..."Senyuman itu membuat Adrian, mendadak salah tingkah dan hatinya terlanjur berdebar-debar"...
Mentari pagi Jakarta terasa membakar kulit Revana. Keringat mulai membasahi blusnya. Sebagai seorang sekretaris, ketepatan waktu adalah segalanya, namun hari ini takdir seolah mempermainkannya. Semalam, ayahnya dilarikan ke rumah sakit akibat serangan jantung mendadak. Kabar itu membuatnya kalut dan kurang tidur. Kini, ia berdiri gelisah di halte bus, menunggu taksi yang tak kunjung tiba.
Revana melirik jam tangannya. Pikirannya berkecamuk. Ia tak mungkin menghubungi kantor dan mengatakan alasannya terlambat. Pimpinan perusahaan, Pak Adrian, adalah sosok perfeksionis. Keterlambatan sekecil apapun bisa menjadi masalah besar.
Tiba-tiba, sebuah mobil sedan hitam mewah berhenti tepat di depannya. Kaca mobil itu terbuka, menampakkan sosok pria tampan berwibawa di balik kemudi. Sosok itu adalah, Pak Adrian! Jantung Revana berdegup kencang.
"Revana? Kamu kenapa masih di sini? Bukankah jam kantor sudah mulai?" kata Adrian dengan nada khawatir.
"Ma-maaf, Pak. Saya sedang menunggu taksi, tapi belum ada yang lewat." jawab Revana tergagap.
Adrian menatap Revana dengan "Kamu terlihat pucat. Apa terjadi sesuatu?"
Revana menunduk. "Ayah saya... semalam masuk rumah sakit, Pak."
Adrian menghela napas "Ya Tuhan. Kenapa kamu tidak bilang? Begini saja, daripada kamu terlambat, biar kamu bareng Saya aja. Ayo, masuk."
Revana menatap ragu "Ta-tapi, Pak..."
"Tidak ada tapi-tapian. Waktu kita terbatas. kita ada meeting pagi ini Rev, Ayo!" suara Adrian pelan, tapi mengandung penegasan.
Revana mengigit bibirnya. Ia tahu, menolak tawaran bosnya bukanlah pilihan bijak. Dengan berat hati, ia membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang. Aroma maskulin langsung menyeruak memenuhi indranya.
"Terima kasih banyak, Pak." ucap Revana dengan suara pelan.
Adrian tersenyum tipis "Jangan dipikirkan. Semoga ayahmu lekas sembuh."
Suasana canggung menyelimuti mereka sepanjang perjalanan. Revana berusaha menenangkan diri, sementara Adrian fokus menyetir dengan tenang. Dalam hati, Revana bertanya-tanya, apa yang akan terjadi selanjutnya?
Mobil Adrian berhenti tepat di depan lobi kantor. Revana merasa sedikit lega sekaligus gugup. Ia segera turun dari mobil, tak lupa mengucapkan terima kasih sekali lagi.
Setibanya di dalam kantor, Clara, sahabat sekaligus rekan kerjanya, langsung menghampirinya dengan tatapan penuh tanya. Clara memang selalu ingin tahu segala hal tentang Revana.
"Rev, itu tadi mobil Pak Adrian, kan? Kamu bareng dia?" tanya Clara dengan berbisik.
Revana menghela napas "Iya, Clara. Aku cerita nanti, ya? Sekarang aku harus ke ruangan dulu. Ada meeting pagi ini."
"Oke, tapi nanti jangan lupa cerita ya.!"
Revana hanya mengangguk, lalu setengah berlari menuju meja kerjanya, ia harus segera menyiapkan segala dokumen untuk meeting internal pagi ini.
Di sisi lain, Anton. Kepala manajer yang sudah bersahabat dekat dengan Adrian. Juga memperhatikan interaksi keduanya dari kejauhan. Rasa penasaran menggelayuti benaknya.
Di ruang kerja Adrian, Anton mengetuk pintu dengan sopan.
Anton tersenyum ramah. "Bos, ada waktu sebentar?"
Adrian, mengangkat alis "Tentu, Anton. Ada apa?"
"Aku lihat tadi Revana turun dari mobilmu. Ada hubungan apa kalian berdua?" tanya Anton dengan nada menggoda.
Adrian tertawa pelan. "Jangan salah paham, Anton. Ayah Revana semalam masuk rumah sakit, jadi dia telat. Aku tak sengaja melihatnya di halte, Aku cuma menawarkan tumpangan, tidak lebih."
Anton menatap Adrian dengan curiga. "Oh, begitu. Tapi, jujur saja, Bos. Revana itu cantik dan menarik. Apa kamu tidak tertarik padanya?"
Adrian terdiam sejenak. "Anton, jangan bicara yang tidak-tidak. Revana itu hanya sekretaris Aku. Aku tidak ingin mencampur adukkan urusan pribadi dan pekerjaan."
Anton mengangguk-angguk, namun tatapannya masih menyimpan keraguan.
"Tapi...daripada kamu terus berhubungan dengan wanita-wanita tidak jelas di luar sana, lebih baik menjalin hubungan dengan Revana. Dia gadis yang baik, cantik, dan selalu perhatian padamu."
Adrian terdiam. "Anton, kamu tahu Revana itu sekretarisku. Itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak? Adrian, aku tahu kamu kesepian. Istrimu terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Kamu butuh seseorang yang bisa mengerti dan menghargaimu. Tidak ada yang salah dengan itu. Lagipula, Aku lihat Revana juga menyimpan perasaan padamu."
Adrian terkejut "Apa maksudmu?"
"Aku sering melihat Revana memperhatikanmu dari jauh. Tatapannya penuh kekaguman dan mendambakan. Aku yakin, dia akan menjadi wanita yang baik dan penurut untukmu. Tidak seperti Laura, wanita malam yang kamu pacari itu, sungguh parah. Dia cuma mau uangmu saja."
"Anton, jangan bahas itu lagi." Kata Adrian kesal, mengingat Laura yang sudah memanfaatkannya.
"Sengaja, biar kamu tak mengulang lagi kesalahan yang sama." jawab Anton acuh, lalu ia beranjak. "Ya sudah, aku balik ke ruanganku dulu, sebentar lagi meeting." kata Anton sembari berjalan keluar dari ruangan Adrian.
Adrian terdiam membisu. Kata-kata Anton membuatnya semakin bimbang. Ia tahu, Anton benar. Selama ini, ia memang merasa kesepian dan merindukan perhatian. Namun, ia juga takut untuk mengambil risiko dan melanggar batasan yang selama ini ia jaga. Apa yang harus ia lakukan?
...☘️☘️☘️...
Ruang rapat terasa penuh dengan ketegangan. Para petinggi perusahaan berkumpul untuk membahas proyek besar yang sedang mereka kerjakan. Adrian memimpin rapat dengan profesional, namun pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada materi yang sedang dibahas.
Sesekali, matanya mencuri pandang ke arah Revana yang duduk di sampingnya. Gadis itu tampak serius mencatat setiap poin penting yang disampaikan. Penampilannya hari ini sangat menawan. Blus putih yang dipadukan dengan rok hitam selutut membuatnya terlihat elegan dan anggun.
Adrian berusaha mengendalikan dirinya, namun tatapan Revana seolah memiliki daya tarik yang sulit dihindari. Ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang setiap kali mata mereka bertemu.
"Baik, kita lanjutkan dengan pembahasan anggaran. Revana, tolong tampilkan slide berikutnya." ucap Adrian dengan suara tegas.
"Baik, Pak." jawab Revana dengan sigap.
Revana segera menekan tombol remote dan menampilkan slide yang dimaksud. Adrian memperhatikan gerak-gerik Revana dengan seksama. Tanpa sadar Ia terpesona dengan kepiawaian gadis itu dalam bekerja.
"Pak Adrian, saya rasa ada beberapa poin dalam anggaran yang perlu kita tinjau kembali." kata Kepala bagian divisi keuangan.
Adrian mengangguk. "Silakan, sampaikan pendapat Anda."
Diskusi pun berlanjut dengan serius. Adrian berusaha fokus pada jalannya rapat, namun pikirannya terusik oleh kehadiran Revana di sampingnya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya hari ini. Apakah ia mulai tertarik pada sekretarisnya sendiri?
Di sela-sela rapat, Adrian kembali mencuri pandang ke arah Revana. Kali ini, mata mereka bertemu lebih lama dari biasanya. Revana tersenyum tipis, seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam benak Adrian. Senyuman itu membuat Adrian semakin salah tingkah. Ia segera mengalihkan pandangannya dan berusaha kembali fokus pada rapat. Namun, hatinya sudah terlanjur berdebar-debar.
..."Saya janji, Revana. Saya tidak akan melakukan apa pun yang membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin kamu menemani saya."...
Rapat akhirnya selesai. Adrian menghela napas lega, namun pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan Revana. Ia membereskan berkas-berkasnya dan bersiap untuk kembali ke ruangannya.
Tiba-tiba, Revana menghampirinya dengan wajah cemas. Adrian bisa merasakan ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran gadis itu.
Di saat yang sama, Revana menerima pesan dari ibunya yang memintanya segera datang ke rumah sakit untuk mengurus biaya administrasi ayahnya. Revana panik. Ia tahu, tabungannya tidak cukup untuk menutupi semua biaya pengobatan.
Dengan berat hati, Revana memberanikan diri untuk menemui Anton, berharap bisa meminjam sejumlah uang dari kantor. Namun, jawaban Anton membuatnya semakin dilema.
Ketika masuk ke ruangan Anton, Revana langsung duduk menghadap.
"Ada apa Rev ?" tanya Anton sembari sibuk membuka beberapa file dokumen di mejanya.
"Pak Anton, maaf mengganggu. Saya mau tanya, apa ada fasilitas pinjaman uang di kantor?" ucap Revana dengan nada cemas.
Anton menghentikan aktifitasnya, ia mengangkat alis. "Pinjaman uang? Untuk apa, Revana?" tanyanya penasaran.
Revana menunduk. "Ayah saya harus segera dioperasi, Pak. Tapi, saya kekurangan biaya."
Anton berpikir sejenak. "Hmm, biasanya sih ada. Tapi, prosesnya agak lama dan ribet. Kenapa kamu tidak coba minta bantuan langsung ke Pak Adrian saja?"
Revana terkejut. "Minta bantuan ke Pak Adrian? Tapi, saya tidak enak, Pak."
Anton menghela nafasnya kecil.
"Ayolah, Revana. Pak Adrian itu orangnya baik. Apalagi, kamu kan sekretarisnya. Pasti dia mau bantu. Lagipula, ini kan demi ayahmu."
"Tapi..." Revana menatap ragu.
"Sudahlah Rev, jangan ragu. Coba saja dulu. Siapa tahu dia mau bantu. Kalau tidak, baru kita pikirkan cara lain."
Revana mengigit bibirnya. Ia tahu, Anton benar. Tidak ada pilihan lain. Ia harus memberanikan diri untuk meminta bantuan pada Adrian. Meskipun ia merasa sangat tidak enak dan takut akan penolakan. Tapi, demi ayahnya, ia harus melakukan apa saja.
"Baik Pak, akan saya coba." Revana mengangguk samar, lalu dia undur diri keluar dari ruangan Anton.
Anton menatap punggung Revana yang menjauh, ia tersenyum penuh arti.
...☘️☘️...
Dengan langkah berat, Revana berjalan menuju ruangan Adrian. Jantungnya berdegup kencang, bercampur antara harapan dan kecemasan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.
"Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk?" seru Revana dengan suara pelan.
"Masuk." jawab Adrian dari dalam.
Revana membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan Adrian. Pria itu sedang duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan serius.
Revana berdiri dengan canggung di depan meja Adrian. "Maaf mengganggu, Pak. Saya mau... minta tolong."
Adrian mengangkat wajah, menatap Revana dengan tatapan lembut. "Ada apa, Revana? Katakan saja."
Revana menunduk, memainkan jari-jarinya. "Begini, Pak... Ayah saya harus segera dioperasi. Tapi, saya kekurangan biaya. Tadi saya sudah tanya ke Pak Anton, tapi beliau menyarankan saya untuk minta bantuan ke Bapak."
Adrian terdiam sejenak, lalu mengangguk samar. "Berapa biaya yang kamu butuhkan?"
"Saya... butuh sekitar lima puluh juta, Pak." jawab Revana dengan ragu.
Adrian terkejut mendengar angka itu. Lima puluh juta bukanlah jumlah yang kecil. Namun, ia bisa melihat kesungguhan dan keputusasaan di mata Revana.
Adrian berdiri dari kursinya, berjalan mendekati Revana. "Revana, saya akan bantu. Tapi, ada satu syarat."
Revana mengangkat wajah, menatap Adrian dengan bingung. "Syarat? Syarat apa, Pak?"
Adrian menatap Revana dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang berkilat di matanya, sesuatu yang membuat Revana merasa tidak nyaman.
"Kamu harus jadi milik saya." ucap Adrian dengan suara rendah.
Revana terkejut mendengar perkataan Adrian. Ia tidak percaya, pria yang selama ini ia kagumi ternyata memiliki sisi gelap seperti ini.
"Apa... apa maksud Bapak?" suara Revana bergetar.
Adrian mendekat, meraih tangan Revana. "Saya menginginkanmu, Revana. Jika kamu mau menjadi milik saya, saya akan memberikan apa pun yang kamu inginkan."
Revana menarik tangannya dengan kasar. Ia mendadak kesal dengan Adrian. Pria itu telah memanfaatkan kesulitannya untuk mendapatkan dirinya.
"Bapak keterlaluan! Saya tidak menyangka Bapak bisa seperti ini! Saya tidak akan pernah menjual diri saya demi uang!" ucap Revana dengan nada marah.
Revana berbalik dan berjalan cepat menuju pintu. Air matanya seketika berlinang. Ia merasa hancur dan kecewa. Pria yang selama ini ia hormati, ternyata hanya seorang pria hidung belang yang memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan wanita.
Belum sempat Revana benar-benar keluar dari ruangan Adrian, ponselnya kembali berdering. Nama ibunya tertera di layar. Revana tahu, panggilan ini pasti tentang kondisi ayahnya yang semakin memburuk.
Dengan ragu, Revana membalikkan badannya. Ia menatap Adrian yang masih berdiri mematung di tempatnya. Air mata masih mengalir di pipinya, namun ada tekad yang kuat di matanya.
"Tunggu, Pak. Apa maksud Bapak dengan 'menjadi milik Bapak'?"
Adrian terkejut melihat Revana kembali. Ia bisa melihat keraguan dan keputusasaan di mata gadis itu.
Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan. "Revana, saya tahu ini berat untukmu. Tapi, saya benar-benar menyukaimu. Saya ingin kamu menjadi bagian dari hidup saya."
Revana menatap Adrian, dengan tatapan menyelidik. "Apakah itu berarti... saya harus menjadi simpanan Bapak? Menjadi wanita yang Bapak sembunyikan dari istri Bapak?"
Adrian terdiam. Ia tidak menyangka Revana akan bertanya sejujur itu.
"Saya... tidak tahu. Saya hanya ingin kamu ada di dekat saya. Saya akan membahagiakan kamu." jawab Adrian lirih, ucapan Anton tadi pagi benar-benar sudah mempengaruhinya.
Revana tertawa sinis. "Membahagiakan saya dengan cara menghancurkan hidup saya? Dengan cara membuat saya menjadi wanita murahan yang dibenci oleh semua orang?"
Adrian menunduk, merasa bersalah. "Tidak, Revana. Saya tidak ingin seperti itu. Saya hanya... bingung. Saya tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengungkapkan apa yang saya mau."
Revana menghapus air matanya, mencoba tegar. "Pak, saya menghargai perasaan Bapak. Tapi, saya tidak bisa menerima tawaran ini. Saya tidak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan Bapak. Saya juga tidak ingin mengkhianati diri saya sendiri."
Adrian mengangkat wajah, menatap Revana dengan penuh harap. "Lalu, apa yang harus saya lakukan? Apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu?"
"Bantu saya menyelamatkan ayah saya, Pak. Pinjamkan saya uang itu. Saya janji, saya akan mengembalikannya secepat mungkin. Saya akan bekerja lebih keras lagi. Saya akan melakukan apa saja." ucap Revana dengan memohon.
Adrian terdiam sejenak. Ia bisa melihat ketulusan di mata Revana. Ia tahu, gadis itu benar-benar membutuhkan bantuannya.
"Revana, saya akan bantu. Tapi, tetap ada satu syarat." ucap Adrian dengan suara rendah.
Revana menatap Adrian dengan bingung. "Apa ada Syarat yang lebih masuk akal, Pak?"
Adrian menatap Revana dengan tatapan yang sulit diartikan. "Saya ingin kamu menemani saya setiap saat ketika saya sedang di luar rumah. Itu saja."
Revana terkejut "Maksud Bapak? Menemani Bapak ke mana?"
"Ke acara bisnis, makan malam dengan kolega, atau sekadar jalan-jalan. Saya ingin kamu selalu ada di samping saya." jawab Adrian menjelaskan.
Revana masih bingung dan ragu. "Tapi, Pak... kenapa harus saya? Bukankah Bapak punya istri?"
Adrian menghela napas. "Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang. Yang jelas, saya membutuhkanmu. Saya merasa nyaman saat bersamamu."
Revana menatap dengan nada curiga. "Apakah ini cara Bapak untuk menjadikan saya sebagai pengganti istri Bapak?"
Adrian terdiam sejenak. "Bukan begitu, Revana. Saya hanya ingin kamu menjadi teman saya. Seseorang yang bisa saya ajak bicara dan berbagi cerita."
lagi-lagi Revana menatap Adrian dengan tatapan menyelidik. "Apakah Bapak yakin hanya itu?"
Adrian menatap Revana dengan serius. "Saya janji, Revana. Saya tidak akan melakukan apa pun yang membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin kamu menemani saya."
Revana mengigit bibirnya, berpikir keras. "Saya... tidak tahu, Pak. Saya perlu waktu untuk memikirkannya."
Adrian mengangguk "Saya mengerti. Tapi, ingatlah, Revana. Ayahmu membutuhkan operasi secepatnya. Waktu kita tidak banyak."
...☘️☘️☘️...
..."Revana adalah sekretaris terbaik saya." -Adrian Wijaksana...
Setelah bergelut dengan pikirannya, Revana akhirnya mengangguk lemah. Ia tidak punya pilihan lain. Demi keselamatan ayahnya, ia rela menerima syarat dari Adrian.
"Baiklah, Pak. Saya setuju." jawab Revana dengan suara lirih.
Adrian tersenyum lega mendengar jawaban Revana. Ia merasa seperti mendapatkan angin segar setelah sekian lama tertekan.
"Terima kasih, Revana. Kamu tidak akan menyesal." kata Adrian dengan senyum lebar.
Adrian segera mengambil ponselnya dan melakukan transfer sejumlah uang ke rekening Revana.
Revana terkejut melihat nominal yang tertera di pesan m-bankingnya. "Pak, ini... kenapa banyak sekali? Saya hanya butuh lima puluh juta."
"Ambil saja. Itu untuk biaya tambahan dan keperluan lainnya. Anggap saja ini sebagai tanda perjanjian kita." kata Adrian santai.
Revana merasa tidak enak. "Tapi, Pak..."
Adrian memotong perkataan Revana, cepat. "Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang penting sekarang adalah kesehatan ayahmu. Segera kamu urus semuanya."
Revana terdiam. Ia merasa terharu dengan kebaikan Adrian. Meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu, ia tetap berterima kasih atas bantuannya.
"Terima kasih banyak, Pak. Saya janji, saya akan membalas semua kebaikan Bapak." ucap Revana tulus.
Adrian mengedipkan mata. "Saya akan menagih janjimu nanti."
Adrian kemudian memberikan senyuman penuh arti pada Revana, membuat gadis itu salah tingkah.
Setelah mendapatkan uang yang dibutuhkan, Revana segera berpamitan pada Adrian dan bergegas menuju rumah sakit. Ia tidak sabar untuk melihat ayahnya dan memastikan semuanya berjalan lancar.
Di sisi lain, Adrian menatap kepergian Revana dengan tatapan penuh kemenangan. Ia tahu, ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Revana akan selalu berada di dekatnya, menemaninya dalam setiap kesempatan.
Namun, di balik senyumnya, tersimpan sebuah rencana besar yang belum diketahui oleh siapa pun. Apa sebenarnya yang ada di benak Adrian? Dan apa yang akan terjadi pada Revana setelah ini?
...☘️☘️...
Dengan tergesa-gesa, Revana tiba di rumah sakit. Ia langsung menuju bagian administrasi untuk mengurus segala keperluan ayahnya. Hatinya berdebar-debar, berharap semuanya berjalan lancar.
"Selamat siang, Mbak. Saya mau mengurus biaya administrasi pasien atas nama Bapak Gavin Ahlan." ucap Revana dengan nafas tersenggal-senggal.
Petugas Administrasi menyambutnya dengan ramah. "Selamat siang, Kak. Sebentar, ya, saya cek datanya dulu."
Petugas administrasi itu mengetik sesuatu di komputernya. Revana menunggu dengan cemas.
setelah beberapa saat. "Oh, iya, betul. Bapak Gavin Ahlan sudah terdaftar perawatan dan jadwal operasi. Total biaya yang harus dibayarkan adalah lima puluh juta rupiah."
Revana menghela napas lega. "Baik, Mbak. Saya bayar sekarang. Supaya operasinya bisa segera di laksanakan."
Revana menyerahkan kartu debitnya kepada petugas administrasi. Petugas itu kemudian memproses pembayaran.
"Pembayaran berhasil ya, Kak. Ini bukti pembayarannya. Silakan dibawa ke bagian kasir untuk mendapatkan kuitansi."
"Baik, Mbak. Terima kasih banyak."
Revana mengambil bukti pembayaran dan bergegas menuju bagian kasir. Setelah mendapatkan kuitansi, ia langsung menuju ruang perawatan ayahnya.
Sesampainya di depan ruang perawatan, Revana melihat ibunya sedang duduk di kursi tunggu dengan wajah cemas.
Revana datang dengan senyum cerah, menyembunyikan kegelisahan hatinya. "Ibu!"
Ibu Revana terkejut, langsung berdiri memeluk Revana. "Revana, Nak! Kamu sudah datang? Bagaimana, Nak? Apa kamu sudah dapat uangnya?"
Revana mengangguk. "Sudah, Bu. Semuanya sudah beres. Ayah akan segera dioperasi."
Ibu Revana menangis haru. "Ya Tuhan, terima kasih, Nak. Kamu memang anak yang berbakti."
Revana memeluk ibunya erat-erat. Ia merasa lega karena bisa membantu ayahnya.
"Sudah, Bu, jangan menangis lagi. Sekarang kita berdoa saja semoga operasi ayah berjalan lancar." kata Revana dengan nada menenangkan.
Mira, Ibu Revana mengangguk. "Iya, Nak. Mari kita berdoa bersama."
Revana dan ibunya kemudian berdoa bersama, memohon kepada Tuhan agar memberikan kelancaran dan kesembuhan bagi ayah Revana.
Setelah berdoa, Revana dan ibunya masuk ke dalam ruang perawatan untuk menemani ayah Revana. Ayah Revana tampak lemah dan pucat, namun ia tersenyum saat melihat kedatangan anak dan istrinya.
"Revana, Nak... kenapa jam segini kamu datang, kamu gak ke kantor?" ujar Pak Gavin dengan suara lemah.
Revana menggenggam tangan ayahnya. "Ayah jangan khawatir. Aku ijin Yah, Aku juga sudah urus semuanya. Ayah akan segera sembuh."
Ayah Gavin tersenyum, namun sorot matanya merasa bersalah. "Maaf Nak, ayah udah bikin kamu susah. Pasti biayanya tak sedikit kan ?"
Revana membalas senyuman ayahnya.
"Ayah nggak usah khawatir, uang bisa di cari Yah, yang penting Ayah sembuh dan sehat kembali." Revana merasa bahagia karena bisa memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Namun, di balik kebahagiaan itu, tersimpan sebuah perjanjian yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
Keesokan harinya, Revana tidak masuk kerja. Pikirannya hanya tertuju pada ayahnya yang sedang menjalani operasi. Ia menemani ibunya di ruang tunggu rumah sakit, menunggu dengan cemas setiap detik yang berlalu.
Di kantor, Adrian merasa gelisah. Ia terbiasa dengan kehadiran Revana yang selalu sigap membantu segala urusannya. Tanpa Revana, semua terasa sedikit kacau. Jadwal rapat berantakan, dokumen penting sulit ditemukan, dan telepon berdering tanpa henti.
Adrian mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi bayangan Revana terus menghantuinya. Ia teringat senyum manis gadis itu, suaranya yang lembut, dan perhatiannya yang tulus.
Tiba-tiba, Adrian menyadari sesuatu. Ternyata tanpa ia sadari selama ini, ia terlalu bergantung pada Revana. Ia tidak pernah benar-benar memperhatikan betapa pentingnya peran sekretarisnya itu.
Adrian menghela napas panjang. Ia merasa bersalah karena telah memanfaatkan Revana. Ia seharusnya memperlakukan gadis itu dengan lebih baik, bukan hanya sebagai seorang bawahan, tetapi juga sebagai seorang teman.
"Sial! Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Revana benar-benar sangat berarti bagiku." gumamnya dalam hati.
Adrian meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Revana. Namun, panggilannya tidak dijawab. Ia semakin merasa khawatir.
Adrian memutuskan untuk pergi ke rumah sakit setelah jam kerja selesai. Ia ingin melihat keadaan ayah Revana dan memberikan dukungan kepada gadis itu.
Di perjalanan, Adrian terus memikirkan Revana. Ia bertanya-tanya, apakah gadis itu menyesal telah menerima syaratnya? Apakah Revana membencinya karena telah memanfaatkannya?
Adrian merasa takut kehilangan Revana. Ia tidak ingin gadis itu menjauh darinya. Ia ingin memperbaiki kesalahannya dan membuktikan bahwa ia benar-benar peduli pada Revana.
Sesampainya di rumah sakit, Adrian mencari tahu ruang tunggu keluarga pasien yang sedang dioperasi. Ia melihat ibu Revana sedang duduk seorang diri dengan wajah sedih.
Dengan hati-hati, Adrian mendekat dan memberi sapaan. "Selamat malam, Bu. Maaf mengganggu. Saya Adrian, atasan Revana di kantor."
Ibu Revana terkejut, menatap Adrian dengan bingung. "Oh, Bapak Adrian. Silakan duduk, Pak."
Adrian duduk di samping ibu Revana. Ia merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.
"Bagaimana keadaan Bapak, Bu?" tanya Adrian dengan nada khawatir.
Ibu Revana menghela napas. "Operasinya masih berlangsung, Pak. Kami masih menunggu kabar dari dokter."
Adrian mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan kecemasan yang dirasakan oleh ibu Revana.
"Saya berharap semuanya berjalan lancar, Bu. Saya akan terus berdoa untuk kesembuhan Bapak." ucap Adrian tulus.
Ibu Revana tersenyum tipis. "Terima kasih banyak, Pak Adrian. Bapak baik sekali sudah mau datang menjenguk."
"Saya datang ke sini bukan hanya untuk menjenguk, Bu. Saya juga ingin memberikan dukungan kepada Revana. Dia adalah gadis yang baik dan kuat. Saya sangat menghargainya."
Ibu Revana menatap Adrian dengan tatapan penuh rasa terimakasih, ia tak menyangka Revana mempunyai Pimpinan yang sangat peduli.
"Terimakasih Pak Adrian, sudah perhatian dengan Revana." ujar Bu Mira dengan nada hati-hati
Adrian terkejut mendengar perkataan ibu Revana. yang tidak menaruh curiga dengan kedatangannya.
"Sudah menjadi tugas Saya Bu, Revana adalah sekretaris terbaik Saya."
Ibu Revana tersenyum lega mendengar janji Adrian. Ia berharap, pria itu benar-benar bisa dipercaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!