NovelToon NovelToon

Istri Kecil Pak Dokter

Bab 1 - Rencana Perjodohan

"APA ?? Mama gak salah?"

"Enggak. Mama yakin Lintang bisa menjadi istri yang baik dan cocok denganmu," ujar Mama Dian yang sedang berbicara empat mata dengan putra tunggalnya bernama Alan Prawira (28 tahun).

Alan saat ini sedang berada di ruang keluarga, kediaman pribadi orang tuanya. Ayahnya bernama Pak Wira telah meninggal dunia sejak lima belas tahun yang lalu. Sejak itu, Alan hidup berdua dengan ibunya.

"Anak itu masih SMA, Ma!"

"Bentar lagi Lintang lulus SMA, kurang empat bulan lagi."

"Dia masih kecil, Ma."

"Apanya yang kecil? Dia sudah kedatangan tamu bulanan sejak SMP. Artinya dia wanita normal dan bukan anak kecil. Malah sudah boleh bikin anak," sel0roh Mama Dian tanpa tedheng aling-aling.

"Anak kecil mana bisa bikin anak!"

"Ya, kamu ajari dia dong cara bikin adonan anak yang pas. Kamu kan dokter. Gimana sih!"

"Usianya masih delapan belas tahun. Sedangkan aku dua puluh delapan tahun. Sepuluh tahun, Ma!" seru Alan seraya mengangkat sepuluh jarinya di depan wajah Mama Dian.

"Jodoh dan pasangan itu tidak ditentukan oleh umur, Alan!" balas Mama Dian mendesis. "Buktinya mama sama almarhum papamu juga selisih usia kami sepuluh tahun waktu menikah. Gak ada masalah," imbuhnya.

"Ya, kan mama sama papa menikah karena saling mencintai. Aku sama anak kecil itu enggak cinta. Terus, mau jadi apa nanti kalau kita berdua sampai menikah?"

"Ya jadi suami-istri lah. Kalau nanti Lintang melahirkan, ya kalian jadi orang tua. Gitu saja masa enggak ngerti! Percuma mama sekolahin kamu tinggi-tinggi jadi dokter kalau hal begini saja tak tau!" ketus Mama Dian. "Jangan-jangan pas diajarin dosen di kampus, kamu kelayapan!" tuduhnya.

"Kuliah mahal-mahal kelayapan, BIG NO MA !!" jawab Alan.

"Pokoknya kamu harus menikah sama Lintang! Garis jodoh kalian sudah kami terawang di Suhu nya dan cocok. Titik!" kekeh Mama Dian.

"Memang hasil garisnya apa?" tanya Alan dengan raut wajah ceng0k.

"Garis apanya?" Mama Dian justru balik bertanya. Ia mendadak lem0t dengan pertanyaan Alan, padahal baru saja diucapkan oleh dirinya sendiri.

"Ya, garis jodohku dengan anak kecil itu!" jawab Alan.

"Oh, iya. Maaf, mama lupa. Maklum faktor u. Hehe..."

"Kalau u nya uang pasti mama ingat. Kalau u yang lain mendadak amnesia," ledek Alan.

"Pasti itu, Lan. Di mana-mana orang menyukai uang. Kamu tanya saja sama orang di luar sana, siapa yang tidak suka uang? Tak ada lah!" seru Mama Dian. " Tapi perlu kau ingat, bahwa di dunia ini tidak semua hal bisa dibeli dengan uang."

"Hem,"

"Balik ke masalah garis tadi, ya garis jodoh kalian itu nyambung dan tidak putus-putus info dari suhu."

"Hari gini masih percaya begituan!"

"Kami ke sana juga sekalian melihat tanggal baik untuk acara pernikahan kalian,"

"Astaga makin ngadi-ngadi. Aku kan belum bilang setuju, Ma. Kenapa sudah tentuin tanggal segala?"

"Perkara yang baik itu harus disegerakan, Lan. Pamali ditunda-tunda," ucap Mama Dian.

Alan semakin kesal mendengar Mama Dian memutuskan rencana pernikahannya dengan Lintang secara sepihak tanpa menunggu persetujuannya. Ia semakin tercengang bahwa acara pernikahan tersebut akan digelar dua minggu lagi.

"Ya ampun, Ma! Secepat ini?"

"Enggak cepat kok. Mama dan keluarga Lintang sudah membicarakan hal ini sejak tiga bulan yang lalu,"

"Kenapa mama baru bilang sekarang padaku?"

"Mama enggak mau ganggu konsentrasi mu di Jakarta. Kan kamu mau lulus jadi dokter spesialis anak,"

Alan hanya mampu menghela nafas beratnya. Ya, kali ini ia pulang ke Semarang karena seminggu yang lalu dinyatakan lulus menjadi dokter spesialis anak. Sebulan lagi Alan akan diwisuda.

Sudah enam tahun Alan tinggal di Jakarta. Ia melanjutkan kuliah agar bisa menjadi dokter spesialis anak. Sedangkan kuliah jenjang sarjana di jurusan kedokteran, Alan tempuh di salah satu universitas negeri ternama di Jogja.

☘️☘️

Alan termasuk anak yang cerdas soal pendidikan di sekolah dan kampus. Alhasil dia bisa lulus dengan cepat sejak SMP maupun SMA melalui jalur akselerasi atau kelas percepatan.

Namun untuk perkara cinta, Alan termasuk pria yang kurang cerdas. Punya sisi penakut yakni takut ditolak, otaknya sering lem0t, tidak peka dan kurang gesit alias lambat.

Hal ini membuat wanita yang namanya selalu memenuhi ruang hatinya, seketika ditikung orang lain. Bukan salah siapapun. Dalam hidup tentu setiap orang punya garis takdir masing-masing termasuk jodoh.

Wanita itu bukanlah mantan kekasih Alan karena calon suami Lintang tersebut belum sempat mengutarakan rasa cintanya pada si objek.

Ketika ada pria lain yang datang melamar dan menikahi wanita yang didamba, Alan seketika patah hati. Alan sempat marah pada takdir cintanya karena ia sudah lama menyukai sang gadis yang kini sudah berstatus sebagai istri orang.

Belum pulih hatinya atas rasa perih itu, sang ibu menjodohkan dengan Lintang yang baginya hanya anak bau kencur. Dalam benak Alan, Lintang adalah tipe anak orang kaya yang manja dan suka hidup glamor.

Padahal Alan belum mengenal calon istrinya itu luar dalam. Tapi, ia sudah terlanjur membenci Lintang.

Sejak kegagalan perkara cintanya yang lalu, Alan cukup dingin dengan yang namanya lawan jenis.

Paras Alan yang begitu tampan, pendidikan yang tinggi dan pekerjaan menjanjikan sebagai seorang dokter dengan pundi-pundi penghasilan yang berlimpah, tentunya banyak wanita yang menyukainya.

Akan tetapi, Alan tak pernah terlihat pacaran dengan wanita mana pun. Alhasil di tempatnya bekerja sekaligus di kampus, Alan sering digosipkan penyuka sesama jenis.

"Kenapa enggak nunggu Lintang lulus SMA atau kuliah dulu?" tawar Alan.

"Kelamaan!" jawab Mama Dian. "Lagi pula Lintang juga enggak mau kuliah. Katanya mau langsung nikah saja. Nikah sama kamu," sambungnya.

"Hah, bukankah keluarga Sutedjo itu orang kaya dan terpandang. Kenapa putri bungsunya cuma lulusan SMA?"

"Ya, katanya Lintang itu memang kurang jago soal pelajaran sekolah. Sejak kecil dia sekolah privat di rumahnya. Baru masuk sekolah umum saat SMA,"

"Kenapa? Apa karena dia anak orang kaya jadi punya penyakit malas bersinggungan dengan orang miskin atau orang yang level ekonominya berada di bawahnya?" cecar Alan yang mendadak didera rasa penasaran menggelitik kalbunya.

"Bukan karena itu. Lintang tak pernah mengukur seseorang dari tingkat kekayaan maupun kasta. Jangan berpikiran buruk tentang calon istrimu. Kasihan Lintang, kamu fitnah yang bukan-bukan!" desis Mama Dian tak terima putra kandungnya menjelekkan calon menantunya.

"Terus, kenapa dia sampai begitu?" Alan terus mendesak jawaban dari Mama Dian.

Bersambung...

🍁🍁🍁

*Assalammualaikum...

Jumpa kembali di novel baru Safira (Othor Solehot) belum tobat jadi solehah.😄

Semua tokoh di sini baru dan bukan keturunan novel-novelku sebelumnya ya. Konfliknya tidak berat kok, ringan mirip bulu bebek, baper-baper, lucu, menggemaskan, nyeseknya ada tapi tidak banyak.

Semoga suka sampai tamat ya.💋💋

Mohon dukungannya🙏🙏

Bab 2 - Kencan Perdana

"Ya, mama kurang tau kenapa Lintang sejak kecil sekolah di rumah. Bisa jadi karena dia anak perempuan satu-satunya apalagi sebagai anak bungsu. Seingat mama, Jeng Sinta dan suaminya kepengin punya anak perempuan. Pas hamil anak ketiga, mereka mendapatkannya. Jadinya Lintang disayang keluarganya,"

"Biasanya anak seperti itu sifatnya manja dan semaunya,"

"Jangan suudzon dulu pada Lintang. Lebih baik kalian segera bertemu sebelum hari pernikahan,"

"Terserah mama saja!" ketus Alan terlihat tak bersemangat. Hal itu tentu jelas dilihat oleh Mama Dian.

"Mama hanya pengin kamu segera move on,"

"Maksud mama?" Alan belum mengerti maksud ucapan sang ibu.

"Halah kamu tuh suka ngeles kayak bajaj!" cibir Mama Dian.

"To the point saja deh, Ma. Jangan main tebak-tebakan! Saat ini kita sedang tidak ikut kuis Family Satus !" seru Alan.

"Kamu menyukai wanita yang fotonya ada di bawah bantalmu kui toh. Cuma mama rada-rada lupa namanya,"

"Mama pasti suka obrak-abrik kamarku di sini pas aku lagi di Jakarta!" seru Alan terdengar tak suka.

"Iya," jawab Mama Dian terlihat santai. "Bahkan tuh foto-foto wanita yang membuatmu gagal move on, udah mama buang!" imbuhnya.

"Hah, kenapa mama tega membuangnya?"

"Mau ditaruh di mana Lan muka mama? Masa nanti Lintang tidur di kamar itu terus menemukan foto wanita lain yang dicintai suaminya. Malu Lan, malu. Eling Lan, wanita itu juga sudah punya orang!"

"Arrggghh !! Aku sebel sama mama!" Alan terlihat marah, lalu berdiri dari sofa. Pria itu berjalan pergi meninggalkan ruang keluarga dan masuk ke dalam kamarnya.

BRAKK !!"

Bahkan Alan seketika membanting pintu kamarnya cukup kencang untuk melampiaskan kekesalannya yang bertubi-tubi datang padanya hari ini.

"Astaghfirullah," gumam Mama Dian seraya mengelus dadanya sendiri.

"Maafkan mama, Lan. Mungkin cara ini bisa membuatmu melupakan wanita itu. Mama udah terlanjur sayang dengan Lintang. Lagi pula keluarga kita banyak utang budi sama keluarga Lintang. Semoga pernikahan kalian berdua membawa banyak berkah dan bahagia nantinya," batin Mama Dian seraya menatap nanar pintu kamar Alan yang tertutup rapat.

☘️☘️

Alan paling tidak bisa marah berlama-lama pada ibunya. Pria itu paling sayang dengan Mama Dian.

Alan sangat tau pengorbanan ibunya selama ini dalam membesarkannya menjadi orang tua tunggal. Tentunya hal itu tak mudah dijalani dan cukup berat.

Malam ini Alan akan bertemu Lintang di sebuah cafe. Secara kebetulan Lintang sedang berada di Semarang. Ada acara salah satu kerabatnya di kota ini. Pertemuan ini atas permintaan Alan sendiri.

Di sebuah kamar hotel, seorang gadis berparas ayu, tubuh mungil, rambut hitam panjang dan berbulu mata lentik tengah sibuk memilah baju-baju yang baru saja dikeluarkannya dari dalam kopernya.

"Pakai baju apa ya?" gumam Lintang yang tengah bingung dengan tumpukan bajunya di atas kasur hotel.

Ceklek...

Pintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya yang menginjak separuh abad lebih itu pun berjalan ke arah Lintang yang sedang melamun.

"Cieee yang mau kencan perdana nih dengan calon suami," godanya. Seketika lamunan Lintang pun buyar.

"Ah, mami." Lintang tersipu malu hingga wajahnya memerah bak tomat rebus.

Senyum Mami Sinta, ibunda Lintang, terpancar cerah merekah di raut wajahnya saat ini. Tangannya memeluk hangat pundak putri bungsunya itu penuh cinta.

"Lagi ngapain? Kok enggak segera bersiap?" tanya Mami Sinta penuh kelembutan. "Bukankah adek mau bertemu Alan di cafe," sambungnya.

"Adek bingung, Mi. Baju yang mana yang cocok buat adek ketemu Kak Alan?" cicit Lintang malu-malu.

"Ehm, apa adek mau mami bantu pilihkan bajunya?" tawar Mami Sinta.

"Boleh, Mi. Boleh," jawab Lintang penuh antusias bahagia.

Akhirnya Mami Sinta membantu Lintang memilih baju untuk acara kencan perdana bersama Alan. Acara keluarga mereka sudah selesai tadi sore sehingga malam hari Lintang bisa pergi kencan dengan Alan.

Saat ini di hotel hanya tersisa Mami Sinta dan Lintang. Ayah Lintang bernama Aryo Sutedjo, dua kakak kandung Lintang beserta istri dan anak-anak mereka sudah pulang lebih dahulu ke Jogja karena ada keperluan lain urusan bisnis keluarga.

Lintang sudah cantik mengenakan celana jeans warna biru navy dengan kaos putih bergambar hati alias lope-lope warna pink bukan gayung pink atau toren pink yang lagi viral.

"Apa mami yakin Kak Alan menyukaiku dengan baju ini? Kenapa enggak pakai gaun kayak kita pergi ke acara pesta?" tanya Lintang dengan mimik wajah polosnya.

Mami Sinta tersenyum manis dan memaklumi kepolosan serta kebingungan Lintang. Dikarenakan Lintang belum pernah pacaran atau dekat dengan lawan jenis manapun kecuali keluarganya.

Putri bungsunya ini adalah anak spesial baginya. Kemampuan setiap anak tidak bisa kita pukul rata harus sama dari anak pertama hingga terakhir. Sebagai ibu, apapun kelebihan dan kekurangan anaknya pasti tetap ia terima sepenuh hati.

"Kencan perdana kalian kan tempatnya di cafe yang cukup gaul untuk anak muda. Jadi, lebih cocok adek pakai baju santai bukan kategori resmi seperti gaun malam. Jadilah diri adek sendiri. Karena hidup menjadi orang lain akan menyiksa batin di dalam sini," tutur Mami Sinta seraya menyentuh dada Lintang dengan jari-jemarinya di ujung kalimatnya.

"Mami memang yang terbaik. Makasih, Mi."

Lintang yang terharu, seketika memeluk hangat tubuh ibunya. Gaya dan ekspresi Lintang yang ditunjukkan begitu mirip anak kecil yang begitu sayang pada ibunya.

Bukan hanya malam ini, tapi sehari-hari bersama keluarganya seperti itu. Lintang tak akan pernah sungkan ketika bahagia selalu memeluk tubuh keluarganya baik itu orang tua, kedua kakak lelakinya serta kakak iparnya hingga kedua keponakan kembarnya yang lucu.

Lintang adalah sosok tipe introvert, malu-malu, terlihat manja walau tidak sepenuhnya. Namun sifat yang paling utama menonjol pada diri Lintang adalah penyayang.

☘️☘️

Kini di sebuah cafe kekinian di salah satu sudut Kota Semarang, sepasang anak manusia yang selisih umurnya sepuluh tahun itu sudah duduk saling berhadapan.

Alan sengaja duduk di meja paling ujung di sisi bagian belakang dekat tembok. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian pengunjung yang lain nantinya ketika berbicara dengan Lintang.

Sejak tadi Alan terus menatap Lintang dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bukan terpesona, tapi hatinya jengkel karena dijodohkan dengan anak bau kencur.

"Dada rata kayak triplek, tubuh kurus kayak kurang gizi begini. Apa keluarganya enggak pernah kasih makan ke dia? Mana enak kalau dipegang-pegang?" batin Alan mendadak otaknya mes_syum dan berkeliaran keluar dari jalurnya.

"Kamu tau perbedaan usia kita berapa?" tanya Alan yang pertama bersuara karena sejak tadi Lintang hanya menunduk sembari minum jus jeruknya.

Kepala Lintang langsung mendongak seraya menatap wajah Alan yang begitu tampan baginya. Mirip wajah film aktor kesukaannya dari negeri ginseng. Kehaluan Lintang yang hiperbola.

Faktanya, wajah dan fisik Alan memang tampan serta gagah, tapi tak ada campurannya. Ia asli pribumi.

Seperti kata pepatah, bila cinta maka ta_i kucing rasa cokelat pun pasti dibilang enak. Bucin.

"Kamu melamun?" tanya Alan seraya mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Lintang yang sejak tadi menatapnya penuh senyum-senyum.

"Ah, maaf Kak. Soalnya wajah kakak tampan," cicit Lintang seraya tersipu malu. Alan hanya memutar bola matanya jengah menatap anak kecil di depannya ini.

"Mama benar-benar keterlaluan! Dia mah cocoknya jadi adikku, bukan istriku!" dengus Alan di dalam hatinya.

Seketika Lintang teringat pertanyaan Alan tentang perbedaan usia mereka.

"Sepuluh tahun, Kak." Lintang berucap secara refleks juga mengangkat semua jari tangannya di depan wajah Alan.

Tampak menggemaskan, pikir Alan. Namun rasa menggelitik yang mendadak singgah di kalbunya berusaha ditepis jauh.

"Kamu tau angka sepuluh itu artinya apa?"

Bersambung...

🍁🍁🍁

Bab 3 - Apa Kamu Sedang Hamil ?

"Bukankah sepuluh itu angka sebelum sebelas dan setelah angka sembilan. Di pelajaran matematika dasar sekolah begitu kan, Kak?" jawab Lintang dengan mimik wajah polosnya. "Apa kakak enggak pernah diajari bu guru matematika dasar di sekolah?" imbuhnya.

Gubrakk !!

Rasanya Alan ingin sekali menepuk jidatnya sendiri dengan kencang saat ini usai mendengar jawaban dari Lintang barusan.

"Astaga, perempuan ini beneran asli masih bocah bukan abal-abal atau bohongan." Batin Alan.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan jawaban Lintang, hanya saja bukan itu yang dimaksud oleh Alan. Ibarat kata otak Alan pergi invasi ke Planet Mars. Nah, otak Lintang pergi invasinya cukup jauh sampai ke Planet Pluto.

"Kakak kenapa? Kok diem,"

"Enggak," sahut Alan.

"Apa jawabanku tadi salah?" tanya Lintang yang sedikit gugup seakan tengah melaksanakan ujian sekolah dan ia salah menjawabnya.

"Jawabanmu enggak salah, tapi bukan itu yang ku maksud."

"Maafkan aku yang bodoh ini. Kak Alan mohon bimbing aku,"

"Aku bukan kakakmu, apalagi guru bimbelmu yang harus membimbingmu!" ketus Alan.

Lintang tak marah dengan sikap ketus Alan. Ia terus tersenyum manis di depan calon suaminya itu.

"Kak Alan, aku cinta kakak."

"Cintaku bukan kamu!"

Deg...

Seketika jantung Lintang seakan dihantam batu besar mendengar pria yang diam-diam ia cintai sejak lama, berucap mencintai orang lain. Padahal Alan akan menikah dengannya, pikir Lintang.

Raut wajah Lintang pun seketika berubah. Awalnya yang selalu tersenyum manis, kini pudar dan hilang entah ke mana. Alan tentu melihat jelas perubahan mimik wajah Lintang.

"Siapa ??"

Alan masih terdiam dan tak menjawabnya.

"Apa wanita itu lebih pintar daripada aku?" tanya Lintang. Alan masih belum meresponnya.

"Maaf, otakku yang bodoh ini urusan pelajaran di sekolah. Maaf, sudah buat kakak kecewa karena punya calon istri yang enggak pintar." Ucap Lintang terdengar sendu seraya jari-jemarinya saling bertautan.

Bibirnya terus berucap maaf pada Alan dan kepalanya tertunduk malu. Ia merasa bagai bumi dan langit dengan Alan soal urusan pendidikan sekolah dan isi otak.

"Wanita itu cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya melebihi apapun di dunia ini. Kamu tau dia siapa?"

Lintang hanya tertunduk lesu dan menggelengkan kepalanya karena ia tak tau sosok wanita yang dimaksud oleh Alan.

"Wanita itu ya tentu saja ibuku, calon mertuamu sendiri."

"Hah?" Lintang terkejut.

"Kamu pikir siapa?"

"A_ku pikir..."

"Buang pikiranmu itu jauh-jauh!" desis Alan.

"Hehe..." Lintang pun nyengir dengan deretan gigi putihnya di depan Alan.

Alan memilih untuk menutupi rahasia cintanya. Melihat raut wajah Lintang yang sendu, Alan tak sampai hati untuk jujur.

Padahal sejatinya dalam sebuah hubungan terutama mereka akan memasuki bahtera rumah tangga alias menikah, sebuah kejujuran itu sangatlah penting. Walaupun kejujuran itu pahit, akan jauh lebih baik diutarakan daripada disembunyikan dari pasangan kita.

Dikarenakan dari hal sepele yang dirahasiakan justru bisa menjadi bumerang tak terduga di masa depan bila terkuak.

☘️☘️

"Kenapa kita menikah tidak menunggu kamu lulus SMA atau kuliah?" tanya Alan. Lintang masih terdiam.

"Apa kamu sedang hamil?" tanya Alan.

"Hamil?"

"Iya, hamil duluan."

"Adek enggak pernah tidur dengan teman sekolah laki-laki. Teman perempuan saja, adek enggak punya. Adek cuma pernah tidur beberapa kali sih sama laki-laki. Tapi, apa kalau begitu bisa hamil ya?"

"Pria dan wanita kalau tidur satu ranjang bersama dan begituan ya bisa hamil, Lintang!" desis Alan mendadak nada suaranya sudah naik beberapa oktaf.

Emosinya yang awalnya sleeping beauty mendadak bersiap jadi gunung meletus yang memuntahkan laharnya.

"Tapi perutku kok enggak buncit kayak Mbak Rara sewaktu hamil Radit dan Rizal?" ujar Lintang dengan mimik wajah lugunya.

Alan tentu mengenal nama kakak ipar Lintang yakni Mbak Rara. Wanita itu adalah istri dari kakak pertama Lintang bernama Hendri Sutedjo. Rara dan Hendri dikaruniai anak kembar laki-laki yang bernama Radit dan Rizal berusia lima tahun.

"Siapa saja laki-laki yang sudah meniduri kamu?"

"Papi, Mas Hendri dan Mas Dewa," jawab Lintang dengan raut kejujuran dan polosnya.

Gubrakk !!

Alan kali ini ingin sekali melarikan diri ke Hutan Amazone yang banyak binatang buasnya. Daripada harus menghadapi anak bau kencur yang otaknya hanya sebiji kecambah sehingga sering membuatnya darting.

"Belum jadi istri, sudah bikin darting. Kalau dia sudah jadi istriku, mungkin aku langsung masuk IGD tiap detik." Batin Alan.

Bagaimana Alan tidak darting mendengar jawaban Lintang tadi ?

Ketiga pria yang disebutkannya adalah keluarga kandung Lintang sendiri mulai dari ayah dan kedua kakak lelakinya.

"Kami tidur di kamar rame-rame, Kak. Seringnya pas kita liburan di vila keluarga waktu Lintang masih kecil. Hehe..." ucap Lintang seraya terkekeh sendiri di depan Alan.

"Tapi sekarang kita udah jarang tidur bersama. Soalnya kan Lintang udah gede dan Mas Hendri sama Mas Dewa kata mami sudah punya guling hidup. Jadi, Lintang enggak boleh tidur sama mereka lagi. Kakak mau kan jadi guling hidup aku?"

Alan malas menjawab pertanyaan itu. Ia hanya diam tanpa merespon. Justru Alan memilih balik bertanya pada Lintang.

"Jadi alasanmu menikah denganku apa?"

"Adek cinta kakak," jawab Lintang dengan cepat.

Alan tak menggubris untaian kalimat perasaan cinta Lintang yang baginya mirip seperti cinta monyet abege labil. Ungkapan cinta Lintang padanya, bagaikan masuk telinga kanan dan langsung keluar dari kuping kiri tanpa mampir ke hati maupun jantungnya apalagi otaknya.

"Kenapa harus dua minggu lagi kita cepat-cepat menikah?"

"Sebulan lagi kakak kan diwisuda, aku mau menemani di Jakarta. Kata mami, adek baru boleh pergi jauh sama kakak kalau sudah menikah."

"Kamu boleh ke Jakarta tanpa kita harus menikah dulu," ujar Alan.

"Papi, mami, Mas Hendri dan Mas Dewa gak ngizinin aku ke Jakarta kalau kita belum menikah,"

"Kenapa begitu?"

"Karena Kak Alan belum resmi jadi guling hidup adek," jawab Lintang sesuai dengan apa yang orang tuanya katakan padanya.

Alan menghela nafas beratnya. Keduanya memutuskan untuk minum sembari menikmati cemilan yang telah tersaji di meja.

Setelah hampir lima belas menit meja mereka hening tanpa percakapan, Alan pun memutuskan bersuara.

"Kita akan menikah dua minggu lagi, tapi aku punya syarat. Apa kamu mau mengabulkannya?"

Bersambung...

🍁🍁🍁

*Tolong belikan obat sakit kepala merek Budrekk buat Dokter Alan ya biar enggak pusing menghadapi Lintang yang otaknya cuma sebiji kecambah. 😭😭

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!