"Baru saja memulai, aku sudah jadi janda.."
Gumam an yang masih terdengar itu membuat orang-orang yang berjaga di sekelilingnya menundukkan kepala. Tidak ada senyuman. Di tengah cuaca yang mendung akan hendak hujan, seorang wanita berparas jelita berdiri menatap batu nisan di hadapannya.
Sorot tatapan mata hazel itu nampak kosong tetapi bukan lemah. Keindahannya masih melekat namun sinarnya seolah redup. Sangat tak terduga sekali bahwa tempat sakral seperti pemakaman ini akan ia kunjungi, bukan orang lain tetapi mengunjungi suaminya sendiri..
Suami yang beberapa hari lalu menikahinya, kini telah meninggalkan nya bahkan ketika ia sedang ada urusan di luar negeri.
"Mimpi apa aku ini?. Kau jahat sekali, Logan.." Lirihnya.
Tak lama bersamaan dengan itu gerimis air hujan mulai turun menyapa kulit, yang awalnya hanya sedikit kini semakin deras membasahi tubuh.
Seseorang tampak panik ia segera menghampiri dengan payungnya. "Sudah waktunya untuk pulang, non Helena.. Kita bisa kesini lagi di lain waktu, anda harus segera menemui tuan dan nyonya, mereka menunggumu di kediaman."
Tidak ada jawaban, tatapannya masih tertuju pada batu nisan itu. Namun tak lama kaki jenjangnya mundur beberapa langkah. "Ya, baiklah... Mari kita pulang."
Orang-orang itu segera membawa Helena memasuki mobil di tengah derasnya hujan. Mereka pun menancap gas membelah jalanan raya menuju tempat tujuan.
.
.
"Ini beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kematian Logan telah direncanakan." Ucap seseorang pada pria paruh baya yang kini sedang menatap intens foto-foto itu. Foto terbunuhnya Logan yang berlumuran darah saat hendak mengunjungi suatu tempat.
"Apa ini ada kaitannya dengan hancurnya perusahaan ku juga?." Tanya Edward penuh selidik.
"Itu masih dalam penyidikan, tetapi dalang dari kematian Logan sudah ku temukan jawabannya." Balasnya yang kembali menunjukkan sesuatu. "Sniper yang mendedikasikan diri untuk organisasi 'Glory' telah menunjukkan diri entah apa tujuannya.. Ini sudah cukup jelas bahwa ia bertindak atas utusan pimpinan nya."
Edward yang mendengar itu terdiam, Glory merupakan organisasi yang disegani dan ditakuti bahkan oleh pemerintahan negara itu. Selama ini tidak ada yang tahu wajah pimpinan mereka seperti apa, sangat tertutup dan beroperasi dibalik layar. Sulit ditembus dan berbahaya, namun satu hal yang pasti mereka tak pernah sembarangan dalam urusan nyawa.
Mengingat itu kepala Edward terasa nyut-nyutan. "Jika demikian apa Logan memiliki urusan pribadi dengan Glory? apa ia melakukan bisnis yang mengusik sehingga mengancam nyawa nya?."
"Sangat susah menyelidiki itu, karena aku sendiri tak menyangka jika Logan memiliki urusan dengan Glory."
Keduanya terus berbincang tanpa menyadari ada telinga yang mendengarnya.
Helena yang tiba di sana, diam-diam mendengar percakapan itu. Ia tampak terdiam dengan perasaan tak karuan, seolah mendapatkan sesuatu dari ingatannya. Entah apa, hanya dia yang tahu.
"Daddy! aku pulang.."
Edward menoleh saat mendapati putrinya telah tiba. Ia segera memberi kode pada anak buahnya untuk pergi.
"Kenapa kau baru datang?." Edward menghampiri Helena, menyambut dengan memeluknya penuh kasih dan rasa khawatir setelah berita duka ini.
"Sengaja.. Karena jika lama-lama, aku malas mendengar permintaan daddy yang pasti terus menagih cucu. Aku telah menyetujui untuk menikah dengan Logan dan kini ia telah tiada. Tentu kau pasti akan rewel kembali." Balas Helena tanpa basa-basi. Sepertinya ia sudah terbiasa dan cukup muak.
Edward yang mendengar itu menghela nafas berat, ia menjitak pelan dahi Helena. "Dalam situasi sekarang tentu itu tidak mungkin.. Walaupun aku memang sangat menginginkan cucu."
"Ya, inilah dirimu dad.."
Edward tak bisa membantah karena itulah kenyataannya.
"Helena, kembali dari Italy pasti cukup melelahkan. Sekarang istirahatlah dulu dan temui daddy besok untuk bicara." Lanjut Edward tak mau dibantah.
Wanita cantik itu memilih mengangguk mengiyakan karena ingin segera mengurus sesuatu juga. Setelah mengobrol beberapa saat, ia dan Edward memasuki kamar masing-masing untuk istirahat.
...~...
Malam pukul 00.15..
Setelah memastikan orang tuanya istirahat, Helena keluar dari kamarnya. Ia mengendap-endap untuk menemui seseorang yang sudah menunggunya di luar. Tidak lain, ia paman Bill anak buah Edward yang paling dekat dengannya.
Tampak sorot mata Helena terasa mengikis, seolah luapan yang tertahan ingin segera disalurkan. Walaupun ia belum sepenuhnya jatuh cinta dengan Logan, akan tetapi mengingat Logan sangat menyayangi dan melindunginya, Helena tahu apa yang harus ia lakukan. Ya, balas dendam atas ketidakstabilan diri dan keluarganya.
Satu nama terlintas.. Sosok yang ia yakini, telah terlibat.. Tidak akan ada yang tahu dan peka selain dirinya.
Setelah mendengar percakapan itu Helena yakin akan keputusannya.
"Helena, aku tak mengizinkan jika kau mengambil keputusan penuh bahaya!." Serius paman Bill yang menyadari sesuatu.
"Tidak.. Aku tahu siapa pimpinan dari Glory.. Nyawa dibayar nyawa, darah dibayar darah.. Bantu aku masuk ke tempat itu untuk membalaskan semua! tentu tanpa sepengetahuan daddy dan mommy."
.......
CRACK!
"Aaarghh!.. Tidak! tolong a-ampuni aku!.. Ku mohon.." Jerit seseorang saat satu kukunya berhasil dicopot hingga darah segar mengalir. Nafasnya memburu akan rasa sakit dan perlakuan itu. Tidak, yang lebih menekan penuh cekaman adalah tatapan seseorang yang kini terasa begitu menusuk. Ia berdiri dengan tubuh tingginya yang proporsional, tak ada yang berani membantah akan kekuasaannya.
"Kenapa aku harus mengampuni mu?." Lirihnya dingin begitu menampar.
"Aku masih manusia! jika kau waras kau tak akan memperlakukan kami seperti binatang!.." Sergahnya tak kuasa, tubuh orang itu sudah sangat gemetar ditambah di sekelilingnya ada beberapa orang yang sudah kehilangan nyawanya dengan bau anyir darah yang menyengat. Kini hanya tinggal tersisa 4 orang termasuk dirinya.
Di lapangan khusus itu tepatnya di halaman kastil eksekusi, para pria berpakaian rapi berdiri tanpa ekspresi. Seolah sedang berjaga dan siap menunggu perintah selanjutnya dari sang atasan.
"Apa itu berarti bahwa aku tak waras?..." Timpalnya lagi yang mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Terlebih kini sebilah pisau yang tajam telah berada dalam genggaman tangan kekarnya yang berbungkus rapat oleh sarung tangan hitam.
"Tidak!.. Jangan.. Kau benar-benar iblis jika melakukannya bajingan!!." Pekiknya yang sudah tak karuan akan ketakutan yang luar biasa. Ketenangan dan sorot matanya mampu membuat suasana di sana semakin mencekam, seolah ini adalah kesenangan yang mampu menghilangkan dahaganya.
"Dengan senang hati aku menerima panggilan itu.."
"Kau... T-tidak!."
BLESS!..
"A-aakh!!.." Mata orang itu mendelik dengan mulut terbuka saat tajamnya pisau kini tertanam pada titik vitalnya. Semakin di dorong semakin dalam dan menyakitkan. "K-khakk!.."
Pria yang dikenal berdarah dingin itu menunduk menatap tajam buruannya yang sedang sekarat. "Ingat satu hal.. Akan lebih bajingan jika aku membiarkan orang sepertimu tetap hidup. Bagaimana rasanya? bukankah kau memperlakukan orang-orang itu seperti ini?.."
Ia tak mampu menjawab, darah segar keluar dari mulutnya. Ia semakin tak berdaya saat pisau itu dicabut dan pendarahan hebat pun tak bisa dihindari.
Pria itu menatap dingin tanpa rasa belas kasih sedikitpun, seolah hal ini sudah biasa ia lakukan.
Seseorang dengan jas hitam menghampiri, ia menyerahkan sesuatu pada sosok yang sangat disegani itu. "Ini, silahkan tuan.." Sebuah senjata api yang mengkilap telah berada dalam genggamannya.
Tanpa ampun lagi ia mengarahkannya pada setiap target yang berbeda.
DOR!!
DOR!!
DOR!!
"Aaakhh!!!."
Peluru berjatuhan telah menembus meninggalkan asap pada ujung senjata api itu, suara kesakitan yang perlahan menghilang terasa begitu pilu namun itu bukan masalah bagi mereka.
Setelah semua selesai, orang-orang bertubuh tinggi itu segera membereskan semua sesuai kode dari atasannya. Dengan rasa hormat, sarung tangan penuh darah itu mereka lepaskan dari sang atasan.
Sementara dari dalam terdengar langkah kaki mendekat, suara heels yang terasa cepat begitu teratur memanjakan telinga.
Klotak..
Klotak..
BRAKH!
"Nicholas!.."
Pintu utama ruangan khusus itu terbuka, semua mata tertuju ke arahnya. Dan tidak ada yang berani membantah saat sosok wanita itu datang. Ya, Agatha Wilston.
Ia menghela nafas berat dan melemparkan tatapan menusuk pada putranya. Di sana tidak ada pemandangan indah, hanya para anak buah yang sedang membereskan mayat-mayat. "Bahkan mama sudah tak mual melihat kelakuan mu ini.. Nick!."
"Sekarang berhentilah dan bersihkan tubuhmu!.. Para kandidat asisten pribadi sudah datang untuk kau seleksi, tidak ada penolakan jika dalam hidupmu tak ada kata menikah." Sergah Agatha yang dibuat jengkel karena beberapa hari yang lalu ia mendapat kabar dari Sam kaki tangan Nick, bahwa asisten pribadi pilihannya telah kabur karena tak tahan dengan Nicholas.
Nick yang mendengar itu melirik Sam, Sam tak bisa membantah karena di satu sisi Nick memang membutuhkan asisten pribadi yang mengurusnya dalam hal lain.
"Aku tak membutuhkan itu, terlebih jika tak memuaskan.." Balasnya tenang namun terkesan dingin.
"Kau butuh!.." Potong Agatha. "Mama mencarikan asisten pribadi bukan untuk memuaskan mu tetapi untuk mengurus mu dalam setiap pekerjaan.. Sam tentu akan berbeda dengan asisten wanita, Nick."
"Mama kali ini tak menerima penolakan, jika menginginkan kepuasan cari saja wanita di luar sana terserah! tetapi kau harus ada yang mengurus." Timpal Agatha lagi yang sudah jengah, ia tak bisa menemani anaknya dalam setiap pekerjaan terlebih Nick memiliki selera masakan yang berbeda dan tentu mencarikan yang cocok tak akan mudah.
Nick yang mendengar itu tak langsung menjawab, membantah Agatha sama saja melemparkan diri pada pernikahan yang tak ia inginkan.
Sorot mata tajam itu melirik Sam, Sam yang paham maksudnya segera menghampiri dan menunjukkan sesuatu melalui ipad-nya. "Ada 10 kandidat yang dirasa cocok untukmu, mereka sudah datang dan ini identitasnya." Jelas Sam menunjukkan. "Silahkan lihat.."
Nick melihatnya satu persatu, hingga sorot mata tajam itu tampak mengunci saat menemukan data dari salah satu kandidat. Entah apa yang ada dalam pikirannya, ia terdiam.. dalam.. Dan menuntut. Seolah hal memuakkan ini telah memberinya warna sekaligus peringatan.
Di sebuah ruangan khusus, tampak 10 orang calon asisten pribadi telah berkumpul. Tidak terlalu tua, rata-rata usia mereka kisaran dari 25 hingga 35 tahun. Sebagai kaki tangan Nicholas, Sam tentu memilih yang sesuai dengan kriteria dan masih muda sehingga cekatan dalam melakukan pekerjaan.
Terlihat jelas sekali raut wajah mereka sangat yakin dan siap, para wanita itu berpenampilan semenarik mungkin dengan gaya nyentrik bahkan ada yang terbuka. Mereka tahu akan berhadapan dengan siapa, ya direktur eksekutif dari salah satu pemilik perusahaan besar Eropa. Nicholas Wilston.
Hanya satu wanita yang tak melakukan itu, ia tampak tak tertarik dan sangat sederhana dengan rambut indahnya yang dibiarkan terikat.
"Hei wanita muda, jika kau lupa membawa lipstik pakailah punyaku." Ujar salah satu dari mereka. "Penampilan mu sangat biasa, kau tak mungkin terpilih jika tak menonjolkan kecantikan mu itu.."
Terlihat sorot mata hazel nya menatap satu persatu dari mereka, Helena tak langsung menjawab. Entah itu pujian ataupun ejekan, yang jelas saat ini ia harus bersikap layaknya Helena baru dengan sosok yang berbeda pula. Di tempat asing ini.. di negara ini.. tidak ada yang tahu identitasnya.
"Tak perlu, cukup seperti ini saja. Tujuanku hanya untuk bekerja bukan menggoda.." Sahut Helena dengan senyum manisnya yang ramah.
Akibatnya mereka yang tersindir jadi kepanasan..
"Kau mengatai ku anak muda!?.."
"Sok suci sekali tak usah pura-pura, aku tahu kau ingin berpenampilan seperti kami hanya saja kau tak mampu!.." Timpal yang lain.
"Sopan lah kau di sini terlihat paling muda!."
Helena yang mendengar itu menghela nafas panjang, rasanya jengah sekali. Saat ia hendak menjawab, terdengar langkah kaki yang beriringan mendekat, sehingga mereka semua segera mengatur posisi.
"Tuan Nick telah tiba, perhatikan prilaku kalian!.." Ujar salah satu anak buah berkulit hitam, raut wajahnya terasa cukup menyeramkan.
Benar saja, tak lama pintu besar ruangan itu terbuka dan masuklah seseorang bertubuh tinggi ke dalam, jubah hitam dan setelan mengkilap itu semakin menambah kharisma nya yang memikat, ia di dampingi Agatha Wilston dan Sam. Wajah tegas dan tanpa ekspresi nya, sama sekali tak menutupi ketampanan sosok itu yang terlihat rapi terpahat bak lukisan.
Sudut manik Helena mengikuti setiap langkahnya hingga duduk di kursi kebesaran, wanita cantik itu meremas kuat ujung baju, dengan susah payah Helena menelan saliva nya.
Bukan karena gugup ataupun gentar tetapi ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan yang berhasil mengacaukan dirinya. Helena mengetahui nama pemimpin organisasi Glory dari suaminya Logan, ia tahu ada perseteruan diantara mereka namun ia tak menyangka jika akan berakhir dengan kematian.
Namun bukan itu masalahnya, sekitar 25 tahun yang lalu sebelum keluarga Scott pindah ke London.. Helena kecil bertemu dengan Nicholas saat mengantar daddy-nya Edward dalam perjalanan bisnis dengan keluarga Wilston. Kala itu hubungan mereka sangat terjalin baik bahkan sampai sekarang Helena tahu bahwa daddy-nya mungkin pasti masih mengenal sosok Nick. Karena hal itulah Helena memilih diam-diam untuk melakukan misi ini, ia akan menganalisis dengan baik di samping membalas dendam.
Sangat tak terduga sekali jika sosok anak laki-laki itu kini malah tumbuh menjelma menjadi manusia berbahaya yang tak berperasaan.
"Sudah 25 tahun.. Harusnya dia tak mungkin mengenal dan mengingat ku. Jika pun ia mengetahui nya, aku tak masalah untuk bermain api.."
Helena menggenggam hati dan dirinya di tengah jiwa yang cukup terguncang.
"Selamat datang di mansion keluarga Wilston, aku harap salah satu dari kalian benar-benar siap bekerja untuk Nicholas." Ujar Agatha menyapa ke 10 calon asisten itu dengan ramah. Ini harapan terakhirnya.
"Senang bisa bertemu dengan anda, tuan.. nyonya.." Balas mereka menunduk hormat.
Mata tajam Nick menyapu menatap para calon asisten nya itu, hingga pada akhirnya mata itu bertemu dengan sorot mata yang begitu mengunci ke arahnya. Sangat berbeda.. terlihat indah namun menilik. Seolah ada magnet kuat menyeruak lebih dalam.
"Baiklah, lanjutkan untuk mulai menyeleksi sesuai dengan persyaratan yang telah dibuat." Timpal Agatha yang diangguki sekretaris Sam.
"Tentu.."
"Tidak.." Potong Nick yang berhasil membuat semua mata tertuju ke arahnya dengan penuh tanda tanya.
"Ada apa Nick?."
"Wanita dengan ikat rambut.." Lirih Nick menunjuk pada Helena. "Berbalik lah.. Lepaskan pakaian itu, tunjukkan bagian belakang mu kepadaku."
.
TBC
Readers tinggalkan jejaknya jangan lupa.. dan ingat ini berlatar belakang luar negeri dengan sub-genre dark romance, jadi... stay tune dan nantikan terus💌‼️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!