“Gua udah nyampe gedung B, nih!” seru Selina, nafasnya tersengal-sengal karena habis berlari dari depan gerbang Fakultas.
“Buruan! Pak Bimo udah di kelas,” ujar seseorang di ujung telepon.
”Eh… lantai berapa? Ruang berapa?” Kebiasaan Selina, sering kelupaan sebuah informasi penting. Dari ujung telepon terdengar desahan pelan.
“B3-10”
“Anjing! Lantai tiga?!” Selina buru-buru lari menuju tangga. Sialnya Fakultas Sastra di kampus ini merupakan gedung lama, jadi belum ada lift. Selina langsung menutup telepon itu. Nafasnya sudah terasa di ujung seperti sebentar lagi dia akan tumbang.
Hari ini adalah kegiatan persetujuan KRS oleh dosen wali. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah KRS disetujui sistem kampus, walaupun tidak semua dosen wali menyuruh mahasiswanya untuk datang menemui mereka, tapi sebagai anak wali Pak Bimo yang bijak, Selina tetap menemui beliau. Lagipula, Selina punya rencana lain setelah ini.
Ruang 10 akhirnya berada di depan matanya. Badannya sedikit dibungkukkan untuk menenangkan pernafasannya sebelum mengetuk pintu itu. Dengan perlahan dia buka, semua mata tertuju padanya.
“Permisi… Pak,” sapa Selina kepada Pak Bimo yang sudah sibuk menandatangani KRS temannya.
“Selina. Sudah semester lima, kamu masih telat aja,” ledek Pak Bimo santai. Untungnya, ini bukan kelas resmi, jadi dia bebas dari teguran maut beliau.
Selina terkekeh, “Harusnya gak telat sih, Pak. Tadi saya lupa kalau taxi kampus gak beroperasi karena masih libur,” jawabnya jujur sambil berjalan ke tempat duduk kosong di sebelah jendela. Pak Bimo hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Dia tersenyum dengan Megan yang memberinya tatapan sinis—temannya yang tadi di telepon.
*“Stop being too casual with him*. He’s still your dosen!” bisik Megan dari kursi belakang.
”Tenang aja. Perkuliahan belum mulai,” celetuk Selina.
“Tapi… seriusan? Lo lupa gak ada taxi kampus?” tanya Megan, badannya dimajukan sedikit karena tidak mau mengganggu yang lain.
Selina berdehem kecil, menyerongkan duduknya. “Alibi,” bisiknya. Megan menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya.
“Anak stress!”
*“Actually*, gua salah set alarm—kesingan deh gua,” lanjutnya sambil mengambil kertas KRS yang sudah di-print dari tasnya.
“Lo abis darimana semalem? Sampe kesiangan gitu…”
Megan adalah temannya sejak masa orientasi kampus. Tentu saja selama dua setengah tahun ini Megan sudah mengenal Selina lebih dalam. Dia paham betul kepribadian Selina yang tiba-tiba hilang tanpa jejak karena rasa ingin mengeksplor kota sangat besar—sekali kedipan dia sudah berada di kota tetangga.
“Vikram invited me to Campus Corner,” jelas Selina. Sebelum Megan bisa menanyakan lebih lanjut, nama Selina sudah dipanggil duluan. Dia bergegas menghampiri Pak Bimo.
Sedangkan Megan digantung dengan nama asing yang terucap dari mulut Selina. “Who the fuck is Vikram?” gumamnya.
Tidak mau mati tergantung, dia menyenggol teman di sebelahnya. “Lo kenal Vikram gak?”
Temannya hanya menggeleng. Megan mengerucutkan bibirnya, alisnya berkerut, dia sedang berpikir. “Aneh… nama baru lagi. What is her thing with Campus Corner?” gerutunya pelan.
*Campus Corner* itu salah satu tempat tongkrongan mahasiswa Universitas Grahadhika. Lokasinya tepat di seberang gedung universitas. Campus Corner isinya ada beberapa cafe dan tempat makan yang harganya terjangkau bagi mahasiswa, makanya banyak yang langganan di sana.
“Tau Vikram gak?” tanyanya pada teman yang duduk di sisi kirinya—masih berusaha mencari jawaban. Lagi-lagi, yang didapat hanya gelengan kepala.
Megan membuang nafas kasar, matanya melirik ke arah Selina yang lagi serius ngobrol sama Pak Bimo. Wajahnya santai, tidak kelihatan bersalah atau semacamnya.
“Selina Lakeisha. Gimana? Ada masalah gak sama perkuliahannya?” tanya Pak Bimo, matanya bolak-balik menelaah kertas KRS milik Selina dan layar laptopnya.
“Sejauh ini belum ada sih, Pak. Aman,” jawab Selina terlalu santai, yang diterima anggukan sang dosen wali.
Tangan Pak Bimo lihai mengetik sesuatu—kemungkinan catatan mahasiswa—di laptopnya. “Ini kenapa satu kelas gak kamu ambil? Kamu masih ada sisa SKS-nya ini,” seketika dahi Pak Bimo mengernyit.
Mampus.
Strateginya langsung ketahuan.
Dia menelan ludah. “Itu… sebenarnya saya mau ambil, Pak. Tapi… kelasnya penuh.” Berharap alasannya masuk akal.
Pak Bimo pun kembali sibuk dengan laptopnya. Matanya fokus pada layar. “Ah… alesan aja kamu,” ujarnya tiba-tiba.
“Serius, Pak—”
“Ini apa?” katanya, sambil memutar laptop itu ke arah Selina. Layar kotak itu menampilkan satu kelas kosong yang bisa diambil. Tapi… itulah alasan dia tidak mengambil kelas Survey of American Literature. “Ambil matkulnya, kalau gak, saya gak akan acc KRS kamu,” tambahnya.
“Yah… Pak, jangan dong…”
Pak Bimo tidak berdebat lagi, dia hanya mengembalikan kertas KRS-nya. “Saya tunggu sampai sore ini di ruang dosen.” Suara beliau sangat jelas dan terasa intimidasinya. Inilah Pak Bimo yang asli.
Tolonglah… Selina hanya tidak ingin mengambil kelasnya karena tersisa kelas dosen yang terkenal dengan ‘ramah, tapi ngasih nilai kecil’. Ini sudah semester lima, dia harus menyelamatkan IPK-nya agar bisa mengambil skripsi tahun depan.
Selina kembali ke kursinya dengan wajah cemberut. Dia langsung membuka ponselnya untuk mengubah KRS itu.
“Woi! Vikram siapa anjir?”
Selina tetap diam, jempolnya sibuk mengklik matkul yang harus dia ambil dengan berat hati.
“Sel!” Megan teriak berbisik di telinganya.
“Sabar. Gua lagi berhadapan dengan hidup atau mati,” sahutnya.
Megan melirik ke ponsel Selina, kemudian menatapnya bingung. “What’s wrong?” tanyanya.
Selina melirik Megan sambil cemberut. “Gua disuruh ambil kelasnya dia…”
Megan memiringkan kepalanya, “Dia siapa?”
“Pak Baskara…”
“Kenapa? Lo masih gak suka sama beliau?” tanya Megan, alisnya dinaik-turunkan.
“Gua gak suka branding dia sebagai dosen ramah tapi ngasih nilai kecil. Ramahnya dimana?” tukas Seline, kedua tangannya dilipat di sepan dada, pipinya menggembung.
Megan tertawa kecil. Jelas, karena dia salah satu dari mereka yang mengidolakan Pak Baskara. “Ramah tuh gak selalu harus ngasih nilai bagus. Beliau emang ramah, kalau dibandingin sama dosen sastra yang lain. Soal nilai mah… urusan otak masing-masing. Beliau hanya menilai sesuai kemampuan kita.”
Wow… Megan terdengar seperti sedang menulis essay.
*“Meg… lo dibayar berapa? Buzzer* ya?” celetuk Selina, kaget—matanya membulat. “Lo ngebela dia, like your life depends on him,” lanjutnya.
Megan memukul lengan Selina pelan, kemudian bangun dari kursinya. “Udah kan? Cabut, ayo! Gua laper.”
“Temenin gua nge-print KRS baru dulu,” rengek Selina yang diikuti dengan anggukan Megan.
Mereka keluar kelas, suara langkah sepatu tidak perlu beradu dengan sepinya koridor kelas yang hanya ada beberapa mahasiswa. Selina meremas kertas KRS lama di tangannya sambil menghela nafas.
“Gua heran deh… setiap semester, pasti ada aja drama KRS lo,” celetuk Megan sambil melipat tangan.
Selina nyengir, tidak merasa bersalah. “Biar hidup gua ada plot twist dikit.”
“Hidup lo tanpa dibuat-buat juga selalu plot twist, Sel. Semua orang tau itu,” tambah Megan sambil memutar kedua bola matanya. Selina tertawa mendengarnya.
Kenyataannya, hidup Selina memang selalu punya jalannya sendiri untuk berubah jadi drama. Bukan drama yang bikin air mata ngalir, tapi kejadian absurd yang tiba-tiba muncul di waktu yang absurd juga.
Semester pertama, dia pernah salah masuk kelas dan baru sadar setelah setengah jam duduk manis sambil nyatet mata kuliah semester tujuh.
Semester kedua, dia sudah curhat panjang lebar tentang dosen-dosen sastra sama orang yang baru dikenalnya di Campus Corner, ternyata beliau adalah dosen Sastra Rusia.
Sekarang… baru juga KRS semester lima—perkuliahan pun belum dimulai, dia berhasil bikin drama karena tidak mau mengambil kelas Pak Baskara dengan cara berbohong kelasnya penuh.
Dia pintar, tapi kadang suka impulsif.
Sesampainya di tempat print, dia langsung menghampiri komputer yang kosong. Buru-buru menyelesaikan drama yang dibuatnya sendiri.
“Eh! Kan… gua lupa!” cetus Megan tiba-tiba. Selina berdehem, menunggu Megan melanjutkan kalimatnya. “Who’s Vikram? Lo belum jawab!”
“Dear, God! Lo masih aja nanyain itu,” pungkas Selina, sambil membenarkan kertas HVS di tempat dalam printer.
Megan menyeret kursi kosong di sebelah Selina. “Gua udah nyanya ke yang lain, gak ada yang kenal… so, siapa?”
*Selina membuang nafas pelan. “Just*… a guy from psychology.”
“Hah?”
Selina mengambil hasil print itu dan berjalan menuju kasir untuk membayarnya. Megan mengint di belakang.
“Kenal darimana?”
“Temennya Tessa,” jawab Selina singkat.
“Terus… kalian ngapain ke Campus Corner?”
“Ya… nongkrong aja, main board game.”
“Sel… lo gak dijadiin objek penelitian kan?” Pertanyaan Megan yang ini berhasil mengambil oerhatian Selina, dia meliriknya tidak percaya.
“Orang gila! Nggak lah!”
“Bisa aja… soalnya kepribadian lo unik,” imbuh Megan sambil cengengesan. Selina berdecak lidah sambil menepuk lengan Megan, sedangkan kakinya masih sibuk jalan keluar gedung fakultas.
“Jangan bikin gua jadi spesies langka deh, Meg.”
“Kenyataannya begitu, Sel. Orang biasa ke Campus Corner buat ngopi, makan, atau main uno. Kalo lo? Bisa pulang bawa cerita aneh yang lo denger dari meja sebelah.”
Benar. Selina suka nguping pembahasan meja sebelah. Menurutnya, kisah hidup manusia itu seru. Ada yang aneh, ada yang menyedihkan, ada yang bikin bahagia dengarnya, ada yang bikin ketawa, ada juga yang bikin… mual.
Selina terkekeh, tapi dalam hati dia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Megan. Memang, malam itu terasa… berbeda. Bukan sekedar nongkrong. Ada sesuatu dibalik undangan Vikram yang bikin suasana terasa misterius.
Bayangan malam itu, masih menempel jelas di pikirannya. Vikram yang biasanya banyak bicara, dia hanya duduk santai sambil memutar gelasnya, seolah dia sedang merancang sesuatu di otaknya. Caranya menatap Selina malam itu, tenang tapi penih rahasia, cukup membuat Selina penasaran.
Ah… persetanan soal itu. Mungkin hanya perasaan buruk.
Setelah sepuluh menit jalan keluar gedung unibersitas, mereka berdua menyebrang menuju Campus Corner untuk makan siang. Menu yang sering dipesan Selina adalah nasi goreng teri sambal ijo. Menurutnya rasanya sangan umami, cocok dengan lidahnya yang suka dengan makanan gurih.
Tempt ini tidak pernah sepi pengunjung walaupun mahasiswa sedang libur pun mereka tidak pernah tutup. Bisa dibilang, mereka buka 24 jam—sangat cocok dengan kehidupan mahasiswa yang sering melakukan kegiatan sampai malam hari.
“Gua abis ini, mau langsung ke fakultas lagi,” ucap Selina sambil menyuap nasi gorengnya.
“Mau gua temenin?” tawar Megan.
“Gak perlu. Gua cuma nyerahin KRS tadi.”
Megan hanya mengangguk dan kembali fokus pada makanannya. Mereka makan dalam keheningan singkat. Selina menghabiskan suapan terakhirnya, lalu meneguk es jeruk hingga tinggal es batu dalam gelas.
“Gua duluan, deh.” Selina bangkit, merapikan bajunya dan menyampirkan tas ke bahu kanan. Megan cuma melambaikan tangannya, mulutnya masih mengunyah. Klasik Megan: makannya lama.
Panas matahari siang langsung menembus baju Selina. Dia memutuskan baik ojek pangkalan, tapi tetap tidak bisa menghindari sengatan matahari di kulitnya.
Setibanya di gedung fakultas, suara pendingin ruangan dan wangi khas memenuhi indramya. Dia langsung menuju ruangan dosen yang berada di lantai dua—demi mendapat tanda tangan sang dosen wali. Untung saja prosesnya cepat, hanya beberapa menit dan tanpa drama. Ketika keluar, dia mendapati sosok yang sama sekali diluar ekspektasinya.
Wangi maskulin tercium mencolok hidung.
“Makasih, Pak.”
Selina mengembalikan helm ojol yang tadi dia pakai sambil tersenyum kepada sang driver. Setelah motor ojol itu pergi, angin malam ikut berhembus kencang ke arahnya.
Ah… harusnya dia memakai baju lengan panjang, tapi sudah lah.
Selina melangkahkan kakinya keluar dari halaman Ind*mart, menuju sebuah gang yang dia temukan tadi siang—dia sedang berjalan-jalan mengitari kota untuk mencari tempat hang out. Saat itu, di daerah dekat gang sedang macet karena terjadi kecelakaan. Mobilnya berhenti tepat di depan gang itu. Matanya menangkap sebuah ruko kecil seperti warung makan.
“Kayaknya kita belum pernah ke situ,” cetus Selina, tangannya menekat tombol kontrol kaca mobil untuk melihat gang itu lebih jelas.
“Sel, kepala lo jangan keluar-keluar nanti ketabrak!” tegur Tessa dari kursi belakang.
Selina pun nurut, kemudian hanya melihatnya dari dalam mobil. “Ke sana yuk,” ajaknya.
Tessa, Megan, dan Vikram langsung menengok ke arah gang yang ditunjuk. “Jangan ah! Gua denger di sana tempatnya geng motor,” ujar Tessa, mukanya cemberut.
“Emang iya?” tanya Selina kepada Vikram—dia laki-laki, mungkin tahu sesuatu. Vikram mengangkat bahunya dan matanya kembali ke depan.
“Berita yang seliweran sih gitu,” jelas Vikram yang sama sekali tidak menjawab, kakinya menekan pedal gas perlahan melewati gang itu.
Selina berdehem… pikirannya masih terganggu dengan ruko yang terlihat sangat estetik, seperti sebuah warung makan hidden gem. “Emang… pernah ada kasus ya?” tanyanya masih penasaran.
“Cerita orang sih begitu…” celetuk Megan dari kursi belakang. Selina melirik ke arah Vikram yang kelihatan tidak tenang, seperti dia tahu sesuatu tapi tidak bisa memberikan penjelasan atau sekedar informasi.
Di sini lah dia… malam hari… sendirian untuk mencari tahu. Selina berharap dia akan aman. Dia memeluk erat tas selempangnya di depan dada sebagai bentuk proteksi, walaupun jalan raya ramai, tapi gang itu terlihat sepi. Kakinya terus melangkah mendekati ruko kecil yang dilihatnya.
Eh?
Bukan warung makan? Fasadnya benar-benar seperti warung makan kecil tapi tidak ada pengunjung yang makan di sana. Dia memberanikan diri untuk masuk warung itu. Tidak ada orang… dia mengecek setiap sudut ruko dan membaca spanduk menu yang tertempel di depannya ‘Warung Bakso dan Mie Ayam 88’.
Oh…?
Apa sudah tutup ya? Tapi kenapa rolling door masih terbuka dan lampunya menyala.
Tiba-tiba ada orang yang keluar dari kulkas showcase cooler.
Iya… kuklas minuman itu ternyata pintu.
Pria berbadan ramping dan tinggi, kaget melihat keberadaan Selina, begitu juga dengan Selina. Kemudian, dia buru-buru menutup pintu kulkas. Mata Selina masih memperhatikan kulkas itu.
“Uhm… ada yang bisa dibantu?” tanya pria itu, suaranya sedikit bergetar.
Selina diam sebentar, sebelum menunjuk kulkas itu. “Itu… ada ruangan lagi?”
Pria tadi mengikuti gerakan tangan Selina. Raut mukanya terlihat sedikit panik. “Oh… itu kulkas penyimpanan,” jawabnya cepat.
Selina mengerutkan keningnya. “Masa sih? Kok… keliatannya kayak ruangan? Lampunya warna-warni gitu,” cecer Selina.
Oh, Selina. Harusnya dia punya sedikit tasa takut saat menginjakkan kakinya di tempat yang asing seperti ini. Tapi jiwa berpetualang dan rasa penasarannya sangat tinggi yang membuat dia tidak bisa membiarkan itu semua walaupun dia ada di dalam bahaya.
Pria itu tersenyum kaku, maju satu langkah menjuh dari pintu kulkas. “Design aja—biar keliatan keren,” ujarnya sambil terkekeh canggung.
Tentu saja Selina tidak percaya. Pria itu meraba-raba saku celananya seperti mencari sesuatu yang bisa menyelamatkanya dari situasi ini. Selina berjalan mendekat pintu itu, pria tadi langsung menghadangnya.
“Maaf khusus staff yang boleh masuk,” tukasnya tegas. Terlihat gagah sambil menelan ludah menghilangkan kepanikannya.
Mata Selina masih terpaku ke kulkas itu, jantungnya berdegup dengan cepat. Dia merasa tertantang.
Gila… kulkas bisa jadi pintu ke ruangan lain? Kalau yang viral itu kan nembus ke bar… ini kalau bukan bar, apa dong?
Batinnya berspekulasi mengenai ruangan misterius itu. Suasana sempat hening dan terdengar dentuman… musik? Itu yang didengar Selina.
“Kamu staff?” tanyanya hati-hati dan mencoba membaca wajah pria itu.
Pria itu mengangguk cepat. “Iya… habis ngecek barang.”
Selina berjalan mendekat… sedikit berjinjit dan mencondongkan mulutnya ke telinga sang pria. “Kalau cuma staff… kamu gak bakal panik cuma gara-gara kulkas,” ucapnya dengan nada rendah hampir terdengar seperti berbisik.
Mereka sama-sama mengunci tatapan. Pria di depannya terlihat semakin gelisah. Sampai akhirnya suara berat dari belakang membuat Selina dan pria itu menoleh bersamaan.
“Ada masalah di sini?”
Badannya besar dan berotot. Tinggi… lebih tinggi dari pria tadi. Ada tato di lengan kirinya. Pakaiannya rapi seperti habis menghadiri sebuah acara. Wajahnya… Selina tidak bisa bohong kalau dia begitu tampan—rahang tajam, bibir se*xy, alis lumayan tebal, hidung mancung. Yang paling penting… wangi. Dia wangi sekali. Wanginya sangat menggoda kaum hawa.
Selina mengambil langkah mundur. Jujur saja… dia baru menemukan pria tampan selama dia kuliah di kota ini. Well, ini selara dia.
Kedua pria itu saling bertatapan. Mereka sama-sama memberi sinyal lewat mata. Selina hanya bisa menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan. Seperti ya pria berotot itu pemiliknya. Kemudian pria berbadan ramping kembali membuka pintu kulkas dan masuk ke dalam ruangan, sedangkan Selina masih berhadapan dengan pria berotot di depannya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria berotot. Nadanya sedikit kasar dan datar, tapi se*xy membuat Selina membasahkan lidahnya—gugup.
“Oh… saya kebetulan lewat, terus liat ada tempat makan ini—tapi sepi. Saya pikir udah tutup,” jawab Selina. Kalimatnya sedikit mutar-mutar.
Pikiran Selina saat ini adalah dia sedang berusaha fokus pada mukanya. Rasanya berat—matanya ingin menggeledah tiap sudut tubuh pria di depannya.
“Mau makan?”
“Well… kalau masih buka…”
Niat awalnya bukan untuk makan, tapi ingin mencari tahu tempat apa ini. Dia ingin mematahkan rumor-rumor yang beredar tentang geng motor itu.
Kemudian pria berotot itu mengangguk pelan, tangannya mempersilahkan Selina untuk jalan. Selina bingung—mengangkat kedua alisnya.
“Ikuti saya,” ujarnya. Saat dia berjalan melalui Selina, aroma woody bercampur amber dan sedikit hint spicy langsung memanjakan hidungnya.
“Damn… wangi berduit nih,” celetuk Selina, suaranya lebih kecil agar terdengar.
“Kenapa?” Tiba-tiba pria itu menengok ke belakang dengan tangan yang sudah memegang hendle pintu.
Mata Selina terbelalak kaget, “Oh—nggak…”
Pria itu mengabaikan Selina dan membuka lebar pintu. Lorong itu menunjukkanjalan menuju ruangan bercahaya merah. Selina terus mengikuti langkah pria berotot itu sampai masuk ke sebuah… bar.
Selina terkekeh kecil. “Cuma bar… kenapa staff kamu nutup-nutupin sih. Oh—jangan bilang… ini bar ilegal?” tangan kosongnya langsung menutup mulut yang menganga. Selina berani menatap mata si pria di bawah cahaya merah yang menyelimuti ruangan itu. Si pria itu hanya menatapnya, ekspresi tidak bisa dibaca, dan langsung berjalan menuju meja bar.
Selina membuntuti, matanya melirik ke sekeliling ruangan tersembunyi itu. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi sepertinya ini juga bukan bar umum layaknya bar di luaran sana. Dahinya mengernyit dan bibirnya dimajukan.
“Kok sepi? Biasanya bar rame?” tanya Selina memecah keheningan mereka. Pria itu melirik jam tangannya.
“Masih jam setengah sembilan,” ujarnya ringan dan meninggalkan Selina yang masih kebingungan.
Ini night bar? Hidden night bar? Biasanya jam delapan malam juga sudah buka, tapi kok…? Atau… jangan-jangan di sini memang tempat geng motor itu? Ah… tapi terlalu mewah gak sih? Tapi bisa aja…
Pikiran itu berputar di kepalanya. Sedangan pria yang tadi sudah berada di depan mena bar. Matanya fokus pada Selina yang terlihat sangat tenang memasuki tempat asing itu. Dilihatnya dari atas sampai bawah, pakaian Selina sangat tidak aman untuk seorang wanita berjalan malam sendirian di daerah bar—mesh seer crop top warna hitam dan jeans ketat. Dia kemudian berdehem mengejutkan Selina.
“Di sini seriusan jualan bakso dan mie ayam?” Pertanyaan Selina membuat rahang pria itu sedikit mengeras. Selina duduk di kursi tinggi sambil mencondongkan badannya ke meja. Matanya tidak lepas dari mata pria di depannya.
Pria itu tidak langsung menjawab, tangannya mengambil sebuah botol dan gelas—menuangkan minuman di depan Selina.
“Apple juice?” Selina mengernyit melihat lebel yang masih tertempel pada botol itu. Pria itu mendongakkan kepalanya.
“Saya gak tau kamu minor atau bukan,” pungkasnya singkat dan datar dengan tangannya yang menyodorkan gelas ke arah Selina.
Lagi-lagi Selina tertawa, tangannya menerima gelas tersebut. “I’m old enough for alcohol,” ujarnya. Matanya melirik gelas itu, kemudian melirik mata si pria dengan tatapan genit.
Percayalah lah, kalau Megan bilang Selina punya kepribadian yang unik, dia juga kadang suka genit. Bukan maksud untuk menggandeng banyak pria, tapi dia suka melihat reaksinya.
Pria itu hanya menatapnya datar tanpa ekspresi, tapi dengan wajahnya saja cukup untuk hiburan bagu Selina. “Kalau begitu, kamu bisa pesan sendiri nanti,” nadanya dingin, lalu menaruh botol itu kembali di rak belakang.
Selina pura-pura manyun, tangannya menggoyang-goyangkan gelas isi jus apel itu. “Gak seru…” gumamnya sambil menyeruput sedikit. Rasa manis khas dari jus apel membilas dahaga yang dari tadi dia tahan.
Well, setidaknya warna jus apel ini mirip dengan Whiskey.
Mata Selina terus memperhatikan gerak-geriknya. Ada aura misterius yang terlalu kuat keluar dari pria ini—tenang, tapi juga seperti menyimpan sesuatu.
“What’s your name?” tanya Selina, nadanya ringan.
Pria itu menoleh, menatapnya lumayan lama tanpa jawaban. Baru setelah Selina hendak membuka mulut lagi, dia berucap pelan, “Kamu gak perlu tau.”
Selina hampir tersedak jus apel di mulutnya. “I don’t think so… kita udah ngobrol banyak tapi belum tau nama and I think… it’s a bit rude. Isn’t it?”
Pria itu tersenyum samar—merasa sedikit tertarik dengan Selina. Tanganya mengambil kotak tisu untuk Selina yang sibuk mengelap pinggiran mulutnya dari jus yang manis itu.
Senyuman samar itu enah kenapa, malah bikin Selina semakin terpancing. Dia mencondongkan lagi tubuhnya ke meja bar dengan bertopang dagu.
“Playing hard to get, nih ceritanya?” ujarnya dengan tatapan yang masih terkunci pada setiap pergerakan si pria.
Pria itu berhenti sejenak, tangannya memegang gelas yang baru. Tatapnnya singkat, dingin—seolah-oleh berkata ‘jangan main-main sama saya’.
“Tinggalin rasa penasaranmu itu, bahaya,” ucapnya datar, tangannya mengambil botol Whiskey dan menuangkan ke gelas tadi.
Alih-alih mundur, Selina justru merasa tertantang. “Terdengar seru,” balasnya sambil menyodorkan gelas yang sudah kosong—meminta pria itu untuk mengisi gelasnya dengan Whiskey.
Pria itu mengambil gelasnya dan mengganti gelas itu dengan yang sudah berisi Whiskey. Selina tersenyum sumringah, langsung menyeruput minumannya.
“So… what’s your name?” tanyanya lagi, masih belum menyerah. Pria itu membuang nafas pelan, sambil mengingkirkan gelas kotor ke tempat cucian.
“Leonhard,” ucapnya tipis, hampir tidak terdengar.
“Leonard?”
“Leonhard.”
Nada suaranya sedikit lebih tegas dari sebelumnya—Selina agak kaget, tapi dia suka.
“Wow… okay, Mr. Leonhard,” ledek Selina sambil menekan ucapannya, senyumnya masih melekat di bibir. “I’m Selina, by the way.”
Leonhard tidak mendanggapi. Tangannya sibuk mengelap permukaan bar dengan gerakan tenang. Justru itu yang membuat Selina semakin tertarik, seperti dia gatal untuk menerobos dinding dingin itu.
“Kamu seharusnya pulang. Tempat ini bukan tempat main,” ujar Leonhard sedikit ketus mengusirnya dari bar itu. Selina cemberut, meneguk habis sisa Whiskey di gelasnya.
“Kenapa? Bukannya sebentar lagi bar ini buka—” Kalimatnya terputus saat satu pikiran muncul di otaknya, dia terkesiap. “Don’t tell me the whole geng motor thing itu beneran ada?” sambungnya dengan nada yang meninggi.
Leonhard hanya menutar bola matanya, dan mengambil gelas bekas Selina. “Jangan gila.”
Kemudian dia berjalan mendekati Selina. Selina sudah mengambil ancang-ancang pembelaan diri, tapi ternyata Leonhard hanya mengulurkan tangannya ke arah keluar.
“Pulang. Minumanmu saya yang atur.”
Selina tidak lagi berdebat, dia langsung dari kursi tinggi itu. Matanya menginci pada tatapan tajam yang diberikan Leonhard, kemudian dia tersenyum manis. “Thank you, then. See you,” ujarnya sambil melambai kecil. Dia berjalan mundur, masih melihat reaksi dari Leonhard yang sama sekali tidak terbaca.
Leonhard memutar badannya, meninggalkan Selina yang masih sibuk melambai. Dia mengeluarkan nafas berat yang panjang sembari memijat pelipis yang terasa berat. Kejadian hari ini sangat mengejutkan.
Selina mendengus pelan, “Gila… cuek bangat,” batinya sambil melangkah keluar.
Selina baru melangkahkan kakinya ke trotoar, dia melihat seseorang turun dari motor besar berwarna biru-putih. Mukanya tidak terlihat karena masih tertutup helm, tapi saat orang itu mengetahui keberadaan Selina, dia tampak terkejut. Selina memiringkan kelapanya sedikit. Sepertinya… dia pernah lihat motor itu, tapi dimana…?
Saat dia mau menghampiri, ponselnya berdering—menunjukkan nama Megan di layar. Dia tersenyum lebar, langsung lupa dengan orang tadi.
Dering ketiga, langsung diangkat panggilam teleponnya.
“Tebak. Gua abis darimana?”
“Selina lo nyari mati namanya!” Tessa mendorong pelan bahu Selina sehingga dia terhuyung ke samping. Selina tidak marah sama sekali, dia malah tersenyum lebar merasa memenangkan sesuatu.
“Malam itu, lo mungkin aja selamat Sel… tapi kan kalo lo unlucky bisa bahaya!” Tessa terus-terusan mencecernya yang diikuti anggukan setuju dari Megan—dia terlalu speechless mendengar fakta bahwa Selina datang ke warung makan bakso dan mie ayam yang ternyata adalah sebuah bar malam tersembunyi.
“Chill, guys. Buktinya gua selamat dalam keadaan utuh. Ah lo harus tahu! Yang punya bar-nya ganteng banget… parah—selera gua,” celetuk Selina dengan semangat sambil membayangkan paras Leonhard malam itu.
“Mau dia selera lu atau apa…terserah. Pokoknya lo jangan ke sana lagi,” tambah Megan menatapnya penuh kekhawatiran. Senyum Selina melembut menenangkan Megan dan Tessa.
Dia berdehem, “Gua ajak kalian aja kali ya biar gak sendirian,” ujar Selina sambil bercanda.
“Lo nyari mati jangan ngajak-ngajak, dong!” tukas Tessa kembali memanas yang membuat Selina tertawa kencang.
“Guys… I said chill. Gua bisa Taekwondo. I know how to fight,” pungkas Selina sambil menunjukkan salah satu gerakan Taekwondo.
Megan memutar matanya, “Kenapa lo gak ngerti sih… you are in danger, Sel,” gumamnya.
Selina memang keras kepala. Dia akan mengejar sesuatu yang dia rasa menjadi tatangan baginya—mau itu bahaya atau tidak, dia akan membuktikannya sendiri.
“Yang kalian takutin apa sih?” tanya Selina yang sebenarnya bingung dengan kekhawatiran kedua temannya itu. Tessa dan Megan sama-sama membuang nafas frustasi.
“Kan gua udah bilang. Di sana tempat kumpulnya geng motor,” jawab Tessa. Suaranya sedikit dikecilkan saat mengucapkan ‘geng motor’.
“Walaupun rumor, ada 80% dari rumor itu benar,” tambah Megan yang ikut berbisik.
Selina mengalihkan pandangannya ke pohon yang rindang, bibirnya sedikit merengut seperti sedang berpikir. Perkataan mereka memang ada benarnya—memang lebih baik berantisipasi dan menghindari itu, tapi bagi Selina yang sudah terlanjur ‘nyemplung’ sangat sayang untuk dilewatkan. Lagipula, dia juga sudah terlanjur penasaran dengan Leonhard. Dia merasa ada sesuatu di bar karena keanehan staff yang dia temui saat itu.
“Gua cuma warning aja ini bukan drama Korea yang tiba-tiba lo jadi main character ya Sel,” ujar Megan. Tapi bukannya terintimidasi, Selina malah makin nyengir.
“Gua rasa ada sesuatu di sana yang harus gua temuin,” nada suaranya merendah, tapi penuh tekad.
Tessa menatapnya lama, kemudian menghela nafas berat. “Lo tuh keres kepala banget, sumpah. Ntar kalo kejebak masalah besar beneran, jangan bilang kita gak ngingetin.”
Selina mengangkat bahunya, lalu meraih tasnya. “Okay. Tapi kalau ternyata gua bener, jangan bilang gua gila.”
Megan dan Tessa saling berpandangan, sama-sama pasrah dengan keputusan Selina. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain mengikuti arus Selina yang keras kepala itu.
“Let’s go! Bentar lagi kelas,” Megan akhirnya menyerah, meraih lengan Selina dan Tessa sambil menariknya jalan.
Mereka meninggalkan Hamlet Bench—bangku panjang tempat nongkrong mahasiswa Sastra Inggris—menuju gedung C untuk mata kuliah Survey of American Literature.
Benar… kelasnya Baskara yang dihindari Selina, tapi sayang dengan berat hati dia harus mengambil kelas itu. Sebenarnya dia tidak punya dendam pribadi, dia hanya malas dengan orang modelan seperti beliau—diam-diam menghanyutkan. Walaupun begitu, dia juga tidak bisa terhindari dari sebutan nama beliau karena Megan dan Tessa sangat mengidolakan seorang Baskara.
Selina menghela nafas pelan saat menyusuri lorong kelas yang sudah penuh dengan mahasiswa lainnya. Dia sama sekali tidak siap untuk berhadapan dengan Baskara.
“Relax. It’s just Pak Baskara,” ujarnya Megan yang mendengar helaan nafas Selina, diikuti dengan Tessa yang mengusap lengannya.
“I know… tapi gua harus berhadapan Baskara itu dua kali dalam seminggu—God, have some mercy on me,” celetuk Selina sedikit membusungkan dada karena tidak bergairah memasuki kelas. Tessa langsung menegakkan punggungnya sambil tertawa kecil.
Pintu kelas sudah setengah terbuka mengartikan mahasiswa lainnya sudah berada di dalam. Selina menoleh singkat pada kedua temannya, senyum tipis mengembang. “Time to act like a normal student.”
Tanpa menunggu jawaban, dia mendorong pintu lebih lebar dan masuk—tidak tahu dalam beberapa menit, dia akan berhadapan dengan sosok yang sama sekali tidak ‘normal’.
Kelas sudah setengah penuh saat mereka masuk. Suasana riuh rendah, beberapa mahasiswa sibuk merapikan laptop, ada yang masih mengobrol menunggu dosen datang. Mereka mengampil kursi barisak ketiga dari belakang—tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang.
“Gila… ramenya, banyak banget ceweknya,” gumamnya melirik sekeliling.
“Believe me. Ini belum seberapa dari semester dua di kelas Labwork General—suaranya cuy asik banget didenger lewat headphone,” ujar Tessa, matanya berbinar mengingat masa itu. Di sampinya, Megan merengek kecil.
“You’re so lucky. Gua gak kebagian kelasnya,” kata Megan sambil pura-pura menangis.
Selina hanya bisa mendengar kehebohan mereka setiap topik ‘Pak Baskara’ muncul. Belum sempat dia membuka mulut, suara berat terdengar.
“Selamat siang, semuanya,” sapa beliau—Pak Baskara. Matanya langsung tertuju pada sumber suara. Dia mendengus pelan. Ternyata benar, pakaiannya selalu rapi, kemeja lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana. Kacamata… dan rambutnya yang tidak ditata. Ransel hitam menggantung di bahu kirinya.
Apa yang membuat mereka tergila-gila dengan dosen ini?
Bahkan, begitu langkahnya memasuki ruangan, beberapa mahasiswi di barisan paling depan langsung merapikan rambutnya dan duduk lebih tegak. Ada juga yang buru-buru membuka catatan, seolah ingin mencari perhatian langsung.
Selina menahan tawa kecil. Ayolah… dia hanya dosen yang kebetulan populer, bukan seorang rockstar.
Baskara meletakkan ranselnya di meja, lalu menyapu pandangannya ke seluruh kelas. Sorot matanya tenang dan tajam secara bersamaan.
“Baik, kita mulai perkuliahan hari ini ya,” ucapnya sambil mengambil laptop dari dalam rasel.
Selina menyenderkan pundaknya dan menghela nafas lagi. Dia terlihat lebih santai karena ini masih minggu pertama yang arti ya perkuliahan belum benar-benar dimulai karena masih membahas silabus untuk satu semester kedepan.
“Di sini… pasti udah ada yang pernah masuk kelas saya, juga pasti ada yang baru sama saya, kan?” tanya Baskara melepas fokus matanya dari layar laptop. Sebagian dari mahasiswa di kelas menjawab serentak.
“Baik. Peraturan kelas saya masih sama—ada dosen yang tidak masalah dengan presensi, tapi saya, di kelas ini presensi kehadiran kalian akan sangat membantu. Jika presensi kehadiran kalian kurang dari 80%, artinya kalian harus ngejar kekosongan itu lewat nilai. Paham?”
“Paham,” jawab mahasiswa serentak.
“Isn’t that… basic information?” bisik Selina kepada Megan.
“It is, but… jangan remehin. Nilai lo bisa diambang kematian,” jawab Megan sambil berbisik juga. Selina mengangguk, matanya masih memperhatikan dosen di depan.
“Untuk yang baru ikut kelas saya… jangan takut, saya gak gigit kok.” Bibirnya sedikit terangkat, sekilas senyum tipis yang entah kenapa langsung membuat beberapa mahasiswi di barisan depan bisik-bisik sambil cekikikan.
“Oh my God… such a millenial,” gumam Selina sambil menunduk karena merasa malu.
Baskara kemudian berjalan menuju papan tulis dan menarik layar projektor. “Kita bahas silabus semester ini,” ujarnya sambil menyambungkan laptop ke layar.
Di layar itu menampilkan table silabus lengkap. Dahi Selina mengernyit, tidak menyangka materinya sebanyak itu. “Kenapa gua ngambil sastra ya?” tanya Selina bercanda dengan Megan dan Tessa.
Tessa tertawa kecil, “Don’t ask me… gua juga mempertanyakan yang sama.”
“Setuju,” ujar Megan—mereka ketawa, menutup mulut mereka untuk mereda suara.
“Bisa kalian lihat, untuk mata kuliah ini saya akan membagi kalian per materi untuk dipresentasikan. Siap-siap untuk menyajikan materi sesuai urutan kalian dan…” kalimatnya terputus, matanya mengeksplorasi mahasiswanya, seperti sedang mengancam. “… berdiskusi setelah presntasi. Jadi siap, ya. Saya tidak suka kelas saya sepi,” tambahnya.
Apanya yang ramah? Ini mah sama aja seperti dosen pada umumnya. Mereka kena santet, kah?
Batin Selina tidak bisa berhenti mengutuknya.
Seketika kelas terdengar riuh, beberapa mahasiswa saling melirik. Selina menoleh sebentar, kemudian matanya kembali pada dosen itu. Kalau boleh jujur, Selina merasakan ada sesuatu dari caranya berbicara—tenang, tidak terburu-buru, dan tegas—yang bikin Selina sedikit menahan tatapannya lebih lama. Kemudian dia menggelengkan pelan kepala untuk menyadarkan pikiran.
“Okay. Siapa KM di kelas ini?” tanya Baskara sambil menepuk kedua tangannya.
Tiba-tiba sorot mata tertuju pada Selina. Apa-paan ini? Betul, Selina memang pernah menjadi KM di beberapa mata kuliah lainnya, tapi… oh rasanya berat sekalj kalau dia juga harus mewakili teman-temannya di kelas Baskara.
Mata Baskara mengikuti gerakan beberapa mahasiswa yang menunjuk Selina. Saat itu juga, dia tertegun. Matanya sedikit memesar dan jantungnya seperti jatuh ke lutut.
Tidak mungkin, kan? Batin Baskara meyakinkan.
“No… guys. Jangan gua, please,” bisik Selina sambil menggelengkan kepalanya. Dia bisa mendengar Megan dan Tessa tertawa kecil.
“Well… it’s going to be fun!” celetuk Tessa.
Baskara berdemen pelan, membersihkan tenggorokannya. “Seems like we already have the class representative,” ujarnya. Nada itu terdengar sedikit mengejek bagi Selina yang berkali-kali berkedip cepat.
“Siapa namamu?” tanya Baskara lagi, matanya turun ke laptop melihat daftar nama kelas.
Selina masih ragu untuk mengajukan diri, tapi teman-temannya banyak memohon kepadanya untuk menjadi KM. Sambil membuang nafas berat, Selina membuka mulut.
“Selina. Selina Lakeisha NPM 17”
Jemari Baskara membeku di atas laptop. Badannya juga kaku untuk digerakkan. Suara yang sama… dan nama yang sama. Dia menelan ludahnya dengan berat. Perlahan, memandang kedepan ke sang pemilik suara itu.
Sial.
Dia… Selina. Gadis yang tiba-tiba muncul di bar miliknya seminggu yang lalu. Apakah identitas Baskara akan terungkap?
Baskara, atau Leonhard—orang yang sama dengan profesi berbeda. Sudah hampir tiga tahun dia berprofesi sebagai dosen profesional, menyembunyikan identitasnya sebagai CEO underground. Bukan penyamaran, hanya ingin mencoba kehidupan ‘normal’ dari dunia yang ‘agak’ kotor sebelumnya.
Tidak ada yang tahu tentang identitas gandanya. Bisa bahaya untuk nama baik dan bisnisnya. Selama ini dia sangat berhati-hati agar tidak ada mahasiswa yang mengetahui keberadaan bar-miliknya—bar yang setiap Kamis malam mengadakan balap motor liar dengan taruhan uang. Namun, dengan keberadaan Selina… dia harus menyusun lagi strategi agar tidak membuatnya curiga.
Baskara berdehem lagi dan mengedipkan matanya. “Okay… Selina..?” Suaranya sedikit bergetar.
Gadis itu menatap matanya langsung. Tatapannya sangat berbeda ketika mereka pertama kalj bertemu—tatapan itu terlihat ketidaksukaan terhadap dirinya.
Hmm… menarik.
“Bisa ke sini sebentar?” perintahnya. Selina mengangkat kedua alis sebelum berjalan santai mendekati, sedangkan Baskara mengalihkan pikirannya dengan memandangi layar laptop yang masih menyala.
Selina semakin mendekat, wangi parfum yang dipakai berbeda dari malam itu.
“Saya butuh kontak kamu. Nanti saya kirimkan file tadi yang berkaitan dengan materi presentasi ke kamu, ya. Tinggal kamu sebar luaskan file-nya ke teman-temanmu,” ujar Baskara sambil tersenyum seperti biasanya. Gadis itu hanya berkomunkasi dengan mata dan anggukan mengerti. Dia benar-benar seperti orang yang berbeda.
Tangannya menuliskan nomor kontak pribadi di kertas yang sudah disediakan. “Baik, pak,” ujarnya sambil tersenyum singkat sebelum kembali ke tempat duduknya. Baskara membuang nafas sambil menyimpan kertas tadi.
Baskara mencabut kabel sambungan ke layar projetor dari laptopnya. Namun, pikirannya masih tertunggal pada sosok Selina. Tadi, tatapan gadis itu… polos, tidak seperti tatapan genit yang diberikannya malam itu. Senyumannya tipis, lebih seperti kepastian untuk dirinya sendiri. Baguslah… biarkan begitu.
Tangannya mengetuk meja dengan ringan, mencoba mengusir pikiran yang mengusiknya. “Ada yang perlu ditanyakan?” tanyanya dengan nada seperti biasa—ceria dan mudah didekati—berusaha menutup celah di antara dua identitas yang ia jalani.
Di bangkunya, Selina menuliskan beberapa catatan seadanya mengenai silabus kelas beliau agar tidak lupa. Walaupun dia sedikit rebel, pendidikan tetap nomor satu. Tapi entah kenapa, dadanya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Seakan rasanya sangat familiar, tapi dia masih belum bisa menjawab itu. Pikirannya masih dengan reaksi Baskara yang sedikit aneh saat dia memperkenalkan diri.
Selina berterima kasih karena diberikan kemampuan observasi yang sangat kuat. Dia bisa melihat gerak-gerik kecil yang dibuat oleh orang sekitarnya, dan… dia bisa merasakan otot tubuh dosen itu sedikit menegang saat dia mendekat.
“Kalau tidak ada… udahan aja ya kelasnya. Kita mulai ke materi minggu depan. Okay… see you, guys!” ucap Baskara, bergegas keluar kelas. Meninggalkan ruang kelas dengan helaan nafas mahasiswa dan perasaan aneh di dada Selina.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!