NovelToon NovelToon

Gara-Gara COD Cek Dulu

Pesanan Pertama

"Permisi, Paket!"

Suara itu seketika membuat aku terbangun kaget, merapikan baju serta rambut, cek wajah takut ada yang sesuatu yang nempel, cek jam untuk menengok sekarang jam berapa dan ternyata sudah jam empat sore, tetapi cuacanya sangat panas sekali.

Jujur saja aku ngantuk setelah pulang dari sekolah karena lelah. Aku bergegas membuka pintu agar kurirnya tidak menunggu lama.

"Iya, A. Saya sendiri."

"Totalnya, sembilan juta delapan ratus lima puluh dua ribu, teh."

"Oh iya, A. Sebentar."

Dengan santainya aku kembali membuat kurir menunggu lagi, ya mau gimana lagi aku suka lupa kalau sudah kaget.

Aku mulai menghitung lembaran-lembaran merah dari dompet dengan seksama karena takut salah dan aku langsung memberikannya.

"Dihitung dulu, ya A."

Ia pun mulai menghitungnya, sampai lama banget nunggunya karena bolak-balik dihitung terus.

"Terus diulang-ulang A ngitungnya?" tanyaku penasaran.

"Takut salah, Teh. Soalnya ini uangnya gede banget."

Aku hanya nyengir aja untuk merespons, karena bingung mau bilang apa lagi.

"Sudah, teh. Pas."

"Oh iya atuh."

"Permisi, Teh." Ia sudah mulai ancang-ancang untuk pergi.

"Tunggu dulu, A," ucapku menghentikan langkahnya.

"Ada apa lagi, teh?"

"Please ini mah mohon banget, punten pisan A. Ini tulisannya juga kan COD cek dulu dan ini juga isinya barang elektronik, pokoknya ini berharga banget buat saya, ga mau ada cacat atau kesalahan," pintaku memohon.

Aku pikir dia akan marah atau ngomel atau apa gitu, eh ternyata dia malah tersenyum teduh, dia menghampiriku dan mendengar apa yang aku katakan.

"Maaf, ya A. Malah disuruh nungguin ngecek dulu."

"Iya gapapa teh, kameranya aman kan?" tanyanya memastikan.

"Kayaknya aman sih, tapi coba cek dulu sama Aa nya."

Aku memberikan kamera yang baru ku terima barusan kepada kurirnya, dia mengecek dengan seksama di setiap inci bagiannya.

Dalam hati aku bertanya-tanya "Emang dia tahu soal kamera? Aku nanya sama orang yang tepat atau bukan, ya?" Tapi ya gitu, aku melihat dia seperti benar-benar paham.

"Sudah, Teh. Ini normal banget malah. Kalaupun ada lecet kan bisa di return karena ada video unboxingnya juga."

"Nah itu dia, oleh karena itu saya minta Aa nya buat tunggu saya cek dulu paketnya, ya meskipun nunggunya lama sampai disuruh periksa."

"Gapapa kok, Teh. Santai aja."

Aku membalasnya dengan senyuman.

"Kalau gitu saya lanjut lagi, ya."

"Eh tunggu dulu atuh A, bentar-bentar."

Aku berlari ke arah lemari dan mengambil selembar uang lima puluh ribu di dalam laci.

"Ini, A. Makasih banget pokoknya makasih banget sudah mau direpotin sama saya, jangan ditolak pokoknya makasih," ucapku sambil memberikan uang tersebut.

"Gak usah teh."

"Gapapa A, gapapa."

"Gak usah." Dia kekeh menolak.

Jurus terakhir, aku susupkan langsung ke saku bajunya. Karena kalau ga diterima aku bakalan ngerasa ga enak banget rasanya.

"Wajib diterima, A. Pokoknya makasih, siapa tahu nanti saya butuh bantuan Aa lagi, apalagi kalau soal cek paket beginian."

"Gapapa, Teh. Ini tugas saya, kok. Ga dikasih tambahan juga gapapa."

"Engga ah, ga mau. Pokoknya harus diterima," ucapku sedikit manyun.

"Iya, Teh. Saya terima dan makasih juga. Kalau begitu saya pamit."

"A, namanya siapa?" Tiba-tiba saja mulut ini bunyi nanya nama, dorongan macam apa ini, seorang cewek nanya nama seorang cowok, mana masih baru lagi tinggal di kota orangnya juga, baru tiga hari dan langsung pesan paket pas baru sampai.

"Saya Alva."

"Oke, A Alva. Bisa yah kalau nanti kayak tadi lagi."

"Bisa, Teh."

"Oh ya sudah, kalau gitu boleh silahkan pulang."

"Iya, Teh."

Brak!

Aku langsung menutup pintu dengan kencang karena malu, sampai terdengar seperti orang marah, buru-buru aku menenggelamkan wajahku ke bantal dan menyimpan kamera di sampingku.

"Aaaaaa apaan ini, ya ampun seorang Imel yang katanya cuek ini, bisa-bisanya serandom itu di depan kurir?" Aku menggerutu atas tingkahku sendiri sambil memukul bantal.

Setelah lima belas menit mengomel pada diri sendiri, aku kembali membuka aplikasi orange untuk menilai toko serta kurirnya. Tanpa basa-basi dan berpikir lama, aku langsung memberikan nilai bintang lima ke toko beserta kurirnya.

Tring!

"Bu, besok santai gak?" tanya Pak Ardi—Guru yang baru aku kenal saat aku bekerja di sini. Entah mau apa dia, bahkan aku pun tidak merasa kenal dekat.

"Iya, Pak. Ada apa ya?" balasku.

"Ada hal yang mau dibicarakan aja."

"Wah, apa tuh pak? Jadi penasaran aja saya."

"Ada deh," balasnya tanpaku balas balik.

Bukan geer bukan kepedean, tapi aku ngerasa Pak Ardi mau ngedeketin aku untuk kenal lebih dekat, secara Pak Ardi juga sudah dewasa dan umurnya pun lima tahun lebih tua dari aku. Dia belum menikah karena katanya belum ada yang cocok.

Kebetulan ketemu sama aku yang sudah hiatus mengajar selama dua tahun dan orang tuaku pun mencari cara agar aku bisa bekerja sebagai guru dan ketemulah sama uwa yang sekaligus menyarankan aku untuk bekerja jadi guru kembali, tetapi harus ngekos karena tempatnya di luar kota, tepatnya di sini yaitu kota K yang merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat.

Aku terima-terima aja meski jauh karena itu cita-citaku. Meskipun pada akhirnya aku memulai kembali dari nol karena selalu pindah-pindah tempat, makanya uwa bilang harus dapat orang yang satu kantor agar nanti kalau menikah aku ga akan pindah-pindah tempat lagi karena menetap di sini di satu tempat dan punya pasangan yang satu pekerjaan, Tapi aku tidak terlalu memikirkan itu dan tidak terlalu menginginkannya karena aku punya prinsip sendiri.

***

Oh iya, namaku Imel Naudiazulfi, aku merupakan gadis dari pelosok desa yang ingin mewujudkan cita-cita masa kecil yaitu menjadi seorang guru.

Apakah itu aneh? Entahlah, tergantung orang menilainya. Ya, bagaimana lagi jika di desa sendiri sudah tidak menemukan lowongan lagi, terpaksa aku ngekos sendirian di kota hanya karena ingin mewujudkan cita-cita itu.

Aku juga sedikit barbar, entah banyak barbar, tapi sepertinya sedikit sih hihi. Jika kalian bertanya-tanya baru tiga hari sudah bisa beli kamera atau masa honor bisa beli barang mahal. Jawabannya ya karena meskipun aku gak ngajar, aku punya bisnis yang sedang berjalan yaitu di bidang konveksi, fashion, kuliner, dan aku juga punya kafe yang sedang berjalan untuk membuka cabangnya.

Hei, jangan berpikir kalau aku itu anak pengusaha sukses terkenal atau konglomerat atau pebisnis sukses, bukan. Aku terlahir dari keluarga sederhana, cuma otak yang penuh penasaran dan selalu ingin tahu selalu menjadi dorongan agar aku tetap aktif dalam hal apa pun yang menguntungkan.

Aku suka tantangan dan aku juga suka mengambil resiko, aku pernah gagal, pernah trauma, sakit hati dituduh orang lain, semuanya pernah. Namun, otakku ga bisa diam begitu saja, meski aku juga tetap punya waktu untuk pulih.

***

Saat jam menunjukkan pukul lima sore, aku bergegas mandi, tetapi langkahku terhenti ketika mendapat pesan dari nomor yang tidak dikenal.

085872xxxxxxx

"Permisi, dengan Teh Imel?"

Aneh

"Iya saya sendiri," jawabku dari hati karena aku mau mandi.

Setelah isya barulah aku membalas pesannya.

"Iya, ini siapa ya?" balasku yang sudah tertunda selama tiga jam.

"Saya Alva, kurir yang tadi."

"Oh, A kurir ya."

"Iya, panggilnya Alva aja, ya."

"Oh iya A Alva."

Setelah percakapan singkat itu, aku ga tau dia balas pesan lagi atau tidak karena setelahnya langsung kusimpan ponselnya dan aku mengecek serta memakai kamera yang tadi sampai, melakukan foto-foto dan juga merekam video.

Hasilnya bagus dan memuaskan dan aku suka.

Berkali-kali notifikasi dari ponsel berasa menyerbu, tetapi aku masih santai dengan kameraku.

Ckrkk

Kilatannya kembali menyilaukan pandangan, tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang tertangkap kamera tetapi tidak jelas, mungkin hanya bayangan kabur karena keburu digerakkan.

Buru aku mengambil ponsel yang ranjang, menggeser layar dan membuka berbagai pesan dari Pak Ardi, A Alva dan juga murid sekolah yang bertanya tentang mata pelajaran dan yang iseng nanya-nanya tentang aku, tetapi hal seperti ini tidak aku gubris.

"Teh, teteh Fotografer ya?"

"Umurnya berapa tahun?"

Dari notifikasi pesan yang terlihat ramai, ternyata pesan dari Alva hanya dua biji saja.

"Bukan, A. Saya cuma guru honorer aja."

"Bukan anak kecil A, saya udah 27 tahun," balasku sekaligus dua pesan.

"Ooh kirain fotografer karena pesan kamera."

"Masih tuaan saya ternyata, saya 30 tahun."

"BTW, kameranya mau dipakai apa? Buka foto studio?"

Tiga pesan langsung datang di waktu yang sama, dia sangat fast respons. Aku kembali membalasnya lagi, karena seru aja, sedangkan yang lain tidak aku gubris.

"Hehe bukan, saya pesan kamera karena biar nanti nikah ga mau nyewa, pengennya punya sendiri, ini aja masih kurang."

"Kalau gitu panggil Imel aja biar akrab."

Dia langsung mengetik lagi.

"Ooh gitu, belum nikah ternyata."

"Iya, Imel belum nikah."

"Kenapa?"

"Belum nemu yang tepat aja."

"Sama saya aja gimana?"

Refleks aku membantingkan ponsel ke bantal karena kaget dan rasanya seperti aneh dan beda, aku merasa dia seperti tidak cool seperti tadi sore, membuat aku malas untuk membalasnya lagi.

Tring!

Ponselku kembali berdering, tetapi aku masih belum mau melihatnya, tapi aku penasaran dan akhirnya mengambil ponsel itu dan menatapnya kembali.

"Maaf teh kalau lancang, sya gak bermaksud begitu tapi kalau memang tth belum punya pasangan setidaknya ada harapan untuk saya."

Oh Tuhan, tanganku seketika dingin dan gemetaran, dia waras apa engga sih? Kok bisa se to the point itu bicaranya. Aku bukan senang, tetapi aku malah over thinking.

Dia memang ganteng, wajahnya tegas tanpa terlihat seperti orang lebay atau aga aga ga bener, tetapi pesannya membuat aku bertanya-tanya. Bahkan aku malah takut, meskipun secara fisik dia mempesona.

"Teh?" Dia kembali mengirim pesan.

"Maaf, A. Aa gak bakalan sanggup kalau sama saya," balasku agar dia tidak berbicara seperti itu.

"Kenapa?"

"Ego saya tinggi, berisik, cerewet, matre, realistis, harus selalu perfeksionis, dan apa pun yang saya mau harus dituruti. Hanya orang sabar dan bener-bener sayang sama saya agar rumah tangganya awet."

"Oh cuma gitu, kirain karena ada laki-laki lain. Gapapa kok, saya sanggup."

"Ego saya tinggi A, ga bakalan sanggup."

"Sanggup kok."

"Terus kerja Aa?"

"Bisa diatur."

"Terserahlah," jawabku menutup percakapan. Terserah dan aku gak peduli meski dia mengirimkan pesan lagi.

Tok tok tok!

"Mel, Imel!" panggil temanku dari luar.

"Bentar!" teriakku.

Aku beranjak dari tempat tidur bergegas membuka pintu.

"Ada apa, Nir?" tanyaku penasaran.

Dia Nirma— aku mengenal dia karena tinggal di sebelah kosanku. Baru tiga hari tinggal di sini pun aku sudah akrab dengannya karena dia juga humble. Meski pekerjaan kita gak sama, tapi bersama dia aku merasa ada teman dan gak kesepian.

Dia merupakan kasir Alva Mart di sini dan sudah ngekost selama tiga tahun, mungkin dia juga sudah tahu bagaimana kehidupan di sini.

"Jajan yuk, Mel!" ajaknya.

"Jajan apaan si jam segini?"

"Nyeblaklah."

"Di mana?"

"Udahlah ikut aja jangan banyak tanya."

Dia langsung menarik tanganku dan jalan.

"Iih tunggu dulu napa, Nir. Uangnya lom bawa."

"Oh heuh yaudah sana." kekehnya sambil nyengir.

Tidak tahu kenapa, bareng dia rasanya seperti sudah mengenal lama padahal ini pun hari pertama aku jajan keluar karena biasanya dia pulang malam. Aku bahkan tidak tahu usia dia berapa tahun. Tapi ya sudahlah dianggap teman seumuran aja.

Sebelum pergi, aku berdandan dulu, merapikan kamera disimpan dengan rapi dan tersembunyi serta mengambil dompet untuk aku jajan malam ini, pintu pun aku kunci karena takut ada yang julid.

"Ayo, Nir. Aku dah siap!"

"Gila, jajan seblak doang pun sudah seperti tuan putri dandannya," selorohnya menepuk lenganku.

"Iih apaan sih, dah biasa kali gini mah."

"Cantik banget kamu, Mel," ucapnya memuji, entah dari hati atau hanya bercanda.

"Jangan ngeledek gitu lah," ucapku cemberut.

"Aku serius ga meledek, cuma yang jadi pertanyaan kenapa kamu nyaman sendiri?" tanyanya.

"Ada alasannya lah, udahlah ayo!" ajakku mengalihkan pertanyaannya.

Baru pertama kali datang pun yang ditanya itu sudah menikah atau belum? Sudah punya pacar atau belum?

Padahal kalau sudah menikah ya aku ga mungkin ngekos, kalau pun aku punya pacar aku pun gak akan bilang siapa-siapa. Tapi, kalau soal hati dan tentang hubungan, aku jujur saja kalau masih jomblo dan masih nyaman sendiri.

"Kamu mah suka gitu, ngelak mulu," ujarnya sambil berjalan pelan bersamaku.

"Apik banget sih."

"Iya dong, kan aku dah terbiasa apik."

"Hemmh iya, deh. Intinya ya mungkin gak ada yang mau sama aku."

"Hah, What! Rasanya gak mungkin satu dari sepuluh cowok gak ada yang mau sama kamu."

"Apanya yang gak mungkin? Emang faktanya begitu. Mungkin satu dari seratus pun gak ada," ujarku pelan sambil terus berjalan.

"Tapi gak mungkin Mel, cewek secantik kamu gak ada yang mau."

"Mungkinlah, kan aku cuma seorang honorer aja."

"Tapi kan emang harusnya juga cewek mah dinafkahin bukan dibabuin atau disuruh kerja buat nafkahin suami, gapapa dong punya kerjaan gaji kecil pun."

"Sudahlah, jangan dibahas. Mana sih tempatnya, kok sudah beberapa meter lom ketemu mulu."

"Noh itu di sana!" Tunjuknya.

"Eh iya, ya."

Untunglah dia gak nanya balik tentang aku bagaimana-bagaimananya, biarlah orang-orang cukup tahu kalau aku hanya sebatas guru honorer yang digaji kecil. Bahkan aku pernah digaji delapan puluh enam ribu perbulan. Kalau hitung-hitungan, uang segitu hanya cukup untuk bensin dua hari. Tapi mau bagaimana pun, aku bangga menjadi guru meskipun ada nyeseknya juga dengan berbagai aturan yang membebankan.

"Oiya, kenapa sih kurir tadi kayak gitu, ganteng-ganteng kok lebay? Aneh kan?" batinku berisik.

Tentang Seseorang

***

"Eh bengong mulu," bentaknya membuatku kaget.

Aku mengusap wajah lelah.

"Ga kenapa-napa kok."

"Alah bohong, orang dari tadi kamu ngelamun mulu."

"Udah ah, skip aja."

"Kalau mau cerita jangan sungkan."

"Heem iya, cuma lagi malas aja. Sudahlah mending tungguin seblaknya aja."

Bukan ga percaya untuk cerita, tapi belum enak aja cerita sama orang baru. Jujur aja sih aku lagi mikirin kata-kata Alva yang entah beneran atau bohongan tapi aku kepikiran.

***

Dua mangkuk seblak pedas sudah terhidang di depan mata, aroma bawang putih dan cabai yang menyengat membuat aku beringas langsung menyantap bagianku, bahkan aku menambahkan cabai lagi.

"Kamu doyan apa laper, Mel?" kelakar Nirma diikuti tawa.

"Doyan, untuk obat stress," jawabku sambil terus menyuap seblak pedas prasmanan.

Aku melihat dia menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan aku tersenyum melihatnya.

Setidaknya dengan mengkonsumsi seblak pedas ini pikiranku langsung stabil kembali, semoga.

Tring!

"Gimana, Bu. Besok bisa kan ketemu?" tanya Pak Ardi lagi setelah empat pesannya tidak aku baca. Rasanya malas banget balas chat orang apalagi banyak hal yang harus aku urus.

"Gimana besok aja, Pak," balasku malas.

Lagipula mau apa sih, kayak penting banget. Aku tuh suka bad mood kalau hari tenang atau moment di saat aku sedang santai, asik ngobrol dan lain-lain yang membuatku bahagia malah keganggu sama orang yang ga penting banyak basa-basinya, to the point aja sih kalau mau ngomong, ga perlu pake ada acara ngajak pengen ketemu-ketemuan kecuali kalau penting.

"Siapa Mel?"

"Guru di sekolah."

"Mau ngapain katanya?"

"Pengen ketemu, ngobrol aja gitu."

"Jangan-jangan dia suka kamu, lagi."

"Engga lah ga mungkin."

"Apanya sih yang gak mungkin, Mel? Kamu itu cantik punya pekerjaan juga."

"Walau gaji kecil," sambungku.

"Apa sih, Mel. Ya gapapa lah, setidaknya kamu gak kaya aku."

"Udah ah, jangan gitu."

Tring

"Nah siapa lagi tuh," ucapnya Kepo sambil melihat ke arah ponselku.

"Nomor baru? Nomor siapa lagi ini?" batinku bertanya.

"Kenapa bengong lagi, kamu kenapa kok pucat banget?" tanya Nirma penasaran apalagi mimik wajahku mungkin tidak bisa dibohongi.

"Ah, udahlah. Bukan apa-apa, skip aja" ujarku mengibaskan tangan, aku berusaha terlihat baik-baik aja di depan Nirma. Lagipula aku belum percaya sama siapa pun di sini untuk diajak bercerita, sekalipun Nirma baik dan dekat tapi belum sepenuhnya bisa percaya, biarlah waktu aja yang menjawabnya.

Ternyata pedasnya seblak tetap saja tidak bisa mengobati ramainya isi kepalaku, tapi aku akan tetap tidak peduli sama siapa pun yang mengganggu, biarlah aku urus saja bisnis dan pekerjaanku.

Lalu kenapa aku bisa jauh dari perusahaan dan bisnis? Jawabannya tetap sama yaitu ingin menjadi guru, kenapa ga bisa yang dekat? Mencari pekerjaan tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada orang dalam pun gak menjamin bisa masuk kalau sudah kepenuhan. Kenapa bisa tenang di tempat yang jauh dari perusahaan atau bisnisnya? Jujur saja meskipun punya orang yang dipercaya untuk memegang sementara saat aku jauh, aku juga tetap kepikiran tentang bagaimana-bagaimananya meski dipantau dari jauh dan aku cuma nerima hasil beresnya aja. Gak senang, lebih ke punya beban aja tapi ga terlalu dipikirin karena badanku makin hari makin menyusut aja kalau apa-apa dipikirin.

***

"Oh ya, Nir. BTW kamu betah ga sih ngekost di sini?" tanyaku kembali membuka percakapan baru.

"Aku ngebetah-betahin aja, Mel. Di sini kayak beda dari yang lain gitu, berisik aja ini telinga kalau ada yang aneh dari aku. Ini tuh kayak kost-an gosip. Kalau aja ada kosan yang lain dekat sini yang kosong pasti aku dah pindah, sayangnya gak ada. Ada pun mahal banget, tekorlah aku, orang gajinya aja kecil. Gak imbanglah kalau harus ngekost rumah itu buat aku," jawabnya panjang lebar.

Hal itu membuatku mengangguk-angguk pelan seakan memahami sesuatu, iya pantas saja rasanya panas. Bukan panas udara atau cahaya matahari tapi lebih ke gak nyaman aja rasanya, gusar. Ternyata di sini harus hati-hati agar tidak jadi gunjingan orang-orang, kalau kata orang kota mah orang yang suka gosip itu kampunganlah apa-apa diomongin dan suka banget ngurusin hidup orang lain tanpa ngaca.

"Hih, ngeri juga ya. Tapi kamu sabar banget, Nir."

"Mau gimana lagi, aku butuh uang buat nyambung hidup."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Kedengarannya ini cukup baik kalau dia ikut bekerja bersamaku, bukan untuk menjadi guru melainkan menjadi asistenku karena dia bisa dibilang penyabar, karena tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk bertahan. Namun, aku juga tetap harus mengenal lebih dalam dan lama lagi, bukan suudzon tapi wajar kan jika kita berhati-hati dan pemilih dalam berteman, apalagi semua karyawanku laki-laki bukan perempuan dan hanya menerima yang di sekitaran Jawa Barat saja.

Jika ditanya kenapa demikian, jawabannya karena aku punya alasan di mana aku pernah benar-benar sakit hati oleh orang lain. Lalu kenapa harus banget gitu laki-laki? Banyak banget yang bertanya tentang hal ini, jawabannya juga sama karena aku pernah sakit hati, tetapi lebih tepatnya laki-laki lebih ke berpikir sebelum bertindak, apik dan tidak asal dalam melakukan sesuatu. Meskipun tidak semua demikian, oleh karena itu aku juga mengujinya selama tiga bulan tetapi tetap dibayar. Jika bagus dilanjut, jika jelek dikeluarkan.

Kenapa gak menolak langsung aja kan dari CV bisa kebaca? Kata siapa? Kita gak bisa nebak hati seseorang dari tulisan dan tindakan yang bisa dimanipulasi. Ini caraku dan ini kenyamananku tidak perlu diikut campuri. Ya begitulah intinya.

"Wait, kamu bilang ada rumah di kost-an tapi harganya mahal?" tanyaku.

"Iya."

"Di mana?"

"Deket kok dari sini, tinggal lurus aja terus belok kanan, nah di sana ada rumah dua lantai, ga gede-gede amat tapi adem aja bikin nyaman."

"Oh, gitu."

"Kenapa emang?" tanyanya penasaran.

"Tiba-tiba aja aku kepikiran pengen tinggal di sana, mungkin enak gitu kalau dipake buat kerja sampingan," jawabku tanpa pikir.

"Kerja apaan emang?"

"Ya apa ajalah, nanti di sana akan kujadikan tempat buat produksi. Jadi tempatnya aku beli aja sekalian biar deket juga dari sekolah, kan enak aku ga perlu mikirin apa-apa."

"Kamu ini ngomong apa sih, Mel?" tanya Nirma memicingkan alisnya.

"Ya aku ngomong apa yang seharusnya aku kerjakanlah. Biar aku gak pusing-pusing amat harus mikir ini itu."

"Ha ha ha, Mel. Rumah itu mahal, dikontrakan aja sebulannya empat juta, apalagi kalau dibeli. Aku aja yang gajinya tiga juta gak sanggup buat ngekost di sana, apalagi kamu yang gaji bulanannya cuma dua ratus. Sudahlah, bangun dulu dari mimpinya.

"Emh, tipe orang yang mudah menjatuhkan semangat orang lain," batinku. "Gak, tau ya aku siapa?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!