NovelToon NovelToon

PENDEKAR DEWA MATAHARI

Sungsang Geni

Seorang Pemuda berkata dengan sesumbar didepan perguruan yang dihancurkannya, Dia menatap setiap lawan yang telah jatuh satu persatu, lalu meludah ketanah, kemudian dia berkata. “Aku kira perguruan tongkat emas sangat kuat seperti yang diceritakan, tapi ternyata hanya omong kosong belaka.

Sekarang aku menyadari tidak ada yang dapat mengalahkan diriku.”

Dia menunggu beberapa saat, berharap ada para pendekar yang tidak senang dengan ucapannya lalu meberika perlawanan, namun ternyata tidak ada satupun pendekar disana yang berani menantangnya.

Banyak orang yang menyaksikan pertarungan dari jauh, bersembunyi dari balik pohon atau atau berkumpul dibalik rumah warga, beberapa diantara mereka adalah pendekar, namun tidak ada yang berani untuk maju melawan pemuda itu, bahkan untuk melihat matanyapun terasa enggan.

Pemuda itu menatap langit yang mendung dengan mata yang sendu, hujan nampaknya akan segera turun dengan deras membersihkan noda darah yang berceceran ditanah akibat dari pertarungannya dengan 30 pendekar dari perguruan tongkat emas.

Setelah itu dia berjalan menuju puing bangunan yang terbakar, lalu dia duduk diatas batu hitam menghadap pada lawan-lawannya yang sebagian sudah tak sadarkan diri.

Dia mulai menghitung, ini adalah perguruan ke 20 yang dia hancurkan seorang diri, dan rata-rata menyisakan bangunan yang hancur terbakar.

Pemuda itu hanya bisa menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya dengan perlahan, “Hidup ini sunggu eroni sekali.”

Pemuda itu bernama Sungsang Geni. Dia adalah anak yang dipungut oleh janda bernama Selasih 15 tahun yang lalu, dia ditemukan didalam hutan belantara ketika Selasih sedang mencari kayu bakar.

Tidak pernah ada yang tahu bagaimana bayi mungil itu bisa berada ditengah hutan yang lebat, dan bagaimana bayi itu bisa terlindung dari binatang buas yang berkeliaran.

Selasih yang telah lama mendambakan seorang putra sangat bersukur diberi kesempatan untuk memiliki anak, meski bukan lahir dari rahimnya.

Selasih sadar bahwa bayi mungil yang dipungutnya memiliki berkah api matahari dilengan kanannya, karena itu setiap hari dia selalu berdoa untuk dewa matahari karena telah memberinya anak yang kuat.

Terkadang Selasih mengatakan ‘jaga anakmu’di setiap doanya yang ditunjukan kepada dewa matahari, atau jaga ‘putra kita’.

Berkah api matahari yang dimiliki Sungsang Geni dapat menimbulkan api yang sangat panas, dengan kekuatan itu dia bisa saja membakar benda apapun hanya dengan jentikan telunjuk.

Namun meski memiliki kelebihan, Selasih tidak pernah mengajarkan putranya untuk menjadi sombong dan harus selalu bersukur meski hidup dalam kekurangaan, karena itu banyak orang menyukai dirinya.

Sedari kecil Sungsang Geni sudah terbiasa berpuasa, menahan lapar sudah sangat biasa bagi dirinya ini dikarenakan Selasih sangat miskin.

Digubuk yang reot dan rapuh, Sungsang Geni banyak menghabiskan waktu membantu ibunya membelah kayu untuk dijual ke kota, hanya untuk membeli makannan dan sisahnya membeli buku bekas.

Sungsang Geni sangat suka membaca, karena itu dia memiliki sedikit pengetahuan mengenai dunia ini.

Namun suatu masa ketika umurnya baru 14 tahun dia mengalami mimpi buruk berkali-kali, membuat Selasih sangat khawatir.

“Ibu aku melihat kabut hitam mendekatiku.” ucap Sungsang Geni setiap terjaga dari mimpi buruknya, “Kabut yang berusaha memadamkan api ditanganku.”

Selasih hanya memeluk putranya setiap terjaga dari mimpi, sebagai ibu yang tidak tahu apa-apa, Selasih tidak bisa berbuat banyak untuk putranya.

Namun suatu malam, Sungsang Geni bermimpi kabut hitam menyelimuti tubuhnya dan mencekik lehernya hingga terasa sempit, dikekalutan hatinya dia tanpa sengaja mengeluarkan api besar diseluruh tubuhnya untuk mengusir kabut itu.

Namun api itu bukan hanya keluar didalam mimpinya saja, namun keluar dari seluruh tubuh nyatanya, sehingga menyebabkan seluruh bangunan rumah terbakar hangus bersama ibunya.

Ketika dirinya sadar, semua sudah terlambat tidak ada yang tersisah selain api yang berkobar dari tubuhnya.

Kematian ibunya membuat luka yang sangat dalam dihatinya, Sungsang Geni menangis selama 2 hari membuat matanya bengkak dan hitam.

Dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang ibu. Karena kesedihan itu, sebagian hutan terbakar karena api yang tak terkendali keluar dari telapak tangannya.

Setelah kematian ibunya, tabiat Sungsang Geni berubah, dia menjadi sangat pemarah dan suka berkata kasar, dia mulai menyukai pertarungan dan menguji berkah api matahari yang dimilikinya.

Dia mulai mendatangi perguruan kecil yang berada disekitarnya, menantang mereka bertarung, meskipun kebanyakan tidak ada yang tewas, tapi mereka mendapat luka bakar yang parah dan kekalahan telak.

“Hanya karena kekuatan api ditanganmu, membuat kau jadi besar kepal. Kau terlalu sombong anak muda,” seorang pengemis tua yang menutupi wajahnya dengan topi jerami berjalan menunduk dibelakang Sungsang Geni tanpa rasa takut.

Orang yang melihatnya, berusaha memberi tahu sang pengemis agar tidak ber-urusan dengan Sungsang Geni, namun sang pengemis tidak meperdulikan peringatan mereka.

“Celakalah pengemis tua itu.”

“Kenapa dia tidak segera pergi menjauh dari pemuda itu?” terdengar suara beberapa orang sedang membicarakan sang pengemis.

“Apa maksudmu pengemis? Apa kau menantangku? Jika ada orang yang mampu mengeluarkan darah dari tubuhku, akau akan menjadikannya guruku,” Sungsang Geni kemudian tertawa terbahak-bahak, karena baginya tidak mungkin ada orang yang dapat mengalahkannya. “Aku bersumpah atas nama ibuku.”

“Kalau begitu pergilah ke bukit batu, kau akan menemui seorang pria yang dijuluki Ki Alam Sakti.” Setelah berkata demikian sang pengemis segera pergi menuju hutan kecil didekat perguruan tongkat emas lalu menghilang.

Mendengar ucapan sang pengemis, Sungsang Geni mendekati seoarang lelaki tua yang berada tidak jauh dari tempatnya, “Pak Tua katakan padaku dimana letaknya Bukit Batu?”

“Disana pendekar...” Lelaki Tua menunjuk sebuah bukit kecil disisi barat dengan tangan bergetar karena takut.

“Terima kasih Pak Tua,” ucap Sungsang Geni, kemudian berjalan meninggalkan perkampungan itu.

Berhari-hari dia berjalan tanpa petunjuk yang pasti, masuk hutan keluar hutan, menuruni lembah yang dalam mendaki bukit yang tinggi menyinggahi beberapa desa untuk menanyakan seberapa lama lagi dirinya tiba di bukit Batu.

Satu bulan lamanya akhirnya Sungsang Geni tiba dikaki bukit batu, namun dia kembali kesal sebab tidak ada tanda-tanda perguruan berdiri ditempat itu.

Yang ada hanya tanaman lumut hijau, dan pepohonan kerdil menghiasi hamparan batu hitam yang terjal.

Dia mulai mencari petunjuk lain, mengelilingi bukit itu seperti orang gila hingga akhirnya Sungsang Geni menemukan sebuah tangga dari susunan batu yang mendaki kearah puncak bukit batu.

“Pasti diatas sana, orang yang bernama Ki Alam Sakti berada.” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Tanpa berpikir panjang Sungsang Geni segera melewati tangga itu, namun ternyata tangga itu sangatlah panjang dan berliku, Sungsang Geni telah 9 kali beristirahat namun perjalanannya belum sampai setengah.

“Gila, aku tidak menyangka menaiki tangga begitu melelahkan.” Sungsang Geni mengatur napasnya yang terputus putus, wajahnya terlihat merah dan peluh membasahi seluruh tubuhnya “Kalaulah aku punya ilmu meringankan tubuh, tentu tidak akan sesulit ini.”

Mencari Guru

Setelah sehari semalam menaiki tangga batu barulah Sungsang Geni tiba di puncak bukit batu, hampir saja dirinya tidak dapat mencapai puncak bukit karena kehabisan tenaga.

Setelah memijakan kakinya disana, Sungsang Geni langsung merebahkan tubuhnya dengan wajah menghadap langit yang penuh bintang.

Dia memutuskan untuk tidur sejenak ditepi tangga, tenaganya yang telah habis tidak mampu lagi membawa tubuhnya melangkah lebih jauh.

Keesokan harinya Sungsang Geni bangun dengan seluruh tubuh terasa sakit, lebih-lebih pada bagian pahanya, namun hal itu tidak menjadi alasan dirinya untuk menyerah.

Dia mulai menyapukan pandagannya, tempat itu sangat datar dan dingin tidak ada tumbuhan yang hidup dan tidak ada siapapun disana.

Ditengah dataran, Sungsang Geni melihat sebuah rumah kecil yang terlihat sangat sepi, seluruh jendela dan pintunya tertutup rapat.

“Tuan Muda mencari siapa?” seorang pria paruh baya tiba-tiba mengejutkan Sungsang Geni dari belakang.

Sungsang Geni belum menjawab, dia menoleh pria tua dengan heran, mencari tahu dia datang lewat jalan mana? karena hanya ada tangga dibelakangnnya.

‘apakah mungkin menaiki tangga ini?’ ucap Sungsang Geni dalam hati, karena melihat tampilannya, pria setua dirinya tidak akan mungkin sanggup meniti tangga.

“Saya mencari orang yang bernama Ki Alam Sakti,” jawab Sungsang Geni dengan wajah yang dipenuhi dengan rasa penasaran.

“Kalau begitu biar saya antar tuan ketempatnya,” Pria tua itu berjalan lebih dahulu, kemudian dibuntuti oleh Sungsang Geni.

Setelah berjalan 10 langkah pria tua itu tiba-tiba berhenti, lalu menoleh kearah Sungsang Geni. “Ma’afkan saya Tuan Muda, tapi jika berkenan bolehkah tuan muda mengambilkan tongkat saya yang tertinggal.”

Pria tua menunjuk pada sebilah tongkat tertancap tertinggal ditempat mereka berbicara barusan.

Sungsang Geni merasa kesal dengan pria itu, namun dia tetap melakukan permintaannya meski dengan berat hati.

Dengan malas, Sungsang Geni menarik tongkat itu namun ternyata dirinya tidak mampu mencabutnya.

Pria tua kemudian tersenyum melihat Sungsang Geni berusaha keras mencabut tongkat yang ditancapkannya pada batu.

Berbagai macam cara Sungsang Geni lakukan untuk mencabutnya, namun tongkat tetap tertanam ditempatnya bahka tak bergerak sedikitpun seolah menjadi pasak bumi.

“Apa yang terjadi dengan tongkat ini?” batin Sungsang Geni menggerutu.

Akhirnya Sungsang Geni mengeluarkan seluruh tenaga fisik dan tenaga dalamnya bersamaan, namun yang terjadi telapak tangannya malah mengeluarkan darah tapi tongkat itu sama sekali tidak bergeming, padahal tongkat itu hanyalah kayu biasa.

Setelah cukup lama akhirnya Sungsang Geni menyerah, dia mulai teringat kata-katanya didepan perguruan tongkat emas, ‘jika ada yang membuat tubuhku berdarah aku akan mengangkatnya menjadi guruku’

“Angkatlah aku menjadi muridmu,” Sungsang Geni segera sujud ditelapak kaki pria itu, kini dia benar-benar menyadari bahwa pria paruh baya didepannya adalah Ki Alam Sakti. “Aku akan menjadi murid yang berbakti dan mentaati segala perintahmu dengan sepenuh hati.”

Ki Alam Sakti kembali tersenyum, meski terlihat tua namun wibawanya memancar dari tubuhnya, seolah menyejukan siapapun yang memandang wajahnya yang bersahaja. Dia kemudian mencabut tongkat kayu dengan mudahnya.

“Sesungguhnya ada banyak pemuda yang mengatakan itu padaku,” Ki Alam Sakti berucap pelan, namun suaranya dapat terdengar jelas oleh Sungsang Geni kerena menggunakan tenaga dalamnya “Tapi diantara mereka hanya sedikit yang sanggup menerima ujian. ”

“Kalau begitu ujian apa yang harus aku lalui?” tanya Sungsang Gini tanpa berani menatap wajah Ki Alam Sakti.

“Berikan berkah matahari itu padaku,”Ki Alam Sakti menunjuk lengan kanan Sungsang Geni yang terdapat tanda matahari berwarna merah.

Permintaan Ki Alam Sakti sangat mengejutkan Sungsang Geni, dia tidak menyangka permintaan Ki Alam Sakti seberat itu.

Sungsang Geni menjadi bimbang dan bingung, dia tidak menyetujui permintaan Ki Alam Sakti tetapi tidak pula menolaknya.

“Sepertinya kau keberatan anak muda?” Ki Alam Sakti kemudian berbalik badan, berniat meninggalkan Sungsang Geni.

“Bagai mana caranya agar aku dapat memberikan berkah ini, sedangkan berkah ini berada didalam tangan kananku?” tanya Sungsang Geni, dia meremas lambang matahari dilengan kananya.

Ki Alam Sakti mengeluarkan sebuah pisu kecil dari dalam bajunya, kemudian menyodorkannya pada Sungsang Geni.

“Potonglah tangan kananmu itu! dengan begitu aku akan menjadikanmu muridku.”

Mata Sungsang Geni nyaris keluar dari tempatnya karena terkejut, dia tidak menyangka Ki Alam Sakti benar-benar mengingikan anugrah matahari yang dimilikinya.

Sekarang hati pemuda itu mulai menimbang rasa, disatu sisi dia sangat ingin menjadi murid Ki Alam Sakti, disisi lain dia tidak ingin memotong lengannya.

Melihat keraguan diwajah Sungsang Geni, Ki Alam Sakti berkata “Bukankah sudah kubilang, banyak pemuda yang ingin berguru padaku, tapi hanya sedikit yang mampu menghadapi ujiannya.” Lalu dia segera melangkah meninggalkan Sungsang Geni.

“Eang Guru!” Ucap Sungsang Geni, “Berikan pisau itu padaku, aku akan memotong tanganku untuk kuberikan kepadamu.”

Ki Alam Sakti menaikan alisanya tidak percaya, tapi dia tetap memberikan pisau tajam kepada Sungsang Geni.

Sungsang Geni melilit tangan kanannya dengan baju, kemudian dengan memejamkan matanya dia mengiris daging tangannya, pisau tajam itu laksana sedang memotong daging binatang.

Setelah cukup lama dan rasa sakit yang teramat sangat, Sungsang Geni akhirnya jatuh dibebatuan hitam yang dingin, dengan tangan kanan yang telah berpisah dari badannya.

Seluruh darah membasahi baju dan tangannya, menimbulkan bau anyir yang menyengat.

“Ku persembahkan tangan ini untukmu Eang Guru,” ucap Sungsang Geni dengan nada yang bergetar, setelah itu dia jatuh tak sadarkan diri.

Ki Alam Sakti kembali tersenyum sambil menggelengkan kepala, dia tidak menyangka akan menemukan pemuda sekejam dan segigih ini.

“Anak muda ini akan mengguncang dunia dengan kegigihannya.”

Setelah 2 hari tak sadarkan diri akhirnya Sungsang Geni dapat membuka matanya. Dia dengan berat hati meraba tangan kanannya yang telah hilang.

Namun yang terjadi Tangan itu ternyata masih melekat pada tubuhnya, Sungsang Geni melihat tangannya, tidak ada bekas sayatan bahkan goresan sedikitpun.

Dia sangat terkejut sekaligus bahagia yang membuatnya hampir saja jatuh dari pembaringan.

“Ternyata kau sudah bangun?” Ki Alam Sakti tiba-tiba memasuki kamar Sungsang Geni sambil tersenyum, ditangannya dia membawa semangkuk ramuan obat tradisional yang akan digunakannya untuk meyadarkan Sungsang Geni. Tapi nampaknya ramuan itu tidak lagi dibutuhkan.

“Eang Guru, ma’afkan aku! Aku sempat meragukan dirimu,” Sungsang Geni segera bersujud dikaki Ki Alam Sakti, “Sekarang aku baru menyadari bahwa semua itu kau lakukan hanya untuk menguji tekadku saja.”

Ki Alam Sakti lekas mengangkat tubuh Sungsang Geni, kemudian membimbingnya duduk diatas pembaringan. “ Aku ingin melihat bagaimana tekat dan kebulatan hatimu, apakah kau sanggup berjuang demi impianmu, atau hanya omong kosong belaka. Tapi sekarang kau telah berhasil membuktikannya, dan aku bangga mempunyai murid yang memiliki tekat kuat seperti dirimu.”

Tapa Brata

1000 tahun yang lalu berkah matahari pernah diberikan oleh Dewa Matahari kepada raja Angga, Karna yang lahir tanpa ayah dari seorang gadis perawan bernama Dewi Kunti.

Berkah itu berupa baju zirah perang dan anting, yang fungsinya melindungi tubuh Raja Angga Karna, dari serangan apapun yang mengarah kepadanya.

Raja Angga Karna merupakan pendekar yang memegang teguh prinsip kesatria.

Setelah itu tidak pernah lagi berkah Dewa Matahari turun ke bumi, hingga akhirya sekarang berkah itu diberikan kepada Sungsang Geni, meski bukan berupa baju zirah dan anting seperti milik Raja Angga yang dapat menahan serangan yang mengarah kepadanya.

Setelah kehilangan ibunya, Sungsang Geni memiliki pertanyaan besar pada dirinya sendiri, kenapa dirinya yang dipilih? dan apakah nasipnya akan sama seperti Raja Angga Karna, yang tewas ditangan saudaranya sendiri? Karena itulah dia mencari seorang Guru.

Setelah 1 bulan Sungsang Geni berada di rumah gurunya, Ki Alam Sakti belum juga menampakkan tanda-tanda akan memberinya satu pelajaran yang berarti, namun demikian dia tidak pernah meragukan gurunya itu.

Di rumah kecil itu yang dilakukan Sungsang Geni setiap hari hanya melakukan bersih-bersih rumah serta memasak makanan.

Dia beberapa kali mencoba mencari sesuatu disetiap sudut rumah, mungkin saja dapat menemukan sebuah kitab pusaka atau pedang pusaka, namun ternyata tidak ada apapun di rumah itu.

Seperti biasa setelah menyelesaikan tugas hariannya, Sungsang Geni tidak melakukan apapun. Ini membuatnya sangat bosan, hingga akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat lembah disekitar bukit Batu yang luasnya tidak seberapa.

Kemudian dia menemukan gurunya sedang melakukan meditasi di tepi jurang, Sungsang Geni tidak pernah menyadari ada jurang di puncak bukit batu, ditambah lagi tempat meditasi yang begitu tenang.

Melihat gurunya, Sungsang Geni menjadi terpukau sekaligus iri, Ki Alam Sakti melayang beberapa jengkal dari tempat duduknya yang tersusun dari batu.

“Ilmu meringankan tubuh Eang Guru sangat baik, pantas saja dia dengan mudah menaiki tangga batu.” Sungsang Geni bergumam sendiri.

Menyadari muridnya berada dibelakangnya, Ki Alam Sakti segera menyelesaikan meditasinya.

Ki Alam Sakti menoleh kearah muridnya, kemudian mendekati dengan kaki sama sekali tidak menyentuh tanah.

“Geni, apa yang ingin kau tanyakan?” Ki Alam Sakti dengan jiwa spiritualnya yang bersih mampu membaca sedikit pikiran lawan bicaranya.

Awalnya Sungsang Geni merasa ragu, namun akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya. “Eang Guru kenapa kau tidak mengajari satupun ilmu padaku?”

Ki Alam Sakti tersenyum kemudian menepuk pundak Sungsang Geni beberapa kali, “Ilmu seperti apa yang kau inginkan, Geni?” Jika ilmu kanuragan, bukankah kau sudah memilikinya di tangan kananmu itu?lagipula entah mengapa tenaga dalam ditubuhmu juga mulai bangkit?”

“Aku ingin ilmu yang lain Eang Guru, seperti meringankan tubuh, menggunakan pedang atau yang lainnya?” Sungsang Geni menyadari sesuatu, dengan berkah dan tenaga dalam saja tidak akan cukup menghadapi para pendekar yang memiliki tenaga dalam yang sama namun keahlian bertarung yang baik.

Setiap dia mengalahkan musuhnya, Sungsang Geni langsung saja mengeluarkan api dari telapak tangannya, tanpa perlu melakukan gerakan-gerakan bela diri.

Ki Alam Sakti tersenyum mendengarnya, dia sudah paham dengan keinginan muridnya itu, hanya saja untuk saat ini keahlian bela diri belum terlalu penting untuk muridnya ini.

“Ilmu yang lainnya Geni?” tanya Ki Alam Sakti, seakan tidak mengetahui maksud dari muridnya, “Ilmu seperti apa yang kau maksud?”

Sungsang Geni tidak dapat menjawabnya, dia hanya terdiam seribu bahasa, pertanyaan gurunya kembali diulangnya didalam hati, 'ilmu seperti apa sebenarnya yang kubutuhkan? kenapa jiwaku terasa gelisah dan jauh dari ketentraman.'

Mendapati muridnya tidak memeri jawaban, Ki Alam Sakti menoleh pada lembah yang tak jauh dari sana, kemudian dia berkata. “Baiklah Geni, aku akan mengajarkan teknik menggunakan pedang kepadamu, tapi kau harus menyelesaikan suatu ujian, ujian ini akan menjawab semua pertanyaan yang ada didalam hatimu.”

“Apa ujiannya Eang Guru?”

Ki Alam Sakti merangkul pundak Sungsang Geni, kemudian dia membawanya melayang menuju lembah yang dingin.

Pengalaman pertama Sungsang Geni dibawa terbang membuat jantungnya hampir meledak karena detaknya terlalu kuat.

Setelah itu, Ki Alam Sakti mendarat dengan sangat mulus seperti kapas yang jatuh ketanah, hampir tidak terdengar suara kaki yang berpijak.

Lembah itu bernama lembah batu, ada sebuah air terjun yang cukup deras dan tinggi, yang airnya sangat jernih lagi dingin.

Beberapa pasang burung turun menukik lalu terbang dengan ikan kecil berada dimulutnya, Sungsang Geni juga melihat pohon-pohon rindang yang tidak tumbuh diatas bukit batu.

Ditengah-tengah air terjun ada sebuah batu berwarna hitam yang sedikit menjorok keluar.

Batu itulah tempat Ki Alam Sakti ketika masih muda melakukan meditasi, guna memersihkan jiwanya agar lebih dekat kepada alam dan sang pencipta.

“Ujian yang harus kau lalui adalah, kau harus mampu mengontrol kekuatan yang ada didalam tanganmu. Karena sekeras apapun kau berlatih berpedang, maka pedang itu akan tetap hangus jika kau tidak dapat mengontrol api matahari yang keluar dari tanganmu.”

“Kalau begitu beri petunjuk murid agar dapat menguasai berkah matahari guru?” tanya Sungsang Geni, “Karena itulah tujuan pertama saya.”

Ki Alam Sakti membawa Sungsang Geni naik keatas batu yang berada ditengah air terjun,hinga seluruh tubuh Sungsang Geni menjadi basah kuyup karena air.

Air yang mengenai tangan kanannya terkadang mengeluarkan asap karena tanpa sengaja Sungsan Geni mengeluarkan kekuatan matahari.

Ki Alam Sakti yang melihat itu, segera menepuk dada Sungsang Geni, “Tenangkan hatimu!”

Disatu sisi Sungsang Geni hanya terpukau melihat air terjun sama sekali tidak menyentuh tubuh Ki Alam Sakti, bahkan seperti menghindarinya.

Sungsang Geni tidak terlalu paham apakah itu salah satu karomah gurunya, atau karena tenaga dalam yang terlalu besar hingga airpun tak mau menyentuhnya, namun yang jelas Sungsang Geni tidak pernah melihat kejadian itu seumur hidupnya.

“Bertapa lah disini selama satu tahun, kendalikan napsumu, kendalikan pikiranmu, dan kendalikan rasamu. Setelah satu tahun aku akan kembali kesini, dan mengajarimu menggunakan pedang,” ucap Ki Alam Sakti.

Sungsang Geni hanya terdiam mendengar perintah gurunya itu, dia hendak membantah tapi tidak dilakukannya. Lagi-lagi Ki Alam Sakti menginginkan Sungsang Geni melakukan hal yang mustahil.

“Geni, dalam hidup ini memiliki ilmu kanuragan saja tidak akan cukup untuk meniti kehidupan, meski kau menjadi satu-satunya pendekar yang tidak tertandingi sekalipun, jika kau tidak mempunyai hati yang bersih maka percumah saja.” Ki Alam Sakti menjawab kerisauan yang ada dipikiaran Sungsang Geni.

“Baiklah Eang Guru, aku mengerti yang engaku maksud, ini juga demi diriku.” ucap Sungsang Geni pasrah, kemudian dia segera duduk bersila, memejamkan mata dan mulai menghayati air yang jatuh ditubunya dengan rasa kedinginan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!