"Ga, istrimu di mana? Kok dari pagi enggak kelihatan?" tanya ibuku melalui telepon. "Ibu barusan dihubungi sama wali kelas anakmu, katanya belum ada yang jemput. Biasanya Ratu yang jemput."
"Masa sih, Bu? Biasanya Ratu selalu antar jemput anakku tepat waktu."
"Kamu izin pulang dulu sebentar, jemput kedua anak kamu di sekolah."
"Ta... Tapi, Bu aku masih sibuk. Sebentar lagi ada rapat."
"Terus kedua anakmu gimana? Ibu enggak bisa jemput anakmu, ibu lagi sibuk arisan sama ibu-ibu komplek di mall."
"Kalau gitu aku hubungin Ratu dulu ya, Bu. Siapa tahu dia lupa jemput."
"Bilangin sama Ratu, jadi istri itu harus cekatan. Masa jam segini belum jemput. Mentang-mentang kedua anakmu bukan anaknya. Dia bisa seenaknya. Gunanya jadi istri apa kalau jemput anak saja tidak becus!" sungut ibuku kesal. Dari awal dia memang tidak menyukai Ratu, terlebih lagi dia masih muda saat aku ingin menikah dengannya.
"Iya, Bu. Aku akan bilang Ratu nanti. Sudah dulu ya, Bu."
Klik...
Kuusah wajahku dengan kasar, kenapa akhir-akhir ini Ratu susah sekali diatur, biasanya dia selalu nurut apa kataku dan juga ibuku.
Harusnya dia sadar diri dan berterima kasih karena aku mau menikah dengannya dan membantu membayar hutang ibunya yang sudah segunung. Kalau bukan karena anaknya. Tak sudi aku ikut membayar hutang mertuaku.
Sebenarnya aku punya tujuan terselubung kenapa aku bisa menikah dengan Ratu. Dan itu akan menjadi rahasia besarku. Biarlah dia selalu aku jadi, kan kambing hitam agar dia selalu disalahkan oleh keluargaku.
Untuk saat ini aku harus menghubungi Ratu lewat ponsel. Akan aku caci maki dia karena sudah membuatku repot.
Padahal hari ini ada rapat penting yang harus aku jalanani, gara-gara dia rapat kali ini aku tunda dulu.
Kalau sudah begini, aku jadi repot. Kenapa sih Ratu tidak jemput kedua anakku.
Saat aku menghubungi ponselnya Nomornya tidak aktif, berkali-kali aku menelponnya, tetap saja tidak aktif.
Akhirnya aku mengirim pesan kepadanya, dan tak lupa memberikan kata-kata kasar agar dia sadar, bahwa dia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Gara-gara dia pekerjaanku jadi kacau balau.
"Si*lan! Kemana perempuan si*lan ini. Kenapa di saat genting dia malah hilang." Kali ini emosiku tidak bisa dibendung, rasanya ingin sekali kubanting ponsel ini untuk meluapkan amarahku.
Di saat aku tengah meluapkan emosi karena perbuatan Ratu, tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku pikir Ratu yang menghubungiku ternyata wali kelas kedua anakku meneleponku dan mengatakan aku harus menjemputnya karena semua anak-anak yang lain sudah pulang tinggal kedua anakku yang belum jemput.
Kali ini terpaksa aku meminta izin kepada bos untuk keluar sebentar. Walaupun ia sempat marah karena aku tidak mengikuti rapat yang sangat penting ini, tapi aku terpaksa melakukannya karena kedua anakku tidak ada yang menjemput.
"Maaf, Bos. Saya janji akan secepatnya ikut rapat. Mohon dimaklumin."
"Hmm..." Bosku hanya bergumam dan membuang muka. Mungkin dia sudah muak dengan diriku yang selalu meminta izin keluar karena berbagai urusan.
"Sekali lagi saya permisi, Bos."
Saat perjalanan menuju sekolah untuk menjemput kedua anakku, aku terus saja menghubungi Ratu tapi tetap saja ponselnya tidak aktif, bahkan pesanku pun tidak dibalas olehnya dan masih centang satu.
"Kemana si perginya si wanita si*lan itu! Benar-benar perempuan tidak tahu diri!"
20 menit kemudian akhirnya aku sampai di sekolah anakku. Terlihat sekolah ini begitu sepi karena seluruh siswa sudah pulang, dan tinggalah kedua anakku.
Melihat mobilku sudah sampai di sekolah, anakku langsung berlari ke arahku dengan wajah yang sangat masam dan juga kesal karena terlambat dijemput.
"Papa ini bagaimana sih! Jemput kami berdua lama, sedangkan siswa yang lain sudah pada pulang," sungut Putriku bernama Mira, ia terlihat sangat kesal karena baru dijemput sekarang.
"Papa juga nggak tahu kalian berdua masih ada di sekolah, biasanya kalian selalu jemput tepat waktu kenapa sekarang tidak dijemput sama sekali sama mama?"
"Apanya yang jemput tempat waktu, selama ini Mama selalu menjemput kami berdua telat tidak pernah tepat waktu, setiap ingin berangkat sekolah kami berdua selalu telat. Ujung-ujungnya kami berdua jadi kena hukum." Dahiku sedikit berkerut, aku baru mendengar cerita anakku.
"Kena hukum? Kok kalian enggak bilang kalau selalu telat?"
"Bagaimana mau bilang, mama Ratu selalu mengancam kami berdua. Kalau kita kasih tahu Papah, yang ada kita dihukum." Tanganku terkepal erat mendengar cerita anakku. Jadi selama ini Ratu sudah berbuat jahat terhadap kedua anakku. Kurang ajar, awas kamu Ratu kalau aku sudah sampai rumah.
"Lagian papah ini gimana sih! Buat apa menikah dengan mamah Ratu. Mending wanita dari kalangan atas, lah ini. Dari kalangan bawah, mana cuma lulusan SMA lagi."
"Bener itu kata kak Mira, seharusnya papah nikah saja sama tante Megan. Dia itu wanita cantik, berkelas, keluarganya juga jelas kaya raya lagi. Jadinya kalau antar jemput kami berdua enggak malu-maluin. Bukannya kaya mamah Ratu, tampilannya sudah kaya pembantu bikin malu kita berdua saja di sekolah!"
"Iya... Iya... Papah minta maaf, papah akan hukum mamah Ratu supaya masalah ini tidak terjadi. Lagi. Mendengar cerita kalian, papah juga ikut geram. Bisa-bisanya kalian berdua diancam."
"Nah, gitu dong pah. Jangan diam saja, kami berdua sudah muak punya mamah kaya dia," timpal anak keduaku Clara.
...****************...
"Loh, papah mau ke mana lagi?" tanya kedua anakku.
"Hari ini papah ada jam kerja, papah jemput kalian posisi papah masih kerja, gara-gara mamah Ratu papah jadi ketinggalan ikut rapat."
"Hoh, kalau begitu hati-hati, pah."
...****************...
Akhirnya setalah antar jemput kedua anakku sekolah, aku sudah sampai di kantor. Tak lupa aku menghubungi Ratu kembali. Walau pun nomor ponselnya sudah aktif dia tidak mau menjawab panggilanku.
Bahkan pesanku juga hanya dibaca saja tanpa ada balasan apa pun. Sebenarnya apa mau dia. Kenapa hari ini sikapnya selalu membuatku kesal.
Lihat saja nanti, akan kubalas perbuatan dia. Akan aku hukum dia seperti biasa agar dia patuh terhadap diriku. Aku enggak akan biarkan dia lepas dari tanganku.
Kalau sampai itu terjadi, akan kutagih semua uang yang aku keluarkan uang untuk ibu dan kakak laki-lakinya yang tidak berguna itu.
Saat aku tengah terburu-buru, tak sengaja aku menabrak seorang pria yang baru saja aku lihat.
"Maaf, saya tidak sengaja," ujarku menatap wajahnya, kukira ia akan membalas ucapan permintaan maafku padanya. Justru ia menatapku dengan mata tajamnya yang seperti menusuk jantungku, siapa pria ini?
Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa dia terus menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Hatiku terus saja bertanya-tanya.
"Maaf, saya--" Tiba-tiba saja ia melongos pergi begitu saja tanpa bicara denganku. Aku pun dibuat melongo olehnya. Siapa sih pria sombong itu?
Karena tak ada waktu, aku buru-buru masuk ke ruang rapat. Ternyata sudah berkumpul semuanya. Saat aku ingin masuk pandangan mata para petinggi melihatku yang baru saja masuk. Membuat hati ini terasa tidak enak.
Ditambah lagi suasana ruangan begitu sesak, terlebih lagi rapat ini begitu penting untuk perusahaan ini
"Ma... Maaf saya terlambat datang. Karena ada urusan mendesak yang harus saja kerjakan... Saya--"
"Langsung duduk saja, tidak usah kamu jelaskan alasan kamu terlambat untuk mengikuti rapat ini," potong atasanku membuat wajah ini memerah menahan malu.
Sialan, kalau saja bukan karena perbuatan Ratu. Mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi.
Baru saja aku duduk dibangku yang sudah tersedia. Terlihat seorang pria yang baru saja masuk ke ruang rapat ini. Melihat pria itu membuat mata ini terbuka lebar.
"Loh, bukannya pria itu yang tadi aku tabrak ya?" gumamku dalam. hati. Bahkan tak sengaja mata kami saling bertemu. Ia pun langsung membuang muka begitu saja seolah-olah dirinya ini tak layak dilihat.
Sialan, siapa sih pria tengil itu? Gayanya sok berkuasa sekali. Kok bisa orang kayak gitu ikut rapat di perusahaan ini Apakah dia salah satu klien vendor di perusahaan ini Tapi anehnya Kenapa dia duduk di tengah-tengah para petinggi
Selama rapat berlangsung. Pikiranku terus saja berkelana Aku Masih memikirkan Ratu yang saat ini masih susah sekali untuk dihubungi, saking tidak fokusnya aku sampai ditegur oleh bosku karena tidak fokus dengan rapat ini.
"Kalau tidak fokus dengan rapat ini. Silakan pak Erlangga keluar dari ruang ini," tegur bosku membuatku merasa canggung dan tidak enak. "Kalau saya perhatikan, dari tadi Pak Erlangga selalu menunduk ke bawah meja dan memainkan ponsel. Apa ada hal penting yang mendesak?" tanyanya lagi membuatku semakin gugup. Apa yang harus aku jawab?
Tidak mungkin kan aku membicarakan masalah istriku yang tadi susah dihubungi.
"Maaf, pak. Saya hanya ingin menanyakan kabar istri saya saja. Maaf kalau membuat rapat ini terganggu oleh saya."
"Apa bapak mau keluar dulu dari rapat ini?" Aku menggeleng kepala.
"Tidak, pak. Saya tetap ikut rapat ini. Apalagi rapat ini begitu penting untuk saya."
"Kalau begitu fokus dan perhatikan apa yang disampaikan rapat ini."
"I... Iya, pak. Sekali lagi saya minta maaf." Akhirnya rapat pun dilanjutkan, biarlah masalah Ratu ditunda dulu. Akan aku urus saat sudah sampai rumah.
...****************...
Akhirnya jam kerja sudah berakhir, waktunya semua karyawan pulang ke rumah untuk beristirahat.
Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Ratu dan memarahinya habis-habisan.
Setelah menghabiskan perjalananku di jalan. Aku pun sampai rumah dalam keadaan lelah. Walau pun aku lelah emosiku masih terus mengebu-gebu untuk mencaci maki Ratu karena sudah membuat pekerjaanku kacau.
"Papah!"teriak kedua anakku Clara dan Mira menghampiriku. "Pah, kami berdua lapar," rengeknya.
"Lapar? Memangnya kalian berdua belum makan?" tanyaku penasaran.
"Dari pulang sekolah sampai sekarang kita berdua belum makan, pah. Kita cuma makan buah sama cemilan yang ada di kulkas. Itu juga sisa stock kulkas tinggal sedikit." Dahiku semakin berkerut. Kok bisa si cemilan dan makanan di kulkas tinggal sedikit? Padahal setiap bulan aku selalu kasih Ratu jatah bulanan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa stok makanan di kulkas sedikit, seharusnya bulan ini Ratu sudah menyetok makanan dan camilan untuk sebulan penuh.
Karena penasaran aku pun langsung mengecek keadaan kulkas. Dan benar saja saat pintu kulkas aku buka tidak ada makanan atau camilan yang biasa Ratu stok untuk sebulan.
"Bre**sek, semakin lama tingkah Ratu di luar nalar. Apa yang Ratu perbuat sampai kedua anakku kelaparan?"
"Pah, kita lapar. Tolong buatkan kita makan dong, perut kita berdua sakit," keluhnya.
kugaruk kepalaku yang tidak gatal, gimana cara aku masak untuk kedua anakku? Selama ini aku tidak pernah masuk dapur. Jangankan membuat makan, untuk membuat kopi saja Ratu yang turun tangan.
"Pah... Cepatan dong."
"I... Iya, papah akan buatkan kalian makan. Tunggu di meja makan ya."
"Hore... Akhirnya bisa makan."
Karena aku tidak bisa masak dan tidak tahu caranya, terpaksa aku meroggoh dompet untuk memesan makanan lewat online.
Sialan, seharusnya aku tidak mengeluarkan uang untuk beli makan. Gara-gara dia aku jadi. Keluar uang. Aku terus saja menggerutu dalam hati karena kesal dengan tingkah Ratu.
"Ngomong-ngomong mamah kalian belum pulang?" tanyaku penasaran, pasalnya terkahir aku liat saat pagi tadi. Tapi sampai sekarang dia belum pulang.
"Belum, pah. Makanya kita kelaparan gara-gara istri papah belum pulang ke sini," jawab Clara.
"Papah kayanya salah pilih istri, mentang-mentang kita berdua bukan anaknya. Istri papah bisa seenaknya."
"Papah juga heran dengan sikap mamah. Biasanya dia enggak pernah kaya gini."
"Kalau begitu papa pisah saja dari dia. Toh, dia enggak ada gunanya jadi istri papah."
"Kalau tidak ada mamah Ratu, terus siapa yang urus rumah, kalian berdua dan juga Eyang kalian? Sedangkan papah sibuk kerja dari pagi sampai malam."
"Kan ada ART, Pah. Kita sewa saja," ujar Mira memberi saran. "Papah, kan punya uang. Bisa dong sewa Art buat urus rumah sama Eyang. Terus bisa anter jemput kita berdua sekolah. Orangtua temanku juga pada sewa Art sama supir buat berangkat sekolah," lanjutnya.
Aku bingung harus jawab apa, walau pun aku bekerja dan ada uang setiap bulan. Bagiku sewa art cukup boros. Apalagi gaji mereka perbulan hampir menyentuh satu bulan umr di kota ini.
Itulah gunanya aku menikahi Ratu saat tahu ibunya terlilit hutang dan ia menawarkan anak gadisnya yang masih muda. Tapi dengan syarat aku harus ikut lunasi hutangnya setiap bulan kepada rentenir.
Kalau sewa art aku harus keluarkan uang hingga jutaan, belum lagi harus urus keperluan dia selama di rumah ini.
Sedangkan Ratu, cukup dikasih uang nafkah sebulan 200 ribu saja cukup. Tapi sudah bisa membuat rumah ini bersih dan rapi. Keperluan ibuku dan juga anakku terjamin. Uang gajiku pun utuh dan bisa kuberikan kepada Megan.
Aku sudah janji dengan Megan, wanita yang kini menjadi kekasih selama aku menikah dengan Ratu tanpa diketahui olehnya. Untuk dibelikan perhiasan.
...****************...
Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, Ratu belum juga pulang ke rumah. Anehnya ponselnya aktif tapi dia enggan menjawab panggilanku. Bahkan tak satu pesan pun ia balas.
Kemana dia pergi?
"Papah, bagun... Papah." Terdengar suara teriakan dari luar kamarku. Ternyata itu suara Mira. "Papah bangun, kita berdua telat." teriaknya lagi membuatku tersadar dari tidurku.
Mataku langsung mendelik melihat jam dinding menunjukan angka 8 pagi.
"Si*lan aku telat!" Aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi sedangkan di luar kamar anakku terus saja berteriak memanggil diriku karena mereka berdua juga telat. Biasanya aku tidak pernah telat karena Ratu selalu membangunkan kami semua dan menyiapkan semuanya.
Tugas kami sudah terima beres, tapi kali ini aku benar-benar kelabakan tak tahu harus bagaimana.
Selesai mandi aku langsung membuka lemari, namun Alangkah terkejutnya Aku Tak ada satupun baju kerjaku yang tersisa.
"Loh, di mana baju kerjaku?" Kutelusuri semua lemariku, tak ada satu pun baju kerjaku yang tersisa. Kemana Ratu menyimpan baju kerjaku.
Aku pun langsung keluar kamar untuk menuju kamar belakang. Saat aku hendak menuju belakang. Kedua anakku kembali berteriak.
"Papah, kita berdua telat," rengek Mira.
"Papah juga telat, biasanya mamah bangunin kita semua, tapi dari semalam mamah belum juga pulang."
"Terus kita harus gimana dong?"
"Kalian berdua mandi saja dulu terus siap-siap berangkat," perintahku, tapi kedua anakku hanya diam saling memandang satu sama lain. "Kok malah bengong, sana cepat pakai seragam terus masuk ke mobil."
"Itu, Pah. Masalahnya baju seragam hari ini enggak ada. Istri papah belum cuci baju seragam kita hari ini."
"Apa!" Tanpa basa basi aku langsung berjalan ke kamar belakang. Aku seperti punya firasat buruk.
"Papah mau kemana? Ikut." Kedua anakku langsung berlari di belakangku. Sesampainya di kamar belakang. Benar saja, bajuku dan anak-anak tertumpuk bagai bak gunung yang menjulang tinggi di dekat mesin cuci.
Pakaian kerja dan seragam anakku beberapa hari lalu masih betah di sini tanpa ada yang mencucinya. Begitu juga dengan baju ibuku ikut tertumpuk dengan pakaian kotor.
"Pah, kok seragamku belum di cuci sih? Terus kita berdua pakai apa ke sekolah. Hari ini ada aku sama Clara ada ujian."
aku usap wajahku dengan kasar melihat baju kotor sampai seperti ini, kenapa Ratu tidak mencuci baju seperti biasanya. Gara-gara ulahnya, anakku sampai tidak bisa sekolah karena tidak ada seragam satupun yang bersih untuk mereka pakai.
Di saat kami tengah kebingungan, Ibuku tiba-tiba datang dan menanyakan. "Ini kenapa sih. Pagi-pagi kok sudah ribut-ribut, ibu jadi keberisikan dengar suara kalian bertiga. Ada apa ini?"
"Bu, aku sama anak-anak telat bangun. Aku mau berangkat kerja jadi enggak bisa karena baju kerjaku belum dicuci, seragam anak-anak juga masih kotor," keluhku.
"Iya, Eyang. Baju seragam kami belum dicuci sama istri papah," tambah Clara membuat ibuku terheran-heran.
"Loh, kok bisa sih? Memangnya di mana istri kamu, Ga? Biasanya dia selalu cuci baju kamu sama anak-anak."
"Itu dia, Bu. Masalahnya--"
"istrimu itu benar-benar kurang ajar bisa-bisanya tidak cuci baju suami dan anak-anaknya ibu harus kasih pelajaran sama dia agar dia jadi istri yang tahu diri."
“Loh, Ibu mau ke mana?” tanyaku cepat.
“Ibu mau kasih pelajaran sama istri kamu! Dasar istri nggak tahu diri. Sudah untung dinikahi sama kamu, tapi nggak becus jadi istri!” geram Ibu sambil melangkah ke arah kamar Ratu. Aku pun buru-buru mengikutinya.
Percuma, Bu, marahin Ratu. Orangnya juga enggak ada.
"Bu, tunggu dulu." Aku mencoba menahan lengan ibuku untuk berhenti, tapi dia terus berjalan ke kamar Ratu.
“Lepas, Ga. Ini enggak bisa dibiarin. Pokoknya Ibu harus marahin dia! Semakin lama, istrimu itu makin ngelunjak, Ga!” Ibu terus bersikeras.
“Tapi… Ratu belum pulang dari kemarin.”
Langkah kaki Ibu langsung terhenti. Ia menoleh ke arahku dengan wajah bingung.
“Maksud kamu apa?”
“Dari kemarin Ratu belum pulang ke rumah, Bu. Aku udah coba hubungi dia berkali-kali, tapi nggak pernah dibalas.”
“Kok bisa? Bukannya kemarin dia bilang sama Mama mau belanja bulanan, soalnya stok di kulkas habis? Habis itu katanya mau jemput anak kamu sekolah.”
"Tapi Ratu memang belum pulang, Bu. Makanya kita semua bingung. Aku mau berangkat kerja, anak-anak mau sekolah. Tapi seragam sekolah sama baju kerjaku enggak ada yang bersih. Semuanya masih kotor dan belum dicuci. Begitu juga baju ibu."
"Istri durhaka, apa ibu bilang. Dari awal ibu enggak sudi kamu menikah sama wanita kampung itu. Sudah keluarganya miskin, banyak hutang. Kakaknya bermasalah, masih saja kamu mau menikahinya. Begini, kan jadinya." Ibu terus saja meluapkan amarahnya padaku karena tidak nurut ucapannya untuk tidak menikahi Ratu.
Habis mau bagaimana lagi, hanya Ratu yang bisa aku jadikan babu gratisan di rumah ini. Kalau sewa Art gajiku bisa habis tanpa punya tabungan. Untung saja ibu Ratu saat itu setuju, walau Ratu terlihat terpaksa menikah denganku.
"Terus sekarang gimana? Anak-anak kamu mau sekolah, kamu juga harus kerja."
Kuhela napasku perlahan agar pikiran dan hatiku tenang. "Hari ini aku tetap kerja, aku akan pakai baju kerja yang kemarin."
"Tapi baju kerja kamu sudah kotor dan bau."
"Terpaksa, Bu. Dari pada aku enggak masuk kerja, kalau aku dipecat gimana? Bajuku tinggal aku kasih minyak wangi saja supaya tidak terlalu bau."
"Terserah kamu saja deh, ibu pusing sama istri kamu itu!" Ibu pun langsung pergi begitu saja.
"Pah?" panggil kedua anakku bersamaan. "Aku sama Clara gimana? Baju seragam kita enggak ada yang bersih," keluh anakku. Aku lupa kalau anakku masih belum selesai dari masalah.
"Kalian berdua hari ini libur dulu ya, tunggu mamah Ratu pulang. Kalau sudah pulang, suruh dia untuk cuci baju kalian berdua."
"Tapi, Pah. Hari ini kami berdua ada ujian."
"Ujian bisa disusul, untuk saat ini Papah belum bisa bantu kalian. Papah harus berangkat kerja supaya tidak dipecat.
...****************...
Hari ini aku benar-benar kacau karena ulah Ratu. Baju kerjaku semuanya kotor dan bau. Bahkan untuk sarapan saja tidak ada, terpaksa aku beli makan di luar untuk mengganjal perut.
Baru kali ini aku tidak sarapan, biasanya sebelum berangkat perut kenyang, baju bersih dan wangi. Tapi hari ini benar-benar sudah kelewata.
Aku kembali mengecek ponselku, siapa tahu Ratu sudah balas pesanku. Tapi sayang, pesanku belum juga dibalas. Padahal aku sudah melontarkan kata-kata kasar dan ancaman. Tapi dia belum juga membalas. Aku yakin saat ini dia pulang ke rumah ibunya.
Awas saja kamu, aku jemput kamu ke rumah ibu kamu! Aku seret kamu untuk pulang ke rumah dan enggak akan aku biarkan kamu keluar rumah.
selamanya.
...****************...
"Ratu enggak ada di rumah ini, kok."
"Hah!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!