Lin Pan, seorang pria 35 tahun, hari itu diselimuti euforia(Bahagia). Setelah empat belas tahun menjalin kasih, ia akhirnya merasa cukup mapan untuk melamar Ling Ling, kekasih hatinya. Ironisnya, ia yang sebetulnya adalah seorang jenius multitalenta, selalu merasa belum cukup siap.
Siang itu, Lin Pan melangkah keluar dari toko bunga, memeluk seikat besar bunga dan sebuah kotak kecil berisi cincin berlian—tersimpan rapi di saku jaketnya. "Hah, Aku berharap… Ling Ling akan menerima lamaranku ini," bisiknya penuh harap, senyum percaya diri merekah di wajahnya.
Ia tiba di depan apartemen Ling Ling yang cukup besar. Ia menarik napas dalam, memejamkan mata. Meskipun yakin, ada gugup yang merayapi hatinya.
Saat membuka mata, pandangannya jatuh pada sepasang sepatu pria hitam bermerek, harganya pasti mahal, tergeletak di ambang pintu. Matanya membesar karena heran. Sepatu itu jelas milik laki-laki, dan bukan milik Ling Ling.
"Sepatu siapa ini? Tidak mungkin milik Ling Ling, kan? Mungkinkah… milik ayah atau saudaranya?" suaranya bergetar, berusaha mengusir pikiran negatif yang mulai meracuni akalnya.
Perlahan, ia memegang gagang pintu, memutarnya dengan kunci cadangan yang ia miliki.
CKLEK! KREETT...
"Ah! Ah, enak sekali, Sayang! Terus acak-acak aku. Luar biasa! Ini nikmat sekali."
Baru satu langkah masuk, desahan lembut nan familier itu menampar telinganya. Tubuh Lin Pan membeku. Jantungnya serasa berhenti. Pikiran-pikiran gelap yang selama ini ia kunci, menyeruak ke permukaan.
Dengan tubuh yang bergetar hebat, ia bergerak perlahan menuju kamar. Pintu kamar Ling Ling terbuka setengah. Pemandangan menyakitkan di dalamnya membuat dunianya seketika hancur dan goyah. Betapa bodohnya ia, telah dikhianati oleh orang yang ia cintai—padahal segala keinginan kekasihnya selalu ia penuhi.
Air mata membanjiri wajahnya, tinjunya terkepal penuh amarah. Di matanya, Ling Ling—wanita yang ia cintai belasan tahun—sedang ditindih oleh Xio Bai, sahabat yang paling ia percayai.
"L-Ling Ling! A-Apa yang S-sedang… Kalian lakukan? K-Kenapa kau melakukan ini?" Suara Lin Pan pecah, serak, hampir tak terdengar.
Ling Ling dan Xio Bai terkejut bukan kepalang. Aktivitas terlarang itu terhenti. Mereka tak menyangka Lin Pan, yang seharusnya bekerja, tiba-tiba muncul.
"Lin Pan! I-Ini… tidak seperti yang kau kira," ucap Ling Ling panik, tubuhnya memanas karena tertangkap basah. Sorot matanya menunjukkan ketakutan seperti seorang kriminal yang tertangkap.
Ling Ling menjauhkan diri sedikit dari Xio Bai, namun lekuk tubuhnya justru semakin terlihat. Karena malu ditatap Lin Pan, ia segera menutup tubuhnya dengan selimut putih—ironi yang kejam, ia menjaga tubuhnya dari sang kekasih sejati, tapi membiarkannya dinikmati pria lain.
"T-Tidak seperti yang aku kira apa? Kau pikir aku buta?! Jelas-jelas kau tertangkap basah sedang berhubungan badan dengan mata kepalaku sendiri, sialan!" Amarah Lin Pan meledak. Dengan sisa tenaga, ia melemparkan buket bunga dan cincin berlian ke lantai, lalu lari dari sana.
"Lin Pan! Tunggu aku! Aku bisa jelaskan ini semua. Ini tidak seperti yang kau kira! Lin Pan!" Ling Ling semakin panik saat punggung Lin Pan menjauh.
"Sudahlah, Ling Ling! Biarkan saja dia pergi. Katamu juga dia cuma laki-laki membosankan, kan? Lebih baik kau menjadi kekasihku daripada bersama laki-laki culun seperti dia," Xio Bai menahan Ling Ling, menariknya kembali ke dalam pelukannya.
Ling Ling tidak menyesali perselingkuhannya. Ia hanya takut jika Lin Pan melaporkan perbuatan bejatnya kepada orang tuanya.
Lin Pan berlari kencang, meninggalkan apartemen itu. Matanya terasa terbakar, dadanya serasa hangus. Rasa sakit di hati membuat setiap tarikan napas terasa menyiksa.
"Sialan! Kenapa aku sebodoh ini? Kenapa selama ini aku tidak sadar dia telah berselingkuh di belakangku?" Suara serak itu tertahan di tenggorokan.
Ia tak peduli pandangan orang lain, terus berlari hingga tiba di bar langganannya. Ia masuk dan duduk di kursi kecil, memesan sebotol alkohol hanya dengan mengangkat tangan. Lin Pan berharap mabuk akan sedikit meredakan rasa sakit di dadanya.
Ia terus menenggak alkohol, sesuatu yang tak pernah ia lakukan separah ini. Kepala mulai berputar, kesadaran memudar.
"Sialan kau, Ling Ling! Padahal… aku selalu memberikan semua yang kau inginkan. Dan inikah balasan yang ku dapat atas semua pengorbananku?" Lin Pan mulai mencurahkan isi hatinya, terlarut dalam alkohol.
Wajahnya pucat pasi, sudah terlalu banyak alkohol yang ia minum.
Selama ini, banyak yang mengira Lin Pan culun dan membosankan. Mereka salah besar. Jauh di dalam dirinya, Lin Pan adalah seorang psikopat murni sejak kecil, yang selalu melihat orang lain tak lebih dari serangga. Sifat aslinya ini ia pendam dalam-dalam, terbelenggu setelah ia jatuh cinta pada Ling Ling belasan tahun lalu. Cinta itu menciptakan perisai bagi monster di dalamnya, melahirkan Lin Pan yang polos dan membosankan.
Kini, perisai itu hancur berkeping-keping.
Mental Lin Pan terguncang hebat. Tatapan yang tadinya sedih berubah menjadi tatapan tajam, dingin, dan penuh kebencian. Anehnya, efek mabuk alkohol seketika lenyap. Lin Pan berdiri, memegang botol yang tersisa.
"Hahaha! Aku kembali, hahaha! Terima kasih, dasar jalang—karena telah melepaskanku dari belenggu yang telah mengurungku selama ini!" Tawa psikopatnya mengisi ruangan bar. Aura Mo Tian berubah drastis, menjadi haus darah.
Barista yang melayaninya merinding. Ia tak pernah melihat pelanggan setianya itu berubah sedrastis ini.
"Hei, kau! Bisa kau kemari sebentar?" Lin Pan tersenyum lebar, tatapannya penuh kelicikan.
Meski takut, Barista mendekat. "A-Ada apa, Tuan? Apa ada sesuatu yang tuan butuhkan?" tanyanya dengan wajah pucat.
Ketika Barista berada dalam jangkauan, Lin Pan menghantam kepalanya dengan botol alkohol di tangannya. Barista itu langsung ambruk, tak berdaya. Darah segar mengalir, membasahi lantai bersih.
"Hahaha, ini luar biasa! Dan ini sangat bagus untuk pemanasan. Tidak kusangka ternyata membunuh itu semenyenangkan ini. Kenapa bisa-bisanya aku menjadi orang bodoh yang terbutakan oleh yang namanya cinta," tawanya menggema. Lin Pan menjadi sangat bergairah dengan pembunuhan itu, seolah ini bukan yang pertama, padahal dalam ingatannya, ia tak pernah membunuh.
Lin Pan menatap mayat Barista tanpa rasa bersalah, tersenyum mengerikan seolah mengejek mayat yang tak bisa membalas.
"Sekarang giliran kalian berdua, hahaha!" gumam Lin Pan. Ia tertawa pelan, tak sabar ingin membunuh dua manusia bajingan yang telah mengkhianatinya.
Sebelum pergi, Lin Pan memanipulasi TKP. Ia membersihkan lantai yang berlumuran darah, menghapus rekaman CCTV, dan menyembunyikan mayat Barista di kamar mandi dengan pisau di tangannya. Polisi pasti akan mengira ini adalah kasus bunuh diri.
Setelah menyabotase kejadian, Lin Pan keluar dari bar dengan sangat tenang, tepat setelah beberapa pelanggan baru masuk. Ia memastikan tidak ada saksi yang melihatnya sebagai orang terakhir yang keluar.
Orang-orang di jalanan yang melihat Lin Pan yang terlihat seperti orang gila, menjauhinya.
Lin Pan kembali ke apartemen Ling Ling. Ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci, lalu dengan langkah perlahan menuju dapur, mengambil pisau dapur. Tidak ada rasa panik atau takut.
Berbekal senjata, Lin Pan mengendap-endap menuju kamar. Di dekat pintu, ia kembali mendengar desahan menjijikkan itu.
"Cih, dasar babi penuh nafsu! Sungguh menjijikkan," desis Lin Pan, rasa jijik memuncak.
Tanpa suara, Lin Pan masuk ke kamar yang pintunya terbuka. Detak jantungnya sangat tenang. Ia justru tersenyum lebar saat jaraknya dengan dua manusia hina itu semakin dekat.
Ketika Lin Pan hanya berjarak beberapa sentimeter dari Xio Bai, ia mengangkat pisau dapur ke atas.
Tanpa ragu, ia menebas kaki Xio Bai yang terlentang lurus.
AAAAARRRGG!
Xio Bai menjerit kesakitan, darah segar muncrat dari kakinya. Saking sakitnya, ia mendorong tubuh Ling Ling yang sedang menggoyangkan pinggul, membuat Ling Ling jatuh ke bawah kasur.
"S-Sayang, kau kenapa?" Ling Ling belum sadar akan kehadiran Lin Pan. Lin Pan langsung memukul tengkuk leher Ling Ling. Seketika, Ling Ling pingsan.
Ling Ling terbangun, terikat kencang di kursi kayu. Ia terkejut, panik, dan pucat. Pemandangan di depannya membuat ketakutannya memuncak: tubuh Xio Bai tersalib di dinding, penuh luka tusukan, sudah tak bernyawa karena kehabisan darah.
Ling Ling ingin menjerit, namun mulutnya tersumpal kain hingga kerongkongan. Di dekat jasad Xio Bai, ada tulisan yang dibuat menggunakan darahnya:
'Ini Hadiah untuk Ling Ling ku tersayang, semoga kau bahagia hahaha!'
Lin Pan tidak membunuh Ling Ling secara langsung. Ia memilih balas dendam paling sadis: membiarkan Ling Ling mati perlahan, terkurung, sambil menatap jasad selingkuhannya sendiri.
Apartemen itu telah dikunci rapat, cukup untuk bertahan satu bulan. Lin Pan juga telah menyiapkan rencana lain jika orang tua Ling Ling curiga: menggunakan ponsel Ling Ling untuk mengabarkan bahwa ia dan Ling Ling sedang pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan.
Lin Pan keluar dari apartemen setelah mengganti pakaian dan membersihkan semua barang bukti, termasuk sidik jari.
"Hahaha, lucu sekali wajahnya itu! Sampai-sampai aku ingin terus tertawa menerus, hahaha!" Lin Pan tertawa senang setelah melakukan tindakan gila itu.
Tiba-tiba, seorang pria dari lantai atas menjatuhkan sebuah tas berisi barbel.
DUGGH!
Lin Pan tertimpa tas itu dan ambruk. Tengkorak kepalanya pecah akibat benturan keras. Perlahan, matanya menutup. Ia mati mengenaskan setelah menghabisi tiga nyawa.
"J-Jika aku hidup kembali… aku tidak akan menjadi orang bodoh seperti ini lagi, dan aku akan menjadi seorang penguasa." Itulah perkataan terakhir Lin Pan sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Lin Pan tersentak bangun. Kepalanya berdenyut hebat, dan penglihatannya masih berputar. "Eee... Di mana aku? Kenapa... tempat ini seperti zaman kuno?"
Ia bangkit, kebingungan menyelimuti benaknya. Di hadapannya berdiri sebuah kompleks bangunan megah yang kokoh, dengan halaman luas—semuanya berarsitektur khas Tiongkok kuno. Saat ia berusaha mencerna keadaan, kepalanya tiba-tiba berdengung keras. Dunianya serasa berguncang, rasa sakit luar biasa menghantam tempurung kepalanya.
"Arrrgg! Sialan, kenapa kepalaku?! R-rasanya... sakit sekali!"
BRUUG!
Lin Pan ambruk, tak sadarkan diri, terlempar ke dalam kegelapan tak bertepi.
Ketika ia tersadar, ia berada di sebuah tempat hampa, sebuah kekosongan total yang ia kenali sebagai alam bawah sadar. Tak ada apa-apa selain kegelapan. Siapa pun yang terperangkap di sana pasti akan gila karena kehampaan menelan jiwa.
Di kedalaman void itu, Lin Pan tiba-tiba diserbu oleh kilas balik memori dari pemilik tubuh ini sebelumnya. Ingatan-ingatan itu penuh dengan kenangan buruk dan menyakitkan.
Setelah menerima semua itu, Lin Pan mengerti: ia telah bereinkarnasi ke dalam tubuh seorang pemuda yatim piatu berusia tujuh belas tahun bernama Mo Tian.
Mo Tian, si pemilik asli tubuh, bermimpi menjadi seorang kultivator, tetapi ia adalah korban tragis dari takdir. Karena tidak memiliki bakat, ia gagal mencapai tingkat kultivasi dasar, Qi Refining (Pemurnian Qi). Statusnya sebagai seorang mortal (manusia biasa) sudah cukup untuk menjadikannya sasaran lelucon dan cemoohan dari semua murid di sekte tersebut.
Setiap hari adalah siksaan. Mo Tian dipukuli habis-habisan layaknya samsak hidup oleh para seniornya yang sudah berstatus kultivator tingkat rendah. Melawan hanya akan mendatangkan kekerasan yang semakin brutal.
Mo Tian yang asli akhirnya mati—bukan karena pukulan mematikan tunggal, melainkan karena jiwanya hancur, tidak tahan lagi menghadapi penyiksaan dan perundungan tanpa henti yang ia terima setiap hari.
"Apa-apaan semua ingatan ini? Ini bukan ingatanku. Jadi, aku telah mati, dan sekarang malah hidup lagi di tubuh bocah ini," gumam Lin Pan (kini Mo Tian), berusaha mencerna realitas barunya.
Lin Pan kini adalah Mo Tian.
Anehnya, ia merasakan gelora amarah dan dendam yang membara terhadap semua orang yang telah mempermainkan Mo Tian asli. Perasaan dendam yang begitu kuat itu menguatkan tekadnya.
"Tenang saja, bocah malang! Aku pasti akan membalas budi karena kau telah memberikan tubuhmu ini untuk kugunakan."
Sumpah balas dendam itu diucapkan. Dalam sekejap, alam bawah sadar itu mulai bergetar hebat dan runtuh, menjatuhkan Lin Pan (Mo Tian) kembali ke kesadarannya.
Mo Tian tersadar dari pingsannya. Ia bangkit dan, dengan ketenangan yang luar biasa, mulai berjalan mengelilingi halaman sekte.
Ia memanfaatkan waktu luang ini—semua murid dan master sekte sedang pergi berlatih.
"Oke, aku sudah paham setiap struktur luar halaman sekte ini. Sekarang, aku harus terus mengingat setiap inci bagian dalam," ucap Mo Tian dengan ekspresi datar, pikiran liciknya mulai menyusun rencana.
Ia memasuki aula sekte yang sunyi, memeriksa lapangan kosong. "Ini pasti tempat berlatih mereka. Aku tidak mungkin menggunakan tempat ini sebagai tempat eksekusi. Di sini terlalu terbuka, aku akan mudah dikalahkan."
Ia masuk lebih dalam lagi, ke Paviliun Utama, melihat singgasana dan tempat duduk mewah. "Kalau tidak salah... ini tempat duduk para tua bangka itu." Tempat para master sekte berkumpul.
Setelah memastikan setiap bagian dan struktur ruangan sekte terpetakan dalam ingatannya, Mo Tian kembali ke luar. Ia mengambil sapu dan berpura-pura membersihkan halaman, wajahnya ia pasang polos dan menunduk.
"Mereka semua sudah kembali. Untung saja perhitunganku tepat," gumamnya.
Ratusan murid sekte kembali. Sebagian langsung beristirahat, namun sebagian kecil, yang selalu mencari hiburan, memutuskan untuk mengganggu Mo Tian.
"Hei, Mo Tian! Kasihan sekali kau ini, hahaha. Memangnya enak jadi tukang bersih-bersih?" ejek salah satu murid. Hanya ada tiga orang yang tersisa, sisanya terlalu lelah.
Mo Tian berusaha menampilkan ekspresi natural Mo Tian yang asli. "A-aku tidak masalah kalau harus menjadi tukang bersih-bersih. Selagi aku bisa belajar di sini... apa pun pasti akan aku lakukan."
Ketiga murid itu tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, ternyata kau memang sebodoh itu, Mo Tian! Daripada jadi tukang bersih-bersih, lebih baik kau pergi dari sekte atau mati saja! Seorang mortal sepertimu tidak pantas berada di sini."
"Betul! Kau itu hanya aib bagi sekte!" timpal yang lain.
"A-aku... Pasti bisa menjadi seorang kultivator seperti kalian! Aku tidak akan menyerah dengan impianku walaupun kalian terus menyuruhku untuk berhenti!" Mo Tian meninggikan suaranya, sebuah tindakan yang membuat ketiga murid itu terkejut. Selama ini, Mo Tian yang mereka kenal selalu diam dan menerima ejekan. Mo Tian kali ini berbeda.
Merasa harga diri mereka tercoreng karena dibentak, ketiga murid sekte itu berdecak kesal. Mereka lantas menyuruh Mo Tian untuk mengikuti mereka ke tempat di mana Mo Tian sering dihabisi.
Mo Tian menunduk, wajahnya tampak muram dan takut.
Namun, saat ia mengangkat wajahnya, terulas senyum licik. Ia senang. Hanya dengan sedikit meninggikan suara, ia berhasil memancing mangsanya masuk ke dalam perangkap yang sudah ia persiapkan dengan matang. Mereka harus siap-siap, karena Mo Tian sudah menyiapkan rencana eksekusi yang sempurna.
Di tengah tumpukan rak buku reyot yang dimakan usia dan rayap, Mo Tian dilempar paksa ke lantai gudang tua. Ia terhempas keras, tatapannya menyala penuh amarah ke arah para murid sekte yang mengelilinginya.
"Berani sekali kau menatapku sekarang, Mo Tian! Sepertinya… tubuhmu sudah lupa rasanya dihajar, ya? Pegang dia, teman-teman!" Murid itu menunjuk, dan dua rekannya segera mencengkeram lengan Mo Tian.
Murid di depan Mo Tian meregangkan jari-jarinya, berjalan pelan mendekat dengan seringai kejam di wajahnya. "Dasar sampah! Berani-beraninya seorang mortal tak berorang tua(Yatim piatu) menatapku seperti ini. Rasakan ini, sialan!"
BUGGH! BUGGH! BUGGH! BUGGH!
Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Mo Tian. Sang penyerang tersenyum lebar, menikmati sensasi menindas yang lemah. Setelah cukup puas, ia melirik Mo Tian, mengharapkan ekspresi pasrah seperti biasa.
Namun, kali ini yang ia lihat bukanlah keputusasaan. Mo Tian justru tersenyum lebar, seolah menikmati setiap pukulan yang menghantamnya. Seketika, rasa dingin menjalar di punggung sang murid. "K-Kau sudah gila, ya? Sampai-sampai tersenyum saat dihajar seperti ini?"
Mo Tian tak menjawab. Senyumnya tiba-tiba berubah menjadi tawa keras yang menusuk telinga, seperti orang yang kehilangan akal sehatnya. "Hahahaha!" Tawanya tak berhenti, malah semakin keras dan mengerikan.
"K-Kenapa dia? Apa… Kau sudah gila, Mo Tian?" Murid yang memukulinya mulai ciut nyali. Semakin ia memukul, Mo Tian justru semakin keras tertawa.
Ketakutan menyelimuti murid itu, namun ia tak ingin terlihat pengecut di depan teman-temannya. Ia berbalik, beralasan ingin istirahat. "A-Ayo kita kembali ke asrama! Dan untukmu, Mo Tian, kali ini kumaafkan. Tapi lain kali, kau habis di tanganku!"
Kedua murid lain melepaskan Mo Tian dan mengikuti teman mereka.
"Mau ke mana kalian semua? Hahahaha! Apa kalian takut padaku? Ternyata selama ini kalian hanya pecundang yang cuma bisa menindas orang lemah, ya!" Mo Tian mengejek mereka.
Kata-kata itu membakar amarah para murid. Mereka berbalik, wajahnya memerah. "Apa kau bilang—"
Namun, kalimat mereka terputus. Sesuatu mengenai mata mereka. Tiga murid itu langsung buta, berteriak kesakitan. Mo Tian melemparkan garam yang ia ambil dari dapur saat mengelilingi sekte tadi. Bukan pasir, melainkan garam yang menyengat dan menyerap air mata, mengancam kebutaan.
Mo Tian mengeluarkan pisau dari saku kirinya. Ia bergerak perlahan, tak ingin keberadaannya diketahui. Ketika sudah cukup dekat, ia menyerang titik vital mereka satu per satu: leher, dan area mematikan lainnya.
Dengan satu serangan, mereka ambruk tak berdaya. Darah membasahi lantai, dan Mo Tian menikmati pemandangan itu. "Hahaha, tidak kusangka mereka sebodoh ini!"
Ia belum puas. Meskipun mereka sudah tak bernyawa, Mo Tian terus menusuk, melampiaskan dendam yang terpendam.
Tiba-tiba, sebuah buku tua jatuh, seolah takjub menyaksikan kebengisan Mo Tian. Ia menghentikan aksinya, tubuhnya berlumuran darah, lalu mengambil buku itu.
"Blood Devour Technique?" Mo Tian membaca judulnya. "Buku apa ini?" Ia membuka halaman pertama. "Teknik darah? Apa maksudnya ini? Apa ini buku bela diri?"
Mo Tian mengamati buku itu, otaknya mencerna informasi yang belum ia pahami sepenuhnya. Namun, ia berhasil menangkap inti dari teknik awal Blood Devour Technique: "Pengendalian darah, ya. Dunia ini sungguh sangat menarik sekali."
Saat ia sedang asyik mempelajari teknik awal tersebut, seseorang masuk ke dalam gudang tua itu, menghentikannya membaca buku tersebut.
Orang itu terperanjat melihat tiga mayat berlumuran darah tergeletak. "M-Mayat! Ada mayat di sini! S-Siapa yang melakukan hal keji seperti ini?"
Orang itu berlari mendekat, berniat memeriksa tubuh para korban. Namun, takdirnya sudah disegel oleh Mo Tian.
CLEEB!
Mo Tian menusuk orang itu dari belakang. Kemudian, ia mengaktifkan Blood Devour Technique, menyerap darah dari semua korbannya.
Rasa sakit yang luar biasa melanda Mo Tian. Tubuhnya terasa seperti terbakar hebat. Ia berlutut, terengah-engah setelah selesai menyerap darah mereka.
Ia mengangkat kedua tangan, mengepalkan tinjunya. Kekuatan besar mengalir di dalam dirinya. "Kekuatan ini… Aku telah menjadi seorang kultivator Qi Refining tingkat 1!"
HAHAHAHAHA!
Tawa mengerikan menggema di gudang tua itu. Mo Tian merasa senang, karena sekarang, ia memiliki kekuatan untuk membalas dendam kepada sekte kecil yang selama ini menyiksanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!