Aruna Prameswari🌸
Umur: 25 tahun
Pekerjaan: Perawat
Sifat:
•Batu alias keras kepala; kalau udah punya pendapat, susah digoyang.
•Tegas dan tangguh, sering berani adu mulut sama dokter, termasuk Dirga.
•Tapi sebenarnya berhati lembut, sayang pasien, dan sangat berdedikasi.
•Polos di beberapa hal, sering bikin suasana jadi kocak tanpa ia sadari.
Ciri khas: Nada bicaranya suka nyeletuk apa adanya, wajah gampang manyun kalau kesel, tapi senyum tulusnya bikin orang luluh.
🌌 Dirga Mahesa
Umur: 28 tahun
Pekerjaan: Dokter spesialis psikologi (psikiater) di rumah sakit yang sama dengan Aruna.
Sifat:
•Tenang, kalem, dan penuh logika saat menghadapi pasien.
•Sering gemas dan frustasi sendiri kalau berhadapan sama Aruna yang keras kepala.
•Suka ngelawak tipis atau sindiran halus buat ngegodain Aruna.
•Diam-diam perhatian banget sama Aruna, meski sering ditutupi dengan sikap sok cool.
Ciri khas: Senyum tipis yang nyebelin menurut Aruna, suka melipat tangan sambil ngeliatin orang kalau debat, dan tatapannya dalam banget kalau lagi serius.
.
.
.
.
Suara penghulu terdengar mantap di bawah tenda putih berhias bunga melati dan janur kuning. Angin sore berembus pelan, membuat kain tenda bergoyang. Warga duduk rapi di kursi bambu, sebagian berdiri di pinggir jalan, ikut menyaksikan momen sakral itu.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan Aruna Prameswari binti almarhum Prasetyo dengan Dirga Mahesa dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas lima gram dibayar tunai,” ucap penghulu tegas, menggenggam tangan Dirga.
Telapak Dirga dingin, keringat menetes dari pelipis. Ia membuka mulut dengan lidah nyaris kelu.
“Saya terima nikahnya anu… nya—”
Sekejap tenda pecah oleh tawa. Anak-anak ngakak, bapak-bapak saling senggol, ibu-ibu menutup mulut sambil mengusap mata. Bahkan ada yang nyeletuk, “Lah, anu apaan lagi, Dirga!”
Ridho menepuk bahu sahabatnya sambil terbahak. “Bro, kalau ngejar anu jangan diumumin sekampung dong.”
Wajah Dirga panas, jantungnya berdegup kencang." Yaelah, kenapa nama Aruna harus ada anu - anu nya sih kan jadi kepleset gini ? Ia menarik napas panjang lalu mengulang dengan suara mantap,
“Saya terima nikahnya Aruna Prameswari binti almarhum Prasetyo dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
“SAH!” seru saksi kompak. Tepuk tangan langsung membahana, menutup sisa gelak tawa. Ada rasa lega sekaligus haru yang menyeruak.
Tak lama kemudian, Aruna keluar digandeng Bunda Laras. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya, senyum malu-malu membuat wajahnya tampak bercahaya. Beberapa ibu-ibu berbisik kagum, ada yang bahkan menitikkan air mata.
Aruna duduk di samping Dirga, jarak mereka begitu dekat sampai debar jantungnya terdengar di telinganya sendiri. Saat buku nikah disodorkan, Aruna membuka halaman dengan kening berkerut.
“Ini gue tanda tangan di mana? Di nama gue apa di nama lo?” bisiknya.
Dirga hampir tertawa. “Ya di nama lo lah. Masa di nama gue.”
“Ya kan gue kira sekarang udah suami-istri, tanda tangannya digabung gitu.” Aruna manyun polos.
Dirga tersenyum kecil. “Udah, Run. Buruan. Orang-orang merhatiin tuh.”
Beberapa tamu memang sudah senyum-senyum sambil berbisik. Aruna buru-buru menandatangani, pipinya merona saat tepuk tangan kembali terdengar. Dirga ikut menandatangani, tangannya masih sedikit gemetar.
Foto bersama keluarga menyusul, lalu warga antre untuk bersalaman. Suasana tenda kembali riuh oleh tawa dan musik dangdut dari sound system, bercampur bau nasi berkat dari dapur. Hari itu, seluruh kampung merasa ikut bahagia.
______
Flashback – Satu minggu sebelum pernikahan
“Dirga nggak mau nikah, Ma! Sampai kapan pun. Aku lebih baik melajang. Dirga nggak akan pernah ulangi kesalahan yang sama. Masa kecil aku udah cukup hancur karena pilihan Mama sendiri.”
Suara Dirga pecah, nadanya meninggi. Urat di lehernya tegang, matanya merah menahan luapan amarah yang lama terpendam.
Di ambang pintu apartemen, seorang gadis berdiri kaku di belakang ibunya. Tatapannya gugup, tubuhnya tampak mengecil seolah ingin lenyap dari pandangan Dirga.
Dirga menyapu mereka dengan pandangan penuh benci. “Bahkan tanpa izin Dirga, Mama tega bawa orang asing ke sini buat dijodohin?” suaranya serak, penuh luka.
Tanpa menunggu jawaban, Dirga meraih kunci mobil dan melangkah pergi. Pintu apartemen membanting keras di belakangnya, meninggalkan ibunya dan gadis itu dalam keheningan.
Mobilnya melaju menembus padatnya lalu lintas kota. Adrenalinnya masih mendidih. Namun ketika hendak memasuki sebuah kafe, langkahnya terhenti. Seorang gadis menabraknya dari depan. Tubuh mungil itu bergetar, wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seolah baru saja berlari ketakutan.
“Aruna?” Dirga spontan mengenalinya.Aruna ,Sahabatnya sejak SMA dan kini juga bekerja sebagai perawat di rumah sakit yang sama dengannya .
Gadis itu mendongak, matanya basah. “Ga…” suaranya pecah, nyaris tersendat. Jari-jarinya gemetar saat meraih lengan Dirga, seakan itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh.
Dirga tanpa pikir panjang menuntunnya menjauh, membawa Aruna masuk ke mobil.
“Lo kenapa?.” tanya Dirga, begitu cemas melihat Aruna.
Aruna menelan ludah, bahunya masih naik-turun. “Bunda Ga… beberapa minggu ini bunda maksa gue buat ikut kencan buta tapi kali ini Pasangannya bapak-bapak paruh baya, matanya gatel, tangannya… hampir—” suaranya tercekat, wajahnya menegang.
Dirga mengangguk "Gue paham Runa. "Dirga mengepalkan tangan di setir. “Jadi lo juga dipaksa nikah sama Bunda ?.”
Aruna mengangguk lemah. Ada getir yang membayang di matanya.
Seketika Dirga teringat wajah mamanya sendiri, kalimat-kalimat yang memaksa, luka yang belum sempat sembuh. Ia menoleh pada Aruna. Bibirnya bergerak begitu saja.
“Runa...Lo mau nikah sama gue ?”
Aruna membeku. “Lo… serius ngomong gitu?”
“Untuk saat ini, iya. Kita sama-sama punya masalah yang sama. Lo butuh kabur, gue juga butuh alasan buat berhenti dipaksa,” ucap Dirga datar, tapi sorot matanya menyiratkan tekad yang aneh.
Tiba-tiba ponsel Aruna bergetar.
Ting!
Pesan singkat masuk. Sekilas Aruna melirik layar, dan seketika wajahnya berubah pucat. Jantungnya berdentum keras, matanya melebar seperti baru saja melihat sesuatu yang tak boleh orang lain tahu. Tangannya buru-buru menutup layar, menyembunyikan ponsel di pangkuannya.
Dirga menatap curiga. Namun dengan cepat Aruna menoleh kepadanya, mengeluarkan senyum terpaksa, lalu menjawab tawaran Dirga.
" Gue setuju, Ga. Gue mau.”
Suaranya terdengar mantap, tapi sorot matanya masih menyimpan kegelisahan yang belum sempat terucap.
.
.
.
Bersambung.
Menjelang sore, kursi bambu sudah ditumpuk, tenda mulai dibereskan. Anak-anak masih berlarian di halaman, tapi di ruang tamu dua ibu masih ribut sendiri.
“Udah, kalian masuk kamar aja gih. Buruan bikin cucu, biar rame rumah!” seru Bunda Laras sambil terkekeh.
“Iya bener!” timpal Mama Lidya. “Lagipula tadi Dirga udah kebelet anu, katanya.”
Tawa pecah. Dirga hampir nyungsep saking malunya, wajahnya merah padam. Aruna yang berdiri di sampingnya mencubit pinggangnya jahil.
“Lo beneran kebelet anu, Ga?”
“Apaan sih, Run! Ya kalau Mama maunya gitu… gue jabanin lah,” balas Dirga sok gagah, padahal telinganya merah kayak kepiting rebus.
Aruna ngakak kecil, dan Dirga buru-buru menarik tangannya masuk kamar. Pintu langsung dikunci rapat.
“Eh, ngapain dikunci segala?” protes Aruna, tapi tangannya cepat-cepat memutar kunci lagi.
Dirga mengernyit. “Kenapa lo buka lagi? Lo mau ada orang nyelonong masuk?” Ia kembali mengunci, tapi kali ini Aruna menempelkan telapak tangannya di gagang pintu, napasnya tak beraturan, menutup lubang kunci dengan buru-buru.
Suara Aruna bergetar halus. “Gue nggak suka kalau kamar dikunci.”
Dirga sempat menatap curiga. Ada kilatan asing di wajah Aruna—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar protes biasa. Namun Aruna buru-buru mengalihkan perhatian, menyilangkan tangan di dada.
“Jadi, maksud lo tadi… jabanin apa, hah?”
Dirga melepaskan jas pelan, senyum nakal bermain di bibirnya. “Ya jabanin lo lah. Masa jabanin tetangga.”
Ia maju dengan langkah santai, tapi cukup membuat Aruna mundur hingga terdorong ke kasur. Wajahnya bercampur antara gugup, kaget, dan—sesuatu yang lebih gelap.
“Eh—Ga!” suaranya tercekat, lebih mirip bisikan.
Dirga menatapnya dengan lembut kali ini. “Tenang, Run. Malam ini… kita resmi jadi pasangan beneran.”
Namun kalimat itu justru menyulut sesuatu di benak Aruna. Sekejap, bayangan lama menghantam ingatannya: sosok pria mendorongnya kasar ke ranjang, tangan kejam merobek pakaiannya, tamparan panas membekas di pipinya. Nafasnya jadi patah-patah, dadanya sesak, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata langsung jatuh tanpa bisa dicegah.
Aruna terhuyung, seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.
Detik berikutnya, suara tawa meledak memecah suasana.
“Bwahahaha!” Dirga tiba-tiba terbahak, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang sambil memegangi perut. Melihat ekspresi panik Aruna, ia mengira itu bagian dari drama kocaknya. “Astaga, Run, lo kenapa? Lagi latihan drama? Mukalu kayak habis ditinggal kabur pengantin!”
Aruna tak menjawab. Ia berlari ke kamar mandi dengan langkah gontai, nyaris tersandung. Dirga spontan menoleh, senyumnya luntur. Tatapannya berubah ragu, ada sebersit rasa bersalah.
“Apa gue terlalu keterlaluan barusan?” gumamnya, menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Tapi ia cepat-cepat menggeleng, mencoba menepis pikirannya sendiri. “Ah, paling cuma gue yang kebanyakan mikir. Efek sering ngadepin pasien psikologis kali, jadi suka overthinking.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keheningan menelan kamar. Sampai suara lirih-lirih dari luar pintu terdengar.
Aruna keluar perlahan dari balik selimut, wajahnya kembali datar, seolah menutup rapat apa yang barusan terjadi. Tapi sebelum mereka sempat bicara lebih jauh, bisik-bisik samar dari balik pintu terdengar jelas.
“Kayaknya Bunda Laras sama Mama Lidya lagi nguping,” desis Dirga, matanya menyipit curiga.
Aruna mendesah panjang sambil menepuk jidat. “Mereka nggak bakal berhenti kalau kita nggak kasih pertunjukan kecil. Bisa-bisa semalaman kita digedorin.”
Senyum jahil merekah di bibir Dirga. “Oke. Ayo kita kasih show.”
Aruna sempat melotot, tapi akhirnya tertawa kecil. Mereka berdiri di atas ranjang, saling menggenggam tangan, seperti sepasang aktor yang siap naik panggung.
“Satu… dua…” Dirga menghitung pelan.
“Pelan-pelan, Ga. Jangan keras-keras,” bisik Aruna, menahan tawa sambil pura-pura mendesah.
Dirga mengedip nakal. “Run… gue masukin pelan-pelan aja. Gue janji nggak sakit,” ucapnya dengan nada mendayu, jelas dibuat ambigu.
Aruna menatapnya setengah mati ingin tertawa. “Astaga, lo tuh ngomong apaan sih…” bisik Aruna tapi ia tetap ikut main, lalu mereka kompak melompat bersama. Kasur berderit keras, menambah efek dramatis.
“Dikit lagi, Run… sabar ya…” Dirga menahan suara, seperti sedang menahan sesuatu.
“Ahh… Ga…” Aruna mendesah panjang, kali ini begitu meyakinkan sampai-sampai ia sendiri hampir ngakak.
Di balik pintu, kedua ibu saling berpegangan tangan. Wajah mereka merah padam menahan senyum, mata berbinar penuh harap.
“Ya Allah, jeng… sebentar lagi kita gendong cucu!” bisik Bunda Laras penuh emosi.
“Alhamdulillah…” sahut Mama Lidya dengan mata berkaca-kaca.
Namun karena terlalu bersemangat, Mama Lidya tidak sengaja menekan gagang pintu. Klek! Pintu terdorong lebar, dan keduanya terhuyung jatuh.
" brukk!"
tergeletak tepat di ambang pintu kamar Aruna dan Dirga.
.
.
.
Bersambung.
Karna pintunya nggak di kunci para mama - mama malah nyusruk 😅, kira - kira mereka ketahuan nggak ya???
Makasi sudah membaca bab ini guys jangan lupa tinggalkan jejak yaa. ❤
Namun karena terlalu bersemangat, Mama Lidya tidak sengaja menekan gagang pintu. Klek! Pintu berderit terbuka, dan keduanya terhuyung jatuh.
Bruk!
Tergeletak tepat di ambang pintu kamar Aruna dan Dirga.
Begitu mendengar pintu berderit, Aruna dan Dirga spontan refleks. Mereka serentak menjatuhkan tubuh ke kasur. Dirga dengan sigap meraih Aruna, mengimpit tubuhnya, lalu menarik selimut hingga menutupi keduanya sampai ke leher.
“Mama?!” Dirga terbelalak, wajahnya antara panik dan tidak percaya. Aruna juga ikut membeku, matanya membesar melihat dua sosok rempong itu di lantai.
Mama Lidya terjatuh terduduk, sementara Bunda Laras ada di sebelahnya dengan posisi sama. Kedua wanita paruh baya itu saling pandang, lalu menatap ke arah ranjang. Posisi Aruna dan Dirga yang tampak intim di bawah selimut membuat wajah mereka merona.
Keduanya langsung tertawa kaku, senyum kikuk tak bisa disembunyikan.
“Ma—maaf ya, Mama sama Bunda ganggu…” ucap Mama Lidya dengan suara sumbang, buru-buru berdiri.
“Iya, iya… kalian lanjut aja. Hehe…” tambah Bunda Laras, menepuk bahu besannya, sama-sama salah tingkah.
Mereka berdua segera menutup pintu lagi, langkah kaki bergegas menjauh begitu cepat, seolah takut tertangkap basah kedua kali.
Dirga langsung mengubah posisinya, melepaskan Aruna, lalu menjatuhkan badannya ke kasur sambil menepuk dada. “Astaga… untung aja gue cepet refleks,” desisnya lega.
Aruna menatapnya tak percaya, lalu malah ngakak sambil memukul lengannya. “Refleks apaan? Itu malah makin keliatan nyata, bego!”
Dirga nyengir tak bersalah. “Ya kan… makin meyakinkan. Besok-besok mereka nggak bakal ganggu lagi.”
Aruna mendengus, tapi ujung bibirnya terangkat juga. Mereka berdua akhirnya tertawa bersama, meski jantung masih sama-sama berdegup kencang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu meja makan mendadak jadi panggung. Begitu Aruna dan Dirga muncul dari kamar, semua tatapan langsung tertuju pada mereka. Mama Lidya buru-buru meneguk teh padahal gelasnya masih penuh, Bunda Laras tersenyum kaku, sementara tante - tante Aruna cekikikan menutup mulut.
Aruna langsung tahu arah gosipnya. Pipinya panas, sementara Dirga hanya mengusap jidat, malas menanggapi. Suasana hening sesaat, lalu terdengar celetukan lirih dari salah satu tante, “Alhamdulillah, semalam kayaknya sukses ya, Bun.”
Aruna hampir tersedak udara, buru-buru meraih kursi dan duduk. Dirga menunduk, pura-pura fokus ke piring kosong di depannya. Untungnya, Bunda Laras segera menengahi dengan mengalihkan obrolan ke lauk sarapan. Gosip itu padam seketika, tapi tatapan-tatapan penuh arti masih mengambang sampai mereka beranjak ke kamar lagi.
_____
Di dalam kamar, Aruna mendesah panjang sambil memasukkan baju ke koper“Inget ya, nggak ada yang boleh tau kita udah nikah di rumah sakit.”
Dirga berdiri di depan cermin, menggulung lengan kemejanya santai, lalu melirik ke arah Aruna. “Ke-PD-an banget sih lo. Kayak gue pengen banget mengakui lo jadi istri gue. Gue juga nggak mau kali.” Bibirnya menyungging senyum miring, jelas mengejek.
“Awas aja kalau lo keceplosan di depan anak-anak rumah sakit besok.” Aruna melotot, setengah mengancam. Ia sudah hafal tabiat Dirga yang kadang suka nyeletuk sembarangan.
“Iya, iya… bawel banget sih lo.” Dirga menarik kopernya ke arah pintu. “Buruan, sebelum bunda sama mama kepikiran mengunci kita semalam lagi di sini.”
Aruna menghela napas panjang, buru-buru merapikan rambutnya, lalu menyusul Dirga dengan koper di tangan.
Begitu sampai di ruang tamu, Mama Lidya dan Bunda Laras sudah duduk menunggu.
“Kamu yakin nggak mau nunda dulu balik ke kota, Nak?” Mama Lidya menatap lesu, ada nada enggan melepas anaknya.
“Iya, Ma. Kan udah Dirga bilang kemarin, rumah sakit butuh kita berdua. Operasional nggak bisa lama-lama ditinggal,” jawab Dirga tenang.
Bunda Laras mengelus rambut Aruna penuh kasih. “Ya sudah… kalau gitu duduk dulu. Ada yang mau bunda dan mama sampaikan.”
Aruna langsung mendengus, “Apa lagi, Bun? Jangan bilang bunda bakal drama lagi biar kita stay di sini.”
“Ya ampun, Runa!” Bunda Laras terbelalak kaget. “Bunda belum ngomong loh, kamu udah nuduh macem-macem.”
Aruna cuma memutar matanya malas, lalu duduk di samping Dirga. Lelaki itu tiba-tiba meraih tangannya, meletakkannya di pangkuan, dan mulai mengelus kukunya satu per satu—kebiasaan kecil Dirga yang sudah lama Aruna maklumi.
Mama Lidya berseri-seri. “Mama dan bunda punya kabar baik. Anggap saja ini kado Pernikahan untuk kalian.”
Aruna spontan tersenyum. “Hadiah? Apa tuh? Mobil? Uang? Sawah? Atau tiket jalan-jalan ke Eropa?” Ia menebak asal sambil menoleh ke Dirga. Lelaki itu tetap cuek, masih sibuk mengukur panjang kukunya.
Dengan kompak, Mama Lidya dan Bunda Laras menyebutkan, “Apartemen.”
"Apartemen Veranda Suites, cocok untuk pengantin baru seperti kalian!. "sambung Mama Lidya.
Aruna terperangah. Senyumnya langsung pudar. Dirga pun melepaskan tangan Aruna dari pangkuannya, menatap kedua orang tua mereka dengan mata membelalak.
“Bunda… batalin sewa apartemen Runa?” ucap Bunda Laras menjelaskan.
“Dan apartemen kamu juga sudah mama batalkan, Dirga,” sambung Mama Lidya.
“Apa? Tapi Apartemen aku masih lima tahun lagi kontraknya, Ma!” protes Dirga, wajahnya nyaris frustasi.
“Runa juga, Bun! Kenapa seenaknya gitu?” Aruna ikut tak terima.
Bunda Laras tetap tenang. “Justru karena itu. Uang sewa kalian dikembalikan lumayan besar. Ditambah uang mama, jadilah cukup untuk beliin kalian apartemen baru. Jadi mulai sekarang… kalian tinggal bareng.”
Suasana mendadak senyap. Aruna dan Dirga hanya bisa saling bertatapan, mata mereka sama-sama lelah dan penuh amarah tertahan.
Kedua ibu tunggal itu kembali membuat kesepakatan baru yang membalikkan rencana mereka berdua. Segala janji dan aturan yang sudah mereka buat bersama kini nyaris hancur.
Kesepakatan Aruna dan Dirga sebelumnya:
1. Nggak ada yang boleh tau kalau mereka sudah menikah, baik di rumah sakit maupun di luar.
2. Mereka tetap tinggal di apartemen masing-masing .
3. Bersikap romantis hanya di depan Mama dan Bunda.
4. Tidak ada batas waktu tertentu dalam perkawinan dan dilarang keras memiliki perasaan lebih satu sama lain .
Dan kini, poin nomor dua resmi dihancurkan oleh keputusan Mama Lidya dan Bunda Laras.
Aruna meneguk ludah, dadanya sesak. Dirga mengusap wajahnya kasar.
Namun dari balik pagar rumah, seorang pria berpakaian serba hitam berdiri kaku. Wajahnya tertutup masker dan topi, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang menatap lurus ke arah Aruna.
Sejenak, pandangan mereka bersitatap. Dada Aruna berdesir aneh, langkahnya sempat maju setapak. Tapi sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, pria itu berbalik cepat lalu menghilang di tikungan.
Aruna berdiri terpaku. Jantungnya berdegup kencang, jemari tanpa sadar meremas sisi gaunnya.
“Runa, kamu liat apa?” tanya Bunda Laras, mewakili rasa penasaran semua orang.
Aruna buru-buru menggeleng. “Enggak, Bun. Tadi cuma… temen lewat.” Suaranya goyah, jelas berusaha mengelak.
“Siapa?” Dirga menatapnya curiga.
“Nggak jelas, nggak keliatan juga,” jawab Aruna cepat, lalu kembali duduk. Senyumnya dipaksakan, tapi tangan di pangkuannya bergetar halus.
.
.
.
Bersambung
Curiga jangan - jangan dua mama tunggal ini cenayang lagi yaa ketebak aja isi pikiran anaknya 🤭
ampun banget Bunda Laras belum apa-apa udah di tuduh mau drama tapi ternyata kali ini lebih dari drama🤣
Makasi yang udah baca sampai bab ini ,tungguin next babnya yaa guys😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!