NovelToon NovelToon

Anak Tiri Terbuang Menjadi Istri Tangguh Duda Killer

BAB 1. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER

HARAP BACA SINOPSIS DULU YA 🌼

🌹 [Visual Azelia Sayersz Raymond]

🌹[Visual Azelio Sayersz Raymond]

...----------------...

Malam itu, langit bergemuruh dahsyat. Kilat menyambar, menerangi seorang wanita yang menyeret sebuah koper besar. Ia melangkah tergesa menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah, namun langkahnya terhenti saat sebuah pelukan erat mendarat di kakinya.

"Mama... Mama mau ke mana? Jangan pergi, Ma. Kasihan Papa sama Azura," isak Sahira, gadis kecil yang baru berusia lima tahun. Tangisnya pecah saat ia memeluk kaki sang ibu sekuat tenaga, memohon agar Ibunya tak meninggalkannya.

Namun, ekspresi wajah sang ibu tetap dingin. Tatapannya begitu menakutkan, membuat hati Sahira menciut. Ia hanya bisa terus memeluk kaki ibunya, berharap keajaiban datang dan mengubah keputusan sang ibu. Namun, harapannya pupus.

BRUKH!

"Singkirkan tanganmu itu. Sudah kubilang, aku bukan lagi ibumu!" Suara wanita itu bagai sambaran petir, menghancurkan sisa-sisa harapan Sahira.

"Bohong! Mama jangan bohong," teriak Sahira, tangisnya semakin kencang. "Mama... ayo masuk ke rumah. Jangan pergi... Kasihan Papa sama Azura masih butuh Mama."

"Cih, lepaskan!" bentak wanita itu, mendorong tubuh rapuh putrinya hingga nyaris terjatuh.

"Tunggu, Ma. Kasih tahu dulu di mana adik bungsu Hira?" Sahira menahan Ibunya.

Dengan tatapan sinis, wanita itu menjawab, "Adik bungsumu sudah mati."

Degh!

Napas Sahira tercekat. Matanya membulat dan tubuhnya membeku mendengar ucapan kejam itu.

"Sekarang jangan ganggu aku lagi! Sana masuk saja lihat ayahmu yang cacat itu!" Wanita itu mendorong Sahira lagi, kali ini ia benar-benar tersungkur ke tanah. Baju tidurnya kotor dan telapak tangannya berdarah.

"MAMAAA!!" teriak Sahira. Ia segera bangkit, namun wanita itu sudah pergi bersama pria lain.

Sahira berlari masuk dan menuju ke kamar ayahnya. Air matanya kembali tumpah melihat ayahnya yang lumpuh terjatuh dari kursi roda. Adik kecilnya, Azura yang masih tiga tahun, tampak menangis tersedu-sedu dalam pelukan sang ayah.

Pria lumpuh itu mengulurkan tangannya dengan tatapan iba. Sahira segera memeluknya. "Papa... kenapa Mama pergi? Apa salah kita? Kenapa Mama pergi sama laki-laki itu? Adik bungsu Sahira juga masih hidup, kan?" isak Sahira. Sang ayah hanya memeluknya erat, tak bisa berkata apa-apa.

Dua belas tahun kemudian.

Sahira dan Azura telah tumbuh dewasa. Tanpa sosok ibu, dua gadis itu menjalani hidup dengan baik berkat kerja keras Pak Andersson, ayah mereka yang kini sudah tidak lumpuh lagi. Meskipun terkenal galak, Pak Andersson adalah ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya.

Sayangnya, Azura yang tak pernah mengenal ibunya, mulai merindukan sosok itu. Ia sering menanyakan keberadaan ibunya, namun Sahira dan Pak Andersson tak pernah mau menjawab. Merasa penasaran, Azura memutuskan untuk mencari sendiri.

Saat membersihkan kamar ayahnya, ia tak sengaja menemukan sebuah foto. Senyum sumringah langsung terukir di bibirnya. "Ternyata Ibu wanita cantik. Tapi kenapa Ayah dan Kakak menyembunyikannya?" Azura bingung. Dari penampilan ibunya yang seperti model, seharusnya tak ada alasan baginya untuk dibenci.

"Azura... kenapa kau lama sekali—" Sahira terdiam, terkejut melihat Azura menemukan foto keramat itu.

Dengan cepat, Azura menyembunyikan foto itu di belakang punggungnya. Namun, Sahira merebutnya lalu merobeknya menjadi potongan-potongan kecil dan membuangnya ke tempat sampah.

"Kak, kenapa foto Ibu dibuang?" tanya Azura, pandangannya tertuju pada potongan kertas itu.

"Memang pantas dibuang! Dia bukan ibu kita! Dia perempuan jahat!" ujar Sahira, amarahnya meledak.

"Tidak, Kak. Kakak salah! Perempuan itu jelas Ibu kita. Wajahnya mirip denganku. Cincin pernikahannya juga sama seperti milik Ayah. Kakak jangan bohong lagi. Azura tidak akan tertipu kedua kalinya," ucap Azura sambil memukul dadanya yang sesak.

"Kakak, Azura tidak mau diam lagi. Azura sudah tidak tahan. Kakak tahu tidak bagaimana hidupku di sekolah? Azura selalu dihina anak tanpa ibu, anak haram, bahkan anak yatim. Padahal Ayah kita masih hidup, tapi mereka tetap menghina Azura. Kakak juga sering dipanggil perawan tua! Aku tidak terima, Kak!"

Amarah Azura akhirnya terlampiaskan. Air matanya membasahi wajah, membuat Sahira membisu. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan luar biasa. Kehidupan adiknya yang ia kira baik-baik saja, ternyata juga mengalami hal serupa.

"Kak... tolong ceritakan padaku tentang Ibu," mohon Azura sambil meraih tangan Sahira.

Sahira mengepalkan tangan. Permintaan adiknya sangat berat. Ia takut, perasaan Azura akan semakin terluka jika mengetahui kelakuan asli ibu mereka. Namun, dugaan Sahira salah. Azura justru merasa ibu mereka tidak sepenuhnya jahat, gadis polos itu mengira ibu mereka pergi karena terpaksa.

"Terpaksa? Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Sahira, suaranya dipenuhi kekecewaan.

"Kak, siapa tahu Ibu diancam sama pria itu. Makanya Ibu memilih pergi daripada kita dan Ayah terluka," tutur Azura.

Sahira sontak berdiri. "Jangan bodoh, Azura. Ibu jelas-jelas pergi setelah ketahuan selingkuh. Kakak melihat dengan mata kepala sendiri! Ibu waktu itu tidak melawan saat masuk ke dalam mobilnya!" bentak Sahira, sorot matanya menakutkan.

Azura ikut berdiri, membalas ucapan kakaknya. "Kak, tolong... jangan langsung berpikir seperti itu. Sebaiknya kita cari kebenarannya bersama. Gimana kalau kita cari Ibu sekarang? Siapa tahu Ibu sudah berubah," saran Azura penuh harap.

"Bodoh! Bodoh! Kalau Ibu sudah berubah, dia sudah kembali pada kita, Ra!"

Azura merasa kecewa melihat Sahira tak mau percaya. "Kakak selalu begini. Selalu bilang aku bodoh. Kakak memang lebih pintar dariku, tapi jangan menghinaku lagi. Azura juga manusia, Kak. Punya perasaan, tidak seperti kakak yang tidak pernah memikirkan perasaanku! Hanya Ayah yang selalu kakak perhatikan! Apa karena wajah Azura mirip Ibu, makanya Kakak tidak mau bantu aku?"

"Kakak sebenarnya benci Azura, kan?! Iya kan, Kak?!"

"Stopp, Azura! Kau sudah keterlaluan! Kakak tidak pernah membencimu. Justru Kakak sayang," ungkap Sahira. Dada Sahira sakit. Adik yang ia rawat dengan sepenuh hati, begitu tega mengatakan hal itu.

"Bohong! Bohong! Kalau kakak sayang, seharusnya kakak ceritakan tentang Ibu! Kak Sahira pembohong! Kakak jahat!" teriak Azura, urat di wajahnya terlihat jelas.

Plak! Satu tamparan itu menghentikan segalanya. Azura terkejut, begitu pula Sahira yang tak menyangka akan menampar adiknya sendiri.

"Arghhhh! Azura benci Kakak!" teriak Azura. Ia berlari keluar, meninggalkan Sahira yang jatuh berlutut. Gadis muda itu menutup mata, air matanya tak terbendung lagi. Ia merasa sangat bersalah telah melukai adiknya.

"Hira, ada apa denganmu, Nak? Kenapa kau menangis?" tanya Pak Andersson yang berdiri di ambang pintu.

Sahira bangkit lalu memeluk ayahnya. "Maafkan Hira, Yah. Hira sudah tidak bisa lagi menjaga rahasia Ibu dari Azura," jawabnya. Pak Andersson terdiam, mulai cemas.

"Kalau begitu, mana adikmu?" tanya pria itu, mendorong pelan bahu putrinya, menatap wajah sendunya.

"Barusan Azura keluar, Ayah tidak lihat?"

Pak Andersson menggeleng, membuat Sahira panik.

"Yah, kita harus cari Azura! Hira takut dia nekat pergi dari rumah," mohon Sahira.

Benar saja, Azura sudah melarikan diri dan pada akhirnya dikabarkan hilang. Hal itu membuat Pak Andersson terkena serangan jantung.

"Ayah!!" pekik Sahira. Ia segera membawa ayahnya ke rumah sakit sebelum terlambat.

____________

Novel ketiga Mom Ilaa

Cerita kelakuan si kembar, Azura, Joeson dan tingkah konyol mereka. Semoga kalian suka ya..

Like, komen, subscribe, biar Mom Ilaa semangat nulisnya sampai tamat.

BAB 2. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER

Dua minggu kemudian, Azura yang seharusnya berada di sekolah, masih mencari alamat rumah ibunya. Seharian penuh ia menjelajahi kota hingga akhirnya berhasil menemukan rumah itu. Wajah Azura berbinar bahagia. Dengan pakaian sederhana, ia memberanikan diri menekan bel.

"Wow, besar sekali rumah Ibu. Pasti Ibu sekarang sudah banyak uang sampai punya rumah sebesar ini. Kalau Ayah dan Kak Sahira pindah ke sini, hidup kami pasti akan lebih baik," gumam Azura, gadis 15 tahun itu, penuh harap.

Bel sudah ditekan beberapa kali, tapi tidak ada yang menyahut. "Kenapa sepi, ya? Apa Ibu lagi tidak di rumah?" Ia menekan bel lagi. Tak lama, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana muncul. Ia adalah asisten rumah tangga di sana.

"Hm, siapa?" tanyanya.

"Saya mau bertemu Ibu... eh, maksud saya, Bu Arisha, Bi," jawab Azura sambil memperbaiki maskernya. Ia sengaja menutupi wajahnya, berharap bisa memberikan kejutan pada sang ibu. Jantungnya berdebar kencang, kerinduannya membuncah.

"Dengan tujuan apa?" tanya bibi itu lagi.

"Saya mau menyampaikan sesuatu yang penting. Harus disampaikan langsung pada beliau," jawab Azura sesopan mungkin.

"Ya sudah, duduk di sana. Saya panggilkan Nyonya dulu," kata bibi itu, menunjuk sofa. Azura duduk manis, menunggu dengan gugup.

"Bagaimana ya reaksi Ibu saat melihatku? Apa Ibu senang? Sudah 12 tahun berlalu, pasti Ibu juga merindukanku," batin Azura.

"Hai, kau siapa?" Sebuah suara tajam mengejutkannya. Azura mengalihkan pandangan dan berdiri saat seorang gadis menghampirinya.

"Kau siapa? Mengapa ada di rumahku? Kau pengemis baru, hah?" Gadis itu menatap Azura dari ujung kaki hingga kepala, penuh selidik dan merendahkan.

"Sa-saya pelajar, Kak," jawab Azura, merasa terintimidasi.

"Pelajar? Haha..." Gadis itu tertawa meremehkan. "Mana ada pelajar yang bajunya kotor, dekil, dan bau sepertimu? Jujur saja, kau ke sini mau mengemis, kan?" lanjutnya dengan nada sombong.

"Saya memang pelajar!" sentak Azura kesal.

"Halah, tidak usah mengelak. Sekarang bilang saja berapa yang kau mau? Mau seratus ribu? Lima ratus ribu? Atau lima puluh ribu ini?" Ia menyodorkan selembar uang berwarna biru.

PLAK!

Gadis itu tercengang. Azura berani menepis tangannya. Matanya memancarkan amarah, tapi Azura tak gentar.

"Aku tidak butuh apa-apa. Uangmu tidak ada gunanya bagiku. Sebaiknya kamu pergi," kata Azura, merasa kesal karena direndahkan. Ia sudah lelah dicaci maki di sekolah, dan kini ia tak mau dihina lagi.

"Kau kurang ajar!" Gadis itu, yang wajahnya berbintik merah, hendak menarik ikat rambut Azura, tetapi seorang gadis lain datang memisahkan mereka.

"Berhenti! Kenapa kalian bertengkar? Ini rumah, bukan ring tinju. Kalau mau berkelahi, di luar sana," cerocos gadis berkacamata itu. "Kak Calsa, bukannya tadi mau ke rumah teman?" lanjutnya, menunjuk Calsa, anak tiri Arisha.

"Cih, awas kamu, sialan!" Calsa menunjuk Azura sebelum akhirnya pergi.

Azura menghela napas panjang. Anehnya, gadis berkacamata di depannya terasa berbeda.

"Kamu siapa?" Tiba-tiba, keduanya saling menunjuk satu sama lain dan terkejut.

Gadis berkacamata itu menunduk dan tertawa, Azura juga ikut tertawa. Mereka bertatapan lagi dan merasakan sesuatu yang sama, mata mereka mirip. Azura melepas maskernya, dan gadis itu melepaskan kacamata tebalnya.

"Eh... kok mirip?" ucap mereka serempak.

Azura menggaruk kepala. Seingatnya, ia tak pernah tahu punya saudara kembar. Begitu juga dengan gadis di depannya.

"Nama kamu siapa? Kalau aku, Aina. Sepertinya kita kebetulan mirip ya, haha..." Aina tertawa sambil mengulurkan tangannya.

"Aku Azura. Tapi kayaknya ini bukan kebetulan," jawab Azura, menerima uluran tangan Aina.

"Kenapa bilang begitu?" tanya Aina, memakai kacamatanya lagi.

"Soalnya aku ke sini mau bertemu ibuku," jawab Azura.

"Ibumu? Memang siapa namanya?"

"Arisha Velyna."

"Itu nama ibuku juga!" Aina terlonjak kaget.

"Kalau begitu... kita ini..."

"Kembar?" Azura dan Aina mengucapkan kata itu serempak, tak percaya. Mereka saling mendekat dan mencubit pipi. Tanpa sadar, air mata mereka menetes.

"Astaga... kenapa malah nangis sih, haha..." Aina mencoba menghapus air matanya, tapi air mata terus membasahi pipi. Azura tiba-tiba memeluknya.

"Kakak," bisiknya, membuat hati Aina bergetar. Aina menatap Azura lalu membalas pelukannya. Isak tangisnya pecah. Ia merasakan gejolak di hatinya, sesuatu yang telah lama terkubur dan kini meledak.

Beberapa menit kemudian, keduanya kembali tenang.

"Kalau kita memang kembar, kenapa kita berpisah? Kenapa orang tua kita tidak bersama?" tanya Aina, kepalanya dipenuhi pertanyaan.

Saat Azura hendak bicara, Arisha datang. Perhatian Azura teralih kepadanya.

"Ibu..." lirih Azura, tersenyum bahagia. Namun, wanita itu tidak menunjukkan reaksi yang Azura bayangkan. Ia mendekat tanpa ekspresi. Langkahnya anggun, tetapi auranya terasa sombong.

"Mama?!" Aina berlari, memeluk Arisha.

"Aina, masuk ke kamar, sayang," kata Arisha dengan lembut.

"Tidak, Ma. Aina tidak mau. Sekarang Aina tahu kalau Aina punya saudara..."

"Bukan, dia bukan saudaramu. Mama tidak kenal dia," potong Arisha, membuat kedua gadis itu melongo. Mereka tak menyangka ibu mereka akan mengatakan hal sekejam itu.

"Ibu... ini aku... Azura, anak Ibu. Ibu tidak ingat Azura, Kak Sahira, dan Ayah?" ucap Azura dengan suara bergetar. Hatinya sesak dan napasnya memburu.

"Anak? Kau mungkin salah orang. Saya tidak punya anak lain di luar sana," elak Arisha, lalu menyuruh asistennya mengeluarkan Azura. "Bi! Bawa dia keluar dari rumah ini. Lain kali jangan sembarangan membawa masuk pengemis lagi. Cepat!"

"Tunggu, Ma! Jangan usir dia!" pekik Aina. Ia segera berdiri di depan Azura dan merentangkan tangannya.

"Aina, Mama sudah bilang, masuk kamar!" perintah Arisha lantang.

"Mama yang salah dan membuat Aina kecewa! Mama yang aku kira baik, ternyata tega meninggalkan keluarganya demi harta!" Aina menuntut penjelasan, matanya memerah dan rahangnya mengeras.

"Aina!" bentak Arisha. "Kamu benar-benar membuat Mama kecewa. Tidak sopan memanggil Papa seperti itu. Papa kan Ayah kandungmu, Nak! Masuk kamar sekarang juga!"

"Aina tidak salah. Mama yang salah! Mama yang aku kira baik, ternyata tega ninggalin keluarganya demi harta!"

PLAK!

Tamparan yang seharusnya mendarat di wajah Aina, mendarat di wajah Azura yang mencoba melindunginya. Arisha tak menduga Azura akan membiarkan dirinya dipukul demi Aina.

"Azura..." lirih Aina, dadanya terguncang melihat wajah Azura terluka. Azura berlari pergi tanpa berkata apa-apa.

"AZURA!!!" Aina ingin mengejar, tapi Arisha segera mencekalnya. Asisten rumah tangga itu dengan cepat menutup pintu. Aina menangis kecewa hingga akhirnya jatuh pingsan. Sementara Azura, terus berlari dengan air mata berlinang.

"Kejam... kejam... Ibu kejam!" Azura berhenti di tepi jalan, ia berlutut, menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua kekecewaan dan penyesalan di hatinya. Azura bangkit, berlari kembali ke rumah ayahnya. Ia berjanji tidak akan kembali ke sana lagi dan akan meminta maaf pada Ayah dan Kakaknya.

Namun, ia sudah terlambat. Rumah itu kosong, tanpa tanda-tanda kehidupan.

"Ayah... Kakak!! Ayah!!! Kakak! Di mana kalian!" teriak Azura, mencari mereka. Tapi jejak mereka tak ada.

"Kenapa kalian semua pergi tinggalkan aku... Ayah, Kakak... maafkan Azura." Ia berlutut lagi, mencoba menahan tangisnya. "Azura janji tidak akan tinggalkan kakak dan Ayah lagi."

BAB 3. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER

Sepuluh tahun kemudian, Azura telah menjadi wanita dewasa. Ia cantik, mandiri, baik, dan tangguh. Ia menjalani hidup sendirian dengan kerja keras dan tekad yang kuat. Meskipun ada banyak rintangan, ia tak pernah menyerah. Ia selalu bangkit dengan harapan, yakin suatu hari nanti akan berhasil menemukan Ayah dan saudaranya. Tak lupa, ia bertekad akan membalas dendam pada keluarga baru ibunya setelah ia sukses.

Kini ia bekerja di taman margasatwa. Seperti biasa, ia selalu memakai masker untuk menutupi bekas luka di wajahnya. Namun, ia melepasnya sejenak saat seorang anak kecil diam-diam mengikutinya.

"Huh... cuaca hari ini panas banget... rasanya mau langsung lompat ke kolam," keluh Azura pada Leni, rekan kerjanya yang sedang bersantai di bangku di bawah payung besar.

"Hahaha, baru seminggu kerja, kamu sudah nggak bisa tahan. Belajar dulu sana sama senior kayak aku," canda Leni. Mereka sudah lima tahun berteman, hubungan mereka sudah seperti saudara kandung.

"Kamu sih enak, Len. Gajinya lebih gede dari aku. Apa aku sampaikan saja ke ketua biar gajinya dinaikkan sedikit? Tapi gaji segini sudah cukup hidupi satu orang sih, haha," balas Azura sambil tertawa, lalu menyimpan amplop tipis ke dalam sakunya.

"Malah kamu yang enak tahu, hidup sendirian. Nggak kayak aku yang harus menghidupi tujuh orang di rumah, apalagi mereka masih kecil-kecil," celetuk Leni.

"Waduh, aku nggak tahu kamu punya adik sebanyak itu. Baiklah, malam ini aku yang traktir makan deh, gimana—" Ucapan Azura terhenti saat sebuah tangan mungil menarik ujung jaket seragamnya.

"Siapa anak ini, Azura?" bisik Leni, menatap wajah anak laki-laki itu yang menggemaskan, namun matanya memancarkan kerinduan yang dalam.

Azura belum sempat menjawab, tapi anak itu sudah memanggilnya dengan panggilan yang membuat dua wanita itu terkejut.

"Mama..." panggilnya dengan polos, memeluk Azura.

"Mama?" Kening Azura dan Leni berkerut, bingung.

Leni berjongkok, mengajak anak itu bicara. "Maaf ya, Adik, teman Kakak ini belum menikah, belum punya anak juga. Adik mungkin salah orang."

Anak itu menggeleng dan meraih telapak tangan Azura. "Mama, ayo pulang baleng Jilo," ajaknya memohon dengan mata berkaca-kaca.

"Maaf ya, Dek. Saya bukan Ibumu," ucap Azura dengan lembut. Namun, anak itu tak mau melepaskannya.

"Mama, Jilo lindu Mama. Ayo pulang cama Jilo," isaknya, berusaha menahan air matanya.

"Leni, sepertinya dia terpisah dari Ibunya. Kamu urus dia, ya. Aku mau antar kunci kandang ini ke penjaga sana," bisik Azura, ingin segera melanjutkan tugasnya.

Leni mengangguk paham. Dengan cepat, ia menggendong anak itu. Anak itu berontak, berteriak sekencang-kencangnya saat Azura pergi.

"MAMAA! JANGAN PELGI!"

Tak lama kemudian, seorang pria tinggi, tampan, dan gagah, dengan tatapan tajam dan misterius, datang menghampiri Leni.

Leni, yang sedang menjaga anak, langsung berdiri. Ia terpesona pada pria itu. "Buset... pria keren ini Ayahnya? Gila, ini mah sugar daddy! Pasti dia orang kaya," batin Leni. Sayang sekali, Azura sudah pergi dan tidak bisa melihat pria tampan itu.

Namun, kekaguman Leni runtuh saat pria itu menatapnya sinis, dingin, dan penuh kekesalan. "Terima kasih sudah menjaga putra saya, tapi mengapa mata anak saya merah seperti ini? Siapa yang berani membuatnya menangis?" Suara baritonnya yang khas membuat Leni ketakutan.

"Maaf, putra Anda menangis karena mencari Ibunya, Tuan," jawab Leni sopan.

Pria itu menghela napas, lalu menggendong putranya. "Papa sangat khawatir padamu, Jilo. Untung kamu baik-baik saja. Jika kamu hilang, Papa pasti sudah mengosongkan tempat ini. Sekarang kita pulang," tutur pria itu serius. Leni semakin yakin, pria itu bukan orang biasa.

Leni melirik anak perempuan di samping pria itu, yang wajahnya mirip dengannya. Adik kembar Jilo itu hanya diam, mengusap-usap matanya, mulai mengantuk. Ia tak lagi fokus mendengar kakaknya marah-marah.

"Ndak mau, Papa. Jilo mau cali Mama." Jilo kembali berontak.

"Jilo! Papa sudah bilang, Mama Jilo sudah tidak ada. Mama sudah pergi ke surga. Sekarang kita pulang."

"Huaaa... Papa bohong! Mama macih hidup, belum mati!" tangis anak itu pecah. Leni yang mendengar semua itu merasa kasihan.

"Ternyata duda ditinggal mati istrinya, sayang sekali. Anak-anaknya lucu tapi Ibunya sudah meninggal," lirih Leni saat kembali duduk.

"Meninggal? Siapa yang kamu maksud, Len?" Azura datang, sempat mendengar keluhan sahabatnya.

"Itu, si anak yang tadi, ternyata Ibunya sudah meninggal."

"Kasihan sekali... lalu siapa yang menjemputnya?"

"Ayahnya. Kamu tahu? Ayahnya keren banget! Spek daddy... daddy gitu deh. Orangnya ganteng, kaya, suaranya itu loh... bikin jantung mau copot. Kalau dia cari istri, aku yang akan menawarkan diri duluan," pungkas Leni antusias. Azura terbahak-bahak.

"Ampun deh, kalau sudah bahas laki-laki ganteng, power-nya langsung berapi-api."

"Aduh... Ra, kamu sih mana mengerti soal cowok. Tahunya kerja, kerja, kerja. Lain kali, aku ajak kamu kencan buta deh. Siapa tahu ada cowok yang cocok buat kamu," saran Leni, tapi Azura cepat menolak.

"Nggak usah deh, aku lagi fokus nyari Ayah sama kakakku yang masih hilang, Len. Kita bahas itu kapan-kapan saja, ya."

Leni mengangguk paham. Ia lupa temannya sedang kesulitan mencari keluarganya yang sudah 22 tahun hilang. Namun, satu pertanyaan terlintas di benaknya. Ia menahan langkah Azura.

"Tunggu, Ra. Aku mau nanya sesuatu."

"Hm, soal apa?" Azura melepas maskernya sejenak.

"Kamu kan masih punya saudara yang tinggal sama Ibumu. Gimana kabarnya sekarang? Apa kalian masih sering ketemu di belakang ibumu? Kalau masih, coba deh kamu minta bantuan dia buat nyari Ayah sama kakakmu," tutur Leni.

Azura menunduk lesu. Leni merasa bersalah, tak sengaja membuka luka Azura yang belum sembuh.

"Dia sudah lama meninggal, Len. Aku sudah nggak bisa ketemu sama Aina lagi." Air mata Azura mulai berlinang.

"Bahkan saat pemakaman Aina, aku nggak diizinkan ikut sama Ibu. Aina sangat baik, kenapa orang sebaik dia harus pergi duluan? Kenapa bukan aku saja atau Ibu..." Azura tak kuasa melanjutkan ucapannya. Air matanya menetes deras. Ia menangis dalam pelukan Leni. Azura sangat terpukul atas kepergian Aina, saudaranya yang berhati malaikat, lembut, dan sangat memperhatikannya.

"Aku nggak tahu lagi, gimana nanti kasih tahu hal ini ke Ayah sama Kak Sahira. Aku takut mereka malah benci aku..." Di luar, Azura selalu tampak ceria, namun tak ada yang tahu luka dan derita yang ia simpan sedalam ini. Hanya Leni satu-satunya tempat ia mencurahkan semuanya.

"Aku seharusnya jaga Aina, tapi aku gagal, Len..." Isak Azura, suaranya bergetar, napasnya tersengal, hatinya hancur.

Leni mencoba menenangkan Azura, walau air matanya juga ikut menetes. "Aina sangat ingin bertemu Ayah, tapi hal itu sudah tidak bisa terwujud. Ini salahku, harusnya aku bawa pergi saja Aina dari keluarga itu." Sudah tiga tahun Aina pergi, Azura belum rela menerima kematiannya. "Aina punya impian, tapi ia berakhir menikah di usia muda. Mereka semua jahat! Aku nggak akan pernah maafin mereka."

Leni tertegun melihat api dendam di tatapan Azura. Ia bisa merasakan gejolak amarah dan kebencian Azura.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!