Ada seorang anak perempuan tampak mematung di samping kanan lemari kayu yang sudah lapuk. Anak perempuan itu memiliki bola mata yang indah karena iris kedua matanya memiliki spectrum warna. Nama anak perempuan itu adalah Jennifer Browne, nama panggilannya Jennie. Saat ini dia menyaksikan kekerasan yang telah dilakukan oleh ayah tirinya terhadap ibunya. Dia sering melihat adegan kekerasan yang telah dilakukan oleh ayah tirinya terhadap ibunya.
Dia juga sering menerima tindakan kekerasan dari ayah tirinya. Sering kali dia menangis dalam diam dengan tubuh yang membeku ketika setiap kali melihat adegan yang menyayatkan hatinya. Sering kali pula dia menangis kesakitan ketika dipukul oleh ayah tirinya. Jennie sejak umurnya tiga tahun sudah mendapatkan perlakuan tak enak dari ayah tirinya. Hal itu telah membuat Jennie memiliki sifat yang introvert dan pendiam. Dia bahkan jarang berbicara dengan siapa pun termasuk ibunya.
Bugh... bugh.... bugh
"Auww... berhenti, auww... kumohon berhenti, auww...," lirih ibunya Jennie yang bernama Betty. "Sudah auww, sudah kubilang aku tidak punya uang lagi," lanjut Betty dengan suara yang lemah.
"Aku tidak percaya!!" ujar ayah tirinya Jennie yang bernama Lucas, lalu Lucas menarik rambutnya Betty sehingga Betty mengadahkan kepalanya.
"Jika kamu tidak memberikan yang kepadaku sekarang, anakmu akan aku jual!"
"Jangan lakukan itu, kumohon, sebaiknya kamu jual aku aja," ucap Betty sedih.
"Mana mungkin aku menjual kamu!!" ucap Lucas marah, tak lama kemudian Lucas menyeret Betty masuk ke ke dalam kamar mereka.
Brukkk
Pintu kamar itu dibanting keras oleh Lucas sehingga membuat Jennie terperanjat. Jennie mendengar suara kesakitan dari mulut ibunya, suara pukulan, suara sabetan dan suara desahan yang menggaung di dalam kamar itu. Saking muaknya, Jennie menutup kedua telinganya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Dia merosotkan tubuhnya sambil menutup kedua telinganya, lalu meringkukkan badannya dan memejamkan kedua matanya.
Setelah sekian lama suara yang bergema di dalam kamar, terdengar suara lenguhan panjang dari mulutnya Lucas. Setelah itu tidak ada lagi suara yang berasal dari dalam kamar. Beberapa saat hening sehingga terdengar suara pintu kamar terbuka menampilkan sosok Lucas dengan wajah puasnya setelah memperkosa Betty. Lucas berjalan keluar dari dalam kamar dengan derap langkah kaki yang tegas.
Sekilas dia menoleh ke arah Jennie dengan tatapan mata yang tajam dan senyuman yang mengerikan. Setelah itu Lucas berjalan menuju pintu rumah. Membuka kunci pintu rumah. Menekan handle pintu ke bawah, lalu menariknya sehingga pintu rumah itu terbuka. Lucas berjalan keluar rumah, lalu menutup pintu dengan kasar sehingga membuat Jennie terkejut.
Brukkk
Seketika suasana hening. Jennie membuka kedua matanya. Mengedarkan pandangannya untuk melihat situasi rumah. Menjauhkan kedua telapak tangannya dari kedua kirinya. Mengelap air matanya berulang kali. Menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskan nafasnya secara perlahan untuk menenangkan hati dan pikirannya. Itulah yang diajarkan oleh ibunya jika dia ingin menangkan dirinya setelah meluapkan rasa sedihnya. Beranjak berdiri, lalu berjalan mengendap-endap menuju ke kamar ibunya.
Dia melakukan itu untuk melihat keadaan ibunya tanpa sepengetahuan Lucas. Jika Lucas mengetahui itu, Lucas pasti akan mengurung Jennie di gudang dan menjauhkan dia dari ibunya. Celingak-celinguk untuk memastikan keberadaan Lucas yang sudah tidak ada di sekitaran rumah mereka. Masuk ke dalam kamar ibunya. Dia sudah biasa melihat kondisi ibunya yang tidak menyadarkan diri tanpa sehelai benang di tubuhnya.
Dengan cekatan, Jennie menyelimuti tubuh ibunya dengan seprai tempat tidur. Jennie melihat wajah ibunya yang basah dan penuh luka sehingga membuat hatinya terenyuh. Jennie membalikkan tubuhnya, lalu berjalan cepat keluar dari dalam kamar ibunya. Berlari masuk ke dalam kamar kecilnya. Menghentikan langkah kakinya, lalu menutup pintu kamarnya, dan menguncinya. Naik ke atas tempat tidur. Merebahkan tubuhnya yang sudah lelah menghadapi takdir hidupnya hari ini. Dia ingin bermimpi indah supaya bisa menghilangkan rasa kejamnya dunia yang harus dia lakoni pada malam hari. Tak terasa dirinya terlelap pulas tanpa bermimpi.
Tok ... Tok...
Bunyi ketukan pintu kamar tidurnya Jennie yang telah membuat Jennie membukakan kedua matanya. Jantungnya berdetak lebih cepat dan lebih kencang dari sebelumnya. Jennie mengerjapkan kedua matanya untuk mengumpulkan kesadarannya. Menduduki tubuhnya sambil menatap polos ke pintu kamar. Dia ragu untuk membukakan pintu itu. Dia takut jika yang mengetuk pintu adalah ayah tirinya.
"Nak, ini Mommy," Lirih Betty.
Sontak Jennie beranjak berdiri. Berdiri kecil menuju pintu kamar. Dengan gerakan cepat, Jennie membuka kunci pintu kamar itu. Menekan handle pintu ke bawah, lalu menariknya ke dalam sehingga memperlihatkan sosok ibunya yang mengenaskan.
"Nak, cepatlah kamu kabur dari rumah ini, Mommy tidak mau terluka lagi Sayang," Lirih Betty sambil mengucur air mata dari kedua matanya.
Jennie menggelengkan kepalanya berulang kali karena dia tidak mau berada jauh dari ibunya. Jennie langsung memeluk kaki kurusnya Betty dengan erat sambil menangis tanpa bersuara. Betty membungkukan badannya, lalu melepaskan pelukan Jennie. Betty memeluk tubuh mungilnya Jennie sambil menangis tanpa bersuara. Lambat laun tangisan Betty berhenti. Betty melepaskan pelukannya, lalu tiba-tiba tubuhnya Betty terkulai lemas terbaring di atas lantai.
"Mommy!! Bangun Mommy, bangun Mommy!!" ucap Jennie sedih melihat ibunya tak berdaya.
Jennie langsung memeluk tubuhnya Betty sambil menangis terisak-isak. Menangis histeris karena ibunya tidak terbangun. Seketika pintu rumah terbuka, menampilkan sosoknya Lucas. Lucas mengerutkan dahinya melihat tubuhnya Betty tergeletak tak berdaya di atas lantai. Sedetik kemudian, Lucas tersenyum licik melihat keadaan di dalam rumah itu. Lucas berjalan cepat menghampiri Jennie yang sedang memeluk tubuhnya Betty yang masih menangis histeris. Lucas menjenggut beberapa helai rambutnya Jennie sehingga Jennie melepaskan pelukannya dan kepalanya mengadah.
"Dasar anak kurang ajar!! Tega sekali kamu, kamu telah membunuh Mommy mu sendiri!! Akan aku laporkan kamu ke polisi!!"
Jennie menggelengkan kepalanya dengan pelan. Lucas langsung menyeret Jennie ke arah pintu rumah. Sekuat tenaga Jennie memberontak, namun tenaganya tidak seimbang dengan tenaganya Lucas. Jennie menangis sambil menahan rasa sakit di kepalanya. Mereka keluar dari dalam rumah. Lucas menutup pintu rumah itu dengan kasar.
Brukkk
Lucas melanjutkan langkah kakinya sambil menyeret tubuh mungilnya Jennie. Lucas melepaskan tangannya dari kepalanya Jennie. Mengangkat tubuhnya Jennie, lalu membopong Jennie, seperti membopong karung beras. Jennie memukul badannya Lucas berulang kali karena Jennie tidak mau dibawa pergi oleh Lucas. Dengan langkah kaki yang panjang dan cepat Lucas menyusuri halaman depan rumah itu yang dipenuhi oleh beberapa pohon ek yang umurnya sudah beratus - ratus tahun.
Plakkk
Lucas memukul pantatnya Jennie dengan kasar dan keras sambil menangis histeris. Walaupun begitu, Jennie tetap memberontak. Jennie ingin kabur dari genggaman Lucas. Dia mengedarkan pandangannya melihat sekelilingnya yang sangat sunyi sambil memukuli Lucas. Dia melihat rumah mungilnya berada sangat jauh dari posisinya sekarang. Lucas membuka pintu kap bagasi mobilnya. Menaruh Jennie ke dalam bagasi mobil itu dengan kasar.
Bug
"Aauuwww!! pekik Jennie.
Sedetik kemudian, Lucas menutup pintu itu, lalu menguncinya. Gelap gulita menyelimuti Jennie. Udara yang pengap menerpa tubuh mungilnya Jennie. Jennie menendang - nendang bagasi mobil itu. Tak lama kemudian mobil itu melaju lumayan cepat menerobos dingin dan sunyinya malam hari. Dengan sekuat tenaga, Jennie memberontak di dalam bagasi mobil itu, namun usahanya sia - sia hingga dirinya tak berdaya di dalam mobil yang dikemudikan oleh Lucas.
Lucas menyetir mobilnya dengan raut wajah yang bahagia karena dia telah mendapatkan barang yang sangat bagus untuk dijual ke kelompok mafia perdagangan manusia. Dia tergiur dengan jumlah uang yang akan dia terima setelah menjual Jennie. Lucas merasakan getaran dari smartphone miliknya. Dia merogoh kantung celana jins untuk mengambil smartphone miliknya. Senyumnya mengembang ketika membaca tulisan Dennis di layar smartphonenya sekilas. Menyentuh ikon hijau untuk menjawab panggilan telepon itu, lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinga kirinya.
"Hallo Bro! Kamu sudah mendapatkan anak perempuan itu untuk bosku?" tanya Dennis datar.
"Aku sedang membawanya, aku akan mengantarnya di tempat biasa," ucap Lucas senang
"Baiklah, nanti aku lapor ke bosku."
Tak lama kemudian sambungan telepon itu terputus. Lucas menjauhkan benda pipih itu dari telinga kirinya, lalu melemparnya ke jok samping kiri. Mobil itu menelusuri hutan alami menuju jalan raya. Setelah menemukan jalan raya, mobil itu belok kiri. Menelusuri jalan raya yang sangat sepi. Berkilo - kilo meter empat mobil itu melindas aspal jalan raya hingga masuk ke area sebuah bar malam. Mobil itu berhenti di tempat parkir bar itu.
Lucas membuka sabuk pengamannya, lalu membuka kunci mobilnya. Dia membuka kunci pintu bagasi mobil itu. Membuka pintu mobil setelah mencabut kunci mobilnya, lalu berlari kecil ke bagasi mobil. Membuka pintu bagasi itu. Dia tersenyum lebar melihat tubuhnya Jennie terkapar di dalam bagasi mobil. Mengangkat tubuh mungilnya Jennie, lalu membopongnya. Menutup pintu bagasi mobilnya. Berjalan menelusuri area parkiran itu. Di area itu, Lucas melihat banyak para petugas keamanan dan para bodyguard yang sedang menjaga bar itu.
Lucas menghentikan langkah kakinya ketika berhadapan dengan Dennis, lalu berucap, "Mau taruh di mana anak ini?"
"Di ruang kerja bosku, dia ingin menikmati tubuh anak itu malam ini. Jangan lupa empat puluh persen uang itu untukku Lucas," ujar Dennis datar.
"Kamu tenang aja Dennis, aku tidak akan melupakan itu. Ayo kita masuk ke ruang kerja bos kamu!"
Tak lama kemudian mereka masuk ke dalam bar itu melalui pintu khusus karyawan bar dan para anggota mafia yang telah menguasai bar itu. Menyusuri lorong yang gelap dan sempit, hingga mereka menemukan sebuah pintu. Mereka menghentikan langkah kaki mereka di depan pintu itu. Dennis menekan handle pintu ke bawah, lalu mendorongnya sehingga pintu terbuka. Mereka masuk ke dalam ruangan itu. Dennis menutup pintu itu setelah mereka masuk ke dalam ruang kerja bosnya Dennis.
"Kamu di sini dulu, aku ingin memanggil bosku."
"Baiklah."
Tak lama kemudian, Dennis melanjutkan lagi langkah kakinya menuju sebuah lorong yang menembus ke kamar pribadi bosnya. Samar - samar Lucas mendengar desahan - desahan dari beberapa wanita dan satu orang pria. Lucas berjalan pelan menghampiri sebuah sofa panjang, lalu menaruh tubuhnya Jennie di atas sofa itu dengan kasar.
Bug
Tubuh mungilnya Jennie terlempar di atas sofa panjang itu. Dia menduduki tubuhnya di atas sofa single yang berada di depan Jennie. Dengan jelas, Lucas mendengar suara lenguhan dari beberapa orang. Tak lama kemudian mendengar suara derap langkah kaki dari dua orang dan Lucas melihat sosoknya Dennis dan seorang pria paruh baya. Mereka berjalan mendekati Lucas. Pria baya itu menduduki tubuhnya di samping kanan Jennie. Menoleh ke tubuhnya Jennie dengan tatapan mata yang sangat lapar.
"Dennis, ambil uang itu sekarang juga, lalu berikan uang itu ke teman kamu. Aku sangat puas dengan barang yang dia bawa," ucap pria baya itu yang masih terpaku dengan sosoknya Jennie.
"Baik Tuan Marco," ujar Dennis, lalu dia berjalan tegap menuju ke sebuah pintu lemari.
"Siapa nama anak ini?" tanya Marco tanpa menoleh ke Lucas.
"Jennifer Browne."
"Nama yang bagus," komentar Marco santai.
"Ini yang kamu," ucap Dennis datar sambil memberikan amplop besar warna cokelat ke Lucas.
"Terima kasih atas kerja samanya Tuan Marco," ucap Lucas senang sambil menerima amplop itu.
"Kalian boleh pergi dari sini, aku ingin berduaan saja sama Jennie."
"Baik Tuan Marco," ucap Dennis dan Marco kompak.
Tak lama kemudian Lucas beranjak berdiri. Dennis melangkahkan kakinya ke pintu rahasia. Lucas mengikuti langkah kakinya Dennis. Marco menatap Jennie dengan tatapan mata yang lapar. Marco meraba kaki hingga pahanya Jennie dengan sentuhan seringai laba-laba. Jennie membuka matanya ketika Marco menyentuh inti tubuhnya Jennie dengan sentuhan yang nakal. Jennie melebarkan kedua matanya menatap kesal ke Marco yang sedang tersenyum miring.
Jennie kaget ketika inti tubuhnya diremas dengan kasar. Sontak Jennie beranjak dari sofa panjang, lalu berlari ke sembarangan arah, namun dia tidak bisa keluar dari ruangan itu. Dia berlari ke tengah ruangan itu. Dia melihat Marco sedang berjalan pelan mendekati dirinya sambil menatap lapar ke mukanya Jennie. Seketika Jennie berjalan mundur untuk menghindari sosoknya Marco. Marco menghentikan langkah kakinya ketika berada dekat di depan Jennie.
"Jangan Tuan," pinta Jennie panik saat Marco berusaha menciumnya, sambil meraba dadanya Jennie.
"Sudah, diam, Jennie, aku sudah membayarmu mahal," ujar Marco sambil menaikan dress rumahan sepanjang selutut.
"Tidak! Hentikan Tuan!" teriak Jennie ketakutan.
Tangannya berusaha melindungi tubuhnya dari sentuhan pria sinting itu. Langkahnya mundur untuk menghindari sentuhan nakal Marco. Hingga tubuhnya terhimpit di antara meja kerja dan tubuh Marco yang masih tetap. Jennie memberontak untuk menepis setiap sentuhan Marco di tubuhnya. Meski dengan seluruh kekuatannya, dia masih kalah tenaga dengan lelaki tua itu. Marco membalikkan tubuh Jennie dan mendorongnya ke atas meja hingga posisi anak perempuan itu sedikit membungkuk.
Marco dengan leluasa menaikan kembali dress dan menurunkan sedikit penties Jennie. Tangan kanannya Jennie meraih apapun di ats meja itu saat hembusan nafas Marco yang penuh gairah terdengar sangat dekat di telinganya sehingga membuatnya bergidik ngeri dan jijik. Ketika Marco menurunkan resleting celananya, saat itu pula mengambil sebuah benda yang sudah diraih dan Jennie membalikkan badannya. Sedetik kemudian, Jennie memukulkan benda itu sekuat tenaga ke arah kepalanya Marco.
Lelaki tua itu terhuyung ke belakang sambil memegang kepalanya. Marco berjalan lunglai mendekati Jennie yang tampak gemetar ketakutan. Dengan sisa tenaga dan rasa panik, Jennie kembali membenturkan benda itu yang masih ada di tangannya ke kepala Marco sehingga lelaki tua itu terjerembab jatuh ke samping. Tubuhnya Jennie gemetar dan pikirannya kacau. Benda berat yang berbentuk piramid Egypt spontan terlepas dari genggaman tangannya. sehingga menimbulkan bunyi nyaring.
Jennie menyandarkan tubuhnya di tepi meja sehingga kekuatannya tiba-tiba rak berdaya karena panik dan ketakutan. Tubuhnya Jennie melorot turun dan jatuh terduduk di lantai raung kerja Marco. Dia menatap nanar tubuhnya Marco yang tak bergerak sama sekali. Kedua matanya Jennie memanas dan detik berikutnya dia menangis ketakutan. Dia menutup kedua telinganya, lalu menundukkan kepalanya sambil memejamkan kedua matanya.
Tiba - tiba sebuah pintu terbuka. Sosok lelaki yang sedang memakai penutup wajah seperti ninja sedang berdiri di ambang pintu. Dia mematung di tempat, terperangah melihat tubuhnya Marco yang terbaring tak bergerak sedikit pun di atas lantai sementara Jennie duduk di atas lantai sambil menangis ketakutan. Hanya beberapa detik lelaki itu tampak kaget. Sedetik kemudian lelaki berjalan menghampiri Jennie, lalu membopongnya dan membenarkan letak pentiesnya Jennie yang masih menangis.
Jennie tak berdaya saat dibopong oleh lelaki itu. Lelaki itu membawa Jennie keluar dari ruangan itu dengan langkah kaki yang lebar dan tetap. Menyusuri sebuah lorong yang menjadi penghubung ruang kerjanya Marco dengan sebuah pintu yang hanya dilalui oleh para bawahan Marco. Lelaki itu berjalan keluar dari bar itu. Semua anak buah lelaki itu terlihat bingung menatap lelaki itu berjalan sambil membawa seorang anak kecil yang sedang menangis. Lelaki itu menghentikan langkah kakinya di depan salah satu asisten pribadinya.
"Ed, tolong bawa anak ke villa," ucap lelaki itu sambil memberikan tubuh mungilnya Jennie ke salah satu asisten pribadinya.
"Baik Tuan," ucap Ed sambil menerima anak kecil itu.
"Bilang ke Tristan, berikan dia salah satu kamar pelayan di villa."
"Baik Tuan. Apakah Anda akan pergi ke markas?"
"Iya, saya akan pergi ke markas bersama Ry dan pasukan. Kamu dan Lilo pergi ke villa, tolong kamu pantau keadaan di sana."
"Baik Tuan."
"Hai Bro, bagian dalam sudah beres semua, tinggal kita meninggalkan jejak," ucap salah satu asisten pribadi pria itu dan juga salah satu sahabatnya.
"Kamu aja yang membakar bar ini Ry."
"Baik Bro, tapi siapa anak kecil itu Bro?"
"Menurutku dia salah satu korban pelecehan seksual yang telah dilakukan oleh Marco."
"Mau kamu pelihara sebagai apa?"
"Akan aku didik dia untuk menjadi salah satu anak buahku."
"Lah emangnya dia bisa melakukan bela diri?"
"Dia yang telah membunuh Marco sebelum aku masuk ke dalam ruang kerjanya Marco."
"Wow keren sekali anak kecil in, pantesan kamu ingin mengambilnya," komen Ry.
"Cepat kamu bakar bar ini!" titah pria itu.
"Baik Bro."
Tak lama kemudian, pria yang bernama Ry mengarahkan tubuhnya menghadap bangunan bar itu, lalu memberikan kode ke beberapa anak buahnya untuk membakar bar itu. Anak buahnya langsung melakukan tugas itu dengan sigap dan hati-hati. Seketika gedung bar itu dilahap oleh api. Mereka yang telah menyerang bar itu, menyeringai melihat gedung bar itu. Ed, membalikkan badannya setelah puas melihat kebakaran itu. Melangkahkan kakinya menuju sebuah mobil jeep hitam.
Dia membuka pintu belakang mobil jeep itu. Menaruh tubuh mungilnya Jennie, lalu menutup pintu itu. Berjalan cepat ke bagian depan mobil. Membuka pintu mobil bagian penumpang. Masuk ke dalam, lalu menduduki tubuhnya di atas jok. Supir mobil itu menoleh ke pria itu dengan tatapan mata yang bingung. Ry menoleh ke supir itu karena merasa diperhatikan. Supir dia menunjuk ke tubuhnya Jennie yang masih juga menangis dengan dagunya.
"Kita bawa dia ke villa Tuan, Lilo. Dia akan dijadikan salah satu anak buahnya," penjelasan Ry.
Pria yang bernama Lilo itu menganggukkan kepalanya, lalu dia mengunci semua pintu mobil itu. Menyalakan mesin mobil itu, lalu mengendarai mobil itu dengan kecepatan yang lumayan kencang. Mobil itu berjalan keluar dari area parkir mobil. Ry, membuka penutup wajahnya karena dia sudah menjalankan tugasnya. Mengusap wajahnya dengan sangat kasar karena sudah tidak nyaman mendengar suara tangisan Jennie.
Ry menoleh ke Jennie, lalu berucap, "Tolong hentikan tangisanmu! Kamu tenang saja, kami tidak akan berbuat macam-macam denganmu."
Ucapan dari pria itu telah melegakan hati dan pikirannya Jennie. Suara tangisan Jennie melemah hingga terhenti. Jennie menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskannya secara perlahan dan berulang kali sehingga hatinya terasa aman. Dia mengedarkan kepalanya untuk melihat sekitarnya. Dia merasa ke dua pria yang berada di depannya bukan orang-orang yang akan melukai dan melecehkan dirinya.
"Siapa namamu Nak?" tanya Ry santai sambil melirik Jennie dari kaca spion tengah
"Jennie," lirih Jennie.
Di mana orang tuamu Nak?"
Jennie menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan orang itu. Lelaki itu menghela nafas dengan kasar. Jennie mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia melihat jalan raya yang panjang, yang tak pernah dia lalui sebelumnya. Dia terperangah melihat jalanan yang panjang dan hiasi dengan beberapa lampu. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela samping mobil itu sambil menatap jalan raya hingga dirinya terlelap setelah menghadapi kejamnya dunia.
Jennifer memandang rona keemasan matahari yang lembut di langit. Menatap kagum pada cahaya matahari. Mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Memandang sebuah bangunan utama dengan arsitektur yang klasik dan megah. Melihat lahan kuda dan lapangan golf yang luas, kebun buah yang berhektar - hektar. Halaman yang dipenuhi pepohonan dan kolam hias air mancur, jembatan - jembatan yang kokoh dan aroma segar di tanah ini.
Jennifer meratap kagum saat seluruh hatinya hanya dipenuhi rasa takut. Tidak ada tempat yang lebih mewah dari tanah dan seluruh bangunan di kawasan milik orang ini. Jennifer berdiri di atas bukit kawasan elit itu. Dia mengarahkan kepalanya ke langit yang cerah. Mata Spektrumnya berbinar saat daun - daun maple kering yang berguguran menepis lembut kulit putihnya yang pucat.
Jennifer mengalihkan pandangannya ke sebuah pemandangan yang baru baginya. Dari jauh dia melihat beberapa pelayan tiba-tiba berlari membentuk barisan terbuka saling berhadapan dari lapangan kuda menuju taman. Seseorang muncul sambil menarik tali kekang kudanya dengan satu tangan untuk berhenti. Orang itu turun dari kudanya. Berjalan tegap menuju gazebo yang berada di taman.
Tiba-tiba Jennifer merasakan bahu kanannya ditepuk dengan kasar oleh seseorang. Jennifer menoleh ke belakang. Dia melihat salah satu pelayan. Pelayan itu menatap sinis ke Jennifer. Orang itu langsung menarik pergelangan tangan kanannya Jennifer, lalu berjalan sambil menyeret Jennifer. Langkah kakinya Jennifer keseribet karena mengikuti langkah kaki orang itu yang sedang terburu-buru. Menuruni bukit, menyusuri beberapa pohon maple dan beberapa pohon hias.
Pelayan itu memelankan langkah kakinya ketika sudah berada di taman bunga. Menyusuri jalan setapak menuju gazebo taman. Menghentikan langkah kakinya di hadapan beberapa orang yang berada di dalam gazebo. Pelayan itu menundukkan kepalanya untuk memberi hormat ke semua orang. Tak lama kemudian, membalikkan badannya dan berjalan sepi keluar dari gazebo itu.
Jennifer menatap seorang pria dengan sisi wajah yang sempurna dan simetris dari segala sisi, garis rahangnya tajam, rambut cokelat tuanya basah namun masih tertata rapi. Hidung menjulang tinggi namun cukup, bulu mata dan alisnya tebal. Netra birunya yang jernih, terlihat seperti lautan luas. Rangka yang kokoh dan tinggi dengan mengenakan pakaian berkuda. Dada dan pundaknya terlihat tangguh dan kuat.
Dialah puncak kesempurnaan, Ronald Sean Mottola. Jennifer terpana melihat sosoknya Ronald yang seperti seorang pangeran dongeng yang sering dia dengar dari cerita ibunya. Jennifer menatap Ronald dengan tatapan mata yang berbinar - binar dan berdecak kagum. Sedangkan Ronald tidak mempedulikan tatapan matanya Jennifer yang unik karena bagi Ronald tatapan seperti itu sudah biasa dia terima.
"Dasar anak yang tidak tahu sopan santun," celetuk seorang pria yang lainnya.
"Samuel tolong jaga ucapanmu," ujar seorang pria separuh baya.
"Siapa nama anak kecil itu Ronald?" tanya seorang wanita paruh baya dengan suara yang anggun dan lembut.
"Aku juga belum tahu Mom Rosalinda," jawab Ronald.
"Siapa nama kamu Nak?" tanya Rosalinda lembut ke Jennifer.
"Jennie Madam," jawab Jennie gugup dan sedikit takut.
"Kamu tidak usah takut sama kami. Mata kamu indah dan wajah kamu cantik. Kamu mau menjadi anakku?"
"Mom, dia itu ingin aku jadikan salah satu anak buahku," samber Ronald.
"Mommy tidak setuju Ronald, anak secantik ini mau dijadikan seorang anggota mafia," ucap Rosalinda lembut namun tegas sambil menoleh ke Ronald.
"Tapi kan Mommy sudah punya Richard."
"Mommy mau punya anak perempuan."
"Sudahlah Ronald, kasih aja anak itu ke Mommy Rosalinda," ucap pria paruh baya itu yang bernama Sean Mottola.
"Kamu mau kan jadi anakku?" tanya Rosalinda lembut sambil menatap Jennifer dengan tatapan mata yang hangat.
Seketika Jennifer bingung, harus ngomong apa. Di sisi lain dia merasakan nyaman ketika mendengar ucapan wanita paruh baya itu, namun disisi lain, dia merasakan ketakutan. Takut diperlakukan kasar dan buruk lagi. Jennifer menundukkan kepalanya sambil memilih ujung dress santainya. Kedua tangannya gemetaran. Rosalinda melihat Jennifer yang sedang tremor dan beberapa luka lebam dan luka biasa di sekujur kedua tangannya Jennifer. Rosalinda beranjak berdiri, berjalan pelan untuk mendekati Jennifer. Menghentikan langkah kakinya di hadapan Jennifer. Menjongkokan tubuhnya supaya bisa mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungilnya Jennifer.
"Kamu tidak usah takut Nak. Kamu pasti aman dan nyaman sebagai anakku," ucap Rosalinda lembut sambil mengusap bahu kanannya Jennifer.
Ucapan dan sentuhan Rosalinda telah menyentuh hatinya Jennifer. Jennifer menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju dengan ucapan Rosalinda. Rosalinda tersenyum senang, lalu dia mengecup keningnya Jennifer dengan penuh kasih sayang. Sedetik kemudian Rosalinda beranjak berdiri. Membalikkan tubuhnya, lalu berjalan menghampiri salah satu anak perempuan yang sedang duduk sambil manyun.
"Shella Sayang, boleh Mommy Ros minta salah satu gaun dan sepatumu untuk Jennie?" tanya Rosalinda.
"Iya Mommy Ros," jawab Shela.
"Bi Lia tolong pilihkan salah satu gaun milik dan sepatu Shella untuk Jennie, cari yang cocok untuk dirinya, dan tolong carikan pakaian dalam anak perempuan yang masih baru, lalu bawa semuanya ke kamarku," titah Rosalinda tegas namun lembut sambil menoleh ke Lia.
"Baik Nyonya," ucap pelayan itu dengan sopan, lalu pelayan itu pergi ke kamarnya Shella.
"Bi Luna, tolong bawa Jennie ke kamarku dan tolong mandikan dia dan dandani dia," ucap Rosalinda tegas namun lembut sambil menoleh ke Luna.
"Baik Nyonya," ucap Luna.
Sedetik kemudian Luna berjalan dengan sigap menghampiri Jennifer, lalu menghentikan langkah kakinya di hadapan Jennifer dan berucap dengan sopan dan ramah, "Mari ikut saya Nona Jennie."
Tak lama kemudian, Luna menuntun Jennifer dengan sopan. Melangkahkan kakinya dengan pelan sehingga bisa mensejajarkan langkah kakinya dengan langkah kakinya Jennifer. Rosalinda berjalan ke tempat duduknya. Menyilakan kakinya dengan anggun sambil menatap Jennifer yang sedang berjalan pincang dari kejauhan. Rosalinda menyipitkan kedua matanya melihat postur tubuh kecilnya Jennifer yang janggal.
"Ronald, kamu menemukan Jennie di mana?" tanya Rosalinda lembut sambil menoleh ke Ronald.
"Di bar kota Bend. Dia salah satu korban dari Marco Delpiero."
"Dia musuh kalian?"
"Iya, dia telah merebut kekuasaan kami di Seattle," samber Sean setelah meminum secangkir kopi Americano.
"Kenapa kamu ingin menjadikan dia salah satu anak buahmu, dia kan masih kecil?"
"Walaupun dia masih kecil, dia memiliki keberanian untuk membunuh seseorang. Dia telah membunuh Marco," jawab Ronald santai.
"Wow, berani juga dia, pantesan kamu mau menjadikan dia anak buahmu," celetuk Sean.
"Sebenarnya aku ingin mendidik dia supaya menjadi orang yang kuat sebelum menjadi anak buahku dan aku jadikan mata-mata The Red Devil, penggantinya para wanita murahan itu."
"Ronald, jaga ucapanmu!" ucap Sean kesal.
"Jangan kamu lakukan itu, Mommy yakin dia melakukan pembunuhan itu karena terdesak. Mommy kasihan sekali melihat fisik dan sorotan mata Jennie. Mommy ingin memperbaiki sosoknya Jennie yang tertekan secara fisik maupun non fisik."
"Memangnya apa rencana Mommy setelah dia menjadi salah satu anak angkatnya Mommy?"
"Memperbaiki struktur badannya, mumpung dia masih kecil, memperbaiki mental dan ingin menyekolahkan Jennie. Mommy kasihan melihat sosoknya tadi. Ronald, tolong kamu cari tahu tentang dirinya karena Mommy ingin mengangkatnya sebagai anak secara legal."
"Baik Mom," ucap Ronald mantap.
"Selamat pagi Paman, Tante," salam seorang wanita yang bernama Rachel sambil berjalan menghampiri mereka.
"Hallo Rachel yang cantik, apa kabarmu Nak?" ucap Rosalinda ramah.
"Aku baik-baik aja Tante," ucap Rachel manja sambil menghentikan langkah kakinya di hadapan Rosalinda, tak lama kemudian mereka cipika cipiki.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Ronald datar.
"Ih kamu, kok gitu sama aku. Aku kan kangen sama tunanganku," ucap Rachel sambil berjalan menghampiri Ronald.
Rachel menghentikan langkah kakinya di hadapan Ronald, lalu menduduki tubuhnya di atas pangkuan Ronald. Mengalungkan kedua tangannya di leher kokohnya Ronald. Mencium bibirnya Ronald dek sangat mesra. Ronald menerima ciuman itu, lalu membalasnya. Samuel, Shella dan Shayna sudah muak dengan tingkah laku Rachel dan Ronald yang tidak tahu malu bermesraan di depan umum. Rosalinda meghela nafas panjang melihat adegan itu, lalu beranjak berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya.
"Sebaiknya kalian ke kamar," celetuk Sean yang melihat adegan hot di depan matanya.
Seketika Ronald menghentikan kegiatannya. Sontak Rachel menghentikan kegiatannya. Ronald mendorong tubuhnya Rachel dengan pelan. Rachel beranjak berdiri, lalu berjalan mendekati Sean. Rachel menoleh ke belakang untuk mencari seseorang sehingga dia menemukan sosok teman kuliahnya. Rachel memberikan kode ke temannya untuk menghampiri mereka. Temannya Rachel berjalan pelan menghampiri mereka, lalu menghentikan langkah kakinya di samping kanannya Rachel.
Rachel merangkul temannya, lalu berucap, "Paman, kenalkan temanku, suaranya sangat merdu dan bagus. Namanya Annabelle."
"Annabelle," ucap Annabelle sopan dan ramah sambil mengulurkan tangan kanannya ke Sean.
Sean dan Ronald terpana melihat sosoknya Annabelle yang tampak lembut dan sangat cantik dengan netra mata hijaunya. Sean sempat membeku menatap wajahnya Annabelle yang seperti boneka Barbie. Dari wajah cantik yang alami terpancar aura bagus dari dalam dirinya Annabelle. Sean tersenyum tebar pesona ke Annabelle sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Sean Mottola," ucap Sean ramah, lalu mereka berjabat tangan.
"Teman kuliah kamu Ra?" tanya Ronald yang tak pernah melepaskan tatapan matanya ke arah Annabelle.
"Iya, cantik kan temanku. Dia ingin menjadi seorang diva, aku yakin kalian bisa mewujudkan impiannya sebagai seorang diva," ujar Rachel sambil menoleh ke Ronald.
"Itu semua tergantung Daddy ku,"
"Paman pasti mewujudkan keinginannya," samber Sean.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!