Udara sore itu terasa lebih berat dari biasanya. Awan kelabu menggantung rendah di atas atap rumah tua bercat putih gading yang sudah mulai memudar. Rumah itu berdiri di tengah-tengah pedesaan yang tenang, seolah menyimpan cerita pahit yang enggan diungkap.
Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mengkilat memasuki halaman. Mobil mewah dengan plat nomor kota besar, tampak begitu asing di jalanan tanah berbatu yang biasa dilalui sepeda motor tua dan pedati.
Pintu mobil terbuka. Seorang perempuan muda turun dengan anggun. Wajahnya cantik, terawat, berhias make up tipis yang menegaskan karisma sekaligus kesombongan yang melekat pada dirinya. Gaun mahal berwarna krem membalut tubuh rampingnya, dan sepatu hak tinggi beradu dengan kerikil tanah, menghasilkan bunyi “tak, tak, tak” yang tegas.
Itu adalah Luna. Putri sulung keluarga itu.
Sudah dua tahun ia menikah dengan Samudra, seorang pengusaha konglomerat yang memiliki segalanya, perusahaan besar, rumah mewah di pusat kota, dan kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Kehidupan Luna berubah drastis, dari gadis desa sederhana menjadi nyonya besar yang dielu-elukan. Namun sore itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahannya, ia pulang. Dan pulangnya pun bukan dengan suaminya, melainkan seorang diri.
Dari balik jendela, seorang gadis muda berlari tergesa. Rambut hitam panjangnya dikepang sederhana, kulitnya putih bersih, wajahnya lembut tanpa polesan make up. Mata bening itu langsung membesar ketika melihat siapa yang datang.
“Kak Luna...?” suara lirih itu keluar dari bibir Senja, adik tirinya.
Senja berdiri di teras, mengenakan daster biru polos. Tangannya masih memegang kain basah karena baru saja mencuci pakaian ayahnya. Ada ketidakpercayaan yang jelas terpancar dari matanya. Luna? Pulang? Setelah sekian lama?
Namun alih-alih terharu, hati Senja justru dicekam rasa was-was. Ia tahu benar, kakak tirinya tidak pernah menyukainya.
Luna menegakkan dagunya, menatap Senja dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan senyum miring. “Masih sama... penampilanmu tetap kampungan,” ucapnya sinis.
Senja menunduk, menahan perih. “Ada perlu apa, Kak?” tanyanya hati-hati.
Luna melangkah naik ke teras tanpa diminta. Ia menatap sekeliling rumah dengan pandangan meremehkan, seolah-olah tempat itu hanyalah kandang ayam. “Aku datang bukan untuk bernostalgia. Aku datang untuk menjemputmu.”
Senja tersentak. “Menjemputku?”
“Ya.” Luna tersenyum tipis, penuh maksud. “Kamu ikut aku ke kota. Tinggal di rumahku.”
Senja langsung menggeleng cepat. “Tidak, Kak. Aku... aku tidak mau. Aku lebih baik di sini saja.”
Senyum Luna menghilang. Tatapannya berubah dingin. “Kamu menolak?”
Senja menunduk dalam. “Kakak tidak pernah suka padaku. Untuk apa aku ikut? Di sini... setidaknya aku bisa merawat Ayah.”
Suasana hening sejenak. Dari dalam rumah terdengar batuk berat. Senja segera berlari masuk, meninggalkan Luna di teras.
Di kamar yang pengap, seorang lelaki tua terbaring lemah. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan tangan kirinya kaku. Sejak tiga bulan lalu, ia menderita stroke. Dialah Ayah Senja dan Luna.
Senja duduk di tepi ranjang, menepuk pelan dada ayahnya, mencoba menenangkan batuknya. “Ayah... tenang, ya. Aku di sini.”
Saat itu, suara langkah mendekat. Rengganis, ibu tiri Luna, muncul dari dapur. Wajahnya penuh kerut, namun matanya masih tajam. Ia membawa segelas air putih dan menyerahkannya pada Senja.
Tak lama, Luna masuk ke kamar, menutup hidungnya pelan karena aroma obat-obatan yang menyengat. Ia berdiri tegak, menatap ayah tirinya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Ayahmu... semakin buruk keadaannya,” ucap Luna dingin. “Pengobatan desa ini tidak akan pernah cukup. Tapi aku bisa membantu. Aku bisa membiayai semuanya, sampai dia sembuh.”
Senja mendongak, matanya membelalak penuh harap sekaligus curiga. “Benarkah... Kak?”
“Ya,” Luna tersenyum, kali ini lebih manis tapi penuh racun. “Tapi dengan satu syarat. Kamu harus ikut aku ke kota. Mulai malam ini.”
Senja tercekat. Ia tahu ada yang tidak beres. Luna tidak pernah baik padanya. Tidak mungkin semua ini dilakukan tanpa maksud tersembunyi.
“Aku... aku tidak bisa meninggalkan Ayah,” suara Senja bergetar.
“Justru demi Ayahmu, kamu harus ikut,” potong Rengganis tiba-tiba. Wanita itu menatap Senja dengan sorot memaksa. “Kalau kamu menolak, jangan salahkan aku kalau Ayahmu tidak mendapatkan obat-obatan yang layak. Ingat, biaya rumah sakit itu mahal. Kamu sanggup?”
Senja menoleh cepat, tak percaya mendengar ancaman itu keluar dari mulut ibunya sendiri. “Ibu... bagaimana bisa...?”
“Pilih sekarang,” suara Rengganis tajam. “Ikut Kakakmu ke kota, atau biarkan ayahmu menderita.”
Air mata Senja tumpah. Ia menatap ayahnya yang terbaring lemah. Tangan tua itu bergetar, berusaha menggenggam jemari putrinya. Dalam tatapan samar sang ayah, Senja tahu... lelaki itu ingin ia bahagia, tapi kesehatannya jauh lebih penting.
“Ayah... maafkan Senja...” bisiknya, sambil mengecup punggung tangan sang ayah.
Senja pun menoleh pada Luna, meski bibirnya bergetar hebat. “Baiklah. Aku ikut.”
Senyum kemenangan terbit di wajah Luna. “Bagus. Persiapkan dirimu. Kita berangkat sekarang juga.”
Malam itu, langit desa sudah gelap ketika mobil hitam itu melaju meninggalkan halaman rumah. Senja duduk di kursi belakang, menatap jendela dengan mata berkaca-kaca. Rumah, ayah, dan kehidupannya yang sederhana perlahan menghilang dari pandangan.
Di sampingnya, Luna duduk tenang, memainkan ponselnya. Sesekali ia menatap Senja dengan senyum tipis penuh arti.
“Jangan kira aku membawamu untuk jadi tamu istimewa,” katanya tanpa menoleh. “Ingat, kamu ikut aku bukan karena aku menginginkanmu, tapi karena aku membutuhkannya.”
Senja mengernyit. “Maksud Kakak...?”
Luna hanya terkekeh pelan, enggan menjawab.
Sesampainya di rumah besar Luna. Rumah itu berdiri megah bagaikan istana. Pilar-pilar tinggi, halaman luas dengan lampu taman yang berkilau. Senja terbelalak. Ia belum pernah melihat rumah sebesar itu seumur hidupnya.
Namun rasa kagum itu segera runtuh ketika ia dibawa masuk dan diarahkan ke sebuah kamar sempit di belakang, tepat di dekat dapur. Dindingnya polos, lantainya keramik kusam, dan hanya ada ranjang kecil dengan kasur tipis.
“Mulai hari ini, ini kamarmu,” ucap Luna dingin.
Senja menoleh kaget. “Tapi... Kak... ini kan kamar pembantu...”
“Ya,” Luna tersenyum sinis. “Karena mulai hari ini, kau memang akan jadi pembantu di rumahku. Gratis. Anggap saja ini balasan atas kebaikan hatiku membiayai pengobatan ayahmu.”
Wajah Senja pucat. Air matanya kembali menetes. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Semua jalan sudah tertutup.
Luna mendekat, berbisik di telinganya. “Kamu pikir aku tidak tahu? Aku benci padamu sejak dulu. Jadi jangan pernah bermimpi hidupmu akan mudah di sini. Selamat datang di neraka milikku, Senja.”
Pintu kamar ditutup keras. Senja terduduk lemas di tepi ranjang tipis, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Malam itu, ia benar-benar merasa terjebak.
Jarum jam dinding di lorong rumah besar itu menunjuk pukul dua dini hari. Suasana begitu hening, hanya terdengar suara detakan jam dan sesekali tiupan angin malam yang menerobos celah jendela. Lampu-lampu kristal di ruang tamu telah padam, menyisakan remang cahaya lampu kecil di pojok ruangan.
Di dalam kamar sempit yang baru sehari ditempatinya, Senja berbaring gelisah. Matanya terpejam, namun pikirannya berputar ke mana-mana. Bayangan wajah ayahnya yang terbaring sakit di desa, ancaman ibunya, dan tatapan penuh kebencian dari Luna, kakak tirinya, membuat dadanya sesak.
“Kenapa aku di sini...?” batinnya lirih. “Aku ingin pulang... tapi Ayah...”
Tangisnya hampir pecah, tapi ia cepat-cepat menahan. Ia tak ingin penghuni rumah mendengar. Dengan lelah, ia bangkit duduk. Tenggorokannya kering, seakan meminta seteguk air.
Pelan-pelan, ia keluar dari kamar. Kaki telanjangnya menyentuh lantai marmer yang dingin, tubuhnya menggigil. Ia berjalan melewati lorong panjang menuju ke dapur. Rumah itu bagai labirin mewah, asing, dan terlalu besar untuk ditempati.
Sampai di dapur, Senja membuka kulkas, menuang air ke gelas, lalu berdiri termenung di dekat meja dapur. Pandangannya kosong. Lampu putih di dapur menyinari wajah lembutnya yang murung.
Ia tak sadar bahwa dari arah belakang, langkah kaki berat semakin mendekat. Langkah yang nyaris tak terdengar di lantai marmer, namun cukup cepat.
Dan tiba-tiba...
Sepasang tangan kokoh melingkar erat di pinggangnya.
Senja tersentak. Tubuhnya membeku sesaat, lalu reflek ia meronta. Gelas di tangannya hampir terlepas. “Siapa? Lepaskan aku!” serunya panik.
Pelukan itu segera terlepas. Suara berat seorang pria terdengar di belakangnya. “Astaga... Senja?”
Senja berbalik cepat. Jantungnya berdentum kencang saat melihat sosok yang berdiri di sana. Seorang pria tinggi, berwibawa, dengan wajah tampan yang letih. Rambutnya sedikit berantakan, kemeja putihnya kusut, dan dasinya terlepas begitu saja.
Samudra. Kakak iparnya.
Suami Luna.
Senja terpaku. Nafasnya memburu. “Mas... Samudra?”
Samudra sama terkejutnya. Wajahnya berubah kaku. “Astaga, maaf... Mas pikir kamu Luna.”
Pipi Senja panas, jantungnya berdegup tak karuan. “Mas... jangan lakukan itu lagi...” suaranya bergetar.
Samudra menunduk, mengusap tengkuknya, wajahnya jelas menyesal. “Mas sungguh minta maaf. Mas baru pulang... terlalu lelah dan letih, jadi salah sangka.”
Senja menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Tidak apa Mas. Maaf kalau membuat Mas salah paham.” Ia meletakkan gelas di meja, lalu buru-buru hendak kembali ke kamarnya.
Namun langkahnya dihentikan suara Samudra.
“Tunggu.”
Senja menoleh pelan. “Ada apa Mas?”
Samudra menatapnya serius, namun tak ada kebencian di sana. Justru ada ketulusan yang jarang Senja temui dari keluarga ini. “Kapan kamu datang? Mas tidak tahu kalau kamu tinggal di sini sekarang.”
Senja menggigit bibir bawahnya. “Hari ini... Kak Luna yang menjemput ku.”
Samudra mengangguk kecil. “Bagaimana keadaan Ayah dan Ibu? Sudah lama Mas tak sempat menjenguk. Mas pulang pergi kantor hampir tiap hari...”
Senja menunduk, suaranya lirih. “Ayah... masih sakit. Beliau butuh banyak obat.”
Samudra menghela napas berat, wajahnya menegang. Ada rasa bersalah di sorot matanya. “Mas mengerti...”
Lalu tiba-tiba, perut Samudra berbunyi pelan. Ia terkekeh miris, menepuk perutnya. “Mas belum makan sejak sore. Pulang lembur... langsung saja tadi, sampai rumah jam segini.” Ia menoleh ke arah Senja dengan pandangan penuh harap. “Senja... bisakah kamu memasakkan sesuatu untuk Mas? Tidak usah yang rumit, asal bisa mengganjal perut.”
Senja sempat ragu. Memasak untuk kakak ipar? Tengah malam pula... Tapi ia melihat wajah letih Samudra, matanya memerah karena kurang tidur. Rasa iba menyelusup diam-diam.
“Baik, Mas. Tunggu sebentar,” jawabnya akhirnya.
Senja bergerak cekatan di dapur. Ia menemukan bahan sederhana, ada telur, sosis, dan sedikit sayur. Tangannya terampil, meski sederhana, namun penuh ketelatenan. Dalam waktu singkat, nasi goreng sederhana terhidang di piring. Ia juga menyeduh teh hangat, menaruhnya di cangkir keramik.
Samudra duduk di kursi meja makan, menyandarkan tubuh lelahnya. Dari jauh, ia memperhatikan Senja yang sibuk memasak. Ada sesuatu yang berbeda. Senja tidak mirip Luna, sama sekali tidak. Tidak ada kemewahan, tidak ada make up tebal, tapi justru auranya lembut dan menenangkan.
“Sudah siap, Mas,” kata Senja sambil meletakkan piring nasi goreng di hadapan Samudra.
“Terima kasih.” Samudra tersenyum kecil, wajahnya tampak lebih hidup.
Senja hendak kembali ke kamarnya setelah selesai menghidangkan. Namun suara Samudra menghentikan langkahnya lagi.
“Temani Mas makan sebentar.”
Senja menggeleng cepat. “Tidak, Mas. Aku tidak lapar.”
Tepat saat itu...
“Krukk...” suara perut Senja bergema, jelas terdengar di ruang sunyi itu.
Pipi Senja memerah. Ia menunduk dalam, malu bukan main karena ketahuan berbohong.
Samudra terkekeh pelan. “Kedengarannya perutmu berkata lain. Duduklah.” Ia menarik kursi di sampingnya.
Senja ragu-ragu, namun akhirnya duduk. Samudra menyendok nasi goreng dan mencicipinya. Matanya berbinar. “Enak sekali... kamu pintar memasak.”
Senja hanya tersenyum tipis, lalu ikut menyendok sedikit untuk dirinya. Mereka makan dalam diam. Suasana hening, hanya suara sendok beradu dengan piring. Tapi di balik keheningan itu, ada kehangatan aneh yang mulai tumbuh.
Selesai makan, Samudra menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia menatap Senja yang sedang menunduk sambil membereskan piringnya.
“Senja...” suaranya tenang, namun menusuk. “Kenapa kamu ada di sini? Selama dua tahun Mas menikah dengan Luna, kamu tak pernah berkunjung. Kenapa sekarang tiba-tiba tinggal bersama kami?”
Sendok di tangan Senja berhenti. Dadanya terasa sesak. Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya rumit. Bagaimana ia harus menjelaskan? Bahwa ia di sini karena dipaksa, diancam, dan akan dijadikan budak oleh kakak tirinya?
Jika ia berkata jujur, pasti Luna akan murka. Dan jika Luna marah, ancamannya terhadap ayah Senja bisa menjadi nyata.
Senja menunduk, menggenggam sendok erat-erat. “Aku... hanya ingin... dekat dengan Kak Luna,” jawabnya singkat, meski hatinya menangis.
Samudra menatapnya lama, seakan mencoba membaca sesuatu. Tapi akhirnya ia tidak mendesak. Ia hanya tersenyum samar. “Baiklah. Kalau kamu tidak ingin bercerita, aku mengerti.”
Senja menghela napas lega diam-diam.
Samudra berdiri, merapikan kemejanya. “Terima kasih, Senja. Sudah mau memasakkan dan menemani Mas makan. Rasanya Mas jarang sekali punya momen seperti ini.”
Senja mendongak, menatapnya sekilas. Ada ketulusan di mata pria itu yang membuatnya bingung harus bereaksi apa.
Samudra berjalan ke arah tangga, menoleh sebentar sebelum benar-benar pergi. “Selamat malam, Senja. Tidurlah. Jangan terlalu larut memikirkan hal-hal yang membuatmu gelisah.”
Senja hanya mengangguk, tak sanggup berkata apa-apa.
Setelah Samudra masuk ke kamarnya, Senja masih duduk terpaku. Hatinya bergetar hebat.
Ia segera mengalihkan diri, membereskan meja makan, mencuci piring, merapikan segala peralatan dapur. Tangannya sibuk, tapi pikirannya tak bisa tenang. Bayangan pelukan tadi, pelukan salah sangka masih terasa membekas di pinggangnya.
“Kenapa aku harus deg-degan...? Itu hanya salah paham. Dia suami Kak Luna. Aku harus menjauh... aku tidak boleh membuat kesalahan.”
Air matanya menetes tanpa ia sadari. Malam itu, Senja kembali ke kamar pembantu yang pengap dengan hati penuh resah. Ia tidak tahu, bahwa pertemuan sederhana di dapur tadi hanyalah awal dari badai besar yang akan mengguncang hidupnya.
Matahari pagi menyelinap dari celah tirai jendela kamar utama, menebarkan cahaya hangat ke dalam ruangan. Burung-burung di taman depan mulai berkicau, tanda hari baru sudah dimulai. Namun di dalam kamar mewah itu, keheningan masih membungkus.
Di ranjang empuk dengan seprai sutra, Luna masih tertidur pulas. Rambut hitam panjangnya terurai acak, bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Meski wajahnya cantik, ada bayangan malas yang begitu jelas.
Di sisi lain, seorang pria sudah berdiri rapi di depan cermin besar. Samudra, sang suami, mengenakan jas abu-abu elegan. Dasi biru tua sudah terikat sempurna di lehernya. Ia menatap pantulan dirinya, lalu menghela napas panjang.
Sejak awal pernikahan mereka dua tahun lalu, satu hal yang selalu sama, Luna tidak pernah bangun pagi. Ia tidak pernah menyiapkan sarapan, tidak pernah melipatkan dasi, bahkan tidak pernah sekadar menyeduh kopi untuk suaminya. Semua kebutuhan rumah tangga diserahkan pada ART.
Samudra sudah lelah menaruh harapan. Bahkan jika ia sengaja membangunkan Luna, perempuan itu akan tetap enggan beranjak dari ranjang.
“Ya sudahlah,” gumamnya lirih. Ia meraih tas kerjanya. “Percuma.”
Tanpa membangunkan istrinya, Samudra keluar dari kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Ia menuruni tangga besar menuju lantai bawah. Sepatu kulitnya beradu pelan dengan anak tangga marmer. Aroma makanan hangat menyambutnya. Ia sedikit mengernyit, ini hal yang jarang. Biasanya, di pagi hari hanya ada roti dingin atau makanan yang dipanaskan ART.
Sesampainya di ruang makan, matanya langsung menangkap sosok gadis muda yang sedang sibuk menata hidangan. Rambutnya dikepang sederhana, tubuhnya dibalut gaun rumah polos berwarna pastel. Wajah itu terlihat segar meski tanpa make up.
Senja.
Samudra sempat tertegun. Ingatannya melayang pada kejadian dini hari tadi, pelukan salah sangka yang membuatnya malu sekaligus canggung.
Senja pun terkejut melihat kehadiran Samudra. Tangannya yang sedang menaruh mangkuk sup di meja hampir gemetar. Ia buru-buru menunduk, tidak berani menatap langsung. Pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat.
“Selamat pagi, Mas Samudra,” sapanya pelan.
Samudra berdeham, berusaha menyembunyikan keterkejutan. “Pagi, Senja. Kamu... bangun sepagi ini?”
Senja mengangguk sopan. “Iya. Aku sudah terbiasa, Mas. Sejak di rumah, setiap hari aku yang menyiapkan sarapan untuk Ayah.”
Samudra berjalan mendekat, menatap meja yang kini penuh dengan hidangan sederhana tapi terlihat menggugah selera. Ada nasi hangat, sup bening dengan potongan sayur, dan telur dadar.
“Jadi... kamu yang menyiapkan ini semua?”
“Tidak ada salahnya aku membantu,” jawab Senja lembut, masih menunduk. “Toh aku tinggal di sini, setidaknya aku bisa melakukan sesuatu.”
Samudra terdiam. Dalam benaknya, tanpa sadar ia membandingkan Senja dengan Luna. Dua perempuan yang sama-sama cantik, sama-sama memiliki sorot lembut di mata mereka. Tapi mengapa Senja bisa bangun pagi, menyiapkan sarapan, sementara istrinya sendiri tidak pernah?
Ia segera menggeleng pelan. "Tidak. Tidak pantas aku membandingkan. Apalagi... dengan adik iparku sendiri."
Samudra duduk di kursi utama, meletakkan tas kerjanya di samping. Senja kembali ke meja dapur, menyeduh kopi panas untuknya. Aroma kopi segar segera memenuhi ruangan.
“Ini kopinya, Mas,” ucap Senja, meletakkan cangkir di meja makan. Ia hendak kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaannya. Namun suara Samudra menghentikannya.
“Senja.”
Gadis itu berhenti, menoleh pelan. “Iya, Mas?”
“Temani Mas sarapan.”
Senja langsung panik. Ia menggeleng cepat. “Tidak, Mas. Aku takut Kak Luna marah. Lagipula, aku tidak lapar.”
Namun Samudra tersenyum samar, tidak mendengarkan penolakannya. Ia menarik kursi di sampingnya. “Duduklah. Mas tidak suka makan sendiri.”
“Ka...”
“Duduk.” Suaranya tegas, membuat Senja terdiam.
Akhirnya, dengan langkah ragu, Senja mendekat dan duduk di kursi sampingnya. Ia merasa sungkan, tapi tak bisa menolak lebih jauh.
Mereka mulai sarapan bersama. Sesekali Samudra menanyakan hal-hal ringan tentang kebiasaan Senja di rumah, tentang makanan yang biasa ia masak untuk ayahnya. Senja menjawab seperlunya, sopan dan singkat. Meski canggung, ada ketenangan aneh yang menyelimuti meja makan pagi itu.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Dari arah tangga, terdengar suara langkah hak tinggi yang beradu dengan marmer. Tak lama kemudian, muncullah sosok Luna. Rambutnya sudah disisir rapi, wajahnya terpoles make up sempurna. Gaun modis membungkus tubuhnya, tas branded menggantung di lengannya.
Pemandangan yang tidak biasa. Luna bangun pagi.
Namun saat matanya menatap ke meja makan, langkahnya berhenti mendadak. Kedua matanya membelalak, wajahnya memerah.
Suaminya, Samudra sedang duduk sarapan... bersama Senja.
Amarah seketika menyambar. “SENJA!” teriak Luna lantang.
Senja tersentak, tubuhnya menegang. Ia belum sempat berdiri ketika Luna sudah menghampiri, menarik lengannya dengan kasar.
“Berani-beraninya kamu duduk semeja dengan suamiku!” bentak Luna.
“Ka- Kak Luna, aku...”
“Diam!” Luna mendorong Senja keras hingga tubuh gadis itu jatuh terjerembab ke lantai marmer. Punggungnya menghantam keras, rasa sakit menjalar ke pinggang.
“LUNA!” suara Samudra menggelegar, mengejutkan keduanya.
Samudra segera bangkit, menghampiri Senja dan menolongnya berdiri. Tangannya menahan lengan adik iparnya yang gemetar. Sorot matanya penuh kekhawatiran.
Sementara itu, wajah Luna semakin merah melihat suaminya lebih dulu menolong Senja. Namun sebelum ia menjerit lagi, ia menangkap ekspresi marah di wajah Samudra. Amarah itu bukan main-main.
Cepat-cepat Luna mengubah sikap. Ia mendekat, tersenyum manis seolah-olah yang baru saja terjadi hanyalah salah paham kecil. “Sayang... maaf. Aku tidak sengaja. Aku kira tadi ada perempuan asing yang mendekatimu. Aku khawatir... makanya refleks begitu.”
Samudra menatapnya tajam. “Luna...”
Luna langsung bergelayut manja di lengan suaminya, mencoba meredakan. “Maaf ya, jangan marah. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ia bahkan meraih tangan Senja, pura-pura mengusapnya. “Maaf juga, Senja. Kakak salah paham.”
Senja hanya diam, menunduk sambil menahan sakit di pinggang.
Samudra menarik napas panjang. “Lain kali, jangan gegabah. Aku mengenalmu sebagai perempuan lembut, Luna. Jangan tunjukkan sisi lain yang tidak perlu.”
Luna tersenyum manis, mengangguk. “Iya, Sayang. Aku janji.”
Setelah ketegangan mereda, Samudra duduk kembali. Ia menatap istrinya yang kini sudah duduk di kursi lain, bergaya seolah tak ada yang terjadi.
“Ngomong-ngomong, Luna... kenapa kamu bangun pagi? Tidak biasanya.”
Luna tersenyum, memainkan rambutnya. “Aku ada janji dengan geng arisan. Mereka sudah menunggu. Jadi aku harus rapi lebih awal.”
Samudra mengernyit tipis. “Arisan lagi?”
“Sayang...” Luna menggenggam tangannya manja. “Boleh aku minta tambahan uang? Ada barang bagus yang harus aku beli.”
Samudra terdiam sejenak, lalu merogoh dompetnya. Ia mengeluarkan satu kartu tambahan, menyerahkannya pada Luna. “Gunakan dengan bijak.”
Luna mencium pipinya sekilas. “Terima kasih, Sayang. Kamu memang suami terbaik.”
“Kalau begitu, ayo aku antar sekalian. Kantorku searah.”
Luna buru-buru menggeleng. “Tidak usah. Aku takut kamu terlambat kerja. Aku bisa naik mobil sendiri.”
Samudra menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah.”
Tak lama kemudian, ia pamit meninggalkan rumah lebih dulu.
Begitu pintu rumah menutup dan mobil Samudra melaju pergi, Luna yang masih duduk manis di kursinya perlahan menoleh ke arah Senja.
Wajah manisnya berubah dingin. Senyumnya lenyap, berganti tatapan tajam penuh kebencian. Ia berdiri, melangkah mendekati Senja yang masih memunguti pecahan gelas kecil di lantai.
Dengan suara rendah namun menusuk, Luna berbisik di telinga adik tirinya.
“Dengar baik-baik, Senja. Jangan pernah coba mendekati suamiku. Sekali lagi aku lihat kamu duduk semeja dengannya, aku pastikan hidupmu akan lebih sengsara dari neraka. Mengerti?”
Senja menelan ludah, menunduk dalam, tak berani melawan. Pinggangnya masih sakit, namun lebih sakit lagi rasanya melihat kebencian yang begitu nyata di mata Luna.
Hari itu, Senja semakin yakin, bahwa rumah besar ini bukanlah tempat tinggal... melainkan penjara yang dipenuhi api.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!