NovelToon NovelToon

Kaisar: Dewa Immortal

Bab 1 – Anak Desa yang Diremehkan

Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.

Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.

“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.

Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.

“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”

Nenek Lan hanya mendengus, meski senyum samar terlukis di wajahnya. Anak itu memang suka bicara aneh, tapi ulet.

Namun, belum sempat Xiao Feng sampai rumah, beberapa anak lelaki lain menghadangnya. Mereka berpakaian lebih rapi, wajahnya bersih, dan salah satunya membawa kipas kecil seolah dirinya bangsawan. Dialah Li Shen, anak kepala desa yang terkenal sombong.

“Heh, lihat siapa yang datang. Xiao Feng si pemikul kayu,” ejek Li Shen dengan suara lantang. Anak-anak lain terkekeh, melingkar menghalangi jalan.

“Bagaimana rasanya hidup miskin, hah? Kau bahkan tidak punya ayah ibu yang bisa menyekolahkanmu ke kota!” Li Shen mendekat, menepuk-nepuk kayu bakar di pundak Xiao Feng. “Tapi aku dengar, kau bilang mau jadi kultivator? Hahaha! Kau? Menjadi kuat? Bahkan ayam betina pun lebih gagah darimu!”

Tawa meledak. Salah satu anak bahkan menirukan gerakan ayam, mengepakkan tangan sambil berkokok.

Xiao Feng terdiam sejenak. Bahunya gemetar, bukan karena takut, melainkan menahan amarah. Ia menunduk, memungut kembali kayu bakar yang mulai jatuh, lalu berdiri tegak.

“Aku memang miskin,” katanya lirih, namun tajam. “Aku memang tidak punya apa-apa. Tapi suatu hari, aku akan berdiri lebih tinggi dari langit itu sendiri.”

Sejenak, suasana terdiam. Kata-kata itu terlalu berani, terlalu besar untuk mulut seorang bocah desa.

Lalu Li Shen meledak tertawa, terbahak sampai matanya berair. “Hahaha! Kau mendengar itu? Menantang langit? Bocah kotor ini pikir dirinya siapa? Kaisar? Dewa?!”

Anak-anak lain ikut terbahak, mendorong Xiao Feng hingga jatuh. Kayu bakar berhamburan ke tanah, sebagian menciprati lumpur.

Xiao Feng terbaring sesaat, menatap langit senja yang mulai gelap. Tawa ejekan menusuk telinganya, rasa sakit menjalar di lengan yang tergores. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang menyala.

Ia bangkit perlahan, membersihkan lumpur dari wajahnya. Bibirnya tersenyum tipis, bukan senyum bahagia, melainkan keyakinan yang anehnya membuat Li Shen sejenak terdiam.

“Aku akan menantang langit,” ulang Xiao Feng. “Kau boleh menertawakanku sekarang… tapi suatu hari, kau akan mendongak untuk melihatku.”

Mata kecilnya berkilau bagaikan bara api di malam gelap.

Li Shen mendengus, merasa terancam tanpa sebab. “Dasar orang gila. Ayo kita pergi, jangan buang waktu dengan pengemis.”

Mereka pergi sambil terus menertawakan Xiao Feng. Namun, tawa itu tak mampu memadamkan api kecil yang baru saja lahir di hati bocah itu.

Malam tiba. Di bawah cahaya bulan pucat, Xiao Feng duduk sendirian di tepi sungai desa. Arus air berkilau, memantulkan bayangan dirinya yang kurus dan penuh luka. Di tangannya, ia menggenggam sebuah batu giok hijau—satu-satunya peninggalan ayahnya yang menghilang entah kemana.

Ia menatap batu itu lama, lalu berbisik, “Ayah, Ibu… aku tidak tahu di mana kalian. Tapi aku akan jadi kuat. Aku akan membuktikan pada semua orang… bahwa bahkan bocah miskin pun bisa menantang langit.”

Saat kata-kata itu terucap, batu giok bergetar lembut, memancarkan cahaya samar seolah menjawab sumpahnya.

Xiao Feng tertegun. Ia menggenggamnya lebih erat, hatinya berdebar. Ia tidak tahu, sumpah kecilnya malam itu akan menjadi langkah pertama di jalan panjang penuh darah, air mata, persahabatan, cinta, pengkhianatan, dan peperangan yang mengguncang dunia

Bab 2 – Pertemuan dengan Guru Misterius

Hening malam di Desa Qinghe terpecah oleh suara serangga dan aliran sungai yang berkilau diterpa bulan pucat. Xiao Feng masih duduk di tepi sungai, memeluk batu giok hijau yang terus bergetar samar. Ada rasa hangat menjalari tangannya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

“Aneh… mengapa batu ini bereaksi malam ini?” gumamnya.

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, kabut tipis dari sungai perlahan menebal, mengalir naik seperti tirai putih. Udara menjadi dingin menusuk tulang. Xiao Feng merinding, menoleh ke sekeliling.

Lalu… suara langkah terdengar. Pelan, tapi jelas, seolah kaki yang menginjak bukan tanah, melainkan udara itu sendiri. Dari balik kabut, muncul siluet seorang pria tua.

Jubahnya panjang berwarna hitam kusam, tetapi setiap lipatannya berkilau samar, seperti menahan rahasia tak terucapkan. Rambutnya panjang, berwarna perak, terurai bebas. Sorot matanya tajam dan dalam, bagai menyimpan lautan bintang.

Xiao Feng terdiam. Kakinya ingin berlari, tetapi tubuhnya membeku.

Pria tua itu berhenti beberapa langkah di depannya, menatapnya dengan tatapan yang membuat Xiao Feng merasa seolah dirinya telanjang, semua rahasia hatinya terbuka.

“Anak kecil,” suara pria itu dalam dan tenang, “apa yang baru saja kau ucapkan?”

Xiao Feng menelan ludah. Tangannya gemetar memegang giok.

“A-aku… aku hanya berjanji pada diriku sendiri. Bahwa suatu hari, aku akan menantang langit.”

Kabut bergolak pelan, seolah bereaksi pada kata-kata itu.

Pria tua itu mendengus ringan, lalu tersenyum samar. “Hah… sudah lama aku tidak mendengar kalimat penuh kesombongan seperti itu. Anak sepertimu biasanya menyerah pada dunia sebelum berani bermimpi.”

Xiao Feng menunduk, tapi matanya tetap bersinar. “Aku tahu aku lemah. Aku tahu aku hanya anak miskin yang diremehkan semua orang. Tapi… aku tidak ingin mati begitu saja tanpa arti. Kalau aku punya kesempatan sekecil apapun… aku ingin mencobanya.”

Pria tua itu terdiam, lalu mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya, muncul api biru kecil, berkilat dingin.

“Kalau begitu, tahan ini.”

Api biru meluncur, menempel di dada Xiao Feng.

“Uwahh!” Xiao Feng menjerit. Rasa sakit menjalar, seperti ribuan jarum menembus tubuhnya sekaligus. Ia terjatuh, berguling di tanah, menggigit bibirnya hingga berdarah.

“Rasa sakit ini bukan apa-apa dibanding apa yang menantimu,” suara pria tua itu dingin. “Kalau kau tak sanggup menahan ini, lupakan mimpimu. Tetaplah jadi anak desa, menikah, bertani, dan mati tanpa jejak.”

Xiao Feng menggigil. Air matanya jatuh, tubuhnya gemetar hebat. Tapi di balik itu, ia menggenggam tanah keras dengan kukunya, darah bercampur lumpur.

“Aku… tidak akan menyerah…”

Ia berusaha bangkit, meski lututnya goyah. Rasa sakit mengiris daging, tapi sorot matanya menyala.

“Bahkan kalau tubuhku hancur… aku tidak akan menyerah…!”

Pria tua itu terdiam sejenak. Api biru pun perlahan padam, meninggalkan tubuh Xiao Feng yang terkulai, napasnya terengah-engah.

Senyum samar terlukis di wajah tua itu. “Bagus. Api tekadmu nyata, bukan sekadar kata-kata.”

Pria itu lalu menepuk udara, dan kabut pun surut seolah tunduk padanya. Ia menatap Xiao Feng yang setengah pingsan.

“Namaku adalah Wu Zhen. Aku pernah berjalan di sembilan langit, melihat naik turunnya ratusan sekte, dan menyaksikan darah dewa tumpah ke bumi. Tapi semua itu… hanya bayangan di masa lalu. Sekarang aku hanya seorang pengembara.”

Xiao Feng terbelalak. Nama itu asing baginya, tapi aura yang terpancar jelas bukan milik manusia biasa.

“Mulai malam ini,” lanjut Wu Zhen, “aku akan menguji apakah kau layak berjalan di jalan kultivasi. Jangan kira kau akan mendapat kemewahan. Jalan ini adalah jalan darah, penuh pengkhianatan, penderitaan, bahkan kematian.”

Xiao Feng menarik napas dalam, meski tubuhnya masih sakit.

“Kalau itu jalannya… aku tetap akan melangkah.”

Wu Zhen mengangguk tipis. “Baiklah. Maka mulai besok, kau akan belajar mengendalikan napasmu. Kau akan memelihara tubuhmu, menumbuhkan dasar yang kokoh. Batu giok itu—” ia menatap benda di tangan Xiao Feng, “—adalah kunci. Warisan keluargamu lebih besar daripada yang kau bayangkan.”

Xiao Feng menatap giok hijau itu dengan mata terbelalak.

“Apa maksud Guru?”

Wu Zhen tersenyum samar, tapi tidak menjawab. “Semua akan terungkap pada waktunya.”

Wu Zhen mengangkat tangannya, menyalurkan sedikit energi ke tubuh Xiao Feng. Rasa hangat mengalir, menenangkan rasa sakitnya.

“Tidurlah. Esok pagi, jalan barumu dimulai.”

Xiao Feng terkulai, matanya perlahan tertutup. Namun sebelum sepenuhnya pingsan, ia sempat mendengar suara Wu Zhen berbisik:

“Ingat, Xiao Feng. Menantang langit berarti menantang takdir itu sendiri. Dan takdir… tidak suka diganggu.”

Fajar menyingsing. Desa Qinghe bangun seperti biasa, orang-orang berangkat ke ladang, ayam berkokok, anak-anak bermain. Tak seorang pun tahu, di tepi sungai malam itu, sebuah pertemuan telah mengubah jalannya dunia.

Seorang bocah miskin telah bertemu guru yang kelak akan menuntunnya ke jalan darah dan kejayaan.

Bab 3 – Ujian Pertama dalam Kultivasi

Matahari pagi muncul perlahan dari balik gunung, menyinari Desa Qinghe dengan cahaya hangat. Suara ayam berkokok bercampur dengan derap langkah para petani yang berangkat ke ladang. Bagi mereka, hari ini sama seperti kemarin, tidak ada yang istimewa.

Namun, bagi seorang bocah bernama Xiao Feng, hari ini adalah awal dari segalanya.

Ia bangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya masih pegal dan penuh luka sisa ujian semalam. Tetapi matanya berkilat penuh semangat. Batu giok hijau peninggalan ayahnya ia genggam erat.

“Mulai hari ini, aku benar-benar akan berjalan di jalan kultivasi…” gumamnya lirih.

Di tepi sungai, sosok Wu Zhen sudah menunggu. Duduk bersila di atas batu, tubuh kurus tuanya tampak bagaikan gunung, tegak dan tak tergoyahkan.

“Kau datang,” kata Wu Zhen tanpa membuka mata. “Bagus. Mari kita lihat apakah kau benar-benar layak memulai.”

Xiao Feng menunduk penuh hormat. “Guru, apa yang harus kulakukan?”

Wu Zhen membuka matanya perlahan, menatap murid kecilnya.

“Langkah pertama kultivasi adalah mengendalikan napas dan menyatukan tubuh dengan alam. Kedengarannya mudah, tapi di sinilah banyak orang gagal. Karena hanya mereka yang tekun dan sabar bisa melangkah lebih jauh.”

Ia menunjuk ke arah sungai. “Masuklah ke air itu. Duduk bersila. Jangan bergerak sampai aku bilang berhenti.”

Xiao Feng menatap sungai yang berarus deras, dinginnya menusuk tulang bahkan dari tepi. Ia menggigil, tetapi tidak mengeluh. Dengan langkah mantap, ia masuk ke dalam air, duduk bersila di tengah arus yang mencapai dadanya.

“Sekarang tarik napas perlahan, biarkan tubuhmu menyatu dengan aliran sungai. Rasakan energi di sekitarmu.”

Air sungai begitu dingin hingga membuat tubuh Xiao Feng bergetar hebat. Setiap kali ia mencoba menarik napas panjang, arus deras membuat tubuhnya oleng. Giginya gemeretuk, tangannya membiru.

Namun ia mengingat kata-kata Wu Zhen: “Jangan bergerak sampai aku bilang berhenti.”

Waktu berjalan. Sepuluh menit terasa bagai sejam. Tubuh kecilnya semakin kaku, wajahnya pucat. Tapi ia tetap bertahan.

“Aku… tidak boleh menyerah…” pikirnya. “Kalau aku menyerah di sini, bagaimana aku bisa menantang langit?”

Wu Zhen memperhatikan dari jauh. Matanya menyipit, namun ada sedikit senyum. “Anak ini keras kepala… jauh lebih keras kepala daripada murid-murid bangsawan yang pernah kulatih dulu.”

Tepat ketika tubuhnya hampir mati rasa, Xiao Feng tiba-tiba merasakan sesuatu. Arus sungai yang tadinya hanya dingin, kini seperti berirama. Ia bisa merasakan detak aliran air, seolah menyatu dengan napasnya.

Hembusan angin di sekelilingnya juga terasa berbeda, seakan mengelus kulitnya lembut. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dunia ini… hidup.

Matanya terpejam, napasnya melambat. Sebuah aliran hangat samar masuk melalui pori-porinya, berputar di dalam tubuhnya. Itu bukan sekadar udara—itu adalah Qi, energi kehidupan yang mengalir di alam semesta.

“Ini… Qi?” gumamnya lirih.

Wu Zhen mengangguk pelan. “Bagus. Kau berhasil merasakannya. Terus pertahankan, jangan lepaskan.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari kejauhan, beberapa anak desa melihat Xiao Feng duduk di sungai.

“Lihat, itu Xiao Feng!” seru salah satunya. “Apa yang dia lakukan? Duduk di air? Hahaha, dia benar-benar gila!”

Li Shen, yang ikut bersama mereka, menyipitkan mata. “Huh, dasar pengemis. Dia pikir dirinya kultivator? Dasar bodoh. Ayo kita lempari dia, lihat apakah dia bisa tetap duduk seperti patung!”

Mereka mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah Xiao Feng. Batu itu menghantam bahunya, lalu satu lagi mengenai kepalanya. Darah mengalir di pelipisnya.

Tubuh Xiao Feng berguncang, hampir kehilangan fokus. Namun ia menggertakkan giginya, menahan rasa sakit.

“Tidak… aku tidak boleh goyah… Kalau aku menyerah sekarang, semua akan sia-sia…”

Qi yang baru saja mengalir dalam tubuhnya bergetar, hampir pecah. Tetapi di dalam hatinya, api tekad menyala lebih kuat.

Wu Zhen berdiri, mengibaskan tangannya. Angin kencang bertiup, membuat anak-anak desa terpelanting mundur.

“Pergi dari sini, bocah-bocah bodoh!” bentaknya. Tatapan tajamnya membuat mereka lari terbirit-birit.

Ia lalu menoleh kembali pada Xiao Feng. Anak itu masih duduk tegak, meski darah menetes dari pelipisnya ke sungai.

Wu Zhen mengangguk puas.

“Bagus. Bahkan saat diganggu, kau tidak menyerah. Inilah yang membedakan calon kultivator sejati dari pengecut.”

Akhirnya, ia mengibaskan tangannya sekali lagi. Arus sungai mereda, dan Xiao Feng perlahan membuka matanya. Wajahnya pucat, tetapi sorot matanya tajam, berbeda dari sebelumnya.

“Guru… aku berhasil merasakannya… Qi itu… masuk ke dalam tubuhku…” katanya dengan suara bergetar.

Wu Zhen tersenyum samar. “Ya. Itu adalah benih pertamamu. Hari ini kau resmi melangkah ke jalan kultivasi.”

Xiao Feng keluar dari sungai dengan langkah goyah. Air menetes dari tubuhnya, bercampur dengan darah di pelipisnya. Tapi senyumnya merekah, penuh kepuasan.

Ia menatap langit biru yang perlahan bersih dari kabut pagi.

“Langit… kau boleh tinggi. Kau boleh dingin. Tapi mulai hari ini, aku akan mengejarmu.”

Wu Zhen berdiri di belakangnya, menatap dengan sorot penuh arti.

“Anak ini… benar-benar akan jadi badai di masa depan.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!