NovelToon NovelToon

Dibawah Payung Hitam

pindah ke Jogjakarta

" Bagaimana, Non, apa semuanya sudah siap?!"

Ghavi tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Bu Yoyon yang entah kapan berada dibelakangnya.

" Hmmm ..." Ghavi menghela napas dalam.

" Sudah, kok, Bu." jawabnya lantas melangkah turun dari jendela.

" Kalau sudah siap sebaiknya Non Ghavi segera berangkat. Takut ketinggalan bus. Itu Pak Yoyon sudah siap digarasi." beritahu Bu Yoyon sembari membawa koper yang hendak dibawa cucu almarhum majikannya itu.

" Oh, ya, Bu. Apa Pak Yoyon sudah memberi kabar orang dirumah eyang yang di Jogja?" tanya gadis berrambut hitam lurus sebahu yang sedang memakai kardigan hitam kesayangannya itu.

Kakinya melangkah keluar kamar mengikuti pembantunya menuruni anak tangga. Dilihatnya kamar yang untuk beberapa waktu kedepan akan ditinggalkannya entah sampai kapan.

" Bu, aku pamit, ya. Tolong jaga rumah ini dengan baik. Banyak kenangan dirumah ini." pamitnya dengan mata berkaca-kaca.

" Sudah, Non!" jawab Bu Yoyon memeluk gadis 18tahun didepannya itu penuh kasih

"Iya, Ibu janji akan merawat rumah ini dengan sebaik mungkin. Dirumah ini juga Ibu dan Bapak mengais rejeki." sahutnya parau.

Merekapun melangkah keluar rumah dan mendapati Pak Yoyon yang sudah siap dibelakang kemudi.

" Mari, Non!"

Tak butuh waktu lama bagi Pak Yoyon untuk segera sampai diterminal. kecakapan menyetirnya memang sudah tidak diragukan lagi.

" Hati-hati, Non! Semoga perjalanannya menyenangkan dan selamat sampai tujuan. Bapak sudah memberi kabar orang rumah untuk menjemput Non Ghavi begitu Non sampai di Jogja nanti." Pak Yoyon mengantar nona mudanya hingga diterminal keberangkatan.

" Terima kasih, Pak. Jaga diri kalian baik-baik, ya. Aku janji akan memberi kabar begitu sampai nanti" ucap Ghavi memeluk Pak Yoyon dengan erat. Dia begitu sayang pada sepasang suami istri yang telah merawatnya dirinya sejak masih bayi merah tersebut.

" Salam untuk Ibu dirumah." lanjutnya seraya melepas pelukan.

" Baik, Non. Hati-hati!" balas Pak Yoyon menyeka sudut matanya yang basah dengan lengan seragam supir yang dikenakannya.

🚌🚍

Perjalanan bus dari Jakarta-Jogjakarta masih jauh. Ghavi yang sedari tadi melihat pemandangan luar bus melalui jendela pun mulai bosan. Akhirnya dia memutuskan untuk tidur. Setelah mencari posisi tidur yang pas, dikatupkannya matanya untuk segera lelap. Kepalanya direbahkan pada jendela bus karena kebetulan dia mendapat tempat dipinggir jendela.

Seharusnya itu menjadi posisi yang pas tanpa harus terganggu oleh lalu lalang orang yang keluar masuk bus.

Sepuluh menit berlalu. Tapi dirinya masih belum juga terpejam meski sudah berusaha keras. Entah kenapa dia justru gelisah. Atau mungkin karena ini perjalanan pertama kalinya menggunakan bus?? Entahlah. Yang jelas gadis itu bukannya tertidur, malah semakin terjaga.

" Huufft ...!!" iapun menghela napas dalam dan berat.

Akhirnya demi mengusir kebosanan, dibukanya ponsel untuk mengusir jenuh. Tangannya berselancar mencari-cari Universitas mana yang menurut dia bagus dan sesuai kemampuan akademiknya.

Jari jemarinya masih aktif menscroll informasi tentang syarat pendaftaran di Universitas yang akan dia daftar nantinya, sampai dia dikejutkan oleh sebuah suara di sampingnya.

" Boleh aku duduk disini??" tanya sebuah suara.

Ghavi pun menoleh asal suara dan mengangguk. Matanya kembali fokus pada benda tipis ditangan kirinya.

Merasa tak ada penolakan, orang tersebut langsung menjatuhkan tubuhnya pada kursi kosong disebelah gadis mungil yang sedang asyik dengan dunianya.

" Thanks!" ujarnya dengan napas cukup memburu.

Sepertinya orang itu baru saja berlari mengejar bus agar tidak tertinggal. Terlihat dari caranya duduk barusan dengan napas terengah. Dibukanya kemasan botol air mineral yang ada ditangan kanannya lalu ditenggaknya hingga sisa setengah.

" Kemana tujuanmu??" tanyanya sok akrab.

Ghavi hanya mengendikkan bahu tanda tak peduli.

" Kenalkan, namaku Harry. Kamu?!"

Ghavi masih saja cuek. Bahkan dia sengaja memasang earphonenya demi menutupi telinganya guna menghindari percakapan orang asing disampingnya yang dianggap berisik dan menganggu konsentrasinya berselancar.

Orang itupun sedikit geram merasa pertanyaannya tak ada tanggapan.

" Heh, kamu tuli, ya?"

Ghavi masih terus asyik berselancar diinternet tanpa mau menjawab pertanyaan orang disebelahnya yang sok akrab itu. Toh dia tidak kenal ini, pikirnya. Lagipula, orang itu adalah orang asing yang perlu diwaspadai. Jadi, jangan sok akrab, pikirnya lagi.

Merasa tak ada tanggapan, orang itupun kesal. Dilepaskannya earphone ditelinga Ghavi dengan kasar.

" Heh! Kau tuli atau bagaimana?? Dari tadi aku tanya tak dijawab." sungutnya marah.

Ghavi pun tersentak. Dia marah karena earphonenya diambil paksa.

" Kkau ...!!" geramnya.

Gadis itu benar-benar tidak mengira orang yang ternyata seorang laki-laki muda itu berani merebut paksa benda miliknya.

Mata keduanya bersitatap tajam.

' Hmm ... cantik juga, nih bocah. Sayang mukanya terjal seperti jalan gunung yang baru dibuka dan belum tersentuh aspal.' bathin si laki-laki.

Sementara si gadis bergumam dalam hati:

' Cakep. Hidungnya mancung. Pipinya mulus layaknya jalan tol.'

Tidak seperti dirinya yang bopeng penuh bekas jerawat.

' Aahh!! Mikir apa, si aku '. gumamnya sembari menggelengkan kepalanya.

" Heh, kau cari masalah, ya?! Balikin earphoneku!!" gertak Ghavi lumayan kencang sampai-sampai penumpang yang ada disamping sebrang kursi mereka menoleh terganggu.

" Enggak!" sahut si laki-laki yang mengaku bernama Harry itu menjauhkan benda yang dimaksud Ghavi.

" Balikin, nggak?!" ancam Ghavi mulai kesal.

" Kalau aku nggak mau balikin, kau mau apa??" tanyanya memancing.

" Balikin!!" tukas Ghavi sembari mencondongkan tubuhnya berusaha merampas kembali kepunyaannya.

Sejenak tubuhnya merasa terhipnotis.

' Gila. Wangi sekali, nih cowok. Sudah cakep, wangi lagi.' gumamnya dalam hati.

Sementara laki-laki itu juga tertegun. Dia tidak menyangka posisi keduanya akan begitu dekat seperti itu. Dia pun merasa tersihir dengan wangi rambut si gadis.

Untuk ke sepersekian detik keduanya tersadar dengan sikap mereka.

" Balikin, nggak. Itu punyaku. Sini!!"

" Nggak, sebelum kau minta maaf padaku." ujar Handy membetulkan duduknya.

" Whaatt?? Nggak salah, itu earphoneku jadi aku berhak memintanya. Dan lagi, kau yang salah jadi kau yang seharusnya meminta maaf. Cepat balikin!" pinta Ghavi jengah.

" Ssstt ... !!! Berisik. Suara kalian mengganggu kenyamanan penumpang lain."

Terdengar suara ibu-ibu yang duduk di seberang mereka. Merasa diperingatkan, Ghavi dan Harry pun menutup wajah mereka karena malu.

" Aiissh ... kau, sih. sini cepat balikin earphoneku." bisik Ghavi masih dengan nada kesal. Suaranya dibuat sepelan mungkin takut mendapat teguran lagi. Malu.

" Enggak, sebelum kau meminta maaf karena sudah bersikap tidak sopan karena mengabaikan pertanyaanku." sahut Harry ikut-ikutan memelankan suaranya.

Ghavi pun akhirnya menyerah. Dia tidak mau bersitegang lagi dengan laki-laki asing disampingnya itu. Dia berharap dengan meminta maaf Harry tidak akan mengganggunya lagi.

" Ok, ok, maaf!" ucap Ghavi mengalah.

" Sekarang balikin punyaku." pintanya menengadahkan tangan kanannya.

" Nggak, sebelum kau jawab pertanyaanku tadi."

" Pertanyaan yang mana??"

Melihat mata Harry melotot, Ghavi pun akhirnya menyerah.

" Baik, lah. Namaku Ghavi. Aku dari Jakarta dan ingin ke Jogja, puas??!!"

Harry mengulum senyum tanda kemenangan.

" Nah, gitu, dong. Dari tadi, kek. Gak perlu bersitegang dulu, kan. Nih ... !" diserahkannya benda berkabel itu pada si pemiliknya.

Ghavi pun memasangkan earphonenya bermaksud tidur. Namun, baru beberapa menit berlalu Harry mencolek tangannya.

" Eh, jangan tidur, dong! Temani aku ngobrol."

" Apaan, sih. Aku ngantuk mau tidur."

" Please, jangan tidur. Temani aku ngobrol. Kalau kamu tidur, nanti aku juga ikut ketiduran. Sebentar lagi aku harus turun."

Harry terus membujuk Ghavi untuk menemaninya ngobrol.

" Aku itu lagi capek. Kalau kamu nggak temani aku ngobrol nanti aku bisa ketiduran. Terminal depan aku turun soalnya."

Akhirnya Ghavi mengalah. Dia pun lebih banyak mendengarkan cerita Harry daripada dirinya yang bercerita. Hanya sesekali dia menanggapi. Tapi, karena tubuhnya sudah lelah setelah berjam-jam duduk dibus, akhirnya dia mulai mengantuk. Lama-lama dia menanggapi cerita Hari hanya dengan gumaman hingga pada akhirnya Ghavi menyerah dan terkulai dipundak Harry.

Harry pun tersenyum melihat Ghavi yang benar-benar terlelap. Akhirnya Harry membiarkan pundaknya sebagai sandaran.

Satu jam kemudian bus yang meraka tumpangi sampai diterminal tujuan Harry. Harry bermaksud membangunkan Ghavi, sebab dirinya harus turun. Tapi dia tidak tega melihat betapa pulasnya gadis itu tertidur.

***

#maaf jika ada banyak kesalahan,

maklum baru pemula.

saya tidak memaksa reader untuk memberikan apreasinya. semua tergantung keikhlasan kalian saja. tapi, kalau ada yang mau kasih kritik dan saran membangun silakan, saya sangat berterima kasih sekali.🙏🙏

hari yang melelahkan

Ghavi tiba dirumah waktu makan malam. Untungnya supir yang menjemputnya diterminal tidak datang terlambat. Jadi, saat sampai dirumah Ghavi tidak perlu melewatkan makan malamnya.

" Non, selamat datang! Semoga non betah tinggal disini. O, ya silakan langsung keruang makan. Eyang Putri sudah menunggu."

" Iya, Bi. Terima kasih!" ucapnya seraya menyerahkan kopernya pada Bi Narti, pembantu Eyang Putri Ghavi dari pihak ibunya.

Ya. Ghavi pergi ke Jogja selain untuk melanjutkan pendidikannya dan memenuhi wasiat terakhir ayah dan kakeknya, juga untuk menemani eyangnya, keluarga Ghavi yang tinggal satu-satunya.

Selama ini Ghavi kurang akrab dan dekat dengan eyangnya dikarenakan dulu eyangnya melarang keras hubungan ayah dan ibunya. Ghavi sendiri tidak tahu alasannya kenapa? Tapi karena ibu dan ayahnya saling mencintai, terpaksa eyangnya mengijinkan mereka menikah dengan syarat, mereka tidak boleh tinggal serumah dengan eyang. Untuk itulah Ghavi lebih dekat dengan kakek dan neneknya dari pihak ayah.

Namun, seiring berjalannya waktu eyang yang lebih akrab dipanggil Eyang Sosro ( nama belakang alm. eyang kakung ) itu perlahan mulai menerima kehadiran Ghavi, terlebih semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan ibu Ghavi yang tak lain anak angkat Eyang Sosro.

Ya, Eyang Sosro dan suaminya memang tidak memiliki anak dikarenakan eyang putri yang divonis mandul. Sebenarnya eyang putri pernah menyarankan suaminya untuk menikah lagi demi mendapat keturunan. Namun, karena begitu sayangnya eyang kakung, beliau tidak mau menikah lagi dan lebih memilih mengangkat ibunya Ghavi sebagai anaknya.

" Eyaaaaang ... !!!"

Ghavi berlari menghampiri wanita sekitar 80an tahun yang tengah duduk dikursi makan kebesarannya sambil merentangkan tangan.

" Eyang, apa kabar? Ghavi kangen banget sama Eyang." dipeluknya tubuh renta itu penuh kerinduan.

Diciuminya punggung tangannya dan kedua pipinya penuh rasa sayang.

" Seperti yang kau lihat, Nduk, Eyang sehat. Ini berkat Bi Narti yang selalu merawat Eyang dengan baik." jawab Eyang Sosro membalas pelukan sang cucu.

Matanya berkaca-kaca karena menahan rindu yang membuncah.

Akhirnya dia bisa menjalani sisa hidupnya dengan sang cucu satu-satunya itu.

" Bagaimana kabarmu juga, Nduk?? Sepertinya kau tampak kurusan. Kenapa, hmmm??"

Dipandanginya tubuh mungil cucunya yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali berkunjung setengah tahun lalu.

" Iya, Yang. Sejak Kakek nggak ada, aku merasa kesepian." jawabnya sedih mengingat kepergian kakeknya lima puluh hari lalu.

"Makanya, begitu aku terima kabar kalau Eyang minta aku tinggal disini aku langsung berangkat."

" Maafkan Eyang, Nduk. Kondisi Eyang tidak memungkinkan untuk datang waktu Kakekmu meninggal."ucapnya penuh sesal.

Dibelainya rambut sang cucu penuh kasih.

" Iya. Sudahlah Eyang. Tidak usah dibahas lagi. Sekarang aku lapar. Apa Eyang menyiapkan makan malam untukku juga??"

Ghavi berdiri dari sungkeman eyangnya lantas duduk dikursi makan. Tangannya langsung mencomot perkedel kentang dihadapan sang eyang.

" Huusst ...! Cuci tangan dulu. Kebiasaan." perempuan renta itu menampik tangan yang hendak mencomot perkedel.

" Hehe ... . Maaf!"

🌳🌴🌾⚘

Pagi hari dikediaman Eyang Sosro.

" Tok ... tok ... tok ...!!! "

" Non, bangun, Non! Sudah pagi. Eyang menunggu untuk sarapan." terdengar Bi Narti mengetuk pintu membangunkan cucu majikannya.

" Hmmhh ... iya, Bi. Tunggu lima belas menit lagi aku nyusul. Baru mau mandi, nih." sahut Ghavi dari dalam.

Lima belas menit kemudian muncullah gadis mungil mengenakan kaos oblong putih kedodoran dipadu padankan celana jeans pendek selutut keluar dari kamar tengah. rambut hitamnya yang lurus sebahu diberi bandana pink model kupu-kupu.

" Pagi, Bi!"

" Pagi juga, Non!"

Ghavi pun melangkah keruang makan diikuti Bi Narti di belakangnya.

" Eyang di samping rumah, Non. Sarapannya juga sudah Bibi bawa kesana." ujar Bi Narti manakala dilihatnya Ghavi celingak-celinguk mencari seseorang.

" Oh."

Dengan langkah lebar Ghavi pun melangkah ke samping rumah, tempat biasa dia dan eyangnya biasa bercengkrama.

Udara sejuk berhembus dari kebun sayur dan buah di belakang rumah. Ditambah lagi semerbak wangi bunga yang beraneka warna dan ragam membuat rongga paru-paru terasa segar.

" Huuuffhh ... Haaaahhh ... " Ghavi menghirup napas pelan dan dalam seakan ingin mengisi paru-parunya dengan udara segar itu sebanyak mungkin. Kemudian dihempadkannya pelan.

Sudah lama dia tidak merasakan udara sesegar ini sewaktu di Jakarta.

" Sini, Nduk!" teriak eyang dari gazebo, atau lebih tepatnya gubuk yang terbuat dari bambu wulung beratap ilalang yang berdiri kokoh di tengah kebun bunga samping rumah.

Rumah Eyang Sosro tidak sebesar Rumah Kakek di Jakarta. Rumah Eyang Sosro masih mengedepankan rumah joglo sesuai rumah adat jawa, meski di dalamnya sudah mengalami akulturasi kebudayaan antara jawa dan moderen.

Rumahnya juga tidak besar dan tidak berloteng. Hanya ada satu kamar utama yang ditempati eyang, kamar tengah yang sekarang ditempati Ghavi, itupun dulunya adalah kamar ibunya. Satu kamar tamu yang terpisah karena letaknya berada paling depan menyatu dengan ruang tamu, serta satu kamar pembantu di belakang dekat dapur dan desertai kamar mandi di masing-kamar. Juga satu kamar mandi yang berada diantara ruang tamu dan ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga.

" Iya, Eyang! Sebentar. Aku sedang menikmati udara segar ini melepas penat dan lelah setelah perjalanan jauh kemarin."jawab Ghavi tersenyum.

Direntangkannya kedua tangan dan berputar. Matanya terpejam untuk beberapa saat.

" Sudah, Non. Lebih baik sekarang sarapan dulu. Kasihan Eyang sudah lama menunggu." perintah Bi Narti menarik tangan Ghavi menuju gazebo bambu menemui eyang.

" Sini cah ayu. Duduk! Ini Eyang pesankan nasi uduk orek tempe kesukaan kamu." tunjuk eyang pada bungkusan daun pisang berisi nasi uduk.

" Waaahh ... Eyang tahu saja aku lagi pengin makan nasi uduk. Eyang emang the best! " Ghavi mengacungkan jempolnya tanda senang.

" Sambal bawangnya juga, dong. Sama kerupuk kulitnya juga." sambungnya tertawa.

" Pokoknya semua klangenan

cah ayu ono kabeh." ujar sang eyang dengan logat jawanya yang kental.

#pokoknya semua kegemaran kamu ada semua.

" Siip!!"

Eyang Sosro, Ghavi dan Bi Narti pun sarapan dengan lahap. Nasi uduk yang dibungkus daun pisang membuat bau yang khas citarasanya. Apalagi ditambah orek tempe, sambel bawang serta kerupuk kulit yang menambah sarapan pagi itu semakin nikmat.

Selepas sarapan, Ghavi memutuskan untuk ikut Bi Narti ke pasar. Jarak antara rumah dan pasar hanya sekitar lima belas menit jika ditempuh jalan kaki.

Berhubung masih pagi, mereka memutuskan untuk berangkat jalan kaki saja sembari menikmati indahnya pagi didesa tempat mereka tinggal. Desa tempat eyang tinggal memang strategis karena berada didekat perkotaan. Jadi, meskipun disekitarnya masih banyak area persawahan, tapi untuk kekota juga tidak terlalu jauh.

" Bi, kemarin yang jemput aku siapa namanya, ya, aku lupa. Hehe ... " Ghavi memulai percakapan dengan Bi Narti sambil terus berjalan kepasar.

" Cakep, ya, Non." Bi Narti menyeringai.

" Namanya Aksan, Non. Dia anaknya Bu Diah, tetangga sebelah rumah. Dia sekarang sedang menyelesaikan kuliahnya di Perguruan Tinggi Negeri di kota ini. Calon Insinyur pertanian, Non."

"Owh, gitu. Hehe ... iya , Bi, lumayan. Pantesan aku kaget pas diterminal aku cari-cari Pak Agung tidak ketemu, eh, tiba-tiba saja ada laki-laki muda bawa papan bertuliskan nama aku dan Eyang." jawab Ghavi mengingat pertemuannya dengan Aksan kemarin sore.

" Memangnya Pak Agung kemana, Bi? Biasanya, kan beliau yang jadi supir dirumah Eyang."

" Istri Pak Agung melahirkan anaknya yang keempat, Non. Jadi minta ijin seminggu mau menemani istrinya di rumah sakit." jelas Bi Narti lagi.

" Owh, iya. Kalau si Risa sekarang dimana? Dari kemarin nggak kelihatan. Mau tanya dari semalam lupa."

" Risa ada dirumah. Baru lulus juga seperti, Non. Tapi masih bingung mau kerja dimana dengan hanya ijazah SMA." keluh Bi Narti sedih.

" Kenapa nggak kuliah saja, Bi. Sayang kalau nggak lanjut. Risa, kan anaknya pintar."

" Biaya darimana, Non. Lha wong untuk sekolah adik-adiknya saja susah." jawabnya sedih.

Anak Bi Narti tiga. Yang pertama Risa, seumuran Ghavi. Kedua Fajar, baru kelas dua SMP. Dan yang ketiga Shifa baru kelas empat SD. Suami Bi Narti meninggal karena penyakit demam berdarah satu tahun lalu. Dulu semasa hidupnya juga bekerja dirumah eyang sebagai tukang kebun dan jaga rumah kalau malam, aplusan dengan pak Agung.

Sementara Pak Agung sendiri tugasnya sesekali waktu saja jika dibutuhkan. Pekerjaan utamanya buka kios sembako dirumah dibantu istri.

" Sudah sampai, Bi. Silakan Bibi belanja. Aku ikut saja. Jangan lupa beli geplak kelapa y, Bi."

" Baik, Non."

⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋

Tak terasa sudah seminggu ini Ghavi tinggal dirumah eyangnya. Dia juga sudah melakukan pendaftaran diPerguruan Tinggi yang sama dengan Risa. Ya, setelah membujuk Bi Narti agar anaknya bisa lanjut kuliah, akhirnya Risa masuk melalui jalur beasiswa. Jadi Bi Narti tidak perlu memikirkan biayanya selama Risa bisa mempertahankan prestasi akademiknya.

Ghavi tengah tiduran dikamar saat terdengar nada dering ponselnya bernyanyi. Dengan segera diangkatnya begitu nama Liana yang tempampang dilayar.

" Hallo ... "jawabnya begitu menekan tombol hijau.

" Viiiii ... " pekiknya kencang sampai-sampai Ghavi menjauhkan benda pipih itu dari telinganya.

" Aaauw ..." Ghavi mengaduh karena merasakan sakit ditelinganya.

" Kamu jahat sekali tahu, nggak. Pergi nggak kasih kabar. Kemarin aku main ke rumah, tapi kata Bu Yoyon kamu pindah ke Jogja. Bukannya kamu sudah janji padaku mau kuliah bareng..." sungut Liana panjang lebar.

" Sorry, Li! Aku nggak jadi kuliah di Jakarta, Eyangku memintaku pulang dan kuliah di Jogja. Alasannya di Jakarta aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ada si Ibu dan Pak Yoyon. Tapi Eyang memintaku untuk tinggal, alasannya hanya aku keluarganya sekarang. sorry, ya nggak sempat kasih kabar. Ini juga mendadak sekali." jelas Ghavi tak kalah panjangnya. Tapi Ghavi sengaja tidak memberitahukan alasan lain kenapa dia terpaksa pindah. Gadis itu belum siap untuk cerita pada sahabat kecilnya itu. Eyangnya sendiri pun belum diberitahu.

" Sayang sekali, Vi, kita nggak sama-sama lagi." terdengar nada kecewa diseberang sana.

" Kita, kan masih bisa chat, vc, iya, kan?!" ujar Ghavi mencoba menghibur.

Dia sendiripun sebenarnya sedih harus jauh dari satu-satunya sahabat kecilnya yang dia percaya dalam suka maupun duka.

Beruntung sekarang disini dia sudah punya teman baru, Risa dan Aksan. Ya. Ghavi akhir nya meminta bantuan Aksan sewaktu dia dan Risa mengurus administrasi pendaftaran masuk PTN. Beruntungnya lagi Aksan membantunya dengan senang hati. Merekapun akhirnya berteman.

" Tapi aku sedih, Vi. Sudah tidak ada lagi yang aku ajak ghibah. Hehe ... " sahutnya terkekeh, meski kekehannya terdengar menyakitkan.

" Hahaha ..." Ghavi terbahak.

" Kamu bisa ghibah sama si Ujang, Li. Bukannya dia juga daftar ditempat kamu??"

" Whaatt??? Kamu g*la, ya nyuruh aku ghibah sama dia. Yang ada nanti aku diceramahi habis-habisan sama doi. Secara, kan dia anak ustad." Liana menggerutu kesal dengan candaan sahabatnya.

" Hahaha ..."

Akhirnya Ghavi jatuh tertidur setelah mengakhiri video callnya dengan Liana selama satu jam. Hari ini sangat melelahkan baginya setelah mondar-mandir bersama Risa mencari perlengkapan kuliah yang akan dimulai besok pagi.

***

pertemuan yang tak terduga

Empat bulan sudah Ghavi tinggal diJogjakarta. Hari-harinya dipenuhi dengan kesibukannya kuliah. Seperti hari ini misalnya, gadis mungil yang tingginya tidak sampai 150 cm itu tengah duduk di perpustakaan. Tangannya yang memegang alat tulis sesekali menuliskan sesuatu dibuku catatan. Kadang ia juga menggigit ujung alat tulisnya tampak sedang berpikir.

" Hai! Serius amat, sih kelihatannya."

Sebuah suara mengagetkannya. Ghavi pun menoleh sumber suara.

" Eh, kau, Jun. Kukira siapa," Timpal Ghavi sambil mengelus dada, kaget.

Sedang yang bersangkutan langsung duduk dikursi kosong sebelah Ghavi.

" Hehe ..." cengirnya lebar.

" Lagi ngerjain apaan, sih?" lanjutnya melihat beberapa buku yang berserakan dimeja Ghavi.

" Oh, ini, nih tugas dari Pak Ardi. Beliau memberi tugas supaya bikin skema perencanaan penjualan produk. Tapi aku lagi bingung, kira-kira produk apa yang sekiranya bagus dan memasyarakat, " jawab Ghavi membeberkan masalah tugasnya.

" Oh, gitu. Mmm ... apa, ya?" Juna ikut-ikutan berpikir.

Juna merupakan anak tingkat dua jurusan hukum. Mereka bertemu saat pertama kali ospek. Waktu itu Juna terburu-buru menuju parkiran tanpa mengalihkan matanya dari ponsel ditangannya sehingga menabrak Ghavi yang sedang berdiri menunggu Aksan memarkirkan mobilnya.

#Flashback on

" Bruukk!!"

Seorang laki-laki menabrak Ghavi yang sedang berdiri diparkiran, menunggu Aksan memarkirkan mobil yang mengantarnya kekampus. Hari itu merupakan hari pertama Ghavi ospek. Karena kebetulan Aksan juga masih ada beberapa keperluan dikampus, akhirnya mereka berangkat bersama. Sedang Risa sudah berangkat lebih dulu diantar pamannya yang juga mewakili orang tua Risa untuk mengurus administrasi yang belum selesai.

" Aukh ..."

Ghavi mengaduh merasa punggungnya ditabrak seseorang dari belakang hingga membuatnya sedikit terhuyung.

" Eh, so-sorry!" ucap orang itu sembari mengatupkan tangannya tanda permintaan maaf.

Ponsel ditangannya terus berdering meminta jawaban.

" Kenalkan, namaku Arjuna. Panggil saja Juna," lanjutnya menyodorkan tangan.

" Mm ... Ghavi," jawab Ghavi membalas jabatan tangan.

" Sekali lagi, maaf! Aku nggak sengaja. Ok, aku lagi buru-buru. Duluan, ya."

Tanpa menunggu balasan dari Ghavi, Juna berlari menuju mobilnya seolah dikejar bunyi telepon yang terus menjerit.

" Vi, kok bengong. Ada apa"

Terdengar suara Aksan yang entah sejak kapan disampingnya mengagetkan keterdiaman Ghavi yang masih menatap kepergian mobil Juna yang kian jauh.

" Eh, oh ... nggak, kok. Itu tadi ada cowok nabrak aku, " jawab Ghavi terkejut.

" Tapi kamu nggak apa-apa, kan?!" tanya Aksan khawatir.

" Enggak, kok. Aku nggak apa-apa. Ya, sudah, yuk!"

Ghavi pun mengajak Aksan memasuki gedung. Mereka berpencar sesuai tujuan masing-masing.

" Entar mau ditunggu atau ..."

" Nggak usah. Mas Aksan pulang duluan saja. Ntar aku pulang bareng Risa sekalian mampir beli pesanan Eyang."

" Oh, ya sudah kalau begitu. Hati-hati!"

Ghavi mengangguk lalu mengacungkan jempolnya kemudian bergegas masuk kelapangan tempatnya ospek.

Dan sejak kejadian itu mereka sering dipertemukan diberbagai kesempatan. Risa pun dikenalkannya juga dilain pertemuan yang mempertemukan keduanya untuk ketiga kalinya.

Hingga sekarang mereka bertiga tampak sering terlihat bertiga meski jurusan ketiganya berbeda. Ghavi mengambil jurusan ekonomi managemen, sedangkan Risa memilih jurusan administrasi perkantoran. Sementara Juna memenuhi keinginan orang tuanya untuk mengambil hukum, sebab, orang tua Juna sangat berharap anaknya mau mengikuti jejak sang ayah yang berprofesi sebagai pengacara.

Mereka pun sering menghabiskan waktu bersama. Kadang dikantin, tempat parkir atau perpustakaan. Tak jarang pula mereka pergi menghabiskan akhir pekan dimall seperti anak muda yang lain.

#flashback off

" Ghaviiii ...!!!"

Sebuah suara pekikan tertahan menuju kearah Ghavi dan Juna.

Ghavi melotot pada sosok perempuan yang memanggil namanya. Mengisyaratkan untuk tidak berisik mengingat keberadaan mereka yang ada diperpustakaan.

" Sssttt ...!!!"

Diletakkannya jari telunjuk Ghavi dibibirnya.

" Jangan berisik bisa, nggak, sih. Mau kamu dimarahin Bu Sari," celetuk Juna ikut-ikutan melotot.

Sedang yang diperingatkan langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan. Tubuhnya langsung dijatuhkan didepan Ghavi dan Juna.

" Ups, sorry!" jawabnya nyengir.

" Habisnya aku, tuh nyari kamu di kantin dari tadi nggak ketemu. Tahunya disini," tukasnya.

" Kenapa kamu berpikir aku ada dikantin?" jawab Ghavi mengernyitkan dahi.

" Ya, soalnya jam istirahat. Biasanya kan kamu suka dikantin kalau jam istirahat. Mojok sambil minum es d*lgona yang lagi viral itu," jawab Risa menebak.

" Terus, tahunya sekarang aku disini?"

" Emang kemana lagi tempat favorit kita kalau bukan dikantin dan disini??!"

Risa malah balik bertanya.

" Hehe ... Iya juga, sih."

" Eh, gimana, Vi.. Jadinya kamu mau bikin apa buat tugas kuliah dari Pak Ardi?"

Risa bertanya saat melihat dimeja banyak buku berserakan dan juga buku catatan didepan cucu majikan ibunya itu.

Meski begitu, sikap Ghavi selalu baik padanya. Bahkan berkat bujukan Ghavi pada ibunya itulah sekarang Risa bisa melanjutkan kuliah.

" Hm, aku belum yakin mau bikin apa. Tapi aku sudah punya gambaran, sih. Hanya saja aku perlu survey dulu."

Ghavi dan Risa masih terus asyik membahas tugas Ghavi yang harus dikumpulkan minggu depan.

Juna yang merasa diacuhkan pun mulai bosan dengan kedua cewek sahabatnya itu.

" Huft, yang udah ketemu belahan jiwa, lupa, deh sama yang disebelahnya," celetuk Juna manyun.

" Hahaha ...!!!"

Dua sahabat itu lantas tertawa kompak mendengar gerutuan Juna.

" Sstt ...!!"

Bu Sari memberi kode agar mereka tidak berisik. Ghavi dan Sari pun malu dengan peringatan itu.

Dengan cekatan Ghavi membereskan buku-buku yang dia pinjam tadi sebagai bahan referensi dan mengembalikannya pada Bu Sari.

" Ini, Bu. Bukunya sudah. Terima kasih dan maaf sudah membuat kegaduhan."

Ghavi menyodorkan buku-buku ditangannya pada Bu Sari. Setelang mendapat anggukan, gadis itu langsung ngacir menyusul dua sahabatnya yang terlebih dulu keluar perpustakaan.

" Huft ..."

Ghavi menghela napas kasar. Untung dia cepat keluar. Kalau tidak, entah ceramah apa yang akan diterimanya dari Bu Sari. Terlalu sering sudah dia mendapatkannya.

"Hihihi ...!!!"

Risa dan Juna terkikik geli melihat raut wajah Ghavi yang kini ditekuk. Dia memang yang selalu kena nasihat Bu Sari karena dua sahabatnya selalu berhasil melarikan diri. Padahal, Risa dan Juna juga ikut andil disetiap kegaduhan yang mereka buat.

" Ngapain kalian tertawa. Senang lihat teman sengsara??" gerutu Ghavi kesal.

" Sorry, deh sorry!"

Juna merangkul pundak sahabatnya agar tidak marah lagi.

" Mending, tuh kepala diademin pakai es favorit kamu. Biar nggak meledak," bujuk Juna membawa Ghavi kekantin.

Risa hanya diam mengikuti langkah Juna yang setengah menyeret Ghavi supaya cepat sampai kekantin. Dia tahu persis bagaimana Ghavi. Semakin dijawab semakin ngambek. Jalan Satu-satunya memang dirayu dengan minuman kesukaannya.

"Pokoknya aku mau pesan dua cup, ya," pinta Ghavi mash dengan muka manyun.

" Iya. Lima cup juga boleh, kok. Kamu, kan lagi masa pertumbuhan, jadi harus banyak asupan."

Juna menarikkan kursi pada Ghavi begitu mereka sampai dikantin.

Ghavi melotot. Dia palingvtidak suka dianggap seperti anak kecil dalam masa pertumbuhan, meski tubuh mungilnya terlihat jelas seperti anak tiga belas tahun yang sedang dalam masa pertumbuhan.

" Aku juga, dong ditraktir. Aku juga sedang masa pertumbuhan, nih," rengek Risa duduk disamping Ghavi. Sementara Juna memesan minuman.

" Enak saja. Bayar sendiri."

" Kamu, tuh perhitungan amat jadi cowok. Masa cuma Ghavi saja yang ditraktir," sungut Risa mencebikkan bibir.

" Biarin, wheee ...!" Juna memeletkan lidahnya.

Begitulah mereka. Meski terlihat tidak akur, nyatanya mereka yang saling melengkapi. jika salah satu dari mereka ada yang kurang, maka suasananya tidak sehangat saat bertiga.

***

" Eh, dengar-dengar ada dosen baru, lho. Katanya dia bakal ngajar di kelas ekonomi," celetuk Risa menyambar minuman ditangan Juna.

" Ya, elaaah. Sabar napa, Non." Juna mendumel datang-datang langsung diserobot.

" Kata si Dewi orangnya juga cakep. Aku jadi penasaran, seganteng apa, sih dia?!"

Risa masih terus saja nyerocos tanpa mempedulikan dumelan Juna. Diseruputnya minumannya hingga setengah.

" Kamu haus apa doyan, Sa. Kayak nggak pernah minum saja."

Ghavi melihat ilfil Risa. Namun sepertinya Risa tidak peduli. Dia kembali menyeruput minumannya hingga tandas. Diambilnya lagi minuman didepan Juna. Lagi-lagi diseruputnya hingga setengah.

" Eh, eh ... Itu punya aku, tahu. Main serobot saja. Lagian kamu kesambet apaan, sih. minum kayak orang kesurupan gitu," omel Juna.

Dirinya sedang asyik dengan ponselnya sehingga tidak sadar minumannya sudah beralih tangan.

" Tahu, tuh bocah. Kayak nggak minum seminggu lamanya."

Tiba-tiba terdengar suara riuh dari arah pintu masuk kantin. Disana tampak kerumunan Dewi and the gank mengelilingi seseorang.

Dari postur tubuhnya yang tinggi, sepertinya orang itu laki-laki sebab dari jauh terlihat kepalanya dengan rambutnya yang cepak.

" Kenalan, dong, Pak. Bapak yang katanya dosen baru, ya?!"

Dewi mulai pasang aksinya.

Ya. Dewi and the gank merupakan anak ekonomi tingkat atas, setingkat dengan Juna. Itu artinya satu tingkat diatas Ghavi.

Mereka mengaku anak-anak orang berada. Apalagi ditambah cara mereka berpakaian dan aksesoris yang dipakainya, meyakinkan memang.

"Aku Dewi Cantika, Pak. Panggil saja Dewi," katanya memperkenalkan diri.

Tangannya mengulur meminta perkenalan.

Sedang orang itu sepertinya acuh saja. Terbukti dia terus melangkah masuk tanpa menyambut uluran tangan Dewi yang ada didepannya.

Dewi pun terlihat kesal menghentakkan kakinya. Akhirnya Dewi and the gank memutuskan pergi dari kantin. Rupanya dia merasa diabaikan oleh dosen baru itu. Apalagi kantin masih cukup ramai dan dia jadi pusat perhatian.

"Huuuuu ...!"

Terdengar sorakan mengiringi kepergian Dewi dan temannya.

" Ehem .... Maaf, boleh saya ikut duduk disini, sepertinya hanya kursi ini yang kosong," tunjuk seseorang pada kursi disebelah Ghavi.

Ghavi yang sedang membalas chat dari Liana pun menoleh.

" Bo-leh. Kkau ...??!" Ghavi pun terkejut siapa gerangan orang yang memintanya duduk dikursi disebelahnya. Tangannya menunjuk dada orang itu.

"Kau, kan ...?!"

Orang itu juga menunjuk Ghavi tak menyelesaikan kalimatnya. Dia juga terkejut melihat gadis mungil yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!