Sore itu begitu tenang.
Langit jingga tampak membentang indah. Semburat merah terlihat elok menghias angkasa sore. Sang raja siang terlihat tenggelam di ujung danau yang berkilauan. Suara air danau bergemericik pelan. Menambah irama nuansa senja yang menentramkan. Dahan pohon saling bergesek ditiup angin timur. Dedaunannya berjatuhan dibawa angin yang berhembus mengitari danau. Di atas sana, formasi burung angsa tampak eksotis, dengan anggunnya mereka mengepakkan sayapnya. Seakan mereka begitu menikmati sore ini.
Sedang dibawah sini, aku berlari dengan tergesa-gesa. Tak kuhiraukan sedikitpun senja yang terus menggodaku. Tak kuhiraukan sedikitpun udara sejuk yang menerpa pelan wajahku. Tak kuhiraukan bunga-bunga yang merekah indah di bawah pijakkanku. Tak kuhiraukan air danau walau dahaga mencekikku. Tak peduli apapun itu, aku harus terus berlari.
Rambutku bergoyang pelan mengikuti irama tubuhku. Tangan kiriku terus menyibak kasar dedaunan ilalang yang menghadang jalanan. Sedangkan tangan kananku mengenggam erat sebuah senjata laras panjang yang sudah terlihat usang. Di punggungku, seorang gadis berusia 8 tahun pingsan tak berdaya. Tubuh dinginnya membuatku semakin panik. Berlari kencang seperti orang gila.
Aku harus bergegas mencari tempat bernaung sebelum malam. Atau aku dan gadis malang ini berada dalam bahaya. Tidak ada tempat aman di dunia ini. Hanya bahaya yang terus mengintai tanpa lelah.
Nafasku tersengal. Berhenti sejenak menatap hutan dengan pohon raksasa yang berjajar rapat. Senja semakin hilang, digantikan malam yang mencekam. Aku tak punya pilihan, tujuanku ada dibalik hutan ini. Aku menerobos masuk. Dengan cekatan menepis semak belukar yang menutupi pandanganku. Sesekali aku berhenti ketika mendengar suara seperti tembakan. Lantas melaju kembali begitu suara itu menghilang.
Hutan ini terasa lembab. Lumut-lumut tampak tumbuh di sekitar bebatuan. Aku harus berhati-hati ketika melangkah, atau aku akan tergelincir. Suara jangkrik terdengar nyaring memenuhi hutan. Beberapa jamur tampak mengeluarkan cahaya kehijauan. Aku tetap melaju dengan waspada. Entah bahaya apa yang akan menghampiri. Beberapa kali tubuhku terkena goresan duri atau ranting yang tajam. Tapi aku tidak peduli.
Hutan semakin gelap. Kabut tipis mulai menutupi jalan. Menambah nuansa suram. Keringat dingin mengucur membasahi seluruh tubuhku. Sudah hampir tiga jam aku melintasi hutan ini. Belum kutemukan ujungnya. Hingga pandanganku tertuju pada sebuah bangunan tua di pinggir sungai yang tenang. Aku bergegas menuju bangunan tua tak terurus itu.
Aku mencoba memperhatikan bangunan itu. Dindingnya telah dipenuhi akar dan lumut. Lantainya dipenuhi rumput liar. Aku mengitari bangunan tersebut. Setidaknya memastikan bangunan itu benar-benar aman. Lantas memasukinya.
Aku menghidupkan senter yang tertanam pada senjata laras panjangku. Lantas mencari ruangan yang nyaman untuk beristirahat. Aku meletakkan gadis berusia 8 tahun itu dengan posisi bersandar. Kemudian aku mengumpulkan beberapa kayu bakar. Menyalakan api.
Aku mencoba memeriksa keadaan gadis malang itu. Dia sudah pingsan sejak 24 jam yang lalu. Nafasnya terasa tipis. Setidaknya dia masih hidup. Aku mengganti tabung yang tergantung di pinggangnya dengan yang baru. Membenarkan posisi maskernya. Lalu mengganti perban yang membalut kepalanya.
Satu hal tentang dunia ini. Udara tidak lagi ramah. Bumi telah berubah menjadi daratan maut. Kami para manusia terpaksa menggunakan tabung daur ulang udara kemanapun kami pergi. Seperti yang dialami gadis malang ini.
Namun aku tidak. Aku lebih memilih beradaptasi. Bukan melakukan penolakan. Walau setiap harinya aku harus menghirup udara kotor yang menyesakkan. Membuat paru-paru terasa berat. Sekali lagi aku tidak peduli. Jika tidak ada adaptasi, bagaimana manusia akan terus hidup.
Pandanganku kembali tertuju pada gadis itu. Gadis yang merupakan adikku satu-satunya. Keluargaku satu-satunya. Setelah para bandit sialan itu membantai seluruh keluargaku. Dan membuatku terpaksa kabur bersama adikku. Yang sekarang terkapar tak berdaya.
Aku memutuskan keluar untuk berjaga. Setidaknya aku bisa mengumpulkan apapun yang berguna untuk melanjutkan perjalanan. Aku mencoba mendekati bibir sungai. Mengecapnya lantas memasukkan airnya ke dalam botol. Aku kembali berkeliling. Memastikan agar kami tetap aman.
Sudah setengah jam lamanya aku berkeliling. Tidak ada apapun yang menarik dari hutan ini. Bahkan aku belum menemukan ada bahaya yang mengancam. Aku memutuskan duduk menatap sungai. Beberapa kunang-kunang terlihat terbang disekitarnya. Kabut tipis juga terlihat mengambang di atas permukaan sungai. Pemandangan yang indah. Namun tidak indah lagi jika kau menikmatinya dengan perasaan gundah.
Baiklah, akan aku ceritakan kisahku. Namaku Lian Clue. Remaja laki-laki berusia 16 tahun. Aku hidup di dunia yang kejam. Sedangkan setengah dari penduduk dunia telah melarikan diri ke angkasa sana. Mempertaruhkan hidup mereka di luar bumi. Karena bumi sudah menjadi daratan yang mengerikan sejak satu abad yang lalu. Dimana sebuah bencana besar mengguncang dunia.
Beberapa hari yang lalu. Aku masih memiliki kehidupan yang normal. Aku hidup disebuah pondok kayu di tengah desa padang rumput. Keluargaku baik. Orangtuaku perhatian dan penuh kasih sayang. Begitu pula dengan bibi, paman, dan sepupuku. Kami melengkapi satu sama lain. Itulah yang membuat kami masih bertahan di tengah kecamuk dunia.
Seluruh penduduk di desa kami menggunakan masker yang dihubungkan dengan tabung daur ulang udara seukuran botol minum. Yah, semuanya. Tidak ada yang mau mengambil resiko menghirup udara kotor ini. Mungkin hanya aku satu-satunya yang tak mengenakannya. Malas sekali membawa tabung itu ke mana-mana.
Beberapa orang sudah sering menegurku. Bilang aku bisa terkena penyakit, umurku akan pendek, dan berbagai alasan lainnya. Aku hanya melambaikan tangan tak peduli. Buktinya aku masih hidup selama 16 tahun ini. Bahkan aku masih sehat dan baik-baik saja. Entah hal apa yang membuatku berpikir untuk melepas maskerku sejak aku berusia 5 tahun.
Hari itu seperti biasanya. Aku, adikku, dan tiga orang sepupuku tengah berburu mencari makanan. Kami telah diajari berburu sejak usia kami 8 tahun. Hari itu, adalah hari pertama bagi adikku Liana berburu. Dia bersenandung gembira selama perjalanan. Tak terkecuali, perempuanpun harus bisa berburu. Demi bertahan hidup di dunia ini.
Kami membawa pulang tiga ekor kelinci dengan telinga besar dan badan yang kecil dengan ekor sepeti tikus. Mungkin kalian akan sulit membayangkan bagaimana bentuk kelinci ini. Semua hewan telah berevolusi sejak kejadian satu abad yang lalu. Mereka beradatapsi seiring berubahnya zaman.
Liana gagal mendapatkan hewan buruannya. Mengoceh sepanjang perjalanan. Kami hanya tertawa melihat wajah kesalnya.
“Kak, kenapa kakak tidak memakai masker?”
Aku menoleh, untuk pertama kalinya dia menanyakan hal tersebut. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Mencari jawaban yang tepat.
“Liana, sebaiknya kau jangan mengikutiku. Aku tidak mau kau terkena penyakit hanya karena melepaskan maskermu. Lagipula kau tidak melakukannya dari kecil. Sangat berbahaya jika kau belum terbiasa dengan udara kotor ini.”
Dia mengangguk paham. Tidak bertanya lagi.
Kami masih dalam perjalanan. Menelusuri jalan setapak sembari menatap pemandangan disekitar kami. Sesekali Liana dan tiga sepupuku berhenti untuk bermain sejenak di puing-puing bangunan yang telah hancur. Terkadang mereka juga memainkan alat-alat atau mesin-mesin yang sudah usang.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Hingga pandanganku tertuju pada abu yang berterbangan disekitar kami. Semakin kami mendekati tujuan, abu-abu itu semakin banyak. Liana dan tiga sepupuku mulai terlihat pucat. Akupun mulai panik. Dan benar saja, malapetaka yang kami risaukan terjadi.
Di jarak 15 kilometer dari kami berdiri, sebuah api raksasa membentang bagai dinding. Asap hitam mengepul pekat dan membuat mendung. Kami terkejut, tubuh kami bergetar. Lihatlah! Desa kami terbakar. Aku, Liana serta tiga sepupuku berlari kencang. Melempar sembarang buruan kami.
Dari kejauhan, samar-samar terlihat beberarapa kendaraan dan sekumpulan orang berpakaian hitam. Mereka membawa senjata dan mengumpulkan beberapa makanan dan barang yang berguna. Aku menyuruh Liana dan tiga sepupuku untuk bersembunyi. Mataku terus menyelidik. Mencari keberadaan orangtuaku.
“Kak, dimana ayah dan Ibu?”
Liana mulai terisak. Matanya mulai berkaca-kaca. Disusul tiga sepupuku yang juga masih terbilang muda. Aku mencoba menenangkan mereka.
“Tenang saja. Mereka akan baik-baik saja. Aku akan mencoba mencari mereka. Kalian tetap berada disini dan jangan keluar apapun yang terjadi.”
Mereka mengangguk sebagai jawaban. Aku mulai mencoba memasuki desa dengan tetap waspada terhadap sekumpulan bandit tersebut. Tak lupa mebawa senjataku.
Asap mengepul semakin tebal. Udara terasa sesak. Api terus berkobar diseluruh penjuru desa. Beberapa penduduk berusaha menyelamatkan barang berharga dan mencoba kabur dari kejaran bandit. Aku terus melangkah dengan hati-hati. Tidak sempat menolong yang lain. Tujuanku hanya satu. Menyelamatkan keluargaku.
Aku terus menutupi hidung dan mulutku dengan tanganku. Sudah sepuluh menit lamanya aku mencari keberadaan keluargaku. Namun belum ada tanda-tanda keberadaan mereka. Asap tebal menghalangi pandanganku. Nafasku juga semakin sesak. Pandanganku mulai kabur. Terpaksa aku harus mengambil salah satu masker dari mayat yang tergeletak di sepanjang jalan. Aku kembali berlari sambil menghindari pertemuan dengan para bandit.
Akhirnya, aku berhasil menuju rumahku. Setidaknya rumahku belum terbakar. Aku langsung mendobrak masuk. Hening.
“AYAH! IBU! BIBI! PAMAN! DIMANA KALIAN?”
Aku berteriak panik. Memeriksa setiap ruangan. Dan...
Mataku terbelak tak percaya. Tubuhku bergetar hebat. Tenggorokanku seakan tercekik. Melihat setumpukan mayat yang sudah tidak berbentuk ditengah ruang keluarga. Aku terjatuh. Tak kuasa menahan tangis. Padahal baru tadi kami pergi dan semuanya sudah berubah dalam sekejap. Padahal baru tadi mereka mengucapkan kata hati-hati sebelum kami berburu. Aku tersungkur tidak berdaya. Seakan separuh tenagaku telah menghilang.
Dengan terisak aku mencoba keluar dari desa. Kakiku terasa berat, namun aku harus segera keluar. Setelah lima belas menit lamanya, akhirnya aku berhasil keluar. dengan cepat segera menuju tempat Liana dan tiga sepupuku berada. Namun, hal yang tak kusangka terjadi. Mereka menghilang.
Belum selesai aku menyadari apa yang terjadi. Tiba-tiba, seseorang memukul kepalaku dari belakang. Aku terjatuh. Kepalaku terasa sakit. Dengan cepat aku hendak mengambil senjataku. Namun aku kalah cepat. Sesosok itu lebih dulu melempar jauh senjataku. Aku menatap seseorang yang baru saja memukulku. Wajahnya terlihat tegas dengan rambut berantakan menutupi daun telinga. Matanya berwarna coklat terang dengan alis tebal.
“Akhirnya, aku menemukanmu, bocah.”
Mataku menatap tidak mengerti. Apa yang dia cari dariku?
“Bawa bocah ini!”
Dia memerintah bandit lain untuk membawaku. Belum sempat mereka memegangku. Suara tembakan terdengar memekakkan telinga. Seorang bandit terkapar tak bernyawa dengan darah mengucur di kepalanya. Disusul beberapa bandit lain. Pria yang tadi memukulku berseru garang. Memperhatikan sekitar. Peluru terus berdatangan entah dari mana. Kemungkinan besar beberapa penduduk mencoba balik melawan. Bandit-bandit lain mulai berlarian menyelamatkan diri. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur.
Aku berlari sekuat tenaga. Melewati puing-puing bangunan. Terus berlari. Tak terasa, air mataku kembali berlinang. Jatuh seiring langkahku. Dadaku terasa sesak. Bukan karena asap yang berada di sekitarku. Namun karena aku kehilangan adikku satu-satunya.
Ketika aku sudah putus asa, ketika langkahku mulai terhenti. Aku mendengar suara seseorang memanggilku. Suara yang kukenal.
“Lian!”
Aku menoleh. Mencari arah suara yang memanggilku. Dan betapa terkejutnya aku. Ibuku. Dialah yang memanggilku. Disampingnya terlihat Liana berseru riang.
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Ibu selamat?” Aku terbelak tak percaya.
“Tidak ada waktu. Nanti saja penjelasannya. Sebaiknya kita lari terlebih dahulu, tempat ini sudah tidak aman lagi.”
Aku mengangguk. Lantas berlari menyusul Ibu dan Liana.
Setelah cukup jauh. Kami memutuskan berhenti.
“Sebenarnya apa yang telah terjadi? Dimana yang lain?” Aku bertanya tidak sabaran.
“Maafkan Ibu. Mereka semua tidak bisa Ibu selamatkan. Tiga sepupumu tertangkap. Namun Ibu sempat menyelamatkan Liana,” Wajah Ibu terlihat sedih.
“Kalau begitu kenapa tidak kita selamatkan?” Aku hendak beranjak. Namun Ibu sudah lebih dulu menahan langkahku.
“Jangan Lian! Itu terlalu berbahaya. Di saat seperti ini kita harus mementingkan diri sendiri.”
Aku mengangguk terpaksa. Tak bisa mengelak. Ada kalanya Ibu benar. Namun entah mengapa dadaku terasa sesak. Dan pikiranku masih penuh dengan pertanyaan. Kenapa Ibu bisa selamat? Dan mengapa bandit-bandit itu mencariku?
Malam mulai menjelang. Bulan mulai mengambang di angkasa. Disusul formasi bintang yang setia menemani. Suara lolongan serigala mulai terdengar. Serangga malam tak mau kalah bersenandung. Angin malam berhembus pelan menerpa rumput-rumput setinggi lututku. Kami memutuskan berhenti di sebuah pohon raksasa yang berada di tengah padang rumput. Membuat api unggun. Beristirahat.
Aku terduduk diam. Masih memikirkan kejadian tadi. Liana sudah terlelap. Setelah berjalan kaki cukup jauh pasti melelahkan baginya.
“Lian, ada yang ingin Ibu bicarakan padamu.”
Aku menoleh. Ibu menatapku. Menghela nafas sejenak.
“Sebenarnya Ibu bukan dari desa itu. Selama ini Ibu merahasiakannya darimu,” Ibu terdiam sejenak. Kembali menarik nafas. “Sebenarnya, dulu Ibu adalah seorang ilmuan di sebuah negara. Ibu dan rekan-rekan Ibu diperintahkan oleh kepala negara tertinggi untuk membangun kembali teknologi yang telah menghilang di dunia ini. Kami memulainya dari Robot Penjaga Perbatasan.”
“Robot Penjaga Perbatasan?” Aku bertanya penasaran. Aku tidak tahu hal itu.
“Robot Penjaga Perbatasan merupakan robot yang dibuat untuk menjaga perbatasan negara. Karena saat itu perang tengah berkecamuk. Hampir setiap negara memiliki robot ini. Robot ini telah lama dinonaktifkan sejak 70 tahun yang lalu. Dan robot itu sudah menjadi benda terlarang. Kami juga tidak tahu alasan kepala negara menyuruh kami membangkitkan kembali robot-robot itu. Kami hanya bisa pasrah. Tanpa bisa melawan,” Kali ini raut wajah Ibu terlihat sedih. Kembali melanjutkan perbincangan.
“Kami benar-benar bodoh menyalakan kembali robot itu. Kini kami tahu alasan mengapa robot itu merupakan benda terlarang. Karena robot itu membenci manusia,”
“Apa maksud Ibu?” Aku memotong pembicaraan. Membenarkan posisi. Mulai tertarik.
“Robot itu memiliki kecerdasan buatan. Mempelajari manusia. Bahkan mempelajari sifat-sifatnya. Robot-robot itu mulai memahami rasa kekuasaan, keserakahan, dan nafsu. Fungsi awal mereka yang sebagai penjaga perbatasan mulai berubah menjadi senjata makan tuan. Mereka menganggap semua manusia merupakan makhluk berbahaya. Dan mulai membantai manusia. Menganggap seluruh manusia merupakan musuh utama yang harus dibasmi,” Suara Ibu tercekat. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kami benar-benar tidak tahu fakta itu. Dan kini seluruh robot di dunia ini sudah bangkit. Saat itu Ibu belum tahu cara mematikan robot-robot itu. Kami sudah mencoba berbagai cara untuk menghancurkan robot-robot itu. Namun bukannya memperbaiki keadaan, kami malah memperburuknya. Robot-robot itu semakin beringas menyerang. Hingga akhirnya Ibu memutuskan kabur menyelamatkan diri. Membiarkan robot-robot itu tersebar diseluruh penjuru dunia. Membantai ratusan manusia.”
“Belum selesai masalah robot-robot itu, masalah baru datang. beberapa negara mencoba memusnahkan robot itu dengan senjata nuklir. Salah satu senjata terlarang. Akibatnya juta-an nyawa kembali melayang. Dan radiasi yang diakibatkan senjata nuklir itu berdampak pada manusia. Radiasinya dapat merusak sel otak manusia. Dan yang terkena dampaknya akan menjadi agresif. Menyerang siapapun yang ada disekitarnya, pada akhirnya perbuatan kami hanya menambah korban.”
“Tunggu sebentar, jika dunia benar-benar sekacau itu, mengapa kita masih bisa hidup tenang sebelum bandit-bandit itu menyerang? Masalah kita hanya udara kotor. Bukannya seharusnya robot-robot itu atau radiasi bisa memusnahkan kita? Tapi mengapa di desa kita seakan tidak pernah terjadi apa-apa?” Aku kembali menyela. Semua penjelasan Ibu seakan tidak masuk akal.
Belum sempat Ibu menjawab. Kami mendegar suara teriakan. Dari kejauhan terlihat sekumpulan cahaya bergerak mendekat.
“Lian, kita harus pergi!”
Dengan cepat aku membangunkan Liana. Dia terlihat bingung. Aku langsung menariknya. Kembali berlari.
“Apa yang terjadi, Kak?” Wajah Liana terlihat pucat. Aku tidak sempat menjawab.
Bandit-bandit itu berhasil menemukan kami. Namun jarak mereka masih terbilang jauh. Kami berlari tak menentu arah. Nafasku tersengal. Keringat dingin terus mengucur di keningku. Dari kejauhan aku bisa mendengar mereka berseru galak. Mengejar. Kami terdesak. Kini dihadapan kami terlihat jurang yang cukup curam. Namun dibawahnya terdapat sungai yang cukup deras.
“Ibu, apa yang harus kita lakukan? Bandit-bandit itu semakin dekat.” Aku bertanya panik.
“Tidak ada jalan lain. Kita harus melompat, Lian. Jangan lepaskan Liana apapun yang terjadi!”
Aku mengangguk tegas. Lantas menggendong Liana. Dia berteriak takut. Kami tidak punya pilihan selain meluncur ke bawah. Ibu lompat terlebih dahulu. Aku menyusulnya. Kami terjatuh ke dasar sungai. Terbawa arus. Namun aku tetap memegang Liana. Di atas sana bandit-bandit itu terlihat marah. Beberapa mencoba menyusul. Meluncur mengikuti arus.
Aku tidak sempat mengkhawatirkan bandit-bandit yang mengejar kami. Saat ini aku susah payah menghindari bebatuan yang menghadang. Ditambah aku dalam posisi membawa Liana. Beberapa kali aku tertelan air. Liana terus berteriak panik. Aku tidak bisa melihat posisi Ibu. Bandit-bandit itu sepertinya juga kehilangan jejak kami.
Aku memutuskan menepi. Tubuhku basah kuyup. Lebam disekujur tubuh. Wajah Liana pucat pasih. Namun dia baik-baik saja. Aku belum menemukan keberadaan Ibu. Kami memutuskan untuk berjalan. Khawatir jika bandit-bandit itu kembali menyusul. Aku terus membujuk Liana untuk berjalan kaki. Namun dia terlihat sangat lelah. Aku terus menyemangatinya. Bilang semuanya akan baik-baik saja.
Sudah hampir setengah jam kami menelusuri hulu sungai. Liana sudah mengeluh. Kakinya sakit dibuat berjalan.
“Kak, aku ingin melepaskan masker yang ku pakai. Rasanya berat sekali membawa tabung ini kemana-mana...” Wajahnya terlihat lesu. Ini pengalaman terburuk yang pernah dia rasakan. Pasti sangat berat bagi anak seumurnya.
Aku memutuskan menggendongnya. Kembali melanjutkan berjalan kaki. Memaksa tubuhku untuk terus bergerak. Udara dingin mulai menusuk. Ditambah baju kami basah. Sesekali aku tersengal, namun kembali menempuh jalan yang berbatu. Saat ini tidak ada tempat aman bagi kami. Senjataku-pun sudah hilang sejak di sungai tadi.
Aku sudah tidak tahu, apakah Liana terlelap atau pingsan. Akupun sudah lelah. Sudah tiga jam lamanya aku berjalan. Sesekali aku terjatuh. Kembali bangkit sembari menahan rasa sakit. Tubuhku menggigil dan pandanganku mulai remang. Keringat dingin terus mengucur. Perlahan gendonganku terhadap Liana mulai meregang. Dan benar saja, setelah beberapa langkah aku roboh. Jatuh bedebam di atas bebatuan sungai. Aku sampai lupa Liana juga ikut terjatuh. Perlahan mataku mulai tertutup. Gelap.
“Lian, pernahkah kau berharap untuk pergi ke angkasa sana?’
Seorang gadis berusia sekitar 7 tahun menatapku. Matanya tertupi rambutnya yang bewarna kecoklatan. Udara terasa sejuk dan damai. Menghempaskan dedaunan kering yang berjatuhan di sekitar kami.
“Aku benar-benar ingin kesana.” Gadis itu kembali berujar. Kali ini aku bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik rambutnya.
“Kau yakin mau ke sana?” Aku bertanya meyakinkan.
Namun, belum sempat gadis itu membalas. Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku. Semakin jelas.
“Lian!”
Mataku terbuka. Cahaya matahari seakan menusuk mata. Aku masih mengerjap. Betapa terkejutnya aku. Mendapati Ibulah yang membangunkanku.
“Apa yang terjadi?” Tubuhku terasa lemas, bibirku kering. Keringat mengucur membasahi kening.
“Lian, Kau harus segera pergi!”
Aku tidak mengerti. Kepalaku masih terasa sakit. Liana masih pingsan.
“Lian, dengar! Ibu akan memberimu pesan. Terkadang petunjuk bisa datang dari diri kita. Pergilah ke arah utara dan cari kota mati bernama Batana. Temui pria berjanggut tebal dengan tangan besi. Beri pesan jika Zenzen sudah bergerak.”
“Lantas bagaimana dengan Ibu?” Aku bertanya cemas. Ibu terdiam sejenak. Menyerahkan sebuah senjata dan ransel kepadaku.
“Lian, hanya kau yang bisa melanjutkan perjalanan ini. Kesalahan Ibu di masa lalu terlalu berat untuk Ibu pikul. Ibu ingin mencoba memperbaikinya. Jadi, biarkan Ibu yang menghadapi mereka..”
“Menghadapi sia...” Ucapanku terhenti begitu mendengar suara tembakan. Suaranya nyaring membelah langit.
“Lian, ini pesan terakhir Ibu. Hanya kau yang bisa menyelamatkan dunia. Camkan itu baik-baik! ”
Lantas tanpa berkata-kata lagi. Ibu berlari meninggalkan kami. Aku berusaha berdiri. Mencoba menyusul. Namun kakiku seakan tidak mau lagi dipaksa bergerak. Kejadian itu begitu cepat. Aku hanya bisa menatap punggung ibu yang semakin menjauh. Bertanya dalam hati. Apakah ini perpisahan?
Aku kembali berjalan kaki. Beberapa saat kemudian Liana yang berada digendonganku terbangun.
“Kak, kita dimana?” Suaranya terdengar lemah.
“Kita akan mencari tempat yang aman, Liana. Kakak bersumpah.” Aku menjawab tegas. Berusaha menghiburnya.
“Dimana Ibu?”
Kali ini aku terdiam sejenak. Lantas aku memutuskan berbohong. Aku tidak ingin dia merasa sedih.
“Kakak juga tidak tahu, Liana. Namun jika kita sudah menemukan kota terdekat, kakak berjanji akan menemukan ibu.” Entah mengapa aku merasa sesak. Mengingat kejadian ibu meninggalkan kami begitu saja. Aku segera mengusik pikiran itu. Aku yakin ibu punya alasan.
“Kak, aku lapar. Perutku terasa sakit,” Liana mengeluh. Aku menurunkannya dari punggungku. Setidaknya ibu meninggalkan kami sebuah ransel. Aku mengecek isinya. Tersenyum tipis. Ada beberapa makanan yang tersedia. Aku menyodorkan sebuah roti. Dia meraihnya. Memakannya dengan lahap.
Kami kembali berjalan kaki. Liana tak lagi kugendong. Dia memutuskan berjalan sendiri, merasa tak enak padaku. Kami tak banyak bicara. Aku lebih banyak memikirkan semua perkataan Ibu. Tentang kota bernama Batana. Aku tidak pernah mendengar nama kota itu. Dan juga Zenzen. Siapa orang itu? Mungkinkah bandit beralis tebal yang kutemui di desa? Kesal karena tak mengerti semua ucapan Ibu, aku memilih untuk memperhatikan sekitar.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi beberapa bangunan terbengkalai. Aku tidak pernah tahu jika diluar area desa kami masih banyak puing-puing bangunan. Kami menulusuri jalan setapak. Liana tidak banyak mengeluh. Justru dia tampak menikmati perjalanan. Sesekali kami beristirahat. Mengobrol sejenak, melontarkan candaan. Lantas kembali melanjutkan perjalanan. Matahari mulai tenggelam. Kami harus segera mencari tempat bernaung.
Kukira perjalanan kami akan berjalan lancar. Namun malam itu aku melihat sesuatu yang akan menjadi ketakutan terbesarku. Membuat malam terasa panjang. Dan mimpi bagai penyiksaan tiada henti. Malam itu, kami melihat sesuatu yang seharusnya tidak kami lihat. Robot Penjaga Perbatasan.
Lagi-lagi aku mendengar suara tembakan yang membelah langit. Suaranya nyaring, sampai-sampai Liana tersentak kaget mendengarnya. Memelukku erat. Kami memutuskan bersembunyi disela-sela puing bangunan. Entah mengapa suasana terasa mencekam. Jangkrik dan hewan malam lainnya terdiam. Seakan mereka bersembunyi dari sesuatu. Kukira itu adalah bandit. Namun dugaanku salah.
Ketika aku masih sibuk mengintip. Sepasang mata merah menatapku dari balik celah tempat aku mengintip. Aku terkejut. Dengan cepat meraih tangan Liana. Berlari kencang. Langsung saja, robot itu mengejar tanpa ampun. Suara mesinnya berderak seiring langkahnya. Aku tidak sempat memperhatikan bagaimana bentuknya. Suara tembakan itu pastilah dari robot tersebut.
Tangan kananku sibuk memegang senjata sedang tangan kiriku menggenggam erat tangan Liana. Aku terus berseru pada Liana untuk mempercepat langkahnya. Kami mencoba lari melewati celah-celah bangunan. Berharap robot itu kesulitan mengejar kami. Beberapa kali tubuhku terkena goresan puing bangunan. Lecet sana lecet sini. Setidaknya Liana tidak begitu kesulitan. Dengan tubuh kecilnya mudah saja dia bergerak dalam tempat sempit. Hingga tak sengaja kami menginjak puing yang rapuh.
Kami berdua terjatuh. Lenganku menghantam bebatuan tajam. Darah segar mengucur. Aku meringis kesakitan. Aku masih bisa mendengar derak mesin disekitar kami. Nafasku tertahan. Aku hanya bisa berharap kami selamat. Aku memejamkan mata. Jantungku berdegup kencang.
Harapanku terkabul. Suara mesinnya terdengar semakin jauh. Menyisakan binatang malam yang kembali bersenandung.
Aku langsung berlari menuju tubuh Liana. Dia terkapar tak jauh dariku. Aku terkejut mendapati kepalanya mengeluarkan darah. Aku berseru panik. Mencoba memanggil namanya. Berharap dia membuka mata. Aku mengecek denyut nadi dan nafasnya. Dia masih bernafas. Dengan cepat aku mengambil sebuah perban dalam ranselku. Membalutkan di kepalanya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!