya? Atau kakak aja yang belum atur tanggal, tapi ini ponselnya, iya ini ponsel aku dulu,” Naina tersenyum lebar, memeluk ponselnya erat.
“Apaan sih 'dulu-dulu'. Itu ponsel baru kakak yang di beli satu minggu lalu, lupa?”
“Haisssss,” Naina sontak bangkit, melempar selimutnya ke sembarang arah, lalu berlari ke depan meja rias.
Kedua matanya terbelalak, “I... Ini wajahku saat masih SMA? A.. Aku tidak jadi mati, aku... Aku tidak jadi mati? Akhhhhhhhhhh aku tidak jadi mati... Tapi kok aku muda lagi?”
Nathan langsung menengadah, mengangkat kedua tangannya dramatis ke atas. “Ya Tuhan, tolong bantu kakakku ini. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya pagi ini, sampai kelakuannya jadi kayak orang linglung begini.” Ia lalu mendesah sebal, tapi bibirnya tersungging geli. “Tapi Tuhan, tolong cepat sadarkan dia, karena sebentar lagi telat sekolah. Kalau mau gila, nanti aja setelah pulang.”
Dengan cekatan, Nathan meraih handuk dan menjatuhkannya ke pundak Naina. “Ayo mandi!” serunya, sebelum tanpa basa-basi menyeret kakaknya ke kamar mandi.
Brakkkk!
Pintu menutup keras.
“Mandi, Kak. Sepuluh menit nggak turun, aku tinggal duluan! Byeee!” teriak Nathan dari luar, meninggalkan Naina yang masih sibuk menjerit-jerit di balik pintu kamar mandi, tidak percaya dengan kenyataan barunya.
.
.
Dengan riang, gadis itu bersenandung menyambut pagi barunya yang terasa berbeda. Iya, kembali muda lagi. Nainara masih belum percaya sepenuhnya dengan hal ini. Gadis itu sudah rapi dengan seragam sekolah melekat di tubuhnya.
Matanya bergerak liar, hingga berhenti menatap sebuah pigura yang terpajang di dinding kamarnya.
“Setan…” desisnya pelan, kemudian melangkah pelan mendekat. Jemarinya bergetar saat menyentuh pigura itu, lalu tanpa pikir panjang—
brakkkk!
benda itu menghantam lantai, kaca pecah berhamburan.
Naina menunduk. Di antara serpihan kaca itu, ia melihat bayangan wajahnya sendiri yang muda, matanya merah menahan amarah. Senyum getir tersungging di bibirnya.
“Kamu iblisnya…” suaranya pecah, penuh kebencian. Ia meraih foto itu, merobeknya kasar hingga serpihan kertas berjatuhan. Satu sobek, dua sobek, sampai wajah pria itu lenyap, hancur di tangannya. Tidak hanya satu, semua foto yang tertempel di dinding kamar ikut dicabut, diremukkan, dirobek hingga berserakan.
Pria itu… pria yang dulu ia cintai buta, pria yang mengikat seluruh hidupnya dalam racun manis bernama cinta, namun kali ini berbeda.
Naina menarik napas panjang, tangannya terkepal kuat. “Jika benar ini kesempatan kedua… aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku lagi.”
setiap kalimat yang terlontar terdengar lirih, tapi matanya berkilat tajam, seolah sedang mengucap sumpah pada dirinya sendiri.
...----------------...
Naina kembali meraih ponselnya. Kali ini, hatinya benar-benar ingin mendengar suara kedua orang tuanya yang sedang berada jauh di Paris. Jemarinya bergetar menekan tombol panggil. Satu kali, dua kali, hingga di dering ketiga baru sambungan itu terangkat.
“Halo, sweetie…” suara serak penuh kasih sayang menyapa dari seberang. Seketika, air mata Nainara luruh. Ingatan tentang tabrakan yang pernah menghantam kedua orang tuanya kembali berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
“Halo, Nara? Masih di sana?” suara lembut Maminya menyusul. “Ada apa sayang menelpon Papi dan Mami jam segini? Di sini sudah jam dua belas malam, loh.”
Tangis Nainara pecah. Isak tertahan membuat suaranya tercekat. Tangannya yang gemetar nyaris menjatuhkan ponsel dari genggamannya.
“Nara… hei, are you okay, sweetie? Kamu menangis, hmm?” suara Papi semakin khawatir. “Ada apa? Boleh cerita sama Papi, ya?”
“Pi… Mi…” suara Nainara tertahan di tenggorokan. Bahunya bergetar hebat hingga akhirnya tubuhnya terjatuh lemas di atas ranjang.
“Iya, sayang. Ada apa? Nainara mimpi buruk semalam?” suara lembut itu terdengar penuh kekhawatiran.
Nainara menggeleng pelan meski orang tuanya di seberang sana tak bisa melihat. Ia mengusap air matanya dengan gemetar, lalu memaksakan senyum getir. Rasa campur aduk menyeruak di kepalanya, Bahagia karena masih bisa mendengar suara Papi dan Maminya, tapi juga ketakutan yang menusuk dari kejadian semalam… kejadian di masa depan yang membuatnya tak sanggup berhenti gemetar.
"Papi sama Mami di sana baik-baik saja kan? Papi dan Mami sehat kan? Nara kangen Papi, kangen Mami juga.." kalimat yang begitu pilu.
"Sayang, kami baik-baik saja, hmmm. Minggu depan Papi sama Mami pulang, kamu senang?" suara Papi menenangkan, lembut penuh sarat rindu. Nainara mengangguk semangat sembari mengusap matanya yang sudah sembab.
"Iya, pulang ya Pi, Nara tungguin. Kangen banget,"
"Iya sayang, Papi sama Mami juga sangat kangen. Tunggu ya, seminggu lagi.."
“Iya…” suara Nainara lirih, masih serak oleh tangis.
“Oke. Tapi ini… Nara tidak ke sekolah, kah?” tanya Mami tiba-tiba, nadanya setengah menggoda.
“Ya Tuhan!” Nainara langsung menepuk jidatnya cukup keras. Matanya melirik ke layar ponsel, jam sudah menunjuk lewat pukul tujuh.
Suara bising motor bercampur dengan teriakan Nathan yang menggema dari halaman rumah, “Kak Nainaaaaaaa! Telat ini! Lama banget sih, dibilang sepuluh menit tadi kok malah tiga puluh menit!”
“Aduh, benar juga. Pi, Mi, Nara berangkat ke sekolah dulu ya. Duh, terlambat ini! Nara tutup teleponnya ya… sayang Papi juga Mami, dadahhh!” katanya terburu-buru, jari-jarinya gemetar menekan tombol end call.
Tanpa sempat merapikan rambutnya yang masih agak berantakan, gadis itu berlari menuruni tangga. Perutnya kosong karena belum sarapan, tapi dia tak peduli. Sesampainya di halaman rumah, matanya langsung mencari-cari mobil keluarga.
“Pak… Pak Agi, Nara berangkat nih!” teriaknya sambil mengangkat tas.
“Di sini, Kak! Naik motor aja, kita telat kalau pakai mobil!” balas Nathan sembari menepuk-nepuk jok motornya dengan wajah sengit.
Nainara membelalak. “Yang benar saja, Nathan! Masa pakai motor?!”
“Dih, kalau nggak mau ya udah, aku tinggal!” sahut Nathan, pura-pura menyalakan mesin.
Nainara mendengus, kakinya sudah melangkah maju. “Iya, iya, tunggu! Dasar adik tengil!”
Dengan setengah hati, Nainara akhirnya duduk di jok belakang motor. Dia menatap Nathan dengan tatapan tajam.
“Pelan-pelan ya, jangan ngebut! Kakak nggak mau mati lagi gara-gara motor kamu.”
Nathan menoleh sekilas, alisnya bertaut, “Apa lagi sih, Kak? Baru juga naik udah ngomong mati-mati. Santai aja bro, aku jago kok!”
“Jago apanya, dasar bocah!” dengus Nainara, memeluk erat tasnya.
Mesin motor menyala, Nathan menarik gas dengan semangat, membuat tubuh Nainara terhentak ke belakang. “Nathaaaan! Aku bilang pelan! Kalau jatuh gimana?!”
"Hahahahha, dasar penakut,"
Sepanjang jalan, Nainara berkali-kali berteriak kecil tiap motor melewati polisi tidur atau belokan tajam. Orang-orang yang mereka lewati sampai menoleh heran.
“Kyaaaaa, Nathaaaan! Hati-hati!!”
“Ya ampun Kak, malu banget tau nggak?! Orang-orang pada liatin kita! Kayak aku lagi boncengin nenek-nenek aja rasanya!”
“Kurang ajar kamu yaaa!” Nainara langsung menepuk helm adiknya, sementara Nathan hanya tergelak puas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Angin pagi menyapu wajah Nainara sepanjang perjalanan dengan motor Nathan. Gadis itu hanya bisa menggerutu pelan, menyesali keputusannya naik motor. Rambutnya yang tadi sempat dia rapikan sekilas, kini berantakkan lagi di terpa angin.
Memasuki gerbang SMA Cakrabuana, telat sedikit saja, Motor Nathan nyaris tak bisa masuk.
“Tuh kan kak, andai tadi pakai mobil, kita belum sampai tau!” ujar Nathan tersenyum sombong. Nainara hanya mendengus kesal, merapikan rambutnya kembali. Di depan sana, suara ramai para siswa-siswi menyambut. Beberapa melambaikan tangan ke arah Nathan, seolah kedatangannya menjadi pusat perhatian.
“Serius deh, kalau ini hari pertamaku sekolah lagi, kenapa rasanya kayak mimpi buruk?” guman Naina pelan sebelum kakinya menapak di halaman sekolah untuk pertama kalinya setelah.... Kembali muda.
Nainara menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di sekelilingnya, kerumunan siswa bergerak cepat, beberapa sibuk ngobrol, beberapa lagi menatapnya dengan penasaran. Dia merasa seperti orang asing yang tiba-tiba dilempar ke dunia yang familiar tapi berbeda.
“Nainaaaaa, sayang....” suara riang memanggil namanya dari belakang. Zora Eveline, sahabatnya berlari kecil, memeluk punggung Nainara dengan semangat, “Hei-hei, kamu telat banget, sayang. Mana adeknya datang-datang buat heboh orang-orang. Bisa nggak kamu bilang ke dia untuk kurangin kadar gantengnya? Sumpah ya, tuh bocah buat jantung orang mompa cepat tiap hari, gilaaaa!” seru Zora, bisa di bilang dia salah satu penggemar berat Nathan.
Nainara menelan ludah, napasnya terasa tercekat. Matanya tak lepas dari Zora, sahabatnya yang ceria itu. Bayangan masa lalu—atau mungkin bisa di bilang masa depan tiba-tiba muncul di pikirannya, dimana Zora yang jatuh dari lantai lima sekolah saat hari kelulusan mereka, suara gemuruh yang membuat tubuhnya menegang, serta rasa takut yang membekas begitu nyata pagi ini.
Zora mengernyit, menyadari tatapan Nainara yang berbeda, “Eh… Naina? Kamu kenapa? Kamu terlihat… aneh,” gumamnya, ragu-ragu.
"Zora..." panggil Naina pelan, matanya berkaca-kaca, lalu tanpa ragu dia membawa tubuh Zora ke dalam pelukannya. Erat, seolah waktu berhenti, membawa keheningan dan rasa aneh yang tergambar jelas dari wajah Zora.
"Kamu kenapa sih, sakit? tapi gak panas kok," tangan Zora nempel di kening Naina, memastikan gadis itu sakit atau tidak.
"Ihhh, aku baik-baik saja ya!"
"Lagian datang-datang peluk, mana mau nangis lagi. Kenapa? kangen ya sama sahabat cantik ini? ya wajar sih, wajah aku kan mampu buat orang kangen, eaaa." Zora terkekeh pelan, "Lagian kamu seperti orang gak waras, tumben meluk," sambungnya lagi, kemudian menarik tangan Naina, "Masuk kelas, yuk!"
Naina hanya mengangguk cepat, langkah kakinya pelan namun pasti, sambil merasakan keramaian murid-murid yang membuat udara terasa hidup di dalam ruangan itu. Kelas XII A, merupakan kelas unggulan dengan kumpulan siswa prestasi di dalamnya. Gadis itu menghela nafas kasar, lalu tersenyum tipis.
"Selamat pagi, gaes!" heboh Zora.
Naina berjalan menuju kursinya, melewati sebuah meja yang begitu menarik perhatiannya. Sosok objek yang duduk tepat di kursi depannya tampak berbeda. Seorang cowok berkacamata tebal, tapi di balik itu dapat Naina pastikan ada mata indah yang tersembunyi begitu memikat. Nainara terdiam sesaat, Dalam kehidupan sebelumnya, aku kok gak pernah lihat orang ini ya? apa dia murid baru atau memang aku buta selama ini? batin Naina penasaran.
setelah berdiri cukup lama, Naina tidak berani menegur, hingga— "Eh.." pekiknya saat tiba-tiba pria itu sudah berdiri menyejajari tingginya dengan Naina, menatap langsung.
'Ya Tuhan, mata ini..... indah!' Menelan ludahnya kasar, Naina tidak berkedip sama sekali.
pletak!
"Kenapa?" tanya cowok itu datar. Naina menarik nafas sejenak, berusaha menetralkan kegugupannya karena tertangkap basah memandang cowok tersebut.
"A-aku.. gak apa-apa, hanya mau duduk," jawabnya sok cool. pria itu hanya mengangguk, kemudian kembali duduk dengan gayanya yang tenang, fokusnya ke buku pelajaran mencerminkan pria pintar.
.
.
Saat jam istirahat, tidak sedikit siswa dan siswi yang berbondong ke kantin. Tidak ketinggalan Naina dan sahabatnya Zora.Mereka berdua seperti biasa duduk di meja kantin paling pojok. Kehebohan kembali terdengar saat sang idola, Aaron Wiranda, masuk area kantin.
Zora menatap Naina sekilas, tatapan aneh sekaligus penasaran.
"Kenapa kamu natap aku?" tanya Naina cuek.
Zora membulatkan matanya, kemudian berkedip berkali-kali, "serius hanya itu kalimatmu, Naina? biasanya kan—"
"Biasanya apa? aku harus pergi ke meja dia gitu?" ketus Nainara dan langsung di angguki oleh Zora, karena biasanya ini yang terjadi setiap di kantin.
"Dih, ogah!"
"Eh.." tentu saja besar sekali rasa heran dan banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Zora sekarang tentang perubahan kecil dari sahabatnya, tapi entahlah, bukankah begini lebih baik?
"Sayang, kamu tidak sedang kesurupan kan?"
"Apasih Zora, aku masih waras ya!" tegas Naina nyaris berteriak, tapi setelah itu terdiam menunggu saat melihat beberapa orang membawa beberapa Tupperware ke tempat duduknya.
"Ini makanan yang di pesan dari restoran Italy, Nona," berbagai makanan terhidang di atas meja tempat mereka berdua duduk. Bukan kali pertama, Nainara ke kantin hanya mencari keramaian, sementara makanan yang dia makan itu di pesan dari restoran tiap harinya. Dan biasanya makanan sebanyak ini dia pesan u tuk orang spesial, Aaron Wiranda, tapi kali ini..
"Dia tidak menghargai ibu kantin, selalu pesan makanan dari luar!" bisik-bisik orang yang terdengar penuh cemooh.
"Iya, orang kaya mah bebas,"
"Nggak menghargai orang lain!" jelas kalimat seperti itu menjadi makananya setiap hari. Dan seperti biasa, Nainara bodoh amat.
"Naina, sudah aku bilang kalau aku gak pernah mau menyentuh makanan yang kamu pesan, paham kan?!" Aaron menghampiri meja Naina, berbicara dengan nada tinggi, membuat perhatian beberapa orang beralih ke sana.
"Capernya berlebihan, di kira Aaron bakalan suka kalau dia begitu," tambah Raka-teman Aaron.
"Kamu tuh begini sama saja ngerendahin aku, tau! Dan ingat, aku punya harga diri sebagai cowok, Naina! aku tidak akan menyentuh makanan ini, jadi stop dengan tingkah gila kamu ini!" teriak Aaron lagi dan lagi. Naina hanya berdiam, tidak menjawab seperti biasanya. Hingga saat Aaron sudah tak bersura, gadis itu berdiri sembari menggerbak meja kasar.
"Percaya diri sekali, siapa juga yang mau memberi makanan ini kepada kamu, hmmm? emang orang miskin pantas makan makanan semahal ini? najis, beda level!" Jawab Naina tanpa ragu, tegas dan pasti.
"Ka-kamu!"
"Kenapa, tidak terima? tapi aku bicara fakta loh," dia tersenyum tipis. Melirik sekitar dan memastikan reaksi orang-orang, tentu saja kaget dan tidak percaya, kali pertama Naina menjawab Aaron seperti itu.
"Hahahahha, aku tau trik kamu Naina. Kenapa, mau main tarik ulur? coba saja, aku tidak akan pernah melihat ke arahmu sekalipun seribu cara kamu lakukan," Wajah Aaron terlihat songong, dia tertawa sinis, menertawakan cara Naina yang begitu berusaha keras untuk menarik perhatiannya.
"Cowok gila!" tak lagi menghiraukan Aaron, Naina mengambil sebagian makanan yang ada di atas meja, lalu membawanya ke meja lain, "Kamu belum pesan kan? mau ini gak?" cowok tadi yang duduk tepat di depan mejanya di kelas.
Cowok itu tak menjawab, tidak juga melarang Naina. Dia hanya duduk tenang seolah di kantin itu tak ada kericuhan.
"Naina, buang gak makanannya!" teriak Aaron kesal.
"Siapa kamu berani nyuruh aku? emang punya uang untuk mengganti makanannya nanti kalau di buang?"
"Pokoknya harus di buang, masa kamu kasih ke cowok miskin itu!"
"Miskin teriak miskin, dih dasar cowok gila!" gerutu Zora yang masih bisa di dengar oleh Aaron Dan teman-teman lainnya.
"Terimakasih, aku makan!" cowok itu menarik makanan tersebut mendekat, lalu memakannya habis. Nainara melongo melihat hal itu, tak lama senyum tipis tersungging dari bibirnya.
"Kakak...." Nathan dengan pakaian olahraga serta bola basket di bawanya masuk ke dalam kantin, mendekat ke arah Nainara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!