NovelToon NovelToon

Cinta Itu Terlalu Dalam

Kehilangan yang mendalam

Siang itu begitu terik, Cahaya matahari seakan membakar kulit. Terlihat seorang gadis cantik berkulit putih bersih dengan rambut di kuncir seperti ekor kuda sedang berjalan dengan wajah gembira menuju rumah nya.

Sebuah rumah sederhana bercat abu-abu, yang dikelilingi bunga-bunga dengan berbagai warna.

"Bunda...!" Panggilnya begitu berada pas di pintu rumah.

Tanpa menunggu jawaban, gadis cantik itu langsung masuk kedalam rumahnya. Berjalan sambil celingak-celinguk mencari wanita yang dipanggil nya Bunda itu.

" Bunda dimana?" ucapnya dengan suara sedikit keras karena tak mendapatkan orang yang dia cari.

"Bunda kemana sih, enggak biasanya pergi tidak menutup pintu." ucapnya pada diri sendiri.

Gadis cantik itu duduk di sofa berwarna coklat yang tak lagi berwarna cerah itu. Meletakkan sebuah map yang dibawanya dari sekolah.

Sambil menatap ke arah pintu utama, berharap kalau Bunda nya akan datang. Namun sudah hampir setengah jam dia menunggu, wanita itu tak juga terlihat.

Gadis yang masih mengenakan seragam abu-abu putih itu memegang perutnya yang sudah terdengar bunyinya.

"Ya ampun, aku sangat lapar." Ucapnya sambil memegang perut yang keroncong itu.

Berjalan menuju sebuah kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Tentu saja dengan harapan bundanya cepat pulang.

Tak lama gadis cantik itu terlihat keluar dari kamar dengan mengenakan kaos oblong berwarna biru muda dan juga rok pendek selutut.

Menatap sekeliling, ternyata bundanya belum juga terlihat. Dia berjalan dengan malas ke dapur dan membuka tudung saji yang ada diatas meja.

Ternyata bundanya Masih belum menyiapkan makan siang. Hanya ada nasi goreng sisa sarapan pagi tadi diatas meja. Tanpa pikir panjang gadis itupun langsung melahapnya, karena dia memang sangat lapar.

Namun entah kenapa pikiran nya pun kembali tertuju kepada bundanya Yang tidak berada dirumah.

Berjalan menuju kamar, dan mengambil handphonenya untuk menghubungi sang bunda. Akan tetapi tak ada jawaban.

Dengan gelisah dia berjalan keluar dari rumah dan menuju kerumah tetangga yang berada tak jauh dari rumahnya.

Dengan ragu dia mengetuk sebuah pintu rumah berwarna hijau itu. Berharap akan menemukan jawaban untuk kegelisahan hatinya saat itu.

Pintu itu pun terbuka, dan terlihat seorang wanita paruh baya berambut pendek berdiri didepan pintu.

"Kiara!" senyumnya melebar saat itu.

"Apa ada yang bisa ibu Bantu?" tanya wanita itu.

"Bu, apa hari ini ibu melihat bunda?" tanya Kiara dengan wajah yang khawatir.

"Kamu belum tau?" tanya ibu itu dengan raut wajah berubah sedih.

Perasaan Kiara saat itu semakin gundah. Apa yang dia tidak tau tentang bundanya.

"Memangnya ada apa Bu?" tanya Kiara mendesak.

Si ibu terlihat ragu untuk menjawab, dia terlihat bingung. Entah apa yang sedang terjadi.

"Kiara, kamu yang sabar ya nak!" ucap si ibu lagi.

Sontak saja kata-kata itu membuat mata Kiara berkaca-kaca. Rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi.

"Bu, tolong jangan membuat Kiara bingung." ucap Kiara dengan suara bergetar.

"Bunda kamu ...' si ibu kembali menggantung perkataan nya.

Dan pada saat itu juga terlihat sebuah am ambulance melewati ruang yang sedang didatangi Kiara.

Mereka berdua pun mengalihkan pandangan kearah ambulance yang terlihat berhenti didepan pagar rumah Kiara.

Seketika tubuhnya bergetar, perasannya campur aduk saat itu. Tanpa menunggu jawaban lagi Kiara berlari menuju rumah nya. Air bening itu sudah membasahi pipinya.

Kakinya bergetar hebat, begitu dia melihat sebuah tandu diturunkan dari dalam ambulance. Dengan ragu dia mendekat. Menatap jasad yang saat itu tertutup oleh kain putih.

Seorang wanita berusia 40 tahun terlihat mendekat kearah nya. Dia adalah Maya Tante dari Kiara. Memeluk pundak Kiara yang saat itu hanya berdiri mematung ditempatnya.

"Kia, kamu harus kuat ya!" ucap wanita cantik disampingnya saat itu.

Namun tak ada jawaban, dengan tubuh bergetar dan langkah gontai Kiara mengikuti tandu Yang dibawa masuk kedalam rumah nya.

"Dimana bunda?" tanya Kiara yang tidak tau ditujukan ke siapa.

Maya terlihat memeluk erat tubuh Kiara, tanpa sepatah kata. Hanya Isak tangisnya yang terdengar.

"Kenapa Tante menangis, kenapa mereka membawa tandunya kerumah ini?" tanya Kiara dengan tatapan bingung.

"Kiara, jangan seperti ini, lihat Tante!"menarik tubuh kiara menghadap kearah nya.

"Kiara, bunda udah enggak ada!" Ucapan maya sambil menatap Kiara.

Kiara saat itu hanya menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin percaya dengan apa yang dia dengar. Tidak mungkin bundanya meninggal, karena saat dia pergi semua baik-baik saja.

Kiara merangkak mendekat kearah jenazah yang masih tertutup rapi itu. Dengan tangan bergetar memberanikan diri membuka penutup wajah jenazah dihadapannya.

Tubuhnya kaku, lidahnya kelu. Tak mampu berucap sepatah kata pun saat itu. Dunianya sekan runtuh, seluruh jiwanya seakan pergi. bagaimana tidak, baru dua bulan yang lalu dia kehilangan sang Ayah. Dan hari ini dia harus kehilangan bundanya.

Tidak akan ada lagi tempatnya berbagi cerita, tak akan adalagi orang yang memberikannya nasehat dan semangat. Luka itu begitu dalam dia rasakan.

Kiara yang terdiam beberapa saat, tiba-tiba memeluk erat jenazah bundanya, tangisnya pecah. Bahkan orang-orang yang hadir untuk melayat tak mampu membendung air mata.

"Bunda, jangan tinggalkan Kiara. Kiara tidak kuat bunda hidup sendiri." Kiara tak melepaskan pelukannya dari jenazah sang bunda.

Maya yang melihat hal itu membujuk Kiara, supaya lebih tenang. Namun Kiara tetap menangis. Maya paham ini bukan hal yang mudah untuk keponakan nya saat itu.

"Tante, kenapa bunda pergi, bunda sakit apa?" tanya Kiara sambil menatap tantenya.

Bukan jawaban yang Kiara dapatkan, Maya memeluk Kiara begitu erat. Dia sendiri juga baru tau, kalau kakaknya itu mengidap penyakit tumor otak stadium akhir.

"Tak ada yang tau kalau bunda sakit, Bunda tidak ingin kita semua sedih." jawab mata sambil terisak.

"Bunda sakit apa Tante?" tanya Kiara.

"Tumor otak stadium akhir." jawab mata.

Kiara pun terdengar histeris, dia merasa begitu bersalah, karena tidak pernah tau kalau bundanya sakit. Dia juga tidak pernah mendengar Bundanya mengeluh sakit.

"Kamu harus ikhlas Kiara, biarkan Bunda pergi Dnegan tenang!" ucap seorang ibu-ibu yang merupakan tetangga Kiara.

Kiara terlihat hanya diam, dia tak lagi mampu untuk berkata-kata, semuanya seakan runtuh. Dalam waktu dekat dia kehilangan kedua urang tuanya.

Dia harus hidup sebatang kara diusianya saat ini. Padahal Kiara berharap dia bisa menunjukkan nilai ijazahnya yang menjadi nilai terbaik.

Kiara menangis dalam diamnya, tak lagi terdengar Isak tangis. Hanya air mata yang terus membasahi pipinya . Jujur dia tidak mampu menghadapi semua takdir ini.

Namun semua tidak bisa dicegah, akan tetapi bagaimana dia akan menjalani hidupnya setelah ini? akan kah dia bisa melewati kehilangan yang bertubi-tubi ini?

Kehilangan yang bertubi-tubi

"Kiara, sekarang kita mandikan dulu jenazah bunda!" ajak Maya.

Namun Kiara hanya diam Dnegan tatapan kosong. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir nya.

Jenazah pun dibawa ketempat yang sudah disediakan dan siap untuk dimandikan. Dengan dipapah oleh Maya Kiara berjalan mendekat ke arah jenazah bundanya.

Perlahan dengan tangan bergetar memandikan jenazah sang bunda yang sudah terbujur kaku itu.

Mulai hari ini tak akan lagi dia mendengar nasehat dari wanita itu, tak akan ada lagi canda tawa dirumah itu. Semua telah sirna bersama kepergian kedua orang tuanya.

Tak bisa dipungkiri pipi itu terus basah, meskipun tak ada lagi suara Isak tangis dari Kiara dan Maya.

Setelah selesai memandikan jenazah bundanya, Kiara juga terlihat ikut sholat. mengantar kepergian bundanya untuk selama-lamanya.

Iring-iringan pengantar jenazah terlihat begitu haru, semua ikut bersedih dengan apa yang menimpa Kiara .

Selesai pemakaman, satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat itu. Kiara berjalan mendekat kearah kuburan sang ayah yang tepat berada disamping bundanya.

"Ayah, Bunda!"

"Semoga kalian berdua mendapat tempat terbaik disisi Allah." ucap Kiara sambil memegang kedua nisan orang tuanya.

"Kenapa begitu cepat kalian meninggalkan Kiara, Bunda dan Ayah tau kalau Kiara masih butuh kalian." suara Kiara terdengar bergetar.

"Hari ini Kiara lulus dengan nilai terbaik, Ayah dan Bunda bahagiakan?"

Kiara tersenyum, senyum getir yang saat itu begitu menghancurkan hatinya. Dia seakan ingin menyusul kedua orang tuanya. Dia tak mampu ditinggal sendirian.

"Kiara, ayo kita pulang!" Tante Maya menyentuh pundak Kiara.

Namun Kiara masih duduk ditempatnya. Bahkan tak menoleh sama sekali .

"Kia, kamu tidak sendirian, masih ada Tante yang akan selalu menemani kamu." Tante Maya kembali bicara.

Namun Kiara seakan menjadi patung, hanya diam. Tak ada jawaban disana. Tante Maya terlihat begitu sedih melihat kondisi Kiara. Belum lagi sembuh luka atas kehilangan sang ayah, namun dia harus merasakan kehilangan lagi.

Tante Maya berjongkok dan memeluk bahu Kiara, membantunya untuk bangun. Karena hari sudah mulai gelap.

"Ayo kita pulang!" menatap Kiara.

Namun gadis dihadapannya hanya diam, ikut berjalan dengan tubuh bergetar. dalam dekapan sang Tante Kiara hanya diam.

Mulai malam itu, sampai tujuh hari kepergian bundanya, rumah Kiara terus dipenuhi oleh tetangga yang ikut mendo'akan kepergiaan bundanya.

Kondisi Kiara yang begitu terpukul hanya diam, dengan tatapan kosong. Tubuhnya lemas karena tidak diisi oleh makanan. hanya minum itupun harus dipaksa.

Keesokan paginya, mata pun harus membawa Kiara kerumah sakit karena kondisinya yang drop, dia seakan tak lagi memiliki tenaga.

"Kiara, bangun!" ucap Maya sambil memeluk tubuh Kiara yang terbaring dikamar rumah sakit.

"Jangan seperti ini, kamu harus kuat." Maya terisak disamping Kiara yang masih memejamkan mata.

"Ayah dan Bunda pasti sedih melihat kamu seperti ini."

Maya terus bicara dengan Kiara yang tentu saja tak dia dapatkan jawabnya. Dan tak berpa lama dokter memasuki ruang rawat Kiara.

"Dokter, bagaimana kondisi keponakan saya?" tanya Maya dengan khawatir.

"Dia hanya kehilangan cairan ditubuhnya, karena tidak da asupan makan dan minum." jawab dokter yang terlihat prihatin dengan kondisi Kiara.

"Mudah-mudahan setelah di infus, kondisinya segera membaik." ucap dokter tersebut.

Dan benar saja setelah dua hari dirumah sakit kondisi Kiara mulai hari membaik, dia pun dibawa pulang kerumah Maya, karena Maya harus bekerja. Akan sulit baginya jika harus bolak-balik kerumah Almarhum kakak nya.

"Kiara, Tante harus kerja. Kamu tidak apa-apa kan Tante tinggal?" tanya Maya meyakinkan dirinya.

Kiara hanya menggeleng pelan, tanpa memberikan jawaban. Dia bersandar diatas tempat tidur sambil memeluk foto kedua orang tuanya.

***

Sebulan pun berlalu sejak kepergian bundanya, namun Kiara masih jarang bicara. Tak lagi terlihat canda tawanya.

"Kiara, boleh Tante bicara?" tanya Maya disiang hari itu.

"Ada apa Tante?" Kiara menatap lekat netra hitam yang ada dihadapannya.

Maya terlihat gelisah, dan seakan ragu untuk bicara. Maya berpindah duduk kesamping Kiara.

"Katakan saja Tante!" ucap Kiara meyakinkan wanita disampingnya.

"Kiara, apa kamu mau ikut Tante?" tanya Maya dengan terbata.

Kiara mengalihkan pandangannya, dan menatap lekat perempuan berambut sebahu itu.

"Tante harus pindah keluar kota, Karena tugas dari kantor."

"Dan Tante mau kamu ikut, tidak mungkin Tante meningal kamu sendirian."

"Tapi Tante." Kiara menggantung perkataan nya.

"Kenapa Kia?" tanya Maya sambil menyentuh kedua bahu keponakannya saat itu.

Tentunya Maya berharap, Kiara mau ikut bersamanya. Karena tidak ada lagi sanak saudara yang Kiara punya kecuali dirinya.

" Kamu kan tau, kalau hanya pekerjaan ini yang Tante punya untuk menghidupi kita berdua."

"Kia juga sangat tau kan? Kalau Tante ini hidup sendiri. Tidak ada yang bisa Tante harapkan selain diri Tante sendiri."

"Tapi Tante, Kia mau disini saja. Biar kita bisa dekat dengan ayah dan bunda." Kiara menatap tantenya dengan mata berkaca-kaca.

Hal itu tentu membuat Maya serba salah. Dia paham betul pasti Kiara masih tidak bisa mengikhlaskan kepergian orang tuanya.

Akan tetapi, dia sendiri juga tidak punya pekerjaan lain. Maya terdiam sesaat. Berpikir apa yang harus dia lakukan.

"Atau begini saja!" ucap Maya tiba-tiba.

Kiara menoleh kearah tantenya, tentu saja dengan berbagai pertanyaan dihatinya.

"Kia, Tante akan titipkan Kiara kepada salah satu teman Tante."

"Tante akan kembali untuk jemput kamu, setalah semua perpindahan Tante selesai."

"Tapi kamu harus mau ya?" tanya Maya penuh harap.

"Tante Kiara biar tinggal dirumah bunda saja." jawab Kiara pelan.

"Enggak, Tante tidak bisa meninggalkan Kiara tanpa ada yang menjaga."

"Kiara sudah dewasa Tante." jawab Kiara meyakinkan.

"Tapi Tante yang tidak tenang meninggalkan kamu." jawab Maya terlihat khawatir.

"Nanti sore, Tante akan antar kamu kerumah teman Tante."

"Namanya Sari, dia juga tinggal sendirian."

"Tapi Tante!" Kiara tetap ingin menolak.

"Percaya sama Tante, ini yang terbaik."

Kiara kemabli diam, dia sebenarnya tidak punya pilihan. Karena dia juga belum pernah hidup sendirian.

"Tante janji akan kembali untuk menjemput kamu, Dan mendaftarkan kamu kuliah."

"Kamu ingin kuliah kan?" tanya Maya dengan senyuman di bibirnya.

"Iya Tante, Kiara mau." mata itu terlihat berbinar, karena memang itu cita-cita nya.

Setelah Kiara setuju, Maya pun terlihat menghubungi perempuan bernama Sari itu. Terlihat Maya tersenyum bahagia. itu artinya Kiara akan benar-benar dititipkan kepada sahabatnya itu.

Setelah pembicaraan mereka, Maya menyiapkan segala keperluan dirinya yang akan berangkat keluar kota. Begitu juga dengan Kiara menyiapkan pakaian yang akan dibawa kerumah perempuan bernama Sari itu.

Bagaimana kehidupan Kiara setalah ini, akankah Maya kembali untuk menjemput dirinya, atau akan sebaliknya?

Di Titipkan Pada Orang Asing

Sore itu Maya langsung membawa Kiara menuju rumah sari yang terletak didekat kantornya saat ini.

Taksi online yang mengantarkan mereka berhenti tepat didepan sebuah rumah bercat putih yang begitu mewah.

"Ayo kita turun!" ajak Maya kepada Kiara.

Tanpa membantah, Kiara ikut turun. Tak lupa menyeret koper yang dibawanya dari rumah.

Berjalan dengan langkah gontai, bagaimana tidak dia harus tinggal dengan orang yang tak dia kenal.

Apalagi dirinya bukanlah orang yang bisa cepat akrab dengan orang asing. Begitu mereka sampai di pintu utama, terlihat pintu dibuka lebar oleh seorang wanita yang mungkin sebaya dengan Maya.

"Akhirnya kalian sampai juga." Ucap perempuan berambut sebahu dan berwarna pirang itu.

Kiara hanya diam, tak menanggapi. Dia sesekali menatap perempuan dihadapannya dengan perasaan campur aduk.

"Ayo masuk may!" ajak nya.

Maya menarik pelan tangan Kiara, supaya ikut masuk kedalam rumah mewah itu. dan ikut duduk disebuah sofa berwarna maroon.

"Kapan kamu berangkat?" tanya perempuan berambut pirang yang pastinya bernama Sari itu.

"Besok pagi Sar, makanya aku mengantarkan keponakan ku kerumah mu sore ini." jawab Maya.

"Kamu jangan khawatir, aku pasti menjaganya dengan baik. seperti adikku sendiri." jawab Sari, sembari melirik ke arah Kiara yang hanya menunduk.

"Aku percaya sama kamu." jawab Maya dengan senyuman.

"Mudah-mudahan kamu betah ya Kiara." Sari mengalihkan pandangan kearah Kiara.

Kiara yang mendengar namanya disebut mengalihkan pandangannya, dan hanya tersenyum. Senyum yang dipaksakan oleh nya.

Dia tak pernah berpikir dan membayangkan, kalau hidupnya akan seperti ini setelah kepergian orang tuanya.

"Kamu jangan khawatir Kia, Tante janji akan menjemput kamu setelah semua urusan Tante beres." Maya mencoba meyakinkan Kiara.

"Iya Tante, Kiara percaya Tante pasti akan kembali." jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu jangan khawatir, disini hanya akan ada saya." ucap sari.

"Saya sama seperti Tante kamu hidup sendirian."

"Kamu jangan khawatir." Sari mencoba meyakinkan Kiara.

Kiara masih diam, hanya menatap sekilas ke arah sari yang terlihat melebarkan senyumnya.

"Ayo saya antar kamu kekamar!" ajak Sari kepada Kiara.

Dengan ditemani Maya, Kiara berjalan mengikuti Sari menuju sebuah kamar. Tentu saja kamar itu jauh berkali lipat lebih besar dari kamar dirumah nya.

"Kamu boleh pakai lemari Yang ada disini, karena memang lemarinya kosong."

"Terimakasih kasih Mbak!" ucap Kiara.

Dia sebenarnya bingung mau memanggil Sari dengan apa, tapi menurut nya lebih pantas dipanggil Mbak. Begitu juga dengan Maya, hanya saja karena Maya adalah adik bundanya makanya dia memanggilnya dengan sebutan Tante.

Setelah mengobrol beberapa saat, Maya pun izin untuk pulang kerumah nya. Kiara memeluk tantenya begitu erat, dia seperti seorang anak kecil yang dititipkan ke panti asuhan.

Namun Kiara juga tak ingin membebani Tantenya, dia tau Maya itu juga ingin mengejar masa depannya. Setelah taksi yang menjemput Maya menghilang Kiara berjalan dan duduk di teras rumah itu.

"Kamu kenapa Kiara? Apa kamu takut tinggal dengan saya?" tanya Sari khawatir melihat Kiara yang hanya diam saja.

"Enggak mbak, saya hanya sedih aja." jawabnya pelan.

"Ayo kita masuk, hari sudah sangat sore!" ajak Sari.

Kiara pun menurut berjalan masuk kedalam rumah bercat putih itu.

"Kamu jangan khawatir Kiara, disini juga kamu tidak perlu memasak saya setiap hari pesan makanan dari luar. "

"Karena saya akan pergi bekerja sampai sore hari, kamu berani kan tinggal dirumah sendirian?" tanya Sari pada Kiara.

"Iya Mbak, terimakasih Mbak Sari sudah mengizinkan saya tinggal disini." ucap Kiara.

"Kamu jangan sungkan."

Dan perhari itu, Kiara tinggal dengan Sari. Dia bahkan terkadang menyibukkan dirinya dengan bersih-bersih dirumah itu. Bagaimana tidak, rumah itu kosong hanya dihuni oleh dirinya setelah sari berangkat kerja.

Hari demi hari dilaluinya dengan harapan Maya cepat kembali untuk menjemput dirinya. Namun sudah dua bulan berlalu Maya tak juga kembali seperti janjinya.

Malam itu Kiara yang sedang istirahat dikamar keluar begitu mendengar namanya dipanggil oleh Maya.

"Kiara apa bisa kita bicara sebentar?" tanya Sari.

Wajahnya tampak serius, jantung Kiara berdetak kencang. Bagaimana jika Sari akan mengusirnya hari itu.

Kiara berjalan mengikuti sari dan duduk di sofa ruang tamu. Sesaat suasana begitu hening, tak ada yang bicara. Kiara sesekali menatap ke arah Sari, wajah itu seperti sedang menyimpan beban.

"Mbak Sari!" Kiara memberanikan diri memanggil wanita dihadapannya.

Dan Sari yang terlihat kaget, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Kiara yang saat itu duduk tepat disampingnya.

"Apa Mbak sedang ada Masalah?" tanya Kiara pelan.

Namun saat itu Kiara melihat mata perempuan dihadapannya berkaca-kaca, Sari seakan tak mampu membendung kesedihannya. Tapi apa yang sebenarnya terjadi.

Perasaan Kiara campur aduk, antara penasaran dan takut. Takut kalau terjadi sesuatu dengan tantenya yang tak ada kabar.

"Mbak, cerita sama Kiara!" menyentuh punggung tangan Sari.

Dan tiba-tiba saja, Sari memeluk Kiara begitu erat. Dengan Isak tangis yang tak lagi mampu dibendung nya.

Kiara tak melanjutkan pertanyaannya, dia diam. Membiarkan Sari untuk tenang lebih dulu.

Sari melepas pelukannya dan saat itu menggenggam kedua jemari Kiara. menatap Kiara dengan tatapan penuh harap. Tapi apa itu? Kiara tak dapat menebak apa yang sedang terjadi pada Sari.

"Kiara, seandainya Mbak butuh bantuan kamu, apa kamu mau membantu Mbak?" tanya Sari dengan tatapan memelas.

Kiara masih diam, belum mengiyakan permintaan dari Sari, bantuan apa yang harus dia berikan.

"Kiara, selama ini Mbak sudah menolong kamu, menjaga kamu selama Maya pergi." ucapnya terbata.

"Bukan Mbak ingin mengharap bals Budi, tapi Mbak bingung."

"Dan saat ini Mbak butuh bantuan, Mbak tidak tau harus minta tolong ke siapa."

"Dan mungkin hanya kamu yang bisa menolong Mbak."

Kiara masih diam mendengarkan kata demi kata yang di ucapkan oleh Sari. Dan benar, Kiara mengakui kalau Sari sudah menolong hidupnya hampir tiga bulan ini.

Dia yang hanya menumpang hidup dirumah itu, tanpa bekerja dan tanpa harus mengerjakan berbagai pekerjaan rumah.

Kiara mengakui dalam hatinya, kalau dia berhutang budi dengan Sari, tapi pertolongan seperti apa yang bisa dia lakukan. Uang dia tidak punya. Dia hanya punya nyawanya saja.

"Mbak Sari, saya akan menolong Mbak jika saya mampu." jawab Kiara dengan suara bergetar.

"Tapi pertolongan apa yang harus saya berikan?" tanya nya lagi.

"Mbak, saya tidak punya apa-apa, saya hanya punya tenaga dan nyawa." Suara itu begitu terdengar getarannya.

"Kiara, Mbak memohon bantuan kamu untuk menyelamatkan harga diri keluarga Mbak, orang tua Mbak." jawab Sari masih dengan Isak tangis.

"Mbak tau, mungkin ini tidak adil untuk kamu. karena kamu tidak mengenal mereka."

"Tapi tolong bantu mereka demi Mbak!" Sari berbicara dengan nada memohon. Dan tentu saja itu membuat Kiara semakin gundah.

Bantuan dalam bentuk apa yang harus dia lakukan demi menyelamatkan kehormatan keluarga Sari? Akan kah permintaan sari membawa Kiara kedalam pilihan yang sulit?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!