Khanza masih setia duduk di depan layar komputernya untuk mengerjakan pekerjaan yang diberikan oleh Reza yang tak lain adalah CEO nya.
Ia sedikit kesal dengan Reza yang selalu memberikan pekerjaan kepadanya yang sangat banyak.
"Khanza, Pak Reza meminta kami untuk ke ruangannya." ucap Bimo.
Khanza yang mendengarnya langsung menghela nafas panjang.
Ia pun bangkit dari duduknya dan segera menuju ke ruangan Reza.
Tok..... tok..... tok.....
"Masuk," ucap Reza.
"Ada apa Pak?" tanya Khanza.
"Ini apa?" tanya Reza sambil menunjuk surat pengajuan cuti selama tujuh hari.
"Saudara saya menikah, Pak. Dan mama meminta saya untuk mengajukan cuti." jawab Khanza.
Reza meminta Khanza untuk duduk terlebih dahulu.
"Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Reza.
"Belum selesai, Pak. Setelah ini saya selesaikan." jawab Khanza.
Reza mengernyitkan keningnya saat mendengar jawaban dari Khanza.
"Apakah kamu sudah tidak betah bekerja disini? Atau kamu membenci saya?"
Khanza terdiam sejenak dan ia membayangkan kalau sedang menampar pipi Reza berkali-kali.
"Kenapa kamu malah melamun? Sedang membayangkan mau menampar saya?"
Khanza menggelengkan kepalanya saat mendengar perkataan dari Reza.
"Kenapa dia bisa tahu sih? Apa dia dukun?" gumam Khanza.
Reza menatap wajah Khanza yang salah tingkah di hadapannya.
"Saya akan menandatangani surat pengajuan cuti kamu. Asalkan saya boleh ikut ke pernikahan saudara kamu." ucap Reza.
Khanza langsung membelalakkan matanya saat mendengar perkataan dari Reza.
"Apa maksud Bapak?" tanya Khanza tak percaya.
Reza hanya menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, tatapannya tenang namun menusuk.
"Saya ingin tahu seperti apa suasana pernikahan di desa. Itu saja."
"Tapi, saya pergi dengan pacar saya, Pak." ucap Khanza.
Reza bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Khanza.
"Ajak aku saja, jangan sama pacar kamu yang kampungan itu."
Khanza sedikit terkejut dengan perkataan yang dilontarkan oleh Reza.
"Pak, atas dasar apa bapak mengejek pacar saya? Saya ini hanya mau cuti, Pak."
Reza mengambil surat itu dan akan merobeknya agar Khanza tidak jadi cuti.
Khanza yang melihatnya langsung menahan tangan Reza.
"B-baiklah kalau begitu. Bapak boleh ikut ke pernikahan saudara saya."
Reza mengambil bolpoin dan langsung menandatangani nya.
"Sekarang kamu boleh keluar dan lanjutkan pekerjaan kamu."
"Dasar resek!"
Khanza keluar dari ruang kerja Reza dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Saat jari tangannya akan mengetik, ia ingat jika Yanuar tidak bisa ia ajak ke pernikahan saudaranya.
Khanza mengambil ponselnya dan menghubungi Yanuar.
"Haloo, sayang. Tumben jam segini sudah telepon aku?" tanya Yanuar.
"Yan, sepertinya kamu tidak bisa ikut ke Mbak Desy. Soalnya Mama memintaku untuk berangkat sama-sama."jawab Khanza yang akhirnya terpaksa membohongi kekasihnya.
"Apa? Kamu serius, Za? Padahal aku sudah menyiapkannya hadiah buat Mbak Desy." ucap Yanuar.
Khanza merasakan dadanya sesak saat mendengar perkataan dari kekasihnya yang sudah menyiapkan kado untuk Desy.
"Za. Kamu masih disana?".
"I-iya Yan. A-aku baru saja ambil air minum. K-kadonya kita berikan setelah acara Mbak Desy selesai saja."
"Iya sayang, aku titip salam buat mama dan keluarganya disana, ya."
Khanza langsung menutup ponselnya dan ia merasa bersalah kepada Yanuar.
Khanza meletakkan ponselnya di meja, lalu menundukkan kepala.
Ia membenci kenyataan bahwa harus berbohong kepada Yanuar, lelaki yang selama ini selalu sabar menemaninya.
Semua gara-gara Reza bos arogan yang seenaknya sendiri.
"Kenapa sih dia harus ikut-ikutan ke pernikahan Mbak Desy? Apa kurang kerjaan di kantor sampai ikut campur juga dalam urusan pribadiku?" batin Khanza dengan gusar.
Ia mencoba kembali fokus mengetik, tapi pikirannya berantakan.
Setiap kali menatap layar komputer, bayangan wajah Reza yang dingin dan tatapan tajamnya muncul begitu saja.
"AARGGGHHH!!"
Semua orang yang ada disana langsung terkejut ketika mendengar suara teriakkan Khanza.
"Kamu nggak apa-apa, Za?" tanya Lia.
"A-aku nggak apa-apa, Li."
Khanza kembali mengerjakan pekerjaannya yang masih banyak.
Detik demi detik berganti dan Khanza sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Ia kembali masuk ke ruangan Reza dan menaruh pekerjaannya disana.
"Za, besok aku jemput ya. Awas kalau kamu kabur." ucap Reza.
"Iya, Pak. Terserah bapak mau jemput dimana." ujar Khanza.
Khanza yang sudah menyelesaikan pekerjaannya langsung mengambil tasnya dan pulang ke rumah.
Ia melajukan motor bututnya yang sering mogok di tengah jalan.
Sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Kenapa dia mau ikut, ya? Apa selama hidupnya, dia tidak pernah ke desa?"
Khanza yang tadi mau istirahat kembali bangkit dari tempat tidurnya.
Ia mengambil kopernya dan memasukkan semua pakaiannya di dalam sana.
Sementara itu Reza juga telah sampai di apartemennya.
Ia tersenyum tipis saat melihat Khanza yang terkejut ketika ia ikut.
Reza memasukkan pakaiannya kedalam koper dan ia meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam.
"Den Reza, mau pergi jauh?" tanya Bi Rita
Reza menganggukkan kepalanya dan mengatakan kalau ia ada pekerjaan di luar kota.
Setelah selesai makan malam, Reza kembali ke kamarnya.
Keesokan paginya dimana Reza sudah melajukan mobilnya menuju ke rumah Khanza.
Tak berselang lama ia menghentikan mobilnya di depan rumah Khanza.
Khanza yang melihat mobil Reza, langsung menghampirinya
"Ayo, lekas masuk. Aku sudah tidak sabar ingin ke desa."
Khanza mengerucutkan bibirnya dan merasa heran melihat Reza.
"Padahal yang nikah kan saudariku, kenapa dia yang bahagia." ucap Khanza dalam hati
Khanza membuka pintu belakang dan akan duduk.
"Za, duduk depan. Aku bukan sopir kamu." ucap Reza sambil membetulkan kacamatanya.
"Iya, Pak. Bawel banget sih."
Khanza membuka pintu depan dan segera duduk.
Setelah itu Reza kembali melajukan mobilnya menuju ke desa Teratai.
Khanza mengambil ponselnya dan mengatakan kepada Yanuar kalau ia sudah berangkat ke desa Teratai.
"Za, ngelamun apa? Grogi ya duduk samping orang tampan." ucap Reza.
"Huekkk, najis. Amit-amit, Pak. Tampan dari mana?"
Reza tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Khanza.
"Lho, Za. Aku tampan lho. Banyak wanita yang suka dan rela mengejar aku."
"Kecuali aku, Pak. Jangan sampai aku suka sama Pak Reza. Jika aku suka sama Pak Reza. Aku akan jalan kaki dari rumah ke kantor." ucap Khanza.
"Deal, aku pegang janji kamu."
Khanza menggelengkan kepalanya dan ia mencoba memejamkan matanya agar Reza tidak mengajaknya bicara.
“Kamu kalau pura-pura tidur jangan tegang gitu wajahnya, Za. Orang awam pun tahu kalau itu bohong.”
Khanza membuka sedikit matanya dan mendesah kesal.
“Pak, bisa nggak sih jangan ganggu saya? Perjalanan ini masih panjang, saya mau istirahat.”
Reza menahan tawanya dan kembali fokus menyetir.
Lima jam kemudian mereka telah sampai di desa Teratai.
Mereka melihat sudah banyak tamu yang hadir di pernikahan Desy.
Reza dan Khanza turun dari mobil dan para tamu beserta keluarga besar langsung melihat ke arah mereka.
"Khanza, Mama kira kamu tidak datang. Dan siapa ini? Calon kamu?" tanya Mama.
"B-bukan, Ma. Ini...."
Saat akan menjawab pertanyaan dari Mamanya, tiba-tiba Kakek menggeret tangan Mama.
Kakek membisikkan sesuatu ke telinga Mama yang memintanya untuk menikahkan Khanza sekarang juga.
Mama menganggukkan kepalanya dan ia mengajak Khanza ke dalam.
"Ada apa, Ma?" tanya Khanza.
"Kakek, meminta kamu untuk menikah sekarang. Kakek sudah meminta penghulu untuk menikahkan kalian berdua."
"Ma, tapi aku dan Pak Reza hanya sebatas...,"
Mama mengajak Khanza masuk dan mengganti pakaiannya.
Setelah itu Mama berjalan menuju ke Reza yang masih berdiri kebingungan.
"Nak, mari ikut saya." ajak Mama.
Reza menganggukkan kepalanya dan ia ikut dengan Mama.
Mama memanggil penata rias dan mengatakan kalau akan ada pernikahan antara Khanza dan Reza.
"APA?!"
Reza langsung terkejut dan ketika ia akan menghindar.
Ia melihat Khanza yang sudah memakai kebaya pengantin.
"Kalau aku pergi sekarang, pasti Khanza akan dinikahkan oleh orang lain." gumam Reza.
Ia pun langsung duduk saat perias wajah memintanya untuk duduk.
Reza sudah memakai jas hitam dan tak berselang lama Khanza yang sudah mengenakan baju pengantin.
Ia melihat Reza yang sudah bersiap melakukan akad nikah.
"Pak, ayo kita kabur dari sini. Aku tidak bisa menikah dengan anda. Aku punya kekasih," pinta Khanza.
"Za, kita bisa saja kabur dari sini. Tapi, lihatlah wajah ibu, kakek dan keluarga besar kamu. Apa kata mereka nanti jika kita kabur?"
"Semua ini kesalahan, Pak Reza. Coba Pak Reza tidak ikut, pasti ini tidak akan terjadi. Aku akan menghubungi Yanuar, agar dia kesini."
Khanza mengambil ponselnya dan menghubungi Yanuar.
Yanuar yang sedang berada dikampus, langsung mengangkat ponselnya.
"Iya, Za. Ada apa,? Kamu sudah sampai?" tanya Yanuar.
"S-sudah, Yan. Yan, kamu bisa kesini? Kakek memintaku untuk segera menikah."
Yanuar terdiam sejenak saat mendengar perkataan dari Khanza.
"Za, maaf. Bukannya aku nggak mau, tapi aku sekarang sedang mengejar S-2 ku. A-aku tidak bisa kalau sekarang."
Khanza langsung mematikan ponselnya dan ia memandang wajah Reza.
Disaat mereka saling pandang, Mama masuk dan menggandeng tangan mereka berdua.
Dessy yang sudah siap untuk melakukan ijab Kabul Langs menggenggam tangan Khanza.
Kakek menghampiri Reza dan mengajaknya ke Penghulu.
Reza menganggukkan kepalanya dan ia siap melakukan ijab Kabul.
Penghulu meminta Reza untuk duduk di hadapannya.
Semua mata tertuju pada meja akad, di mana Reza sudah duduk di depan penghulu, sementara kakek Khanza duduk di sampingnya sebagai wali.
Khanza sendiri hanya bisa duduk lemas di belakang, ditemani ibunya yang sesekali menggenggam tangannya erat, seolah memberi kekuatan.
“Baiklah, mari kita mulai akad nikahnya,” ucap penghulu dengan suara tegas namun tenang.
Reza menarik napas panjang, lalu menatap kakek dengan penuh hormat.
"Saya terima nikah dan kawinnya Khanza Az-Zahra binti Almarhum Muhammad dengan mas kawin 10000 US Dollar dan villa dibayar tunai."
"Bagaimana saksi?"
"SAH!"
Suara tepuk tangan meriah terdengar di telinga Khanza.
Khanza meneteskan air matanya dan ia sudah mengkhianati Yanuar kekasihnya.
"Khanza, akhirnya kamu menikah juga sayang. Mama doa'kan semoga pernikahan kalian sakinah mawadah warahmah." ucap Mama.
Khanza hanya diam mematung dan melihat Reza yang melihat kearahnya.
Setelah akad nikah Reza dan Khanza. Sekarang akad nikah Dessy dan Malik.
Mereka kembali bertepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak.
Selesai akad, suasana rumah penuh dengan riuh tawa dan ucapan selamat.
Semua keluarga merasa bahagia, kecuali Khanza yang hanya diam.
Senyum yang ia tunjukkan hanyalah topeng, sementara di dalam hatinya porak-poranda.
Ia duduk di kursi pelaminan dengan gaun pengantin putih, tangannya gemetar saat Reza duduk di sampingnya.
Wajahnya memang tampan dan penuh wibawa, tapi bagi Khanza, ia hanyalah sumber masalah.
“Kenapa wajah kamu tegang begitu?” bisik Reza, suaranya rendah agar tak terdengar orang lain.
“Karena aku tidak bahagia, Pak. Aku menikah bukan dengan cinta, tapi karena dipaksa keadaan.” jawab Khanza dengan suara bergetar.
Reza menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi hatinya. Lalu ia tersenyum tipis.
“Kalau begitu, biarkan aku yang berusaha membuatmu bahagia. Tersenyumlah dan buatlah keluarga kamu bahagia."
Musik gamelan khas desa mulai mengalun, mengiringi suasana bahagia yang memenuhi halaman rumah.
Para tamu undangan menari dengan gembira, sementara keluarga besar ikut larut dalam kebersamaan.
Mama memanggil Reza dan Khanza agar ikut bergabung bersama keluarga besar.
Reza mengajak Khanza untuk menari di tengah keluarga besar.
"Ayo, Za. Jangan bikin keluarga kecewa.” bisiknya lembut, tapi penuh penekanan.
Dengan berat hati, Khanza meletakkan tangannya di telapak tangan Reza.
Degup jantungnya semakin kencang, bukan karena cinta, melainkan karena amarah dan resah yang bercampur jadi satu.
Langkah demi langkah, mereka bergerak mengikuti irama.
Setelah menari, Reza dan Khanza kembali duduk di kursi pelaminan.
Para tamu bertepuk tangan, bersorak gembira melihat pasangan pengantin baru itu menari bersama.
Namun, di balik senyum tipisnya, Khanza menahan tangis.
Langit sudah mulai gelap dan para tamu sudah pulang.
Mama meminta Khanza mengajak suaminya untuk masuk kedalam kamar yang sudah disiapkan.
Khanza pun mengajak Reza masuk ke kamarnya yang ada di lantai atas.
Ia melihat kamar yang sudah dihias layak pengantin lainnya.
Di dalam kamar, Khanza duduk sambil menatap wajahnya dicermin.
Ia melihat dirinya yang memakai kebaya pengantin dan sudah resmi menjadi suami Reza.
Reza mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
"Kenapa hidupku bisa serumit ini? Kenapa harus aku yang dikorbankan?" gumam Khanza.
Andaikan saja Khanza tahu akan seperti ini, ia pasti tidak akan datang ke pernikahan Desy.
Ia masih memandang wajahnya yang riasannya sudah luntur.
Terdengar suara Pintu kamar mandi yang dibuka oleh Reza.
"AAAAAA!! PAK REZA KENAPA TIDAK PAKAI BAJU!! AAAA!!"
Khanza berlari menuju ke tempat tidur dan langsung menutup tubuhnya dengan selimut.
"Za, tenang dulu! Jangan berteriak seperti itu. Mereka akan mengira kalau kita melakukan malam pertama."
Khanza memeluk erat selimut, wajahnya memerah antara malu dan marah.
“Pak Reza! Bisa nggak sih, jangan bikin situasi makin aneh?!”
Reza hanya terkekeh kecil, lalu mengambil kemeja putih dari koper dan memakainya dengan santai.
“Za, kita sudah resmi menikah. Kamu nggak perlu terlalu kaku begitu.”
Khanza membuka selimutnya dan melihat Reza sudah memakai pakaiannya.
"Resmi menikah? Ini namanya pemaksaan, Pak. A-aku tidak mau menikah dengan Pak Reza." ucap Khanza.
Reza mendekat ke arah Khanza yang dari tadi bicara terus.
"P-pak Reza mau apa? Jangan aneh-aneh, Pak!"
Khanza berjalan mundur saat Reza mendekat kearahnya.
Reza naik ke atas tempat tidur dan langsung memeluk gulingnya.
"Selamat istirahat, sayang. Lekas tidur dan jangan sentuh aku." ucap Reza sambil tertawa kecil.
"Isshh, najis, Pak!" ucap Khanza.
"Awas kalau malam-malam peluk aku," ucap Reza.
Khanza mengambil guling dan bantal yang langsung ia taruh di tengah-tengah mereka.
Khanza menarik selimut sampai menutupi wajahnya.
Jantungnya masih berdebar keras karena ulah Reza yang seenaknya sendiri.
Di sisi lain, Reza sudah berbaring santai sambil memainkan ponselnya.
Sesekali ia melirik Khanza yang dari tadi pura-pura tidur.
“Kamu pikir aku nggak tahu, Za? Nafasmu saja masih ngos-ngosan,” ucap Reza.
“Pak! Bisa nggak sih jangan ganggu saya?!” sahut Khanza dari balik selimut, suaranya lirih tapi penuh kekesalan.
“Dasar bocah. Sudah jadi istri orang tapi masih suka ngambek.”
Khanza membuka sedikit selimutnya, menatap Reza dengan kesal.
“Istri orang? Jangan mimpi! Ini cuma status di atas kertas. Hati saya tetap milik Yanuar!”
Reza membalikkan tubuhnya dan melihat Khanza yang berada di balik selimutnya.
“Yanuar? Yanuar, saja tidak mau datang kesini. Malam ini kamu boleh benci aku sepuasnya. Tapi ingat, mulai hari ini kamu adalah Khanza Reza Az-Zahra."
Khanza terkejut ketika mendengar perkataan dari suaminya.
Ia pun buru-buru langsung memejamkan matanya.
"Lekas tidur dan jangan tidur di sofa."
"Iya, Iya. Bawel amat sih, Pak."
Reza kembali tertawa kecil melihat tingkah istrinya yang lucu.
Setelah itu ia juga menyusul tidur di tengah bantal dan guling yang memisahkan mereka berdua.
Keesokan paginya dimana jam menunjukkan pukul lima pagi.
Khanza membuka matanya dan ia meminta suaminya yang masih tertidur pulas.
Ia membelalakkan matanya saat dirinya yang sedang memeluk tubuh suaminya.
Bantal guling yang berdada di tengah mereka sudah berada di lantai.
Jantung Khanza berdetak kencang saat melihat ketampanan suaminya.
"Apakah kamu sudah sadar jika suamimu ini tampan?" tanya Reza yang sudah bangun dari tadi.
Khanza melepas pelukannya dan bangkit dari tidurnya.
"Dasar lelaki mesum!"
"Sayang, kamu yang memelukku. Lihatlah bantal dan guling sudah jatuh kemana-mana."
Khanza lekas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Setelah selesai mandi, gantian Reza yang masuk ke kamar mandi.
Tok... tok... tok...
"Khanza, ayo sarapan bersama. Semua sudah menunggu kalian." ucap Mama.
"I-iya Ma, sebentar lagi Khanza sama Pak Reza turun."
Mama tersenyum dan kembali ke ruang makan dimana semua orang sudah menunggunya.
Sepuluh menit kemudian Reza keluar dan seperti biasa ia tidak memakai pakaiannya.
"AAAAAAA!!"
Semua orang yang di ruang makan hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Mereka mengira kalau mereka berdua melakukan ritual olah raga.
"Pak! Jangan seperti itu! Lekas pakai pakaian." Khanza melempar bantal ke arah Reza.
"Kenapa teriak? Kan kamu sudah sering lihat aku begini.”
Khanza menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Sering lihat apanya?! Baru semalam sama barusan. Dasar narsis!
“Baru semalam sama barusan? Berarti kamu lihat ya ,sayang."
Wajah Khanza langsung memerah saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Lekas pakai pakaian dan ayo kita turun buat sarapan." ucap Khanza sambil memejamkan matanya.
"Za, buka matamu. Apakah kamu tidak mau melihat senjata suamimu ini?"
"Suami kepalamu! Kalau bukan karena dipaksa, aku nggak mungkin mau menikah sama bos nyebelin kayak kamu.”
Reza tertawa kecil dan lekas memakai pakaiannya.
Setelah itu ia mengajak istrinya turun ke bawah untuk sarapan.
"Selamat pagi, pengantin baru." ucap Kakek.
"Selamat pagi, Kek."
Reza menarik kursi dan mempersilahkan istrinya untuk duduk.
"Bagaimana semalam? Apakah kalian sudah siap memberikan cucu untuk Kakek?" tanya Kakek.
Khanza yang menyeruput teh hangatnya langsung tersedak.
“Ukhuk… ukhukk!” Khanza buru-buru menaruh cangkir tehnya sambil menepuk-nepuk dadanya.
Reza mengambil kain dan membersihkan tumpahan air yang ada di dekat istrinya.
"Kakek tenang saja, aku akan memberikan 11 cucu untuk Kakek. Nanti kita buat kesebelasan" jawab Reza.
"Kesebelasan? Mau jadi Timnas?" gumam Khanza.
Mama menggelengkan kepalanya dan meminta mereka untuk lekas sarapan.
"Ma, setelah ini aku akan mengajak istriku pulang. Apakah boleh?" tanya Reza.
Khanza melihat Reza yang tiba-tiba meminta ijin kepada Mama.
"Tentu saja boleh, Nak Reza. Lagipula kalian kan sudah sah menjadi suami istri. Sudah seharusnya tinggal bersama dan belajar membangun rumah tangga.”
"Tapi, Ma. Khanza masih ingin disini dan bukankan aku sudah mengajukan cuti tujuh hari." ucap Khanza.
Mama menghela nafas panjang saat mendengar rengekan putrinya.
"Khanza, sekarang kamu sudah mempunyai suami. Dan kamu harus patuh sama suami kamu."
"Tuh, dengerin apa kata Mama. Harus patuh sama suami." ucap Reza.
Khanza yang gemas langsung mencubit lengan suaminya.
"Menyebalkan!"
Khanza memasukkan pakaiannya dengan gerakan cepat dan kasar, seolah-olah koper itu adalah Reza yang ingin ia tinju.
Reza berdiri di pintu kamar dengan tangan bersedekap, menyandarkan tubuhnya ke kusen sambil tersenyum menyebalkan.
“Kamu selalu terlihat lucu kalau lagi marah, Za.”
“Lucu dari Hongkong?! Aku bener-bener nyesel, kenapa harus kejadian begini,” desis Khanza sambil menutup koper dengan keras.
Reza berjalan mendekat, lalu menunduk tepat di hadapan istrinya.
“Kamu nyesel? Jangan-jangan nanti jatuh cinta sama aku malah tambah nyesel.”
“Jatuh cinta sama bos arogan seperti kamu? Amit-amit Ya Allah."
“Kita lihat saja nanti, sayang.”
Setelah semuanya siap, mereka berpamitan kepada Kakek, Mama, Desy dan keluarga lainnya.
"Nak Reza, Mama titip Khanza ya." ucap Mama.
"Iya, Mama. Saya berikan akan menjaga Khanza." ujar Reza.
Khanza memeluk tubuh mamanya dsn setelah itu ia masuk kedalam mobil.
"Za, bisa tidak kalau mulai sekarang panggil aku dengan sebutan sayang atau Mas?"
"Huek! Mending aku manggil kamu ‘Bos Nyebelin’ aja!” ucap Khanza yang langsung memalingkan wajah.
Reza terkekeh lagi, puas karena bisa membuat istrinya salah tingkah.
Ia pun langsung melajukan mobilnya menuju ke rumah yang sudah ia siapkan.
Di dalam mobil, Khanza melihat ponselnya dan membaca pesan yang dikirimkan oleh Yanuar.
[Za, kamu sedang apa di sana? Masih marah sama aku? Aku tetap pengin kita bareng kasih hadiah ke Mbak Desy.]
Khanza melihat pesan yang dikirimkan oleh Yanuar.
Tangannya bergetar saat hendak membalas, Reza meliriknya.
"Pacar kampungan kamu mengirim pesan?" tanya Reza.
"Pak, tolong jangan hina Yanuar seperti itu. Dia lebih baik dari pada kamu yang arogan." jawab Khanza.
"Za, kalau aku arogan. Kenapa sekarang kamu jadi istriku? Dan kenapa dia tidak mau datang, saat kamu memintanya?"
Khanza langsung terdiam saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Karena paksaan dan aku nggak bisa berbuat apa-apa."
Khanza memasukkan ponselnya lagi kedalam tasnya.
Ia merasa kecewa dengan Yanuar yang tidak mau datang.
Beberapa jam kemudian, Reza menghentikan mobilnya di depan rumah yang baru saja ia beli.
Reza mengajak istrinya untuk masuk kedalam rumah.
"Selamat datang di rumah kita," ucap Reza.
"Ini rumah kamu, bukan rumah kita." ujar Khanza.
Reza mengajak istrinya untuk melihat-lihat kamar yang ada disana.
"Mana kamarku?" tanya Khanza.
"Tidak ada kamarmu dan kamarku. Yang ada kamar kita berdua," jawab Reza sambil membawa koper Khanza.
Khanza melihat kamar yang begitu besar dan tempat tidur yang sudah dihias layak pengantin baru.
"Pak, bisa kita bicara sebentar?"
Reza menganggukkan kepalanya dan ia duduk di samping Khanza.
"Aku ingin Pak Reza, merahasiakan pernikahan kita di perusahaan atau di luar perusahaan. Aku tidak mau teman-teman tahu pernikahan kita." pinta Khanza.
Reza menatap Khanza dengan tatapan serius, kali ini tanpa senyum menyebalkan yang biasanya menghiasi wajahnya.
“Kenapa? Kamu malu jadi istriku?” tanya Reza.
"B-bukan seperti itu, Pak. Hanya saja saya belum siap dan saya butuh waktu untuk semuanya." jawab Khanza.
Reza menghela nafas panjang saat mendengar jawaban dari istrinya.
"Hmm, baiklah. Aku bisa merahasiakan ini, tapi dengan satu syarat.”
"Syarat apa, Pak? Bapak jangan macam-macam." ucap Khanza.
Reza menundukkan wajahnya dan menatap dalam ke arah Khanza.
“Syaratnya sederhana, Za. Mulai sekarang, kalau kita di rumah kamu jangan panggil aku ‘Pak’ atau ‘Bos’. Aku suamimu, bukan atasanmu.”
“A-aku, tidak bisa, itu aneh.”
“Kalau kamu masih manggil aku ‘Bos’, berarti kamu yang tidak serius dengan pernikahan ini. Aku tidak main-main, Za.”
Reza keluar dari kamarnya menuju ke ruang kerjanya.
Ia meninggalkan Khanza yang masih didalam kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!