Langit Bandung sore itu bergelayut rendah, memerah seperti bara api yang belum padam. Jalanan kota dipenuhi arus kendaraan yang tak pernah benar-benar berhenti, seperti denyut nadi sebuah tubuh raksasa yang bernama kota. Di salah satu kafe modern di bilangan Dago, sekelompok anak muda duduk melingkar di pojok ruangan, suara mereka menenggelamkan dentuman musik indie yang diputar setengah hati oleh barista.
Di antara mereka, seorang pemuda dengan rambut hitam bergelombang dan tatapan penuh percaya diri menjadi pusat perhatian. Dialah Sadewa, namun hampir semua orang memanggilnya dengan nama singkat, Dewa. Anak pejabat kota yang disegani, hidup dengan segala kemewahan yang hanya bisa dibayangkan oleh sebagian besar remaja seusianya. Jaket kulit hitam melekat di tubuhnya, jam tangan mahal melingkar di pergelangan, dan senyum tipisnya seolah mengatakan ia terbiasa menguasai panggung di mana pun ia berada.
"Lo kalah, Wa," ujar Andra, salah satu temannya, sambil mengangkat alis penuh kemenangan. Tawa pecah di meja itu, sebagian menepuk-nepuk bahu Dewa.
Dewa hanya mendengus, meneguk minuman dingin di tangannya. "Taruhan receh kayak gini aja heboh banget sih, Dra. Biasa aja kali."
"Biasa gimana? Lo sendiri yang bikin taruhan kan?" sahut Bagas, si anak kampung yang entah bagaimana bisa nyambung dengan lingkaran anak-anak kota kaya raya itu. Rambutnya acak-acakan, kulit sawo matang terbakar matahari, kontras sekali dengan Dewa yang tampak seperti model majalah.
Taruhan itu awalnya memang sepele. Hanya sebuah permainan kartu di sela obrolan mereka. Dewa kalah telak, dan sesuai aturan, ia harus menerima hukuman. Hukumannya kali ini bukan sekadar mentraktir atau disuruh nembak cewek acak, melainkan sesuatu yang muncul dari mulut Bagas, ide yang sejak awal terdengar konyol, tapi justru disambut dengan tawa.
"Lo harus mau buka mata batin sama orang pintar di kampung gue," ucap Bagas waktu itu, setengah bercanda.
"Wih, ide bagus itu," setuju Kevin, si playboy sekolah yang terkenal udah banyak cewek sekolah pernah merasakan jadi pacarnya.
Seketika meja itu meledak oleh suara riuh. "Anjir, cocok banget buat Dewa. Lo kan sok berani, Wa. Masa lihat hantu aja takut?"
Dewa menegakkan tubuhnya. "Halah, gampang. Gua mah santai aja." Ia berkata dengan nada menantang, walaupun dalam hatinya ada sedikit keraguan yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Maka sore itu, taruhan konyol berubah menjadi kesepakatan serius.
Dewa sebenarnya bukan tipe orang yang percaya dengan hal-hal gaib. Baginya, dunia cukup sederhana: ada uang, ada kekuasaan, maka semuanya bisa diselesaikan. Ayahnya, seorang pejabat kota yang namanya sering muncul di televisi lokal, adalah contoh nyata betapa kuasa bisa menyingkirkan segala kesulitan. Sejak kecil Dewa terbiasa hidup dalam bayang-bayang kemewahan; rumah besar di kawasan elit, mobil-mobil mewah berganti setiap beberapa tahun, dan pesta ulang tahun yang selalu jadi buah bibir.
Tapi justru karena itu, Dewa haus pembuktian di depan teman-temannya. Ia ingin dianggap pemberani, pemimpin geng mereka. Dan taruhan kali ini, meski agak di luar nalar, adalah panggung sempurna untuk menunjukkan keberaniannya.
"Besok malam kita berangkat, Wa," kata Bagas di sela tawa. "Gua udah janjian sama Ki Jatmiko. Dia orang pintar yang dipercaya di kampung gua. Kalo lo beneran buka mata batin, siap-siap aja lihat makhluk yang biasanya nggak kelihatan."
Andra menambahkan dengan wajah jahil, "Kalo lo tiba-tiba kesurupan, jangan salahin kita ya. Hehehe."
Dewa menepuk meja. "Besok malam, beres. Jangan pada nyalain kamera buat bikin konten, gua gamau jadi bahan TikTok. Ngerti? Bisa ancur harga diri gua yang ada nanti."
Mereka serempak tertawa lagi, sementara Dewa tersenyum tipis, berusaha menutupi keresahan kecil yang mulai menyusup di relung hatinya.
Malam itu, ketika Dewa sudah kembali ke rumahnya yang megah, ia duduk sendirian di balkon kamar. Bandung dari ketinggian tampak seperti hamparan bintang di bumi, lampu-lampu kota berkelap-kelip di balik kabut tipis. Dewa menyalakan sebatang rokok, mengisapnya pelan sambil menatap jauh.
Ia teringat ucapan Bagas. Mata batin ... bisa lihat hantu ....
Bulu kuduknya sedikit meremang, meski ia cepat-cepat menepisnya dengan logika.
Ah, paling juga cuma sugesti. Bagas kan doyan ngibul. Paling besok cuma ritual aneh-aneh, terus nggak terjadi apa-apa, batin Dewa.
Namun di balik pikirannya, ada bagian kecil dari dirinya yang justru penasaran. Bagaimana jika memang benar ada dunia lain yang tersembunyi? Bagaimana jika ada sesuatu di balik wajah ramah orang-orang, sesuatu yang selama ini tak terlihat?
Pertanyaan itu menempel di kepalanya hingga ia tertidur, ditemani dengung samar kota yang tak pernah benar-benar diam.
Keesokan malamnya, mobil hitam milik Dewa meluncur ke arah pinggiran kota, melewati jalanan sempit yang semakin lama semakin sepi. Bagas duduk di kursi depan, sementara Andra dan dua teman lain di kursi belakang. Tawa mereka sesekali pecah, tapi seiring jalan semakin gelap, suasana jadi agak hening.
"Serius, Gas, orang pintar lo ini beneran bisa buka mata batin?" tanya salah satu teman, Raka, dengan nada setengah tak percaya.
Bagas mengangguk mantap. "Ki Jatmiko itu udah terkenal. Banyak orang datang buat minta tolong, entah sakit aneh, usaha mandek, atau pengen 'lihat dunia lain'. Kalo lo mau tahu, malam Jum'at kayak gini tuh paling pas buat buka mata batin."
"Pas apaan, Gas," sahut Andra sambil tertawa, "Pas buat bikin Dewa kencing di celana kali!"
"Sialan, kalian," umpat Dewa ke teman-temannya.
Suasana di dalam mobil kembali riuh oleh canda tawa. Dewa hanya menggelengkan kepala, pura-pura tidak peduli, meski tangannya sedikit lebih erat menggenggam setir.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak agak masuk ke dalam kampung. Pagar bambu berdiri miring, cat dinding rumah sudah mengelupas dimakan usia. Lampu temaram berwarna kuning menggantung di beranda, dan suara jangkrik bersahut-sahutan dari kebun di samping rumah.
"Ini tempatnya," ujar Bagas sambil turun dari mobil.
Mereka berjalan menapaki tanah yang agak becek setelah hujan sore tadi. Bau tanah basah bercampur dengan aroma dupa samar yang terbawa angin.
Di beranda, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan mata tajam sudah menunggu. Ia mengenakan kain hitam sederhana, tubuhnya tegap meski jelas usianya sudah lanjut.
"Selamat datang," suara Ki Jatmiko berat namun tenang. "Kamu pasti Sadewa? Temen Bagas yang katanya mau buka mata batin?" tanyanya.
Dewa tertegun sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Ki. Saya yang mau ... buka mata batin."
Ki Jatmiko tersenyum tipis, seolah sudah tahu segalanya. "Baiklah. Masuk."
Ruang dalam rumah itu remang, hanya diterangi beberapa lampu minyak. Aroma dupa semakin pekat, bercampur dengan bau dedaunan kering yang dibakar. Di sudut ruangan, terlihat meja kayu dipenuhi sesaji: bunga tujuh rupa, air dalam kendi, dan sebatang keris tua.
Teman-teman Dewa duduk melingkar di pinggir ruangan, berusaha menahan tawa gugup mereka. Dewa diminta duduk bersila tepat di depan Ki Jatmiko.
"Pejamkan matamu," ujar Ki Jatmiko perlahan. "Tarik napas dalam, buang perlahan. Kosongkan pikiranmu."
Dewa menurut, meski detak jantungnya berdegup lebih cepat. Ki Jatmiko mulai merapalkan doa dengan bahasa Jawa Kuno yang sulit dipahami. Suaranya bergema di antara dinding bambu, menimbulkan kesan magis yang tak bisa dijelaskan.
Sebuah tangan tua menyentuh kening Dewa, dingin seperti es.
Dewa merinding, tapi tak berani membuka mata. Jantungnya seketika berdetak liar.
"Mulai malam ini, tirai akan terbuka," bisik Ki Jatmiko. "Apa yang tidak terlihat akan kamu lihat. Ingat, jangan pernah meremehkan apa yang akan datang padamu."
Dewa menggertakkan gigi, setengah ingin tertawa, setengah ingin kabur. Tapi ia tetap diam, menunggu sesuatu terjadi.
Lima menit. Sepuluh menit. Hening.
Tak ada yang berubah.
Ketika Ki Jatmiko menarik tangannya, Dewa membuka mata dengan ekspresi hambar. "Udah, Ki?"
Ki Jatmiko menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. "Sudah."
Teman-temannya menahan tawa, beberapa malah cekikikan. "Gimana, Wa? Lihat hantu belum?"
Dewa mendengus, bangkit berdiri. "Ah, paling cuma sugesti doang. Nih liat, gua baik-baik aja."
Bagas mencoba menahan ekspresi seriusnya, tapi sudut bibirnya terangkat. "Sabar, Wa. Nggak selalu langsung kelihatan."
Namun bagi Dewa, semua itu hanya lelucon. Ia menyalakan rokoknya lagi, menghembuskan asap sambil berjalan keluar rumah. "Taruhan kelar. Udah, balik yuk. Besok kita nongkrong lagi."
Ki Jatmiko hanya menatap punggungnya, mata tuanya menyiratkan sesuatu yang tak terbaca.
"Ingat pesanku, Nak," suaranya berat, menggantung di udara. "Jangan pernah menyesal karena membuka mata yang seharusnya tertutup."
Dewa tidak menoleh. Ia hanya terkekeh, menganggap semua itu drama belaka.
Namun malam Bandung terasa lebih dingin dari biasanya ketika mereka meninggalkan rumah tua itu, seakan udara menyimpan sesuatu yang belum siap diungkap.
Dan di balik kaca mobil yang buram oleh embun, Dewa sempat merasa ada bayangan hitam melintas cepat di pinggir jalan. Ia mengedipkan mata, mencoba mengabaikannya.
Ah, paling cuma bayangan pohon.
Dewa tidak tahu bahwa malam itu adalah awal dari segalanya. Segala dari rasa takut yang berlum pernah ia rasakan seumur hidupnya.
Sudah seminggu berlalu sejak malam di rumah tua Ki Jatmiko. Bagi Dewa, hari-hari setelah ritual itu berjalan biasa saja, bahkan terlalu biasa. Tidak ada penampakan hantu, tidak ada suara gaib, bahkan tidak ada mimpi aneh. Ia mulai merasa seluruh ritual itu hanyalah trik murahan untuk menakut-nakuti orang polos.
Menurutnya zaman modern seperti ini percaya dengan hal-hal gaib hanyalah upaya dari oknum untuk mencari keuntungan semata. Lagi pula untuk apa juga ada orang yang mau berhubungan dengan hal mistis dan hantu, kurang kerjaan. Setidaknya itulah isi pikiran Dewa seminggu ini.
Di sekolah, Dewa dan teman-temannya menjadikan hal itu bahan olok-olok. Candaan garing untuk menekankan secara tidak langsung kalau mereka yang percaya dengan hal seperti itu adalah orang bodoh.
"Gimana, Wa, udah bisa lihat pocong belum?" tanya Andra di kantin sambil menyenggol lengannya.
Dewa hanya tertawa keras, menyendok bakso goreng ke mulutnya. "Mana ada, Dra. Nggak ada apa-apa. Gua bilang juga apa, semua itu omong kosong. Bagas aja yang terlalu percaya mitos."
Bagas yang duduk di seberang mereka menatapnya sambil mendesah. "Lo jangan sombong dulu, Wa. Ritual itu nggak langsung kerasa. Ada waktunya."
"Terserah lo, Gas," sahut Dewa dengan tawa mengejek. "Gua sih enjoy-enjoy aja. Mata batin gua nggak kebuka, dan gua nggak perlu lihat setan. Hidup gua udah cukup ribet sama ujian nasional nanti. Kalau nilai gua jelek yang ada gue bisa dipukul bokap gua."
"Kalau lo nggak lulus, lo jadi penangkap hantu aja nanti. Terus lo ajak buat konten bareng itu hantu, rame pasti apalagi muka lo ngejual banget buat di medsos," kata Kevin.
"Ogah banget muka gua disandingin sama setan," protes Dewa.
"Siapa tahu ada kunti yang naksir lo, Wa," ejek Raka.
"Lo sama Kevin aja sana yang pacaran sama kunti." Dewa melemparkan sedotan ke arah Raka.
Tawa pecah di antara mereka. Obrolan pun bergeser ke hal lain, dan Bagas hanya bisa menggeleng pelan.
HARI KEDELAPAN.
Dewa baru pulang dari nongkrong bersama teman-temannya. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul sebelas malam. Ia melemparkan jaketnya ke kursi, menyalakan musik pelan dari ponselnya, lalu merebahkan diri di ranjang empuk. Lampu kamar sengaja ia biarkan menyala redup seperti biasa agar memudahkannya disapa oleh rasa kantuk secepat mungkin.
Perlahan mata Dewa mulai terpejam, namun kembali terbuka ketika ia mendengar suara ... samar.
Seperti seseorang sedang berjalan pelan di luar kamarnya. Langkah kaki, berderit, terhenti tepat di depan pintu.
Dewa membuka mata, menegakkan tubuh. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia menunggu, tapi pintu tetap diam, tidak terbuka.
"Bibi?" panggilnya lirih, mengira pembantu rumahnya masih terjaga.
Tidak ada jawaban.
Hanya keheningan.
Dewa bangkit, berjalan ke pintu, lalu membukanya dengan gerakan cepat. Lorong rumah kosong, hanya cahaya lampu temaram dan dingin malam yang menyusup dari jendela.
Ia menelan ludah, menggeleng pelan. Entah kenapa malam ini rasanya suasana rumah sunyi sekali.
Halusinasi aja kali. Capek, batin Dewa.
Dewa kembali ke ranjang, mencoba tidur lagi. Namun saat ia hampir terlelap, ia merasa ada sesuatu bergerak di pojok kamar.
Bayangan. Cepat, melintas seperti asap hitam.
Dewa langsung duduk tegak, matanya membelalak. Namun saat menatap ke sudut kamar, tidak ada apa-apa selain lemari kayu besar. Jantung Dewa berpacu luar biasa cepat, membuat dadanya sesak.
Ia tertawa hambar, mencoba menenangkan dirinya. Tak ingin berpikir macam-macam. Dan hanya menganggap kalau itu efek dari rasa lelah dirinya.
"Santai, Wa. Lo kebanyakan nonton film horor," ucap Dewa seraya mengambil napas panjang.
Meski begitu, malam itu ia susah tidur. Ada perasaan resah dalam dirinya.
Hari-hari berikutnya, kejadian serupa makin sering muncul.
Di kelas, ketika guru sedang menulis di papan tulis, Dewa melihat bayangan hitam berdiri di belakang Andra. Bayangan itu tinggi, kurus, dan kepalanya miring dengan cara yang tidak manusiawi. Ia tertegun, menahan napas, tapi dalam sekejap bayangan itu lenyap.
"Lo kenapa, Wa?" tanya Andra, heran melihat wajahnya pucat.
"Eh? Nggak, nggak apa-apa," sahut Dewa cepat, menunduk ke buku catatannya.
Saat pulang sekolah, Dewa sering merasa ada orang mengikutinya. Langkah kaki yang selalu selaras dengan langkahnya, meski ketika ia menoleh, jalan di belakang kosong.
Dan yang paling membuat bulu kuduknya merinding adalah ketika ia masuk kamar mandi suatu sore. Saat menatap cermin, ia melihat sekilas sosok anak kecil berdiri di belakangnya, pucat, mata hitam legam, tanpa suara.
Dewa berbalik dengan reflek.
Kosong.
Tapi ia bersumpah ia melihatnya.
MALAM KEEMPAT BELAS.
Dewa baru selesai mandi dan duduk di meja belajar. Lampu kamar menyala terang, musik pelan mengalun dari ponselnya. Ia mencoba mengerjakan tugas, meski pikirannya kacau oleh gangguan-gangguan belakangan ini.
Tiba-tiba, hawa kamar berubah dingin. Begitu dingin hingga bulu kuduknya berdiri. Perasaannya tiba-tiba tidak enak.
Ia menoleh, dan saat itulah ia melihatnya.
Di pojok kamar, tepat di antara lemari dan jendela, berdiri sosok perempuan.
Tubuhnya kurus, kulitnya pucat kebiruan. Rambut panjang kusut menutupi wajah, hanya terlihat satu mata merah yang menatap tajam ke arahnya. Gaun putihnya kotor penuh tanah, dan dari bibirnya mengalir cairan hitam pekat.
Dewa membeku. Tenggorokannya kering, keringat dingin mengalir di pelipis.
Sosok itu tidak bergerak. Hanya berdiri, menatap.
Lalu perlahan, sangat perlahan, sosok itu mengangkat tangan kurusnya, menunjuk ke arah Dewa.
"Sa ... de ... wa ...." Suara serak sosok itu seperti bisikan dari kedalaman bumi.
Dewa tersentak saat namanya disebut, hampir jatuh dari kursinya. Ia meraih gagang pintu, membuka dengan kasar, lalu berlari keluar kamar. Napasnya terengah, jantungnya hampir meledak.
Di lorong rumah, ia bertemu ibunya. "Wa, kamu kenapa?" tanya sang ibu cemas melihat wajah anaknya pucat pasi.
Dewa terdiam, lidahnya kelu. Bagaimana ia bisa menjelaskan?
"Nggak ... nggak apa-apa, Bu," jawabnya akhirnya, mencoba tersenyum palsu. "Tadi kejedot lemari," timpalnya dengan dusta.
Ibunya menatapn Dewa lama, seolah tahu ada yang disembunyikan, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Jangan bikin Ibu khawatir."
Dewa hanya mengangguk cepat, lalu masuk ke kamar tamu untuk tidur malam itu. Ia tidak berani kembali ke kamarnya sendiri. Tidak setelah dengan apa yang dilihatnya.
Keesokan harinya, di sekolah, wajahnya kusut. Lingkar hitam menghiasi matanya.
Andra menyenggol bahunya. "Lo kenapa, Wa? Kurang tidur?"
Dewa tertawa hambar. "Iya, begitulah."
"Waduh, jangan-jangan lo beneran diganggu setan abis buka mata batin?" candanya.
Dewa langsung menatapnya tajam. "Jangan becanda, Dra."
Andra terdiam, kaget dengan nada serius temannya. Sementara Bagas yang sejak tadi memerhatikan hanya menarik napas pelan.
"Apa gue udah bilang?" katanya lirih. "Lo pikir semua ini mainan. Tapi sekali lo buka mata batin, lo nggak bisa nutup lagi. Sekarang lo harus siap."
Dewa menelan ludah, tatapannya kosong. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa menyesal.
Malamnya, ketika Dewa kembali ke kamar yang sudah seharian ia hindari, Dewa menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di cermin besar yang menempel di dinding, ada goresan samar. Bukan debu, bukan goresan biasa.
Tulisan.
'AKHIRNYA KAU MELIHATKU'
Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Dan dari pantulan cermin itu, ia melihat sosok perempuan pucat berdiri di belakangnya, tersenyum lebar hingga memutus urat ketenangan Dewa.
Malam itu, hujan baru saja reda. Bandung kembali diselimuti kabut tipis yang merayap di sela-sela pepohonan dan genting rumah. Jalanan masih basah, lampu jalan memantulkan cahaya kuning pucat yang bergetar diterpa angin. Di kamar Dewa, hanya ada suara detak jam dinding dan desiran angin yang sesekali menembus celah jendela.
Dewa berbaring, matanya terpejam, tapi pikirannya gelisah. Sejak 'ritual' aneh di rumah Ki Jatmiko dua minggu lalu, perasaan tidak nyaman seperti terus mengikuti dirinya. Malam-malam seminggu sebelumnya ia hanya dihantui mimpi samar, bayangan hitam, suara orang berbisik, dan jeritan yang tidak jelas asalnya. Namun kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa nyata.
Ia ingat dua hari lalu ia melihat sosok perempuan mengerikan di sudut kamarnya, bahkan sebuah tulisan di kaca yang mana langsung menghilang ketika Dewa ingin menghapusnya.
Dia benci akan rasa tidak tenang ini.
"Sialan," umpat Dewa kesal, entah kesal kepada apa.
Klek.
Lampu kamar Dewa berkedip sekali. Dewa membuka mata. Ia menoleh ke arah lampu, yang masih menyala redup. Napasnya terasa berat, seperti ada udara dingin menekan dadanya. Ia mencoba kembali memejamkan mata, tapi telinganya menangkap suara samar.
"Dewaaa ...."
Bisikan itu lirih, tapi jelas, terdengar tepat di telinga kanannya. Dewa langsung terlonjak bangun, memandang sekeliling kamar. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
"Ah, halusinasi," gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Namun detik berikutnya, ia melihat sesuatu. Dari pojok kamar, dekat lemari, ada bayangan hitam. Awalnya samar, seperti coretan gelap di udara. Lalu perlahan semakin jelas: sesosok tubuh kurus tinggi dengan wajah buram, matanya kosong seperti lubang hitam.
Dewa tercekat. Tubuhnya kaku. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri mematung sambil menatapnya.
"Si-sial." Dewa meraih ponselnya di meja samping tempat tidur, menyalakan layar untuk cahaya tambahan. Tapi ketika cahaya ponsel menerangi sudut kamar, sosok itu menghilang.
Deg. Deg. Deg.
Jantung Dewa berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Ia buru-buru mematikan lampu kamar dan mencoba tidur lagi. Namun begitu matanya hampir terpejam, ia mendengar suara lain.
Ketukan.
Pelan, ritmis, dari arah jendela kamarnya.
Tok. Tok. Tok.
Dewa menahan napas. Dengan berani ia menoleh ke arah jendela. Hanya tirai putih tipis yang bergoyang diterpa angin malam. Tapi ketukan itu terus berulang. Lebih keras.
Tok. Tok. Tok.
"Siapa?!" teriak Dewa dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban.
Ia memberanikan diri bangkit dari ranjang, melangkah ke arah jendela, dan menarik tirai dengan cepat. Kosong. Jalan di luar sepi, hanya basah sisa hujan. Tidak ada orang. Tidak ada apa pun.
Dewa menghela napas lega. Tapi saat ia hendak menutup tirai kembali, sesuatu tiba-tiba menempel di kaca jendela.
Sebuah wajah pucat, penuh luka lebam, mata melotot keluar dari rongganya, menatap lurus ke arah Dewa. Darah menetes dari sudut bibirnya, membentuk garis merah di kaca.
"AAARGHH!!!"
Dewa menjerit dan jatuh terduduk. Wajah itu lenyap seketika, meninggalkan kaca jendela yang basah oleh embun malam.
Napasnya memburu. Tangannya gemetar. Ia berlari kembali ke ranjang, menyelimuti tubuhnya hingga kepala, berusaha menutup mata rapat-rapat. Tapi justru dalam kegelapan selimut itu, bayangan-bayangan muncul lebih jelas.
Sosok-sosok tak berbentuk merayap, tangan-tangan kurus berusaha meraih dirinya. Suara rintihan memenuhi kepalanya.
"Ikut ... ikut ... ikut kami ...."
Dewa hampir menangis. Ia memejamkan mata lebih kuat, menggenggam kepalan tangannya, berusaha tidak peduli. Ia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa banyak hal tidak masuk akal yang ia dengar dan lihat akhir-akhir ini? Membuatnya stres dan merasa seperti orang gila.
Namun tubuhnya tiba-tiba terasa berat ketika Dewa sibuk dengan pikirannya, seperti ada yang menindih. Dewa tercekik. Napasnya terhenti.
Matanya terbuka paksa, dan di atas tubuhnya, ada sosok perempuan berambut panjang kusut, wajahnya putih biru seperti kulit yang membusuk dalam air. Sosok itu menatap langsung ke wajah Dewa dari jarak hanya beberapa senti.
Mata perempuan itu melotot, bola matanya putih semua, dan dari mulutnya keluar suara erangan panjang.
"DEWAAA ...."
Dewa menjerit sekuat tenaga, tapi suaranya tertahan, seolah kerongkongannya dicekik. Ia meronta, dan tiba-tiba ... semuanya hilang.
Lampu kamar kembali menyala stabil. Tidak ada sosok di atas tubuhnya. Napasnya kembali lega, meski tersengal. Ada jejak air mata di sudut mata Dewa karena rasa takut yang luar biasa.
Dewa terduduk di tepi ranjang, wajah pucat, tubuh gemetar.
"Apa-apaan ini? Apa yang terjadi sebenernya?" gumam Dewa frustrasi.
Dewa tidak tidur semalaman. Ia hanya duduk di sudut ranjang, menatap pintu kamar, takut jika sesuatu kembali muncul.
Keesokan paginya, matanya sembab, wajahnya lelah. Teman-temannya yang biasanya ramai di sekolah menertawakannya karena terlihat seperti zombie. Dewa hanya diam, tidak menceritakan apa pun. Ia takut dianggap gila. Bahkan diejek lebih parah lagi.
Namun teror itu tidak berhenti di malam itu saja. Malam-malam berikutnya semakin parah.
Di kamar mandi, ia melihat bayangan lain di cermin, padahal ia sendirian.
Di dapur, pintu lemari terbuka sendiri, piring jatuh berhamburan tanpa sebab.
Di jalan pulang, ia merasa ada yang mengikutinya, bayangan yang selalu terlihat dari ekor matanya.
Dan setiap malam, suara-suara bisikan itu selalu memanggil namanya.
"Dewa ...."
"Sadewa ...."
"Ikut kami ... ikutlah ...."
Rasa takut berubah menjadi teror. Dewa tidak hanya diganggu, tapi seperti dikejar. Rasanya menyesakkan. Tidak ada ketenangan sedetik pun tanpa melihat atau mendengar apa pun.
Sampai puncaknya terjadi pada malam Jumat.
Dewa mencoba menenangkan diri dengan menonton video di ponselnya sebelum tidur. Lampu kamar sengaja ia biarkan menyala. Namun tepat tengah malam, listrik rumah padam seketika. Gelap total.
"Brengsek," umpat Dewa seraya mencari-cari ponselnya untuk cahaya, tapi entah kenapa baterainya tiba-tiba habis, padahal tadi masih 40%.
Gelap itu pekat. Sunyi. Lalu terdengar suara langkah.
Tok ... Tok .... Tok
Langkah itu pelan, mendekat, mendekat… dari arah pintu kamarnya. Dewa menahan napas. Ia tahu pintu itu terkunci dari dalam, jadi apa yang bisa masuk?
Tiba-tiba pintu berderit perlahan.
Kreeeek ....
Padahal kuncinya jelas masih terpasang di lubang kunci. Bergoyang ketika pintu terbuka perlahan.
Dewa mundur ke sudut kamar. Dan dari balik celah pintu yang terbuka, masuklah sosok tinggi kurus dengan kepala miring, wajah hitam hangus, dan mata merah menyala. Dan kepala yang hanya ditumubuhi beberapa helai rambut usam.
Sosok itu melangkah pelan, menyeret kakinya, mendekati Dewa. Bau anyir dan busuk memenuhi kamar. Ingin rasanya Dewa muntah saking baunya.
Dewa ingin menjerit, tapi suaranya tercekat. Sosok itu semakin dekat, hingga akhirnya berhenti tepat di depan Dewa. Tangannya yang panjang kurus terulur, jemarinya menyentuh wajah Dewa.
Dingin. Sangat dingin.
"Kau ... milik kami ...."
Dewa menjerit histeris, dan semuanya mendadak gelap. Ia pingsan di tempat.
Pagi harinya, Dewa ditemukan ibunya tergeletak di lantai kamar, wajah pucat pasi, bibir biru, seperti orang kehabisan tenaga. Ibunya panik, mengira anaknya sakit. Namun Dewa tahu, ini bukan sakit biasa.
Ini awal dari sesuatu yang jauh lebih menyeramkan.
Dan Dewa mulai takut ... kenapa semakin banyak yang mendatanginya?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!