“Bukannya bapak sudah mati? Kenapa ada di sini?”
Sebuah kebingungan tak beraturan terjadi dalam sebuah ruang tamu di dalam sebuah rumah sederhana yang dindingnya berhiaskan lukisan pemandangan gunung dan sawah khas pedesaan ditambah dengan lukisan kaligrafi dengan corak keislaman yang sangat kental.
Tiga orang laki-laki tengah duduk di sofa dan hanya terhalang meja kayu setinggi lutut orang dewasa, Aldi melihat bapak dan pakdenya duduk berhadapan sedangkan dirinya berada di sisi kanan dari tempat bapaknya. Sunyi dan hening itulah yang Aldi rasakan, meskipun kedua mulut pria paruh baya terlihat seperti sedang berdialog dengan serius. Sorot mata antara keduanya yang tajam menyisipkan pertanyaan tersendiri baginya
“Apa yang bapak bicarakan?” Tanyanya
Namun suara lantang tersebut seperti tak menembus gendang telinga kedua pria paruh baya tersebut dan tetap mengabaikan Aldi seakan anak ini tidak pernah hadir dalam ruangan tersebut. Begitupun Aldi, keheningan yang kini amat sangat mengganggunya, bahkan suara detak jantungnya mampu ia dengar dengan jelas.
Aldi terpaku tak dapat bergerak dengan baik walaupun seluruh indranya masih berfungsi dengan normal, tak banyak yang ia lakukan selain mengamati kedua orang yang sangat ia hormati sedang bercengkrama satu sama lain. Hatinya terasa sedikit sejuk karena sosok bapak yang ia rindukan bertahun-tahun kini hadir kembali di depan matanya meskipun seperti mengabaikan kehadirannya
Pembicaraan hening itu sepertinya menuju ke arah yang jauh lebih serius ditandai oleh bara rokok yang kian memanjang tanpa sempat dihisap dan hanya bertengger di sela-selai jari telunjuk bapaknya. Aldi mengamati cukup lama sembari melihat ruangan sekeliling yang sangat familiar baginya, rumah pakdenya yang memang sering ia kunjungi bersama bapaknya kini menjadi saksi bisu pertemuan antara anak dan bapak yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Namun, suasana tempat tersebut sedikit klise bagi Aldi, ia menatap lurus ujung ruang tamu yang mengarah ke ruang keluarga terlihat sangat gelap tak seperti biasanya ia kunjungi. Pintu depan yang terbuka memperlihatkan suasana halaman rumah, serta suasana langit yang seperti tak menunjukkan waktu, langit tak terlihat gelap ataupun terang namun berada di antara keduanya. Surup (menjelang maghrib) itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kondisi langit saat ini, matahari dan bulan kali ini kompak tidak menunjukkan eksistensinya bahkan bintang-bintang takut untuk menampakkan dirinya sehingga langit kali ini tak terhiasi meskipun keindahannya tetap kekal terlihat.
Sampai saat kedua pria tua tersebut kompak diam lalu memindahkan sorot mata serta menggerakkan badannya untuk menoleh ke arah Aldi. Suasana sangat canggung, Aldi yang sedari awal dibuat bingung mampus rasanya ingin menyerah di dalam situasi yang amat menyulitkan dirinya untuk menentukan sikap. Ia memberanikan diri membalas tatapan mata tersebut tak kalah tajam. Ia penasaran apa yang selanjutnya para orang tua ini lakukan, namun lomba menatap hanya berlangsung sebentar.
Rokok kretek yang diselipkan sekarang menjadi semakin pendek, bapaknya menghisap dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara lalu mengucapkan suatu kalimat, namun entah kenapa keheningan tersebut masih menyerang Aldi. Saat bapaknya menyampaikan sesuatu ia tetap saja tak bisa mendengar apapun yang diucapkan bapaknya. Walaupun ia dapat membaca dengan jelas gerakan bibir serta aroma rokok kretek yang keluar bersamaan saat bapaknya membuka mulut.
Ia sadar pembicaraan sekarang dialihkan kepadanya, bapaknya mengucapkan lebih dari satu kalimat namun tak satu kata pun terdengar, dan bahkan satu huruf saja tak terdengar bagai mikrofon yang sudah tak layak pakai yang seharusnya dilempar ke dalam gudang. Namun ia menyadari mungkin ini suatu pesan yang ingin disampaikan oleh bapaknya. Ia mengamati dalam-dalam gerak bibir sang bapak dalam diam. Dari sepenggealan kalimat ia mampu menangkap hanya satu kalimat.
“Kamu sudah siap!”
Belum sempat memahami keseluruhan pesan dari bapaknya tiba-tiba sekelebat bayangan hitam muncul dari ujung ruang tamu gelap yang tadi ia amati, memumbung tinggi membentuk seperti tornado kelaparan yang siap melahap siapapun yang mengganggu jalannya. Badan Aldi tertahan, pandangannya perlahan menjadi kabur, ia terlalu lemas untuk mencoba melarikan diri dari situasi ini.
Ia sempat membayangkan sejenak jika takdirnya adalah mati dilahap tornado berwarna hitam maka ia akan menerimanya, setidaknya ia sempat melihat bapaknya sebelum sama-sama berjalan menuju ke alam keabadian. Tak lama tornado hitam itu menabraknya hingga membentuk pusaran yang melahap Aldi ke dalamnya.
***
Sebuah kamar tidur dengan kasur spons tanpa dipan, di atasnya terlelap sesosok remaja laki-laki. Sang Surya sudah membumbung tinggi dengan keperkasaannya menunjukkan pukul 07.00. Alarm dari ponselnya mungkin sudah lebih dari sepuluh kali berbunyi namun ia tak kunjung bangun. Tak lama ibunya masuk ke kamar yang pintunya memang tak terkunci, ibunya lalu membuka jendela dan membiarkan keperkasaan cahaya matahari melewati jendela dengan sangat cepat hingga menyorot wajahnya bak superstar yang sedang tampil di atas panggung.
Aldi perlahan bangun akibat wajahnya yang sedikit terasa hangat lantaran paparan sinar matahari. Mulai membuka matanya dan menyadari sesuatu
"Ah ternyata cuma mimpi!" Keluhnya.
Semua adegan bersama bapaknya terasa sangat nyata, namun apalah daya.... Tapi ia menyadari ada sesuatu yang berbeda, mimpinya kali ini ia ingat betul secara detail. Aldi sebenarnya sering memimpikan sosok bapaknya, mungkin karena rasa rindu yang mendalam sebagai seorang anak yang ditinggal bapaknya di usia yang belia, akan tetapi mimpinya akan cepat terlupakan dan hanya sebagian kecil yang dapat ia ingat.
Kali ini berbeda, Aldi bahkan mengingat gerakan bibir bapaknya yang mengucap sebuah kalimat. Namun kini menjadi pertanyaan baru baginya yaitu maksud dari apa yang diucapkan bapaknya. Ia bergulat dengan logikanya sendiri yang selama ini menganggap hanya angin lalu, tapi di sisi lain perasaannya mengatakan bahwa ini bukan hanya sekedar mimpi kosong. Tapi pertanyaan yang terus menyerang pikirannya harus dipendam sejenak
Sebenarnya bukan kali ini saja Aldi mengalami hal yang janggal dalam hidupnya, sebelumnya ia seringkali mengalami berbagai kejadian mistis yang kerap mengganggunya sehingga menjadikan ia sedikit terbiasa dengan gangguan-gangguan mistis.
Hari ini adalah hari dimana ia harus membantu panen ikan cupang bersama saudaranya. Aldi lahir dalam keluarga sederhana, almarhum ayahnya adalah seorang mekanik bengkel yang sangat lihai dalam bidangnya dan Aldi hidup dalam ekonomi yang cukup walaupun tidak dapat tergolong sebagai orang kaya, meskipun begitu ia merasa bahagia. Tapi semua berubah saat ayahnya meninggal, ibunya kini harus banting tulang bekerja di laundry milik tetangganya untuk sekedar menyambung hidup. Aldi mempunyai seorang kakak perempuan bernama Nara yang kini sedang berkuliah di luar kota.
Mas Fikri, begitulah panggilan Aldi kepada saudaranya sekaligus pemilik tempat budidaya ikan cupang yang merupakan saudara dari keluarga ibunya, usianya terpaut sekitar 8 tahun lebih tua dari Aldi. Kedekatan inilah yang membuat Aldi dapat bekerja di tempat budidaya. Saat ini Aldi duduk di bangku kelas 12 SMA dan pekerjaan inilah yang membantunya untuk mendapatkan uang tambahan untuk sekedar memenuhi kebutuhan bensin dan rokoknya sendiri.
Hampir setiap hari ia datang ke tempat budidaya menyelesaikan pekerjaan serabutan yang ada, meskipun Fikri memberikan keringanan untuk datang kapan saja saat waktu luang mengingat Aldi yang masih sekolah, namun bagi Aldi rasanya kurang enak jika ia datang semaunya, ia selalu berusaha untuk menghormati siapapun yang sudah berbaik hati kepadanya serta berusaha membalasnya dengan cara apapun.
"Sebat dulu Al sambil ngopi!" Seru Fikri saat Aldi baru datang sambil menawarkan segelas kopi
"Siap mas" Jawab Aldi dengan senyum sumringah disertai jempol tangan ke atas
Mereka berdua menyelesaikan ritual mereka sebelum panen yaitu sebatang rokok ditemani segelas kopi sambil bercengkrama layaknya adik kakak pada umumnya. Panen hari ini sama seperti hari panen lainnya dimana ia memanen ikan-ikan yang sudah siap jual serta menyiapkan packing untuk ikan yang akan dikirim ke luar kota dan menyortir beberapa ikan yang tidak memenuhi kriteria untuk dijual sebagai ikan hias, ikan-ikan ini nantinya akan dijual untuk menjadi pakan ikan predator.
Panen yang melimpah membuat waktu berjalan lebih cepat hingga saat ini Aldi sudah berada di atas kasurnya dan bersiap untuk mengistirahatkan fisiknya setelah kegiatan yang panjang. Malam ini ia merasa sangat kesulitan untuk tidur, matanya terpejam tapi pikirannya masih aktif dan berharap agar segera terlelap. Tiba-tiba hembusan angin masuk melalui celah-celah ventilasi memberikan suasana yang berbeda, hawa menjadi lebih panas daripada sebelumnya membuat Aldi melepaskan selimutnya namun tetap dalam kondisi mata yang terpejam.
Jendela di kamarnya berada di tengah dan diapit oleh meja belajar di sebelah kiri dan lemari di sebelah kanan. Jika posisi tidurnya menghadap ke kiri, maka kepala Aldi sejajar menghadap ke meja belajar. Hawa panas yang menyusup kini hampir memenuhi seluruh ruangan, perasaan tidak nyaman kini menyerangnya.
Aroma aneh yang asing kini menusuk hidungnya bagai perampok yang berusaha masuk ke rumah dengan kasar. Aroma-aroma seperti sesuatu yang terbakar namun bukanlah sampah ataupun kabel terbakar. Jantungnya kini memompa lebih cepat seakan memberontak untuk menerobos keluar dari dalam. Kini merinding mulai menyerang disertai hawa mencekam yang seperti mengisyaratkan Aldi untuk membuka mata dan melihat keadaan sekitar.
Aldi menyerah dan memaksakan diri membuka mata, tapi keputusan ini nampaknya akan disesali seumur hidupnya.
Benar saja keputusan untuk membuka matanya akan ia sesali dengat amat sangat. Sepasang bola mata besar seukuran mata bor berwarna merah menyala menatapnya dengan penuh amarah dari atas lemari. Mata itu melotot tajam ke arahnya saat ini. Aldi sendiri tercekat, tubuhnya seperti membeku tak mampu bergerak bahkan untuk sekedar menutup matanya ia tak mampu. Aldi seperti dipaksa lomba menatap dengan sosok mengerikan tersebut.
Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi dahi dan menjalar ke seluruh bagian wajah, harapan hidupnya terasa kian memudar seakan-akan sosok itu akan melahap Aldi hidup-hidup. Badanya gemetar hebat karena rasa takut yang amat sangat, pasalnya ia belum pernah mengalami gangguan mistis separah ini.
Kini sosok tersebut perlahan-lahan membentuk sebuah kepala dengan rambut hitam sedikit gimbal yang panjang menjuntai ke bawah, wajah yang hitam dan taring mulai muncul ke atas dan ke bawah. Tak ada suara apapun baik geraman atau ucapan yang terlontar dari sosok itu, hanya lomba menatap di dalam keheningan. Aldi sangat ingin kabur dalam situasi ini tapi sosok itu tak mengizinkan Aldi untuk bergerak.
Saat Aldi mulai ingin menyerah, ia teringat bahwa ada banyak harapan hidup yang ingin ia wujudkan salah satunya adalah menyibak misteri kematian bapaknya yang janggal menurutnya. Harapan kini mulai merasuki pikirannya dan mengalahkan segala rasa takut.
Ketakutan yang teramat sangat kini berubah menjadi semangat membara setelah menemukan motivasi besar di dalam hidupnya. Aldi kini melawan dengan melayangkan tatapan nyalang pada kedua bola mata tersebut bermaksud menantang. Ia tak peduli jika harus mati malam ini, setidaknya ia mati dengan perlawanan dan tak memberikan nyawanya kepada sosok misterius itu secara sukarela.
“Apa maumu?!” Ucap Aldi dengan suara lantang serta tatapan nyalang.
Berkat keberaniannya yang membuncah tak terasa perlahan ia mulai lepas dari cengkraman sosok misterius tersebut, tubuhnya perlahan mulai dapat digerakkan. Rasa takut yang teramat sangat kini berubah drastis menjadi sebuah perlawanan yang kokoh. Perlahan sorot mata dari sosok tersebut meredup hingga hilang sepenuhnya tanpa bekas. Aroma aneh dari sosok tersebut juga ikut menghilang perlahan digantikan oleh keheningan seperti sebelumnya. Aldi kemudian terlelap karena energinya terlampau terkuras saat melakukan perlawanan.
Pagi ini ia sedikit kesulitan bangun akibat insiden malam tadi sehinga ibunya harus membangunkan anak bungsunya dengan cara yang sedikit ekstrim.
“Bangun le! sekolah!” ucap ibunya sambil memercikan air ke wajah Aldi
Le atau tole merupakan kosakata dalam bahasa jawa untuk menyebut anak laki-laki yang lebih muda.
Aldi yang gelagapan karena kaget dibangunkan secara paksa tak mengerti situasi yang terjadi, ia segera bangun dan duduk sejenak.
“Makanya jangan nonton bola tengah malam biar ndak susah dibangunin!” Omel ibunya sambil membuka jendela
Aldi tak menjawab hanya mengangguk tanda mengerti, namun ia menyadari bahwa ibunya tak mengetahui apa yang terjadi dengannya tadi malam, sehingga ia memutuskan untuk tetap menyembunyikannya rapat-rapat. Aldi khawatir jika ia membicarakan hal tersebut pada ibunya maka akan dua kemungkinan, yang pertama adalah ibunya ketakutan dan yang kedua adalah ditertawakan oleh ibunya karena dianggap halu. Aldi lebih takut kemungkinan kedua.
Setelah menyelesaikan ritual merenungnya ia segera bersiap-siap karena hari ini adalah hari pertama ia kembali masuk sekolah setelah liburan kenaikan kelas. Kini ia menduduki kelas 12 IPA yang nasibnya berada di ujung tanduk karena sekarang adalah momentum untuk memikirkan langkah untuk masa depannya. Karena hari pertama, tak banyak yang dilakukan di sekolah selain upacara bendera dan para guru hanya memberikan motivasi hidup di kelas tanpa memberikan materi pelajaran untuk hari pertama.
Tak ada hal menarik baginya di sekolah untuk hari ini, sore harinya setelah pulang sekolah ia kembali ke tempat Fikri untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Hari ini adalah waktunya mengganti air di beberapa botol tempat ikan, pergantian air ini untuk menjaga kualitas air yang menunjang kehidupan para ikan, sementara Fikri sibuk memindahkan ikan ke plastik untuk dikirim ke luar kota.
Budidaya milik Fikri dapat dikatakan cukup besar, namanya juga cukup terkenal di kalangan peternak ikan hias sehingga tak kesulitan untuk mempekerjakan Aldi sebagai salah satu karyawan yang membantunya. Pekerjaan tersebut selesai menjelang maghrib dan mereka berdua beristirahat sejenak sambil merokok bersama.
“Al kamu habisini mau kuliah apa gimana?” Tanya Fikri
“Bingung mas, aku pengen kuliah tapi takut biayanya besar soalnya kan kakak udah kuliah. Aku gak mau bebanin ibu mas” Jawab Aldi sambil menghembuskan asap ke udara
Aldi sebenarnya memiliki keinginan yang kuat untuk kuliah tapi ia menyadari bahwa kuliah juga membutuhkan biaya yang besar dan tak serta merta bisa kuliah begitu saja. Mengingat kakaknya kini juga berkuliah otomatis biaya yang harus dikeluarkan akan jauh lebih besar jika Aldi memaksa untuk kuliah.
“Aku ndak pengen lihat adik-adikku ndak kuliah, kamu harus kuliah. Banyak beasiswa yang bisa dicari Al, nanti untuk urusan jajan mas bisa bantu dan mas juga ada channel buat kamu kuliah sambil kerja” Ucap Fikri memotivasi
Tak dapat dipungkiri Fikri sangat mendukung Aldi untuk berkuliah, meskipun mereka saudara sepupu dari keluarga ibunya tapi terasa seperti dua saudara kandung yang saling memotivasi. Fikri sendiri dulu kesulitan untuk berkuliah sehingga ia memutuskan untuk langsung mencari sebuah pekerjaan hingga menjadi Fikri yang saat ini, ia tak ingin adiknya terkendala biaya seperti dirinya untuk mengejar pendidikan.
Malam ini ditemani segelas kopi hitam dan sebungkus rokok filter Aldi termenung memikirkan ucapan Fikri kepadanya. Ia sadar kuliah juga penting untuk masa depannya dan sejauh ini ia juga sudah memperjuangkan banyak hal untuk dirinya sendiri, jadi seharusnya ia juga mampu untuk berupaya agar dirinya dapat berkuliah seperti kakaknya. Selama termenung Aldi jadi memikirkan banyak hal tak terkecuali ucapan bapaknya yang tempo hari ia temui di dalam alam mimpi.
“Aku sudah siap? Apa maksud bapak ya?” Gumam Aldi dalam hatinya.
Aldi sadar ia sulit mencerna hal ini karena berada di ambang logika dan mistik yang hampir sulit dibedakan, pasalnya kalimat bapaknya terpatri kuat dalam pikirannya, instingnya sepertinya juga setuju bahwa itu seperti sebuah pertanda yang menuju ke suatu hal.
Angin sepoi-sepoi masuk perlahan melalui jendela yang sedikit ia buka untuk sirkulasi dalam kamarnya, angin bergerak pelan namun hawa dinginnya sedikit menembus kulit, meskipun begitu dapat ia imbangi dengan kopi hitam yang asapnya masih mengepul ke atas. Hawa menjadi semakin dingin disertai perubahan suasana yang kian hening. Bulu-bulu di tengkuknya kini mulai meremang menandakan ada sesuatu yang janggal, Aldi yang sebelumnya tenang kini detak jantungnya berderu lebih cepat. Sekelebat bayangan hitam menabrak wajahnya dengan sangat cepat, Aldi yang tak siap langsung terjungkal ke belakang.
Saat Aldi membuka matanya ia langsung berada di tempat yang berbeda, kini ia terduduk di tengah hutan belantara yang cukup lebat, ia dikelilingi oleh pohon-pohon lebat di sekitarnya, hanya cahaya rembulan yang membentuk purnama sempurna menjadi penerangannya kini. Anehnya, meskipun hanya bulan dan bintang ia dapat berjalan berkeliling menelusuri sekitar tanpa menabrak apapun di depannya.
Aldi baru menyadari sesuatu, pepohonan di kanan kiri seperti tertata rapi dan membentuk sebuah jalur lurus kedepan tepat di mana ia berdiri sekarang. Aldi memfokuskan pandangannya lurus kedepan. Sepasang cahaya berwarna merah membentuk sebuah sorot mata, namun kini bentuknya berbeda tak seperti makhuk yang ia temui di kamarnya.
“Auuuuuuuuuu”
Lolongan serigala memecah keheningan, Aldi kian waspada sembari mencari sumber suara tersebut. Sepasang mata merah kian terlihat jelas, jarak antara keduanya kurang lebih 500 meter lurus di depan tempat Aldi berdiri. Merinding seluruh badan ia rasakan saat ini, namun suasana mencekam berangsur-angsur memudar, digantikan oleh rasa penasaran mendera Aldi untuk mencari tahu makhluk apakah yang ada di depannya saat ini
Aldi mulai berjalan menghampiri cahaya merah tersebut, semakin ia mendekat maka semakin jelas juga objek mata di depannya. Karena jalur yang terbilang landai serta pepohonan tak ada yang menghalangi jalan lurusnya. Saat Aldi kian mendekat dan sosok tersebut perlahan mulai menunjukkan wujud aslinya. Aldi mematung saat mengetahui makhluk apa yang kini berdiri di depannya dengan jarak yang lumayan dekat.
“Mendekatlah kesini le!” Ucap sosok tersebut dengan suara berat.
Dengan sedikit keberanian ia mulai mendekati sosok tersebut, mata merah tersebut berwujud seekor serigala yang ukurannya dua kali lebih besar dari serigala aslinya. Jika dibandingkan mungkin serigala yang berada di depannya kini berukuran sebesar seekor sapi gemuk. Serigala tersebut berdiri kokoh di depan sebuah pohon beringin besar dan di lehernya terikat sebuah rantai kokoh yang menahannya agar tidak pergi kemanapun.
Setelah mengetahui wujud sosok di depannya kini mental Aldi kembali menciut, ia sadar bahwa makhluk ini bukanlah serigala yang sering muncul di beranda sosial medianya, meskipun begitu serigala yang asli juga sama bahayanya dengan apa yang ia hadapi saat ini.
“Jangan takut le! Kamu anaknya Suprapto ya!” Ucap serigala tenang dengan suara paraunya.
Aldi mematung seketika saat mendengar sosok tersebut menyebutkan nama bapaknya. Ini bukanlah mimpi, karena saat berjalan tadi ia sedikit merasakan sakit menginjak kerikil dengan kaki telanjang. Jika ini mimpi maka kerikil tersebut tak akan terasa apapun saat kakinya bersentuhan.
“K-kok njenengan tau nama bapak saya?!” Tanya Aldi sedikit terbata karena terkejut.
“Akulah yang menjaga bapakmu dulu le”
“Degh”
Jantungnya seketika berhenti berdetak. Mulutnya melongo mendengar jawaban serigala hitam itu, ia tak tahu apakah makhluk ini berkata jujur atau tidak, tapi yang jelas makhluk ghaib berbentuk aneh dan bisa bicara hingga menyebutkan nama bapaknya itu adalah hal paling di luar nurul yang pernah ia jumpai.
Sedikit kembali ke masa lalu Aldi memang sering begadang bersama bapaknya di malam hari, di situ bapaknya bercerita tentang berbagai macam mulai dari pengalaman pekerjaannya hingga ke hal-hal mistis. Ia pernah teringat bahwa bapaknya memiliki teman sesosok anjing tak kasat mata yang setia menemani bapaknya. Kini Aldi menjadi sedikit tenang, ia sepertinya bisa sedikit mempercayai sosok tersebut namun dengan tetap tak menurunkan waspada, karena ia tak tahu tujuan makhluk ini menarik dirinya untuk kesini.
“T-tapi bapak dulu bilangnya asu bukan serigala seperti njenengan mbah” Jawab Aldi sedikit tergagap
“Bapakmu katrok, dia ndak bisa bedain mana asu (anjing) mana serigala” jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aldi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia menggumam dalam hatinya. Ini pertama kalinya ia menemukan sosok makhluk halus yang julid, dan lebih di luar nalar karena sosok tersebut sedang membicarakan orang yang sudah meninggal. Namun ia merasa bahwa makhluk ini seperti memiliki ikatan batin yang kuat dengan bapaknya.
“Panggil aku mbah, teralu cepat buatmu untuk memanggil namaku, karena ilmu yang kamu miliki belum bisa setara seperti bapakmu” Ucap Serigala memecahkan lamunan Aldi
“B-baik mbah, tapi kenapa mbah narik aku ke sini?”
Makhluk serigala ini menjelaskan bahwa bapaknya yang menitipkan dirinya agar dapat menemani Aldi, karena keturunan laki-laki yang memiliki darah dari bapaknya harus sangat dijaga dikarenakan suatu hal. Bapaknya berpesan agar Aldi menerima ilmu ini untuk menjadi pelindung bagi ibu dan kakaknya yang kemungkinan besar akan diincar oleh sosok jahat di luar sana.
“Siapa yang mengincar keluargaku mbah?” Tanya Aldi penasaran
“Waktu akan menuntunmu”
Dengan penasaran yang memuncak, kini ia merasa akan menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang selama ini ia pendam sendiri.
“Siapa yang membunuh bapak mbah? Ndak mungkin bapak meninggal cuma karena sakit?!”
Serigala tersebut nampak menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan
“Di detik sebelum bapakmu meninggal dia sebenarnya bertarung melawan ratusan jin yang mengincar bapakmu, jika bapakmu tidak melawan kemungkinan satu keluarga termasuk dirimu akan mati karena serangan itu. Bapakmu melawan dan berhasil membunuh sebagian besar jin jahat itu, tapi di akhir pertarungan bapakmu kelelahan, sampai salah satu sosok jin manfaatin kelengahan bapakmu lalu membunuhnya” Jawab mbah serigala dengan tertunduk lesu.
Aldi mulai terpancing emosinya, kini benar dugaannya bahwa bapaknya bukan dibunuh oleh penyakit medis melainkan oleh sesosok makhluk. Tangannya bergetar menandakan ia murka, orang tua yang amat ia sayangi dan hormati harus meninggal tak wajar dan lebih parahnya orang-orang di sekitarnya hanya menyuruhnya ikhlas tanpa mencari tau penyebab sebenarnya dari kematian bapaknya.
“Tenangkan dirimu le, sekarang apakah dirimu sudah siap menjadi pengganti bapakmu untuk menjaga keluargamu?” Tanya mbah dengan tenang untuk meredakan emosi Aldi
“Siap mbah, apa ada manusia yang jadi dalang dibalik semua ini?” Timpal Aldi sedikit tenang
Tanpa ragu jelas Aldi menjawabnya, meskipun dirinya adalah orang yang ceroboh, pelupa dan tidak mudah percaya dengan orang lain tapi bila menyangkut bapaknya matipun Aldi siap.
“Untuk manusianya siapa aku belum yakin le, tapi waktu yang akan menunjukkannya kepadamu. Di saat terakhir sebelum bapakmu meninggal sisa tenaganya digunakan untuk melemparkanku ke sini dan menyegelku. Sekarang tiba saatnya buatku melanjutkan tugas untuk menjadi pendampingmu”
Aldi mengangguk paham kini ia tau apa yang harus dilakukan untuk kedepannya, dengan mantap ia bersedia untuk menerima hal ini dalam kehidupannya, nasib ataupun takdir telah menuntunnya ke jalan ini. Paling tidak ia dapat membalas dendam kepada para pembunuh bapaknya sembari menjaga keluarganya yang ia sayangi
“Sekarang aku harus ngapain mbah?” Tanya Aldi kebingungan
“Lepaskan belenggu rantai ini, di belakang pohon ada pusaka yang menahan rantai tertanancap ke pohon. Lepaskan pusaka itu maka bisa lepas dari segel ini tapi...” Jawabnya.
Tanpa berpikir panjang Aldi langsung berlari ke belakang pohon, ia menemukan keris yang menancap ke batang pohon beringin tersebut lalu menariknya dengan sekuat tenaga. Urat-urat di tangannya menonjol keluar menandakan sekuat tenaga ia menariknya tanpa henti, berkali-kali ia mencoba namun keris itu sama sekali tidak bergerak. Dengan cepat ia kehabisan tenaga dan berjalan lesu kembali ke tempat serigala tersebut.
“Gimana caranya lepasin kerisnya mbah?” Tanya Aldi dengan napas tersengal
“Kamu ini persis seperti bapakmu sembrono!, makanya kalau ada orang ngomong itu didengerin sampai beres!” Jawab serigala dengan omelan julidnya
Aldi hanya nyengir sambil menggaruk kepala belakangnya yang sama sekali tidak gatal. Kini ia nampak seperti bocah yang dimarahi orang tua karena terlalu lama main di luar.
“Oleskanlah darahmu ke seluruh telapak tanganmu lalu pegang keris tersebut dan cabut secara perlahan!” Titah mbah serigala.
Aldi menuruti perintah dengan sedikit melukai jempol tangan kanannya lalu mengoleskan rata darah ke seluruh telapak tangannya. Perlahan ia menggenggam keris dengan gagang berwarna hitam tersebut. Ia menariknya dengan penuh perasaan, begitu mudahnya keris tersebut terlepas dari batang pohon beringin lalu berjalan kembali menemui sang serigala.
“Sekarang apa yang harus aku lakukan?” Tanyanya sambil menunjukkan keris yang ia pegang
“Hancurkan rantai ini terlebih dahulu”
“Duaaaarrrrr”
Aldi menebas rantai tersebut sekuat tenaga tanpa kompromi, seketika rantai hancur berkeping-keping membuatnya tersenyum puas saat menyaksikan adegan itu.
“Terimakasih telah membebaskanku. Kini aku akan selalu menjaga kamu dari belakang le. Setelah ini kita tidak akan bertemu atau berkomunikasi, tapi akan ada banyak perubahan dalam hidupmu setelah pertemuan kita sekarang” Ucap serigala seraya bersimpuh seperti prajurit kepada sang raja
“Baiklah mbah, terimakasih banyak. Tapi sebentar, ini di mana? dan gimana caranya aku pulang?” Tanya Aldi meringis kebingungan
Serigala tersebut kembali menghembuskan napas dengan kasar seperti jengah melihat kelakuan konyol anak ini.
“Hutan ghaib Kalimantan… tutup saja matamu sekarang, konsentrasilah!”
Terkejut mendengar jawaban dari serigala tersebut namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan perintah serigala, kemudian menutup matanya dengan tangannya yang masih memegang keris hitam tanpa warangka tersebut. Terasa tiupan angin mengitarinya perlahan-lahan hingga meningkatkan kecepatannya secara otomatis. Aldi tetap berdiri tegak merasakan angin perlahan mulai mengepung hingga pada akhirnya pusaran angin menabraknya dengan kasar. Tak lama ia lalu membuka matanya dan kembali ke dalam kamar dengan posisi duduk bersila.
Aldi melihat jam di ponselnya menunjukkan waktu hampir subuh. Noda darah masih terlihat di telapak tangannya lengkap dengan keris hitam tanpa warangka yang sebelumnya ia dapat. Dengan situasi seperti ini ia sadar bahwa yang ia alami tadi adalah sebuah kenyataan. Keris tersebut segera disimpan di dalam lemarinya dan menyelipkannya di balik lipatan baju-bajunya agar tak mudah diketahui oleh ibunya. Kini ia segera membersihkan tangannya untuk menghilangkan jejak lalu bersiap untuk tidur.
Pagi ini ia memacu motornya lebih cepat agar tidak terlambat ke sekolah, pasalnya ia lagi-lagi bangun terlambat karena tidur di saat hampir subuh. Saat sampai ke gerbang ia menuntun motornya ke arah parkiran yang tak jauh dari pintu gerbang. Sesaat ia setelah memarkirkan motornya dengan rapi Aldi mematung karena melihat seseorang di kejauhan tepatnya di depan kelas 11 IPS yang bersebelahan dengan parkiran sekolah.
Bukanlah seorang siswi cantik ataupun seorang guru yang ia lihat, melainkan sesosok siswa dengan seragamnya yang compang-camping dan bahu kanan serta lengannya hilang, menyisakan lubang menganga berwarna merah bercampur hitam diam mematung menghadap ke arah lain membelakangi Aldi. Siswa tersebut terlihat sangat menyeramkan, tapi anehnya tidak ada satu orang pun menyadari kehadirannya. Banyak siswa siswi berlalu lalang melewati sosok tersebut begitu saja.
“Kenapa ada penampakan pagi-pagi? Tapi orang-orang ndak ada yang liat” Gumam Aldi dalam hatinya yang keheranan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!