"Pencuri ... pencuri ..!" teriak seorang pedagang warung kelontong kepada anak kecil berusia sepuluh tahun itu.
Seketika orang-orang di sekitar mulai berdatangan satu persatu menghampiri anak kecil. "Aku tidak mencuri, aku hanya memegang kue ini saja, Bu. Tolong jangan teriakin aku," mohon Alaska sambil membela dirinya.
"Ah, bohong mana ada maling yang mau ngaku," sahut ibu penjual itu sehingga memancing emosi para warga.
"Kecil-kecil sudah berani maling mau jadi apa besarnya kamu ini?" tanya seorang pria dewasa dengan tatapan yang mulai menghakimi.
"Sungguh aku tidak ada niatan untuk mencuri, kalau tidak percaya geledah saja tas aku, aku hanya memilih kue yang mau aku pilih Pak," tegas Alaska.
Sekuat apapun ia berusaha untuk membela diri akan tetapi semua warga sudah termakan dengan ucapan sang pemilik toko yang merasa kalau jualannya itu mau dicuri oleh anak kecil itu.
"Jangan ada yang percaya dengan perkataan anak itu, sudah jelas-jelas aku melihat sendiri dia mau mencuri daganganku, memangnya kamu pikir aku tuli hah!" desak ibu itu pada warga namun Alaska terus saja menggelengkan kepalanya, karena ia merasa tidak melakukan sesuatu yang dituduhkan padanya.
"Bapak-bapak tolong percaya pada saya, baiklah kalau begitu ini tasku, dan tolong jika anda sudi geledah saja aku ikhlas," ucap anak itu meyakinkan para warga yang hendak menghakimi dirinya.
Para warga mulai saling melirik, mereka pun akhirnya sepakat untuk menggeledah tas anak itu, dan benar ternyata di dalam tasnya itu hanya ada buku-buku pelajarannya saja.
"Gimana Pak, aku bukan maling kan?" tanya Alaska.
"Gak ada sih," sahut salah satu bapak-bapak itu.
Kemudian para warga mulai melihat ke arah ibu pedagang tadi yang seperti kelabakan sendiri. "Ibu ini jangan main fitnah gitu dong, dia ini sudah terbukti tidak mencuri," tegur salah satu bapak-bapak tersebut.
Namun Ibu pedagang kelontong itu bukannya menyadari ia malah merasa kesal dengan kejadian ini. "Saya gak bohong kok, emang tadinya anak ini mau mencuri untung segera ketahuan, coba saja kalau gak ada yang tahu pastinya jualanku sudah dimasukin ke dalam tasnya."
"Bu, aku tadi bukan mau nyuri tapi mau beli kok, dan aku masih ada sisa uang," ucap Alaska.
Alaska merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh. Tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena menahan perasaan malu yang dituduhkan tanpa bukti.
“Ini uangku, Bu. Aku niatnya mau beli, bukan mencuri,” ucapnya lagi dengan suara bergetar.
Para warga yang tadinya panas mulai saling pandang. Beberapa di antaranya menghela napas panjang, merasa bersalah karena terlalu cepat menghakimi.
Sementara ibu pedagang itu hanya terdiam, wajahnya merah padam. Ia ingin tetap bersikeras, tapi bukti di depan mata sudah jelas, anak itu punya uang, dan tasnya bersih.
“Sudahlah, Bu. Jangan bikin anak sekecil ini trauma. Kalau memang dia mau beli, ya terimalah uangnya. Jangan dituduh sembarangan begitu,” ujar seorang bapak yang tadi paling keras bicara.
Alaska menggenggam erat kue yang tadi ia pilih, lalu meletakkan uang di meja dagangan. “Saya bayar, Bu. Kalau Ibu nggak mau terima, biar saya simpan uangnya. Tapi jangan tuduh saya macam-macam lagi.”
Setelah berkata begitu, Alaska melangkah pergi dengan kepala tertunduk. Namun di dalam dadanya, ada luka yang sulit ia sembuhkan.
"Apa salahku sampai semua orang gampang banget percaya kalau aku ini maling?" batinnya lirih.
☘️☘️☘️
Sesampainya di rumah Alaska langsung masuk, meletakkan alat-alat sekolahnya di tempat yang sudah di sediakan oleh sang ibu, setelah itu ia baru melangkah ke dapur, dan membuka tudung saji, hanya tinggal nasi putih dan singkong rebus sisa semalam.
Kemudian tangan Alaska langsung meraih piring untuk diletakkan diatas meja, sebelum makan, anak itu langsung mengambil secarik kertas yang diselipkan oleh sang ibu ke dibawa wakul nasi.
"Anakku Sayang, maaf ya Ibu hanya bisa masak seadanya untukmu, jangan marah ya Nak, Ibu masih berjuang, nanti kalau ada uang lebih, Ibu akan memasak masakan kesukaanmu," tulis surat dari Nirmala.
Alaska langsung menempelkan surat itu di depan dadanya, air mata lolos begitu saja dari matanya, rasa sesak kini mulai menyeruak menghimpit di dada, sedari dulu ia tahu kalau ibunya selalu berjuang dalam hal membesarkannya, apapun dilakukan ibunya mulai dari kerja ringan sampai kerja kasar, semuanya itu demi mencukupi kebutuhannya.
"Ibu terima kasih banyak, sudah menjadi Ibu yang baik, Alaska janji tidak akan pernah ngecewain Ibu," ucapnya dengan nada yang sesenggukan.
Alaska menunduk menggenggam erat surat kecil itu, seakan akan ia sedang memeluk sang ibu yang sedang berjuang di luaran sana demi sesuap nasi untuk dirinya.
Dengan hati-hati, tangan kecil itu mulai menyuapkan nasi putih dan singkong rebus, ke mulutnya, perlahan rasa hambar berubah menjadi semangat baru, demi sang ibu yang selalu memperjuangkan dirinya.
Setelah makan anak itu langsung membawa piring kotornya di tempat cucian, tangan mungilnya sudah terlatih, membersihkan piring kotor, seolah tahu apa yang menjadi tanggung jawabnya.
"Kalau dapur bersih seperti ini, pasti Ibu akan senang," ucapnya dengan semangat.
Alaska langsung kembali ke kamarnya, ia mulai menempel surat dari ibunya tadi ke dinding kayu yang reyot tepatnya di atas meja belajarnya.
"Tulisan Ibu sangat bagus, aku bangga sekali punya Ibu yang baik dan pekerja keras seperti Ibu Nirmala," ucapnya sambil menatap bangga ke tulisan tangan ibunya.
☘️☘️☘️☘️
Sore itu matahari sudah mulai terbenam, dari situlah terdengar langkah kaki seorang wanita yang mengenakan sepatu bekap, wajah lelah terlihat jelas dari sorot matanya, namun di saat melihat sang anak dengan ceria bermain dengan teman-temannya di tanah lapang, hatinya begitu bahagia dan perlahan rasa lelahnya seolah hilang begitu saja.
"Laska ... pulang Nak," ucapnya begitu nyaring meskipun tanpa berteriak.
Alaska yang saat itu menendang bola, langsung melirik ke arah suara yang tidak asing itu. "Ibu ... sudah pulang," sahutnya dengan cepat.
"Teman-teman, aku udahan dulu ya mainnya ibukku sudah datang," pamit Alaska.
Teman-temannya mulai mengangguk, kemudian anak itu langsung berlari menghampiri ibunya, dengan wajah yang penuh dengan peluh Alaska langsung memeluk tubuh ibunya dengan erat, Nirmala mulai membalas dengan mengelus kepala sang anak dengan lembut.
"Nak, ayo mandi sudah sore," ucap Nirmala dengan lembut.
Alaska langsung mengangguk, kemudian Nirmala mulai menggenggam tangan anak semata wayangnya itu, mereka berjalan saling bergandengan.
☘️☘️☘️☘️
Selesai mandi mereka duduk di ruang tamu dengan di temani makanan seadanya yang sudah tersaji diatas meja, Alaska hanya terdiam sambil memikirkan kejadian tadi siang yang membuatnya malu sampai saat ini.
Awalnya anak itu tidak mau bercerita akan tetapi dorongan di dalam hatinya begitu kuat sehingga dirinya mulai memberanikan diri untuk bercerita. "Ibu aku tadi di tuduh nyuri di toko Ibu Murni."
Nirmala terdiam sejenak, tangannya yang sedang melipat kain terhenti. “Dituduh mencuri? Memangnya kenapa, Nak?” tanyanya pelan, berusaha menahan nada cemas.
Alaska menunduk. “Aku cuma pegang kue, Bu… tapi tiba-tiba beliau teriak aku maling. Semua orang ngumpul, mereka nggak percaya aku. Untungnya pas diperiksa, tasku cuma ada buku-buku sekolah. Mereka akhirnya diam… tapi rasanya sakit banget, Bu. Kayak semua orang gampang nuduh aku.”
Mata Nirmala basah, ia menarik anaknya ke dalam pelukan. “Nak… maafkan dunia yang sering nggak adil padamu. Tapi ingat, kamu nggak sendiri. Ibu selalu percaya sama kamu. Jangan biarkan kata-kata orang bikin hatimu hancur. Kamu anak baik, Alaska. Suatu saat, semua orang akan lihat itu.”
Alaska mengangguk di pelukan ibunya, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. “Aku janji, Bu. Aku nggak akan ngecewain Ibu. Aku akan buktikan kalau aku bukan anak yang bisa diremehkan.”
Seketika cairan bening lolos dari pelupuk mata wanita cantik itu, sambil mendekap tubuh kecil anaknya hati kecilnya juga berbicara.
'Mas Seno lihatlah anak yang tidak kau inginkan tumbuh menjadi anak yang kuat dan tentunya di dewasakan oleh keadaan,' batin Nirmala.
Bersambung .. .
Setelah sekian hari istirahat akhirnya aku kembali lagi dengan karya baruku, semoga saja banyak yang suka ya...
Keesokan harinya, mentari mulai bersinar dengan cahaya keemasannya, sedari subuh tadi Nirmala sudah sibuk dengan peralatan dapurnya, raut wajahnya terlihat begitu lelah, mengingat bahan-bahan yang ada di dapur tinggal seadanya.
Nirmala hanya bisa menekan dadanya mencoba untuk mencari cara agar sang anak pagi ini bisa sarapan dengan layak. "Ya Allah, di dapur hanya tinggal singkong saja, tidak mungkin kan kalau singkong itu aku rebus lagi, bagaimana perasaan anakku jika setiap hari harus berhadapan dengan singkong rebus saja," ucapnya sambil memikirkan ide untuk mengolah singkong tersebut menjadi olahan yang enak.
Dengan sedikit ide yang tersisa akhirnya wanita itu mulai merebus singkong tersebut lalu mengambil ulekan yang ada di dapurnya, seketika tangannya mulai terulur untuk mengulek singkong tersebut, dijadikan makanan yang mungkin bisa menjadi teman nasi putih anaknya.
"Ah, perkedel singkongnya sudah hampir jadi, semoga saja Alaska suka dengan lauk kali ini," ucapnya sendiri sambil membalik perkedel yang masih diatas penggorengan.
Selesai memasak Nirmala mulai menyiapkan diri untuk berangkat ke ladang, selama satu Minggu ini Nirmala bekerja di kebun Mang Karno, dan pekerjaannya pun hampir habis, untuk hari esok dan seterusnya wanita cantik itu harus memikirkan lagi pekerjaan baru, karena kerja di ladang tidak menentu, kalau ada yang nyuruh ia baru melakukan pekerjaan itu.
'Sebentar lagi pekerjaanku di Mang Karno sudah selesai, semoga saja besok ada yang ngajak kerja lagi,' ucapnya di dalam hati.
Di saat Nirmala mulai memikirkan pekerjaannya tiba-tiba saja suara kecil itu mulai memenuhi ruangan. "Ibu ... pagi ini masak apa?" tanya Alaska sambil menghirup aroma masakan yang menurutnya sangat sedap.
Nirmala hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan dari anaknya itu. "Sayang, Ibu hari ini hanya masak perkedel singkong saja untuk lauk mu pagi ini," sahut Nirmala dengan halus.
"Wah akhirnya aku bisa menikmati perkedel juga, meskipun tidak dari kentang aku yakin masakan ibuku lebih enak tidak kalah dengan perkedel kentang yang dicampur dengan daging," ucapnya dengan penuh semangat.
Seketika hati sang ibu menjadi terenyuh melihat kebesaran hati anaknya yang selalu menerima makanan yang ia masak dari tangannya sendiri.
"Makasih ya Nak, dari dulu kau tidak pernah mengeluh, meskipun Ibu hanya bisa masak seadanya seperti ini," kata Nirmala sambil mengelus pipi sang anak.
"Kan Ibu sendiri yang bilang, katanya aku gak boleh ngeluh dan harus hidup sederhana, karena uang Ibu ditabung untuk biaya ku nanti masuk angkatan militer," sahut sang anak yang begitu teguh dengan cita-citanya.
"Semoga cita-citamu bisa tercapai ya Nak, sebisa mungkin dari sekarang Ibu sudah mulai menabung untuk cita-citamu itu," ungkap sang Ibu sambil menatap wajah sang anak penuh dengan cinta.
Alaska hanya mengangguk, sambil menikmati sarapan pagi dengan nasi putih dan perkedel singkong yang terasa nikmat di mulutnya.
"Bu, Laska berangkat sekolah dulu ya," ucap anak itu.
"Iya Sayang, hati-hati ya, ingat pesan Ibu jangan pernah kecewakan Ibu," pesan Nirmala.
Setelah sarapan Alaska langsung berangkat ke sekolah menggenggam ucapan sang ibu penuh dengan tekad dan keyakinannya.
☘️☘️☘️
Di dalam sekolah bel sudah mulai berbunyi, anak-anak dengan serempak mulai memenuhi depan halaman kelas untuk baris berbaris sebelum masuk ke dalam kelas, di sini dengan tegas Alaska mulai menjadi pemimpin baris berbaris dengan suara yang begitu lantang.
“Siap grak!” teriak Alaska.
Derap kecil kaki teman-temannya terdengar rapi. Guru yang berdiri di sisi lapangan hanya memperhatikan dengan senyum tipis. Anak-anak lain seringkali masih main-main ketika diberi tugas jadi pemimpin barisan, tapi Alaska terlihat berbeda. Ia menuntun dengan kesungguhan.
“Hadap kanan, grak!”
Semua bergerak, walau masih ada yang salah. Namun semangat Alaska tak surut. Ia mengulang dengan sabar, sampai akhirnya barisan terlihat cukup rapi.
“Bagus, anak-anak. Kalian sudah lebih kompak dari kemarin. Terutama kamu, Alaska,” ujar Bu Ratna, guru mereka, dengan nada bangga.
Alaska menegakkan badan, tapi dalam hatinya ada getaran yang sulit ia sembunyikan. Ia teringat pada para tentara yang pernah ia lihat latihan di lapangan desa satu bulan yang lalu, gagah dan tegas. “Suatu hari… aku ingin jadi seperti mereka,” batinnya mantap.
Teman-temannya mulai masuk ke kelas. Alaska berjalan paling belakang, menatap langit biru sebentar. Senyumnya kecil, tapi tekadnya besar.
Di dalam kelas Alaska mulai mencermati guru yang sedang menerangkan mata pelajaran hari ini, dengan cekatan tangan kecil itu mulai mengerjakan tugasnya dengan teliti dan hati-hati ketika guru mulai memberikannya tugas.
Tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri Alaska langsung fokus dengan mata pelajarannya, berbeda dengan teman-temannya yang masih ada yang bermain ataupun ngobrol sampai-sampai ditegur oleh gurunya.
"Ayo Zanuar dan Aldi tidak boleh bercanda terus, nanti temannya sudah selesai kalian berdua belum selesai," tegur Bu Ratna pada dua anak itu.
"Iya Bu," sahut anak itu dengan santai tanpa ada rasa takut ataupun sungkan terhadap guru yang sedang menegurnya itu.
Satu jam sudah pelajaran sudah selesai, Alaska sudah mengumpulkan soalnya di meja guru, di susul dengan teman-teman lainnya, sementara dua anak tadi Zanuar dan juga Aldi masih belum mengerjakan sama sekali, mereka selalu mengandalkan teman-temannya yang mau mengerjakan, namun saat ini sepertinya kedua anak itu tidak tertarik dengan teman yang biasa selalu mengerjakan tugasnya.
Mata mereka berdua mulai melirik ke arah Alaska, yang mungkin akan menjadi target mereka selanjutnya. "Hei anak tak punya ayah, sekarang giliran kamu yang harus ngerjain tugas kita," ucap Zanuar dengan nada cetus.
Seketika Alaska mulai melirik ke arah mereka berdua dengan tatapan elangnya. "Kalian punya otak kan?"
Mereka berdua langsung mengepalkan tangannya dengan tatapan penuh amarah. "Kamu berani melawan kita, belum tahu siapa kita sebenarnya, sedikit saja kamu memberontak maka siap-siap kau keluar dari sekolah ini," ancam Aldi.
"Aku tidak takut, sekolahan ini punya negara bukan punya keluargamu, jadi kenapa aku harus takut," sahut Alaska.
"Benar-benar cari gara-gara ini anak." Aldi mendekat hampir saja menarik kerah baju Alaska beruntung Ibu Ratna segera menghampiri.
"Aldi ... stop ... apa-apaan ini kamu mau jadi preman di kelas ini!" seru Ibu Ratna dengan tegas.
"Dia dulu Bu yang mulai, dia ngatain aku bodoh hanya gara-gara aku belum selesai mengerjakan tugas dari Ibu," alibi Aldi.
Alaska segera angkat bicara atas tuduhan yang dilontarkan oleh temannya itu. "Tidak Bu, mereka berdua bohong, aku tidak pernah mengatakan sesuatu justru mereka berdua yang meminta aku untuk mengerjakan tugasnya," sela Alaska dengan berani.
Seketika Ibu Ratna terkejut, baru kali ini ada murid yang jujur dan berani menyuarakan keadilan, karena sebelumnya banyak murid yang ditindas oleh kedua anak ini tapi mereka semua tidak berani untuk mengadukan hal tersebut kepada gurunya.
"Apa! Menyuruh mu mengerjakan tugas?" tanya Ibu Ratna dengan nada sedikit kecewa.
"Iya Bu," sahut Alaska.
"Bu, jangan percaya sama anak haram itu, dia itu suka ngarang cerita makanya ayahnya saja tidak mau menemuinya, karena memang ayahmu itu tidak suka mempunyai anak sepertimu!" teriak Aldi.
"Benar Bu, jangan pernah percaya sama ucapan anak itu, dia suka bohong, lagian ada aku yang jadi saksinya," timpal Zanuar.
Ibu Ratna semakin geram dengan ulah kedua anak didiknya itu yang memang suka mencari gara-gara.
"Stop kalian! Ibu lebih percaya dengan ucapan Alaska dari pada kalian berdua yang suka buat kericuhan di kelas, mulai sekarang kalian berdua ikut Ibu di kantor kepsek," ucap Ibu Retno yang ingin memberi peringatan terhadap kedua anak didiknya itu.
Alaskan hanya bisa melihat kedua temannya yang di bawa ke ruangan kepsek meskipun kedepannya ia tahu kalau kedua temannya itu akan membalas perbuatannya, namun setidaknya dia bisa memberi efek jerah terhadap mereka berdua.
☘️☘️☘️
Sore harinya di dalam rumah kayu yang sudah reyot Alaska sengaja menunggu kepulangan sang Ibu di teras rumahnya. Tubuh kecilnya masih dipenuhi peluh setelah seharian bermain dan berlatih militer-militeran.
Dengan imajinasi polosnya, ia membuat peralatan seadanya, tali rapia ia lilitkan pada batang-batang rotan, menancapkannya satu per satu ke tanah, seolah-olah itu adalah rintangan layaknya di lapangan latihan tentara.
Tidak lama kemudian sang Ibu mulai datang dengan wajah yang cukup lelah, sambil menggendong tas yang berisi peralatan, benda-benda tajam untuk keperluan ladangnya.
"Laska, capek sekali kamu Nak?" tanya sang Ibu.
"Iya Bu, Laska tadi habis latihan militer, lihatlah tali yang dibuat oleh Laska sudah sama nggak sama yang ada di latihan-latihan militer?" tanya balik anak itu.
Seketika hati Nirmala dibuat terenyuh dengan hasil karya tangan anaknya, dengan keinginan yang cukup tinggi tali rapia pun di sulap menjadi rintangan yang ada di lapangan militer.
"Sayang, kau dari dulu selalu buat Ibu bangga Nak, semoga saja keinginanmu ini dapat terwujud," ucap Nirmala sambil mengusap kepala sang anak.
Laska hanya terdiam, sambil menatap ibunya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. "Makasih, Ibu, tapi ada satu hal yang dari dulu buat Laska penasaran," sahut anaknya itu.
"Apa itu Nak?" tanya Nirmala sedikit terkejut.
"Kata teman-teman di sekolah aku anak yang tidak punya ayah, bahkan mereka bilang ayahku saja tidak mengakui ku, makanya dia tidak pernah hadir, apa itu benar Bu?"
Deg!
Bersambung ....
Semoga suka ya kakak ...
Nirmala sungguh terkejut dengan pertanyaan sang anak, pertanyaan yang selama ini begitu ia hindari. Dadanya terasa sesak, namun ia tahu cepat atau lambat, jawaban harus ia berikan.
Ia hanya bisa menunduk, tak sanggup menatap wajah putranya. “Bu … kenapa diam? Jawab, Bu,” desak Alaska dengan suara lirih, namun penuh rasa ingin tahu.
Jari-jemari Nirmala meremas ujung kaos lusuh yang dikenakannya. “Nak … maafkan Ibu, ya. Sampai sekarang Ibu belum bisa menjelaskan semuanya. Ada hal-hal yang belum waktunya kamu tahu.” Suaranya bergetar menahan air mata.
“Tapi Bu, aku harus tahu. Di mana Ayah? Atau … apa benar kata teman-teman kalau Ayah nggak pernah mau punya aku? Apa aku … anak yang salah, Bu?”
Pertanyaan itu membuat dada Nirmala seakan diremas. Ia buru-buru menggelengkan kepalanya suaranya pecah. “Jangan pernah percaya omongan mereka. Kamu bukan anak yang salah. Kamu hadir karena cinta, Ibu dan Ayah Nak," sahut Nirmala.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Ayahmu ada, Nak. Hanya saja … ada alasan besar yang membuat dia harus pergi. Suatu saat nanti, kalau kamu sudah cukup besar, Ibu akan ceritakan semuanya. Yang penting kamu tahu sekarang. Ayah dan Ibu sama-sama menginginkanmu ada di dunia ini.”
Alaska sedikit tenang dengan penjelasan dari sang Ibu, meskipun di dalam hatinya ada sedikit yang ganjal tentang sang ayah yang sudah lama meninggalkan ia tanpa kabar selama sepuluh tahun ini.
Kadang dirinya harus mengubur dalam-dalam rasa rindu yang menyeruak di dalam hati, dan rasa iri terhadap teman sebayanya yang kadang bisa berjalan bersama dengan sang ayah meskipun hanya di ladang saja.
"Tapi Bu ... apa harus selama itu ayah pergi tanpa ada kabar, apa dia tidak pernah merindukan aku, ataupun hanya sekedar menjenguk," ucap Alaska yang masih kurang puas.
Nirmala hanya bisa diam tangannya langsung terulur untuk mendekap tubuh sang anak. "Sabar ya ... suatu saat nanti pasti kamu akan bertemu dengan ayahmu," sahut Nirmala.
Alaska mulai melepaskan pelukan dari sang Ibu. Sebagai anak kecil rasa ingin tahunya teramat besar. "Kalau Alaska tidak pernah tahu wajah ayah Alaska, setidaknya Ibu kasih tahu saja siapa nama ayah Alaska," pinta anak itu.
Nirmala benar-benar tertegun ucapan dari Alaska tidak main-main. "Untuk apa Nak ...," suara Nirmala tercekat.
"Biar tahu saja ... setidaknya Ayah Laska punya nama," sahut anak itu dengan nada yang renda tapi penuh tuntutan.
Nirmala terdiam sejenak, lalu bibir keringnya mulai bergerak. "Nama ... ayahmu ... Seno Aji Prakoso Nak," ucapnya meskipun dengan nada sedikit kaku, seolah berat untuk menyebut nama seseorang yang ada di masa lalunya itu.
"Makasih Ibu sudah mau kasih tahu nama ayahku," sahut anaknya itu.
Dibawah sinar jingga yang begitu indah, anak dan ibu itu mulai memasuki rumahnya dengan perasaan sedikit lega bercampur haru yang dibalut dengan luka.
☘️☘️☘️☘️
Sementara di pusat kota sana seorang pria berwajah tampan dengan postur tubuh yang perfect, sedang duduk di sebuah apartemen mewahnya. ya pria itu adalah Seno Aji Prakoso seorang pengusaha tersohor yang sudah melalang buana dalam dunia bisnis dan sosialita.
Sejenak pria itu mulai tersenyum samar sambil menikmati wine yang dituangkan oleh gadis malam yang sudah ia sewa. "Ini Tuan ... minumannya," ucapnya dengan nada yang gemulai manja, membuat Seno mengeluarkan tatapan elangnya.
"Di sini tugasmu hanya menjadi pelayan bukan teman ranjangku!" desis suara bariton itu.
Seketika wanita malam itu mulai tersentak, dengan ucapan yang terlontar dari mulut pria kharismatik di depannya itu. "Loh Tuan bukannya saya dipanggil kesini untuk menemani Tuan," sahut wanita itu.
Wajah Seno seketika tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan ejekan terhadap wanita itu. "Kamu jangan senang dulu, tugasmu di sini memang untuk menemani tapi bukan di ranjang tugasmu di sini tak lain hanya sebagai pelayan saja jadi jangan ge'er."
Mau tidak mau wanita itu harus menerima konsekuensi dari kliennya itu, meskipun dalam hati ia sudah mengumpat, karena awalnya sudah bahagia bisa menemani seorang Seno Aji yang terkenal akan kekayaannya, hanya saja untuk saat ini pria itu tidak mudah untuk ditaklukkan seperti dulu.
"Tuangkan wine yang banyak!" perintahnya dengan nada tinggi.
"I ... iya Tuan," sahut wanita itu.
Wanita itu mulai menuangkan wine di dalam gelas kristal dalam jumlah yang begitu banyak, sementara pria itu terus saja meneguk, untuk mengusir keresahan yang selama ini selalu menghantui dirinya terutama di malam hari seperti ini.
"Tuangkan lagi jangan lemot," desaknya dengan penuh tekanan.
Ia meneguk wine dengan tenang, seakan mencoba melupakan sesuatu yang terus menghantuinya. “Kau tahu, semua ini hanyalah permainan,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri ketimbang kepada wanita di sampingnya. Sorot matanya yang tajam dan dingin memancarkan rahasia besar, bahwa di balik kejayaan seorang Seno Aji Prakoso, ada luka lama yang tak pernah benar-benar padam.
☘️☘️☘️☘️☘️
Malam semakin larut, sementara rintik hujan masih terus menari-nari diatas genting, layaknya lagu rindu yang menyimpan sejuta kenangan. Di dalam kamarnya yang sederhana Nirmala mulai menggenggam, sejumlah uang hasil dari membersihkan ladang satu Minggu ini.
Dalam benak wanita cantik itu tersemat rasa bahagia karena ia dapat menyisihkan sejumlah uang untuk ditabung, dan besok pagi ia bisa masak makanan kesukaan sang anak yang selama satu Minggu ini hanya makan dengan rebusan singkong saja.
"Akhirnya besok aku bisa masakin anakku lauk yang ia suka," ucap Nirmala.
Sejenak wanita itu mulai teringat akan pertanyaan sang anak yang tadi begitu mendesak ingin mengetahui siapa nama ayahnya. Namun, seiring rasa bahagia itu hadir, dada Nirmala kembali terasa sesak. Pertanyaan Alaska sore tadi masih terngiang jelas di telinganya, menyayat perasaan yang selama ini ia simpan rapat. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Nirmala menatap foto lama yang ia sembunyikan di balik lipatan kain. Foto seorang pria berwajah tampan yang pernah mengisi hidupnya, ayah dari Alaska.
Tangannya bergetar saat menyentuh pigura lusuh itu. “Nak, andai saja kau tahu… betapa sulitnya Ibu menyimpan semua ini darimu,” bisiknya lirih. Air mata yang sedari tadi ia tahan pun akhirnya jatuh, membasahi pipinya.
Di luar, hujan masih terus bernyanyi, seakan menyatu dengan kepedihan hatinya. Nirmala menutup matanya rapat-rapat, berusaha menguatkan diri. Besok pagi, ia ingin anaknya tersenyum bahagia saat menyantap makanan kesukaannya, meski di balik senyum itu, ada rahasia besar yang belum sanggup ia ungkapkan.
"Ibu tahu dengan kesedihanmu Nak ... tapi kau tidak boleh mengetahui hal yang sebenarnya, karena sebenarnya ayahmu tidak pernah menginginkan kehadiranmu demi status sosialnya."
Bersambung
Siang semoga suka ya kak ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!