Ruang keluarga itu penuh sesak oleh dua keluarga yang duduk berhadap-hadapan. Lampu gantung yang biasanya memberi kesan hangat, malam itu terasa menyilaukan, seakan menyoroti kegelisahan setiap wajah.
Lucian duduk tegak, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di lutut. Di sampingnya, orang tuanya menatap tajam ke arah keluarga Biancardi.
“Besok pagi adalah pernikahan. Bagaimana mungkin Amara masih belum ditemukan? Seminggu, dan kalian tidak membawa kabar apa pun!” Dreven Kaelith, Ayah Lucian memecah keheningan dengan suara berat.
Amara mariselle Biancardi, tunangan Lucian Veyran Kaelith telah hilang tanpa kabar selama satu minggu. Ayahnya, Erick Biancardi sudah mencarinya ke semua tempat yang mungkin tetapi Amara tidak ditemukan, hilang seperti ditelan bumi.
Edani Biancardi, Ibu Amara yang pucat hanya bisa menunduk, menahan air mata. Sementara ayah Amara berusaha tetap tenang meski suaranya bergetar. “Kami sudah mencarinya ke mana-mana, percayalah. Tapi Amara... Amara seperti lenyap tanpa jejak.”
Lucian menoleh cepat, matanya menyala marah. “Lenyap? Dia tunanganku, besok seharusnya kami menikah. Kalian pikir aku bisa menerima begitu saja kalau calon istriku hilang seperti itu?”
Ketegangan semakin menebal. Di pojok ruangan, Helena, adik Amara, hanya bisa mengepal tangannya sendiri, tubuhnya gemetar. Sejak awal ia terpaksa duduk di sana, mendengar tuduhan demi tuduhan, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Gaby Kaelith, Ibu Lucian mencondongkan tubuh, suaranya dingin namun tegas. “Kalau Amara tidak kembali malam ini, pernikahan tetap harus berjalan. Semua sudah disiapkan. Undangan, gedung, tamu, semuanya. Kami tidak bisa menanggung malu sebesar itu.”
Helena mendongak, jantungnya berdetak cepat. “Maksud Anda...?”
“Kau, Helena. Adik Amara. Kau akan menggantikannya di pelaminan.” Dreven menatap langsung ke arahnya, tatapan yang tajam sekaligus menuntut.
Ruangan hening seketika. Edani tersentak, menutup mulut dengan tangannya. “Tidak... itu tidak mungkin! Helena masih terlalu muda. Dan-”
“Tidak ada pilihan lain. Pernikahan harus terlaksana. Jika tidak... aib ini akan menempel pada kedua keluarga kita selamanya.” Lucian memotong, suaranya dingin dan penuh ketegasan.
Helena terdiam. Seolah dunia berhenti berputar, seluruh mata menatapnya. Malam itu, dalam sekejap, masa depannya diubah tanpa ia sempat menolak.
Helena masih terdiam di kursinya, udara seakan menolak masuk ke paru-parunya. Kata-kata “pengantin pengganti” berputar-putar di kepalanya, menusuk seperti belati.
Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam erat di pangkuan. Hanya dia yang tahu, bahwa jauh sebelum Amara bertunangan dengan Lucian, dirinya sudah jatuh hati. Senyum Lucian, tatapan matanya, bahkan cara Lucian menyebut namanya sekali-dua kali, semuanya pernah ia simpan rapi di dalam hatinya.
Namun cinta itu adalah rahasia. Sebuah luka manis yang hanya bisa dipeluknya sendirian. Ia sudah menguburnya dalam-dalam ketika Amara dipinang, berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang terbaik memang seperti itu. Bahwa tempatnya hanyalah menjadi bayangan, bukan cahaya.
Kini, nasib menaruhnya di ujung jurang. Ia ditawarkan kesempatan untuk menjadi “istrinya” Lucian, tapi bukan karena cinta, melainkan sebagai jalan pintas, solusi darurat, pengganti bayangan.
Helena mengangkat wajahnya perlahan, matanya berkaca-kaca. Suaranya pecah, namun tegas. “Apakah aku hanya pengganti di mata kalian? Seseorang yang bisa kalian dorong ke pelaminan hanya karena kakakku hilang? Apakah cintaku, perasaanku, hidupku… tidak berarti apa-apa?”
Ruangan kembali terdiam. Semua mata tertuju padanya, bahkan Lucian yang selama ini terlihat keras, mendadak tampak goyah. Ada keraguan singkat yang melintas di matanya.
Helena menghela napas panjang, lalu menatap Lucian lurus, seakan untuk pertama kalinya ia berani menunjukkan hatinya yang selama ini terkunci rapat.
“Aku memang akan menikah suatu hari nanti. Tapi bukan seperti ini cara yang kuinginkan. Bukan dengan cara dipaksa menggantikan kakakku sendiri.”
Setelah mengatakan itu, Helena berdiri dan pergi ke toilet. Ia hanya perlu sendiri untuk menenangkan diri.
...\=\=\=...
Helena baru saja keluar dari ruang keluarga ketika suara berat itu memanggilnya.
“Helena.”
Ia berhenti di koridor yang remang, jantungnya berdebar hebat. Lucian berdiri di sana, tegap dan dingin, namun ada sesuatu di balik sorot matanya yang berbeda dari biasanya. Ia memberi isyarat dengan kepalanya. “Kita bicara sebentar.”
Mereka berjalan menuju ruang tamu kecil di ujung rumah. Hanya ada lampu redup, membuat bayangan keduanya jatuh panjang di lantai.
Helena berdiri canggung, mencoba menyembunyikan wajahnya yang masih basah air mata. Lucian menatapnya beberapa detik, lalu akhirnya berkata dengan suara yang tenang tapi tegas.
“Helena… aku mendengar semua yang kau katakan tadi.”
Helena terdiam, tenggorokannya tercekat.
Lucian melangkah mendekat, hingga jarak mereka begitu dekat. Suaranya merendah.
“Aku tidak ingin kau salah paham. Aku menghargai keberadaanmu. Tapi…” ia menghela napas, matanya menatap tajam seolah menusuk, “hatiku hanya untuk Amara. Aku mencintainya. Hanya dia.”
Kata-kata itu menusuk Helena lebih dalam daripada yang ia bayangkan. Sejenak ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa selama ini ia pun mencintainya dengan tulus. Namun yang keluar hanyalah bisikan serak.
“Aku tahu… aku selalu tahu.”
Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia memalingkan wajah, berusaha menutupi kelemahannya. “Aku hanya berharap… setidaknya sekali saja kau bisa melihatku, bukan sebagai adik Amara. Tapi sebagai diriku sendiri.”
Lucian menutup mata sejenak, seakan menahan sesuatu yang berat di dadanya. Namun ketika ia kembali menatap Helena, sorot matanya sudah kembali kokoh.
“Besok, pernikahan tetap harus berjalan. Kalau Amara tidak kembali, kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Helena terdiam, tubuhnya bergetar. Kata-kata itu bukan hanya perintah, tapi juga pengingat pahit: meskipun cintanya nyata, ia tetap hanyalah pengganti.
...***...
...cerita kali ini adalah cerita romantis berbalut misteri. Jangan lupa like, komen dan vote yaaa......
...💙💙💙...
Helena menunggu sampai suara mobil keluarga Lucian benar-benar hilang dari jalanan. Untuk sesaat rumah kembali sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar jelas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil kunci cadangan apartemen kakaknya dari laci kecil meja rias Amara.
Dengan menggunakan taksi, Helena pergi ke tempat yang biasa di tempati Amara, Apartemennya. Apartemen Amara berada tepat di seberang butiknya, lantai dua dengan balkon kecil yang biasa dipenuhi pot bunga. Malam itu, balkon tampak kosong, dingin, seakan ikut menghilang bersama pemiliknya.
Dengan tangan gemetar, Helena memasukkan kunci ke pintu. Klik. Pintu terbuka.
Helena terpaku begitu masuk. Apartemen itu… terlalu rapi. Sofa tersusun sempurna, meja kaca tanpa debu, majalah ditumpuk rapi di sisi kanan. Bahkan dapur kecilnya kosong bersih, tidak ada cangkir kotor, tidak ada piring tersisa.
“Seperti tidak pernah ada yang tinggal di sini,” gumamnya, merasa bulu kuduknya meremang.
Ia melangkah perlahan, menelusuri setiap ruangan. Kamar tidur tersusun indah, ranjang ditata seperti di hotel, lemari pakaian penuh, gaun-gaun kakaknya menggantung rapi seolah menunggu pemiliknya kembali kapan saja.
Lalu matanya menangkap sesuatu di dekat pintu keluar, sebuah koper besar.
Helena berjongkok, menatap koper itu. Masih terkunci, tapi tag nama Amara tergantung jelas di pegangannya. Ia menyeretnya sedikit: berat, dan terdengar padat oleh lipatan pakaian di dalamnya.
Hatinya mencelos. Jika Amara benar-benar berniat pergi, kenapa koper ini masih tertinggal? Kenapa pakaian yang seharusnya ia bawa justru tersisa di sini?
Helena duduk di lantai, menatap koper itu lama sekali. Pertanyaan demi pertanyaan menyesakkan kepalanya.
“Apakah kau benar-benar pergi dengan kemauan sendiri, Kak? Atau… ada seseorang yang memastikan kau tidak pernah sempat membuka koper ini?”
Sunyi menelan apartemen. Jam dinding berdetak pelan, dan untuk pertama kalinya Helena merasa keberadaan kakaknya lebih jauh daripada yang pernah ia bayangkan.
Helena masih duduk di lantai, menatap koper itu dengan tatapan kosong. Hening ruangan hanya diisi detak jam yang terdengar makin berat di telinganya.
Tuk… tuk… tuk.
Helena tersentak. Ada ketukan pelan di pintu yang tadi ia biarkan terbuka setengah. Ia berdiri tergesa, mendekat.
Seorang wanita paruh baya muncul di ambang pintu, mengenakan daster bermotif bunga. Wajahnya tampak heran sekaligus lega melihat pintu apartemen itu akhirnya terbuka.
“Eh… maaf, Nona. Kau… adiknya Amara, ya?” tanya wanita itu, matanya menyipit penuh pengamatan.
Helena tertegun sesaat lalu mengangguk. “Iya, saya Helena. Tante… kenal Kak Amara?”
Wanita itu menghela napas, tangannya bertumpu di pinggir pintu. “Tentu saja. Saya tinggal di sebelah. Jujur saja, saya agak kaget melihat pintu ini terbuka. Soalnya, sudah hampir dua minggu apartemen ini tidak pernah ada yang masuk. Lampu pun selalu mati. Saya sampai berpikir Amara pergi ke luar kota.”
Helena membeku. Dua minggu? Padahal ia tahu persis kakaknya baru menghilang sekitar satu minggu lalu, terakhir kali mereka bicara.
“Dua… minggu?” gumamnya tak percaya.
“Betul,” wanita itu mengangguk mantap. “Saya cukup sering mengamati. Bahkan sempat saya tanyakan ke satpam apartemen, katanya tidak ada tamu atau kurir yang naik ke sini. Sepi sekali. Jadi ketika saya lihat pintunya terbuka barusan, saya buru-buru datang. Takut terjadi apa-apa.”
Helena mencoba tersenyum, meski dadanya diliputi ketegangan. “Terima kasih sudah peduli, Tante. Saya hanya… sedang mencari sesuatu milik Kakak.”
Wanita itu melirik ke dalam sebentar. “Aneh ya… apartemen ini kelihatan terlalu bersih untuk ditinggalkan lama. Biasanya kalau dua minggu, debu sudah kelihatan. Tapi ini… seperti baru dibereskan kemarin.”
Ucapan itu menusuk Helena. Ia menoleh ke sekeliling ruangan, benar sekali. Apartemen itu seperti sengaja disiapkan untuk terlihat rapi, bukan ditinggalkan secara alami.
Wanita itu pamit setelah menanyakan beberapa hal kecil, lalu kembali ke unitnya. Helena menutup pintu perlahan, punggungnya bersandar pada kayu dingin itu.
Matanya beralih lagi pada koper yang masih tergeletak di lantai.
Jika Amara benar sudah tidak menampakkan diri selama dua minggu, tapi baru menghilang seminggu lalu… berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang membuat waktu terasa tidak sinkron.
Helena menggenggam erat kunci apartemen. “Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Kak…?”
Helena menatap koper itu lama sekali, jari-jarinya sudah menyentuh resleting yang terkunci rapat. Ada dorongan kuat untuk segera membukanya, seakan jawabannya ada di dalam sana.
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara getar ponselnya memecah keheningan. Ia merogoh tas kecilnya dengan cepat. Nama “Mama” berkedip di layar.
Helena menelan ludah. Dengan berat hati ia menjawab, “Halo, Ma…”
“Helena, kau di mana? Keluarga Lucian baru saja pulang, dan semua orang mencarimu. Besok pagi sudah pernikahan. Jangan tinggalkan kami di saat seperti ini.” Suara Edani terdengar tegas, penuh tekanan.
Helena memejamkan mata. “Aku… aku hanya butuh udara segar sebentar, Ma. Tolong, beri aku waktu.”
“Tidak ada waktu, Helena,” potong ibunya cepat. “Kau harus pulang sekarang. Apa pun yang kau pikirkan, simpan dulu. Kita harus fokus pada besok.”
Panggilan terputus begitu saja, meninggalkan dengung sepi di telinga Helena. Ia menurunkan ponsel perlahan, menatap koper yang masih bisu di dekat pintu.
Hatinya memberontak. 'Kalau aku pergi sekarang, mungkin aku kehilangan kesempatan tahu ke mana Kak Amara sebenarnya pergi…'
Tapi bayangan wajah ibunya, tekanan keluarga, dan kenyataan bahwa waktu terus berjalan memaksanya mengalah.
Dengan langkah enggan, Helena berdiri. Ia hanya bisa menatap koper itu sekali lagi, seperti sebuah rahasia yang mengejeknya karena belum tersentuh.
Tangannya bergetar saat ia memutar kunci pintu. “Aku akan kembali, Kak. Aku janji…” bisiknya lirih, sebelum keluar meninggalkan apartemen yang kembali sunyi.
Malam sudah larut ketika Helena tiba di rumah. Dari balik pagar besi, ia bisa melihat ruang tamu masih terang benderang. Suara orang bercakap-cakap terdengar samar, campuran nada tinggi dan rendah, seolah percakapan itu lebih mirip perdebatan.
Helena membuka pintu dengan hati-hati. Begitu masuk, semua kepala langsung menoleh padanya. Ibunya duduk di sofa dengan wajah tegang, ayahnya berdiri dengan tangan bersedekap, sementara Eldon, paman dari pihak ayah duduk di kursi seberang, wajahnya merah karena emosi.
“Helena.” Suara ibunya datar, nyaris seperti teguran. “Ke mana saja kamu? Kami mencarimu.”
Helena menelan ludah, menunduk. “Aku hanya… keluar sebentar.”
Ayahnya menghela napas berat, lalu menghampirinya. “Kamu harus mengerti situasinya. Tidak ada lagi waktu. Keluarga Lucian sudah jelas, mereka tidak mau pernikahan dibatalkan. Harga diri keluarga dipertaruhkan.”
“Dan kalau sampai batal, aib kita jadi bahan omongan seluruh kota,” sambung paman Eldon, nadanya penuh tekanan. “Kau tidak ingin itu terjadi, kan, Helena?”
Helena memandang satu per satu wajah mereka. Tenggorokannya tercekat. Jadi ini semua hanya soal nama baik? Bukan tentang Kak Amara, bukan tentang kebahagiaan siapa pun?
“Tapi… aku bukan Kak Amara,” suaranya akhirnya pecah, serak oleh emosi. “Kenapa aku harus jadi penggantinya? Ini tidak adil, Ma, Pa…”
Ibunya bangkit dari kursi, langkahnya cepat menghampiri. Tatapannya menusuk, namun suaranya tetap tegas dan dingin.
“Kau anak kami juga, Helena. Dan sekarang, kau satu-satunya cara agar pernikahan ini tetap berlangsung. Kalau kau menolak, kau bukan hanya mengecewakan kami, tapi juga mempermalukan keluarga ini di depan semua orang.”
Helena terdiam. Jantungnya berdegup cepat, tubuhnya gemetar. Ia ingin berteriak, ingin menolak habis-habisan. Tapi tatapan orang-orang di ruangan itu menekannya seperti jeruji besi.
Ayahnya menepuk pundaknya, bukan dengan kelembutan, tapi lebih sebagai penegasan. “Besok pagi, kau akan mengenakan gaun pengantin itu.”
Helena merasakan seolah seluruh udara di paru-parunya lenyap. Dalam hati, ia tahu: jalan yang dipaksakan ini akan membawa luka lebih dalam daripada yang bisa dibayangkan siapa pun.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...
Kamar Helena temaram, hanya diterangi lampu meja yang redup. Gaun pengantin berwarna putih tergantung di sudut ruangan, tertutup plastik transparan. Dari kejauhan, gaun itu tampak indah, berkilau, tapi bagi Helena, keberadaannya seperti bayangan dingin yang terus mengawasi.
Helena duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Pikirannya kalut. Setiap detik terasa semakin menghimpit.
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. "Besok aku akan berdiri di samping Lucian. Tapi bukan karena dia memilihku. Bukan karena aku diinginkan. Hanya karena aku bayangan Kak Amara."
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Sudah lama ia memendam cinta pada Lucian, sejak pertama kali mengenalnya, bahkan sebelum Amara bertunangan dengannya. Ia hanya bisa mencintai dalam diam, merelakan dirinya terluka setiap kali melihat kebahagiaan kakaknya. Dan sekarang, ketika kesempatan itu seolah terbuka… kesempatan itu datang dengan cara yang paling kejam.
“Kenapa harus aku, Tuhan…” bisiknya lirih.
Tatapannya beralih ke koper yang masih terbayang jelas di benaknya. Koper Amara, yang seharusnya menjadi tanda seseorang ingin pergi jauh. Tapi kenapa koper itu justru ditinggalkan di dekat pintu? Kenapa apartemen itu terlalu bersih, seakan baru dibereskan kemarin?
Apa benar Kak Amara pergi dengan keinginannya sendiri? Atau ada sesuatu yang lebih gelap dari itu?
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Membuatnya semakin takut, sekaligus semakin yakin bahwa pernikahan besok hanyalah awal dari sesuatu yang janggal.
Helena mengusap air matanya dengan kasar. Ia bangkit, melangkah ke arah gaun pengantin itu. Jemarinya menyentuh kain putih di balik plastik pelindung. Dingin. Hampa.
“Kalau aku mengenakanmu besok…” gumamnya, suaranya bergetar, “…apakah aku sedang mengambil tempat Kak Amara, atau justru menggantikan sesuatu yang sudah tidak ada?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.
Helena berbalik, merebahkan diri di ranjang. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya jauh melayang pada bayangan kakaknya yang hilang dan wajah Lucian yang selalu hadir di hatinya.
Malam terasa panjang, seolah menunda datangnya pagi.
\=\=\=\=
Di kamar luasnya yang remang, Lucian duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan. Layar ponsel sudah beberapa kali menampilkan pesan yang sama setiap kali ia mencoba: Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif.
Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, frustrasi. “Amara… di mana kamu sebenarnya?”
Di meja kerja dekat jendela, laptop terbuka. Halaman media sosial Amara terpampang di layar - kosong. Akun yang dulu penuh dengan unggahan foto-foto ceria, kini sudah dinonaktifkan. Seminggu lalu. Tepat di hari terakhir Amara terlihat.
Lucian mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, gelisah. Ia sudah mencoba semua cara: menghubungi teman-teman Amara, mengecek rumahnya, bahkan menyuap resepsionis apartemen untuk melihat rekaman CCTV. Tapi yang ia temukan hanya ruang kosong, tanpa petunjuk jelas.
Ia kembali menekan nomor Amara, meski sudah tahu hasilnya. Tuutt… tuutt… lalu hening. Lagi-lagi tidak aktif.
Ponsel dilemparkannya ke ranjang. Lucian berdiri, melangkah ke arah cermin besar di sudut kamar. Wajahnya tampak letih, mata merah karena kurang tidur.
"Bagaimana aku bisa menikah besok, jika pengantinku sendiri menghilang?"
Tapi kemudian ia teringat pertemuan sore tadi, ketika keluarganya menekan keluarga Amara. Keputusan sudah dibuat. Helena akan menggantikan Amara.
Lucian mengepalkan tangan. “Helena bukan Amara. Tidak akan pernah.”
Namun di dalam hatinya, ada sesuatu yang samar, rasa bersalah karena menerima keputusan itu tanpa perlawanan, bercampur dengan rasa takut kalau kebenaran hilangnya Amara lebih mengerikan dari yang ia bayangkan.
Lucian menutup laptop, meraih ponselnya lagi. Kali ini, bukan untuk menelpon Amara, tapi menatap foto terakhir yang sempat ia simpan: Amara tersenyum di bawah cahaya senja, matanya berkilau penuh hidup.
“Besok… seharusnya hari kita.” suaranya bergetar.
Di luar jendela, malam semakin pekat. Dan Lucian tahu, tak peduli seberapa keras ia mencoba, Amara tidak akan muncul malam ini.
Lucian melangkah gontai ke balkon kamar sambil membawa foto di tangannya.
Beberapa Minggu lalu, Amara masih datang kesini. Wanita itu masih tersenyum manis ke arahnya sambil berdiri anggun di pembatas balkon. Amara suka berada disana.
Juga ada beberapa bunga yang di bawa khusus oleh Amara ke rumah ini, sekarang sedikit layu karena tidak ada lagi yang menyiram.
"Aku merindukanmu," bisik Lucian, menyimpan foto dalam saku kemudian mengambil penyiram bunga yang tergeletak dekat pintu balkon. Lucian menggantikan tugas Amara malam ini.
Kemana sebenarnya Amara pergi? kenapa dia pergi meninggalkan pernikahan mereka yang sudah di depan mata?
...***...
...Like , komen dan vote....
...💙💙💙...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!