Hari selasa pukul 7,30 ketika dunia berputar pada porosnya.
Semua di mulai dengan awal kata- "Siena, kau di mana..."
Entah kapan Kenzi tersadar dari tidur panjangnya. Saat ia terbangun, yang di rasakan hanyalah perasaan seperti tendangan di ulu hatinya.
"Kau sudah sadar?" Suara wanita muda menyapa di samping ranjang. Kenzi menoleh ke arah wanita berambut panjang, tengah tersenyum menatapnya.
"Kau siapa?" tanya Kenzi, lalu ia bangun dan duduk di atas tempat tidur.
"Namaku Laila wang, panggil aku Laila. Aku menemukanmu terbawa arus ombak laut."
"Laut?" Kenzi tercenung sesaat. "Jiro? Miko? apa kau menemukan mereka?" tanya Kenzi balik.
"Aku tidak tahu," Laila mengangkat bahunya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkanku." Kenzi turun dari atas tempat tidur, namun apa yang terjadi. Kakinya sama sekali tidak bisa di gerakkan.
"Apa yang terjadi?" Kenzi berkali kali menggerakkan kakinya, tapi usahanya sia sia.
"Kau tenang saja, ini bukan masalah besar. Dokter bilang, butuh beberapa hari atau minggu supaya kakimu bisa di gerakkan lagi." wanita itu menyentuh bahu Kenzi dan merebahkannya kembali di atas ranjang.
"Tapi aku harus mencari anak istriku." Kenzi tetap bersikeras.
"Kau tenanglah, dengan kondisi seperti ini. Kau tidak bisa melakukan apa apa." Laila terus membujuk Kenzi untuk beristirahat sampai kondisinya pulih kembali.
"Aku pergi dulu sebentar, nanti kukembali lagi." Laila tersenyum menatap wajah Kenzi cukup lama. Lalu ia melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan
***
Setelah kondisi Kenzi pulih, ia di izinkan pulang. Laila membawa Kenzi ke rumahnya. Namun baru saja sehari, Kenzi meminta Laila untuk mengantarkannya ke rumah Adelfo. Ia berpikir jika Siena dan Ryu ada di rumah Adelfo. Namun apa yang Kenzi lihat tidak seperti yang ia bayangkan. Rumah Adelfo sudah hancur, rata dengan tanah. Kenzi sangat terpukul, lalu ia meminta Laila untuk mencari tahu keberadaan Siena dan putranya. Namun sayang, usahanya tidak membuahkan hasil. Laila coba mencari tahu lewat kepolisian dan sejumlah media, hasil yang di dapatkan oleh Laila adalah. Siena dan keluarganya di nyatakan mati saat rumah Adelfo kebakaran dan di ledakkan oleh orang tak di kenal.
Informasi yang di dapatkan Laila tidak membuat Kenzi percaya begitu saja. Ia terus berusaha meminta Laila membantunya. Namun hasilnya tetap nihil.
Dalam keterpurukan, kesedihan. Laila berusaha keras untuk membangun kembali kepercayaan Kenzi dan memberikannya semangat hidup.
Bulan berganti, tahunpun berlalu.
Mata terpejam hanya untuk menghilangkan rasa cemas dan semua kenangan yang enggan beranjak dari pikiran bagaikan candu nikotin bagi penikmatnya. Kemana kaki di hentakkan, diam seribu bahasa sejauh mana berlari dan sembunyi, semua kenangan itu setiap detik menyapa bagaikan kekasih 'apa kabar'
Keputusan harus di ambil, pilihan harus secepatnya di tentukan. Meski satu pilihan akan membawa pilihan lain dalam hidup.
Ketika semua telah hilang dan pergi terampas oleh sang waktu yang tak pernah berhenti berjalan. Hingga rambut memutih oleh sang waktu.
"Inikah hidupku?"
Berjalan sendiri, semua hinaan dan rasa sepi semakin mencengkram relung hati yang dalam. Mungkin hidup masih berharga untuk sekedar mengakhirinya.
"Di mana kau Siena, sayang..."
"Di mana putraku..."
"Aku rindu kalian, sangat merindukan kalian. Aku berharap, suatu hari nanti kita bisa berkumpul lagi, meski dunia kita telah berbeda. Meski takdir terus mempermainkan hidupku. Aku tidak akan berhenti berharap."
Harapan.
Harapan.
Usia semakin dewasa.
Pria itu terus melanjutkan hidupnya, berjuang, berharap, meski kenyataan berkali kali menghempaskan semua harapannya untuk bertemu lagi dengan keluarganya.
17 tahun berlalu, tidak ada yang berubah. Semua masih tetap sama. Luka, duka, kenangan masih tersimpan rapi di relung hatinya yang paling dalam.
Penyesalan, rasa bersalah dan rasa rindu, semua kenangan yang tak lagi bisa di ucapkan dengan kata.
Kesepian, membawa luka dan kenangan masuk ke dalam sanubari, kenangan yang berusaha untuk di lupakan tapi sekaligus di inginkan.
17 tahun berlalu sudah, masih tidak ada yang berubah. Perasaan yang mencoba untuk di kuatkan dan berpijak pada satu harapan, kembali runtuh oleh kenyataan.
Minggu pagi.
Seorang gadis berdiri memasang kuda kuda, kakinya di buka lebar lebar. Kedua tangan ia sejajarkan di pinggangnya. Mata terpejam menarik napas dalam dalam lalu ia hembuskan perlahan. Ia fokus pada latihannya, tapi telinganya mampu mendengar pergerakan yang halus. Dengan sigap ia memutar tubuhnya, tangan kiri menangkis serangan mendadak dari arah belakang.
"Tap!" matanya terbuka lebar melihat seorang wanita berumur namun masih segar bugar, matanya sipit tertawa lebar.
"Bagus," ucapnya lalu menarik tangannya kembali, namun detik berikutnya kaki kanannya ia putar menerjang perut gadis remaja itu.
"Hap!"
"Bukk!! gadis remaja itu terjungkal lalu ambruk di tanah.
" Awww, sakit Nek!" pekiknya sambil mengusap bokongnya sendiri.
"Hahahaha! wanita tua itu tertawa terbahak bahak berhasil mengelabui gadis remaja itu.
" Sial! Nenek tua tidak tahu diri," gerutu gadis itu pelan. Namun bisa terdengar jelas oleh wanita yang langsung menjewer kuping si gadis.
"Kau bilang apa? cucu kurang ajar!" serunya.
"Ampun Nek, ampun!"
"Angel, kalau kau lemah. Bagaimana kau bisa melawan teman teman sekolahmu yang sering membulymu?" ucap si wanita itu menurunkan tangannya.
"Iya Nenek bawel," sungut Angel mengusap usap kupingnya yang merah.
"Sekarang kau perhatikan di sana!" tunjuk wanita itu pada deretan botol kosong di depan mereka. "Sekarang hancurkan botol itu tepat sasaran."
Angel menganggukkan kepalanya, ia mengambil senjata api di tangan wanita itu. Lalu mengarahkan senjata api pada botol botol yang berjajar. Matanya yang kanan memicing mengincar botol itu supaya tepat sasaran.
"Dor!
"Dor!
"Dor!
Satu persatu botol itu hancur tanpa sisa. Angel tersenyum, bibirnya ia majukan meniup ujung senjata api.
"Fuhh!!
" Plok Plok Plok!!"
"Bagus Nak, sekarang kau istirahat dulu. Nanti kau lanjutkan lagi latihan menembakmu. Selagi kau libur sekolah, aku hendak pergi ke suatu tempat. Kau di rumah jaga Ibumu." Wanita itu menepuk pundak Angel sesaat, ia bangga pada gadis itu, mudah untuk memahami apapun yang di ajarkannya. Sejak bayi, ia yang merawat dan membesarkan penuh dengan rasa sayang.
"Nyonya Laura!" Laura menoleh ke belakang, nampak seorang pria sedang berjalan mendekatinya.
"Yuan."
"Mobil sudah di siapkan Nyonya. Kita berangkat sekarang." Yuan membungkukkan badannya sesaat.
"Baik." Laura melangkahkan kakinya sejajar dengan Yuan meninggalkan Angel.
"Nenek, sok sibuk," ucapnya pelan. Lalu gadis itu melangkahkan kakinya menuju rumah.
Setiap kali bangun tidur atau sepulang sekolah maupun bermain dan latihan. Yang pertama kali gadis itu masuki adalah ruangan Ibunya. Meski sudah 17 tahun, sejak melahirkan. Ibunya berhasil meraih kesadarannya. Namun sayang, wanita itu tidak mampu melakukan apa apa selain duduk di kursi roda. Bahkan ia tidak pernah bersuara sama sekali sejak 17 tahun lalu.
"Ibu.." gumam Angel berdiri di ambang pintu menatap Ibunya yang duduk di kursi roda dengan tatapan kosong tak berjiwa lagi.
Meski Laura menceritakan kalau dia itu Ibunya, namun Angel tidak pernah mendengar wanita itu menyebut namanya atau membelai manja dirinya. Perlahan gadis itu berjalan mendekati wanita itu dan jongkok di hadapannya. Tangannya menggenggam erat wanita itu tanpa melihat ke arah Angel.
"Ibu." Angel menundukkan kepalanya sesaat, tersenyum tipis. Kembali ia tengadahkan wajahnya menatap wanita itu.
"Aku tidak tahu di mana Ayah, Nenek tidak pernah tahu. Aku juga tidak tahu, apa yang telah menimpamu Ibu." Angela kembali menundukkan kepala cukup lama dengan terus menggenggam tangan wanita itu.
Sebagai anak remaja, kadang ia iri melihat anak anak seumurannya berjalan bersama, menikmati waktu libur bersama orang tuanya. Tapi tidak bagi Angela, ia tidak tahu siapa ayahnya, mengapa Ibunya seperti itu. Namun ia tidak pernah merutuki ketidakberuntungannya. Gadis itu dengan penuh kasih sayang setiap ada waktu luang akan selalu bermain dan mengajak ibunya bicara meski tidak ada respon sama sekali.
Angela kembali tengadahkan wajahnya menatap dalam wanita itu. "Apapun yang terjadi padamu, aku tahu pasti sulit. Sadarlah Ibu, aku ingin tahu seperti apa wajah Ayahku, apakah dia pria hebat?" ucapnya tersenyum menatapnya. "Apakah dia masih hidup?"
Angel menghela napas panjang, lalu ia berdiri dan mengecup kening wanita itu cukup lama. "Aku sayang Ibu, sangat menyayangimu."
Gadis itu kembali berdiri tegap, menatap wajah Ibunya yang hanya diam. Perlahan kakinya melangkah menuju pintu kamar. Di ambang pintu ia berhenti dan menoleh ke arah Ibunya. Tangannya menyeka air mata di sudut matanya, lalu menundukkan kepala sesaat.
"Ibu, apa yang sebenarnya terjadi padamu."
***
Sore.
Angel duduk di kursi meja makan, menatap makanan yang sudah tersaji, lalu beralih menatap Ibunya yang diam menatap kosong, entah apa yang di lihatnya.
"Makanlah.." Laura duduk di kursi, lalu menyodorkan mangkok kecil berisi nasi ke hadapan Angel.
Gadis itu mengalihkan pandangannya pada Laura yang diam menatap wanita itu.
"Nek, boleh aku bertanya?"
Laura mengalihkan pandangannya, menarik napas dalam. "Tanyakanlah."
"Siapa nama Ibuku?" tanya Angel.
17 tahun berlalu, namun ia tidak pernah tahu siapa nama Ibunya. Tiap kali ia bertanya pada Laura. Jawabannya selalu sama, 'tunggu usiamu dewasa'
"Nanti kalau kau-?"
"Aku sudah dewasa, Nek." Potong Angel.
Angel berdiri, lalu berpindah tempat. Duduk di sebelah Laura. "Kau Nenekku, tapi mengapa semua kau sembunyikan dariku." Angel memegang tangan Laura, menatap wanita tua itu penuh harap.
"Aku bukan Nenekmu."
"Maksudmu?" tanya Angel belum mengerti.
Laura berdiri, lalu ia berjalan mendekati sebuah lemari yang selalu di kuncinya. Lalu ia membuka lemari itu, mengambil sebuah kotak berukuran sedang.
Laura kembali duduk di sebelah Angel, meletakkan kotak itu di atas meja.
"Hanya ini yang kupunya saat aku membantu Ibumu melahirkanmu." Laura membuka kotak itu, mengeluarkan baju terakhir yang di gunakan Ibunya Angel sewaktu hendak bunuh diri di atas jembatan.
"Dan ini, sebuah sapu tangan yang tertulis nama Siena." Laura memberikan saputangan itu pada Angel. "Selebihnya aku tidak tahu apa apa." Laura menundukkan kepalanya.
" Siena.." Angel membaca sebuah tulisan yang tertera di saputangan berwarna putih itu. "Nama yang cantik, pasti wajahmu juga cantik sewaktu muda." Angela berdiri, mendekati Siena yang sama sekali tidak ada perubahan sejak 17 tahun yang lalu. Angel memeluk erat Siena dari belakang.
"Aku tidak tahu apa yang telah menimpamu, Ibu. Tapi percayalah, aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di mana Ayah, siapa Ayah. Aku berjanji akan mencari tahunya." Angela tersenyum getir, ia mencium puncak kepala Siena dengan dalam.
"Maafkan aku, Angel. Kau masih terlalu muda untuk mengetahui ini semua. Suatu hari nanti, aku akan mengatakannya padamu," ucap Laura dalam hati. Selama ia merawat bayi Siena, selama itupula ia mencari tahu tentang Siena. Dan kebenaran yang Laura dapatkan, membuat wanita itu geram. Dan dia mengajari Angel bela diri dan mahir menggunakan senjata api. Untuk membalaskan semua perbuatan mereka terhadap Siena.
Pagi ini, Angel sudah mulai masuk sekolah. Ia berdiri di depan cermin menatap pantulan wajahnya lalu tersenyum sembari mengikat rambutnya yang panjang sembarangan.
Setelah itu seperti biasa, ia akan mendatangi kamar Siena. Dengan sangat perlahan ia membuka pintu kamar, pertama kali di lihat. Siena tengah duduk di kursi roda menghadap jendela yang terbuka menatap kosong. Angel berjalan menghampiri Siena. Badannya sedikit membungkuk, meneluk ibunya dengan erat dari arah belakang.
"Pagi Ibu.."
"Pagi sayang.." ucapnya tersenyum menatap ke arah jendela.
Seperti biasa ia akan bicara sendiri. Dia yang menyapa, dia juga yang menjawab.
"Hari ini aku pulang cepat, aku mau menemani Ibu bermain."
"Iya sayang, Ibu tunggu."
Kembali ia tersenyum lalu mencium puncak kepala Siena dengan dalam.
"Aku berangkat Bu.."
Angel kembali berdiri tegap menatap Siena sesaat, lalu kembali melangkahkan kakinya menuju pintu. Sebelum ia menutup pintu kamar, ia kembali menoleh ke arah Siena yang masih tetap sama diam tak bergeming.
"Berangkatlah Nak, biar Ibumu bersamaku."
Angel menoleh ke arah Laura yang sudah berdiri di belakangnya. "Iya Nek."
Laura menghela napas panjang menatap punggung Angel hingga hilang dari pandangan, kemudian ia melirik ke arah Siena sesaat sebelum menutup pintunya kembali.
***
Sepulang sekolah Angel bersama sahabatnya mengerjakan tugas bersama di rumah Kanya, dua jam berlalu, setelah tugasnya selesai. Angel dan Kyo berpamitan pulang.
"Hari sudah sore, ibuku pasti marah padaku," gerutu Angel, seolah olah Ibunya bersikap sama seperti layaknya Ibu orang lain.
"Hhh, lama lama kau gila sendiri." Kyo menatap horor Angela. Ia sahabat satu satunya Angel.
Angel hanya membalas kata kata Kyo dengan tertawa kecil sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ayo naik!"
Angela naik ke atas motor milik Kyo, lalu melambaikan tangan ke arah Kanya.
"Bye!"
Di tengah perjalanan, Kyo menghentikan motornya menatap lurus ke depan.
"Sepertinya kita salah jalan," ucap Kyo pelan.
"Kebiasaan!" sungut Angela menepuk pundak kyo cukup keras.
"Apa kau tidak lihat?" Kyo melirik sesaat ke arah Angela.
"Apa?" Angela mengarahkan pandangannya ke depan. Ia melihat lebih dari sepuluh pria dengan membawa macam macam senjata di tangannya. Tengah memukuli seorang pria yang sudah tidak berdaya.
"Yakuza.." gumam Angel pelan. Siapa yang tidak kenal gangster yang paling di takuti di kota itu.
"Sebaiknya kita pergi dari sini sebelum mereka melihat kita." Kyo memutar arah motornya tanpa di nyalakan lebih dulu supaya mereka tidak mendengar. Namun Angela melarang Kyo untuk pergi.
"Kita harus menolong pria itu." Angela memaksa turun dari atas motor.
"Apa kau sudah gila? kau mau bunuh diri?" sungut Kyo ketakutan.
"Lebih gila lagi, kalau aku membiarkan pria cacat itu mati sia sia." Angel melepas helmnya lalu di berikan pada Kyo.
"Angel!" seru Kyo menatap sahabatnya yang berlalu begitu saja.
"Apesss!" ucapnya lagi sambil mengusap wajahnya kasar. Mau tidak mau, akhirnya ia ikut turun dari atas motor mengikuti langkah Angel.
"Woy!" pekik Angela berdiri di belakang mereka.
Mendengar teriakan Angel yang lantang, membuat mereka berhenti memukuli pria cacat utu, lalu beralih menatap tajam Angela. Melihat seorang gadis remaja berdiri menantang mereka, membuat mereka tersenyum mencemooh.
"Kalian benar benar pengecut! bisa bisanya mengeroyok pria cacat itu!" tunjuk Angel ke arah pria cacat, wajahnya bengkak.
"Banyak bicara, pergi kau dari sini!" salah satu pria itu enggan meladeni gadis remaja seperti Angel.
"Kau pikir aku pengecut seperti kalian? enak saja! berani, ayo maju semuanya!" Angel tertawa lebar, tangannya terulur memainkan jari jemarinya ke arah mereka.
"Cari mati!" seru salah satu pria maju ke arah Angela, sembari mengayunkan balok kayu ke arah Angela.
"Angeeell!! pekik Kyo menutup wajahnya yang berdiri di belakang Angel.
" Tap! gadis itu menahan balok kayu pria itu lalu tangan kanannya meninju perut si pria tersebut berkali kali, hingga darah segar mengalir dari sudut bibirnya, kemudian ia memutar tangan si pria ke belakang dan menendang kakinya hingga terjatuh ke jalan aspal. Tangan Angel yang masih mencengkram tangan pria itu ia pukul pergelangan bahunya.
"Trekk! bunyi tulang patah bersamaan erangan dari mulutnya
" Aaaahhkk!"
"Buk!" gadis itu menerjang punggung pria itu hingga tersungkur ke jalan aspal. Kaki kananya ia naikkan ke punggung pria itu menekannya kuat kuat.
"Siapa lagi yang berani? maju!" seru Angel tertawa lebar menatap mereka semua.
"Rupanya kau tidak bisa di remehkan, gadis kecil!"
Kedua pria maju ke arah Angel. Mengayunkan besi berukuran sedang, lagi lagi Angel berhasil menghindari serangan mereka. Melihat temannya kewalahan menghadapi gadis itu, akhirnya mereka maju bersama sama mengeroyok Angela.
"Angel, awas!" seru Kyo memperhatikan jalannya pertarungan mereka, sesekali Kyo menggigit jarinya sendiri saat Angela tersudutkan.
"Angeell!" pekiknya lagi sembari meloncat loncat kecik, ia geregetan sekaligus was was melihat Angel di keroyok. Namun ia akan bertepuk tangan saat Angela berhasil melumpuhkannya, hingga tersisa satu orang.
"Horeer!" seru Kyo lagi melonjak kegirangan.
"Buk! Buk! Buk!
Pria tersebut terjungkal ke jalan aspal dengan mulut mengeluarkan darah segar.
" Pergi dari hadapanku, pengecut!"
"Buk!"
Angela menendang perut pria itu, hingga dia lari bersama kawan kawannya. Salah satu dari mereka sempat mengancam Angel.
"Kau akan menyesal gadis bodoh!"
"Weee!" Angela menjulurkan lidah pada pria itu. Lalu mengalihkan pandangannya pada pria cacat yang sudah tidak berdaya. Ia berlari ke arahnya dan membantunya untuk berdiri.
"Kakak tidak apa apa?" tanyanya menatap wajah pria itu yang bengkak, dari sudut bibirnya darah kental membasahi dagu dan pakaian yang serba putih.
"Tidak, terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap Pria itu.
"Hanya keberuntungan saja," sahut Angel.
"Kau mau kuantar pulang kak? atau ke rumah sakit? tawar Angela.
" Apakah kau bisa bawa mobil?" tanya pria itu.
"Tentu kak."
"Kalau kau tidak keberatan, tolong antarkan aku ke rumah." Pria itu melipat kedua tangannya menatap Angel.
"Tentu kak!" sahut Angel.
"Tidak bisa, kau harus pulang. Nanti Nyonya Laura khawatir!" Kyo tidak setuju dengan usul Angel.
"Kalau kau tidak mau ikut, ya pulang saja sana!" gerutu Angela sembari memapah tubuh pria itu masuk ke dalam mobil, akhirnya mau tidak mau Kyo mengikuti mobil yang di lajukan Angela dari belakang menggunakan motornya.
Sepanjang perjalanan, pria itu mengerang kesakitan. Angela hanya diam, sesekali melirik ke arah pria tersebut.
"Namamu siapa?" tanya pria itu.
"Angela." Angela tersenyum, kembali melirik sesaat ke arah pria itu.
"Kau sendiri?" tanya Angel balik.
"Ryu.."
"Ryu.." Angela mengulang nama itu. "Kau seorang Dokter?" Angela memperhatikan pakaian yang Ryu kenakan sesaat.
"Ya kau benar."
Angela kembali terdiam dan fokus ke jalan.
***
Tak lama, Angela telah sampai di halaman rumah yang berukuran sedang, baru saja gadis itu membantu memapah Ryu menuju rumah. Seorang wanita berlari menghampiri mereka.
"Ryu, apa yang terjadi?"
"Zoya, hanya masalah kecil," jawab Ryu. Kemudian wanita itu membantu Angela memapah Ryu masuk ke dalam rumah. Sementara Kyo hanya menunggu di luar rumah.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Zoya khawatir.
"Aku tidak tahu." Ryu mengusap darah yang sudah mengental di sudut bibirnya.
"Kau siapa?" tanya Zoya menatap ke arah Angel yang berdiri di sampingnya.
"Angel, kak" sahutnya tersenyum lebar.
"Terima kasih, kau telah membantunya."
Angela menganggukkan kepalanya, lalu ia berpamitan pulang dengan alasan Ibunya sudah menunggu.
"Syukurlah ada anak itu," Zoya duduk di samping Ryu menyeka darah di wajah Ryu.
"Biar aku yang melakukannya, aku bisa sendiri." Ryu memegang tangan Zoya, lalu merebut sapu tangan di tangannya.
"Ryu, kau tidak perlu seperti ini terus. Aku tidak keberatan." Zoya kembali merebut sapu tangan di tangan Ryu.
"Sampai kapan kau akan merawatku seperti ini? kau juga perlu bahagia seperti wanita pada umumnya, sudah waktunya kau pikirkan dirimu sendiri."
Zoya menarik napas dalam dalam, ia menatap Ryu dengan mata berkaca kaca.
"Aku sudah banyak kehilangan, Papa, Jiro, cintaku, apalagi yang tersisa?" Zoya kembali menundukkan kepalanya, setiap kali Ryu meminta Zoya untuk memulai hidup yang baru dengan pria lain dan lupakan Jiro. Membuat hati Zoya semakin teriris.
"Maafkan aku." Ryu memeluk Zoya cukup lama. "Aku sudah tidak punya siapa siapa lagi, aku akui. Dengan adanya kau, setidaknya mengobati hatiku, kerinduanku pada Ayah dan Ibu," ucap Ryu terisak.
"Jika bisa memilih, mungkin dari awal aku meminta pada Tuhan untuk tidak di lahirkan jika hanya untuk menanggung derita."
"Ssst, jangan bicara seperti itu. Kita tidak bisa memilih terlahir dari orang tua yang mana dan seperti apa." Zoya selalu menenangkan Ryu, di saat pria itu benar benar terpuruk, hatinya tersiksa akan kenangan dan kerinduannya pada orangtuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!