NovelToon NovelToon

From Hell To Absolute

Bab 1 Gerbang Kiamat

Tahun XXXX.

Hari itu, langit di seluruh dunia terbelah.

Bukan hanya di satu tempat, bukan hanya di satu benua. Dalam satu detik yang sama, ribuan celah hitam muncul di udara, berputar seperti pusaran tinta yang melahap cahaya. Manusia menatapnya dengan rasa tak percaya—dan sejak saat itu, dunia tak lagi sama.

Mereka menamainya: Gate.

Awalnya hanya muncul dan diam, seperti sekadar fenomena aneh yang tak dapat dijelaskan. Namun waktu berlalu, dan ketika Gate itu pecah, bencana pun lahir.

Dari dalamnya, ribuan monster tumpah ke bumi. Kota-kota besar runtuh, militer kewalahan, tank dan misil tak lagi berarti di hadapan cakar, api, dan racun makhluk-makhluk itu. Peradaban modern hampir musnah hanya dalam hitungan bulan.

Umat manusia nyaris punah.

Namun… pada titik terendah itu, mereka muncul.

Manusia dengan kekuatan aneh, kekuatan yang melampaui logika sains. Ada yang bisa membelah udara dengan ayunan pedang, ada yang bisa membakar ratusan monster dengan sekali mantra, ada yang tubuhnya tak bisa ditembus peluru maupun taring. Mereka dipanggil dengan satu nama yang sama:

Hunter.

Hunter adalah harapan baru umat manusia. Dari satu orang, menjadi puluhan, lalu ratusan, hingga ribuan. Mereka mampu masuk ke dalam Gate, memburu monster di dalamnya, bahkan menutupnya dari dalam. Perlahan, manusia bangkit kembali. Kota-kota yang hancur mulai dibangun, dan monster tidak lagi menjadi momok tak terkalahkan.

Namun, segalanya berubah ketika Gate terbesar dalam sejarah muncul.

Sebuah celah hitam terbuka di daratan Asia Tengah. Ukurannya… sebesar satu negara. Dari radius ribuan kilometer, aura mencekam menyelimuti langit. Para Hunter yang mencoba masuk, tak ada satupun yang kembali.

Manusia menyebutnya: Chaos Gate.

Ketakutan menyebar di seluruh dunia. Waktu terus berjalan, dan semua orang tahu… bila Gate itu break, maka monster yang keluar akan meluluhlantakkan bumi. Dunia benar-benar berada di ambang kiamat.

Namun, di tengah keputusasaan itu, satu guild legendaris dibentuk. Bukan sembarang guild—melainkan gabungan lima Hunter terkuat dari seluruh dunia. Mereka adalah orang-orang yang kekuatannya sudah melampaui definisi manusia.

Di antara mereka, sang pemimpin adalah Hunter Rank S terkuat di dunia—seorang pria dari Korea Selatan.

Namanya: Jinwoo Arkwright.

Sosok yang disebut "Heaven Slayer."

Di sampingnya, berdiri empat orang lainnya:

Leonhard Strauss – dari Jerman. Seorang Mythical Job: Dragon Vanguard, mampu mengubah tubuhnya menjadi hibrid naga dengan kekuatan fisik yang tak tertandingi.

Ezekiel Duskbane – dari Amerika. Mythical Job: Void Reaver, pengendali kekuatan kehampaan yang dapat merobek ruang dan menghisap kehidupan.

Takeshi Muramasa – dari Jepang. Mythical Job: Sword Saint of the Eternal Moon, seorang pendekar yang mampu membelah dimensi dengan pedangnya.

Selene Aurelion – dari Perancis. Mythical Job: Holy Priestess of Dawn, penyembuh sekaligus penyihir suci dengan cahaya yang dapat membakar bahkan iblis tertinggi.

Bersama mereka, The Last Dawn Guild lahir.

Dan tanpa ragu, kelima orang itu melangkah masuk ke dalam Chaos Gate.

Di dalam Chaos Gate

Udara dipenuhi bau belerang. Langitnya hitam pekat, menyala dengan petir merah. Daratan retak, menyemburkan lava yang seakan bernapas. Di hadapan mereka… berdiri pasukan yang jumlahnya tak terhitung.

Puluhan ribu jenderal iblis.

Ratusan Archdemon.

Sembilan Demon King.

Dan di belakang mereka… jutaan monster di atas Rank-S.

Jinwoo melangkah maju, matanya dingin.

“Seperti yang kita duga,” ucapnya lirih. “Ini bukan sekadar dungeon… ini neraka yang sesungguhnya.”

Leonhard meretakkan buku jarinya. Sisik perak perlahan merayap di lengan dan lehernya. “Bagus. Aku bosan menunggu. Biarkan mereka datang.”

Takeshi menarik pedang panjangnya, bilah katana yang berkilau di bawah cahaya merah. Tatapannya tenang, seolah sudah siap mati sejak ia melangkah ke tempat ini.

Ezekiel tersenyum miring, bayangan gelap merambat dari kakinya, berdenyut seperti akar yang lapar. “Lihatlah mereka… jutaan mangsa untuk Void-ku. Indah sekali.”

Sementara Selene menutup mata, cahaya lembut menyelimuti tubuhnya. Namun di balik kelembutan itu, wajahnya menyimpan keteguhan yang nyaris suci. “Kita harus menang… atau dunia akan berakhir di sini.”

Dan pada detik itu juga, neraka pun meledak.

Archdemon pertama, berwujud raksasa berlapis baja hitam dengan enam tanduk, meraung. Gelombang pasukan iblis berlari deras seperti tsunami. Tanah bergetar, udara dipenuhi raungan dan desingan.

Jinwoo mengangkat pedangnya—Heavenpiercer.

“MAJU!”

Ledakan kekuatan meledak dari tubuh mereka berlima.

Leonhard melompat, tubuhnya membesar, sisiknya berkilau, dan dari mulutnya semburan api naga meluluhlantakkan ribuan iblis dalam sekali hembus.

Takeshi menari dengan pedangnya. Sekali ayunan, puluhan jenderal iblis terbelah menjadi dua. Gerakannya begitu cepat hingga bilahnya hanya meninggalkan cahaya bulan perak di udara.

Ezekiel membuka kedua tangannya, dan sebuah pusaran kehampaan lahir di atas medan perang. Ribuan monster tersedot ke dalam, jeritan mereka lenyap di balik kegelapan abadi.

Selene mengangkat tongkat sucinya. Cahaya emas membanjiri, menyembuhkan luka sekutu, sekaligus meledakkan iblis yang terkena sorotnya. Jeritan demon terbakar memenuhi udara.

Dan Jinwoo… melesat menembus pasukan musuh, pedangnya menebas kepala Archdemon seakan itu hanyalah rumput. Setiap ayunan pedangnya menorehkan cahaya biru yang menembus langit neraka.

Pertempuran itu bukan lagi pertempuran manusia melawan monster. Itu adalah perang dewa melawan dewa.

Darah, teriakan, dentuman, dan doa bercampur menjadi satu simfoni kiamat.

Mereka berlima bertarung bukan hanya untuk menang—tetapi untuk memastikan dunia masih memiliki hari esok.

Namun, jauh di dalam kegelapan, sembilan Demon King menunggu. Mereka tidak bergerak, hanya menatap dengan senyum keji, menunggu saat yang tepat.

Suara retakan menggelegar di tanah neraka itu.

Salah satu Demon King akhirnya bergerak. Tubuhnya raksasa, bersayap hitam, matanya merah menyala seperti bara. Suara raungannya merobek langit, dan dengan sekali hentakan sayap, ia melesat menembus lautan iblis langsung menuju Selene.

Cahaya suci priestess itu menyinari kegelapan, membuatnya menjadi target paling jelas di medan perang.

“Selene!” Jinwoo menoleh cepat.

Namun sebelum cakar raksasa itu menembus tubuhnya, suara berat penuh amarah meledak.

“Mau ke mana kau, bajingan!?”

Sosok besar dengan sisik perak melesat. Leonhard Strauss menghantam Demon King itu dengan bahu naga miliknya, dentumannya membuat tanah retak. Udara bergetar. Seluruh pasukan iblis yang berada di sekitar mereka tersapu oleh gelombang kejut.

Tank guild itu meraung:

“Tank akan selalu menjaga support-nya!”

Demon King itu menggeram marah, namun sebelum ia bisa membalas, Leonhard sudah mengayunkan tinjunya. Tinju naga itu menghantam wajah iblis, menimbulkan dentuman seolah gunung dihantam meteor.

Selene menggertakkan gigi. Tangannya bergetar, tapi ia tetap mengangkat tongkat suci. Cahaya keemasan mengalir, menyelimuti Leonhard.

“Berkat Suci!”

Tubuh Leonhard diselimuti aura emas, kekuatannya melonjak. Ia menahan serangan Demon King satu lawan satu, sementara mantra penyembuhan mengalir deras, menutup luka-lukanya bahkan sebelum darahnya sempat jatuh ke tanah.

Namun kekuatan Demon King jelas berbeda dari pasukan biasa. Serangannya menggetarkan tulang, dan tubuh Leonhard mulai terdorong mundur.

“Aku tidak bisa menahan lama!” teriaknya. “Bantu aku dasar kalian orang bodoh yang buta map!”

Dan saat ia berteriak, sebuah cahaya bulan berkilau melintas di antara mereka.

Srekkhhhhh!

Dua tebasan anggun namun mematikan mendorong Demon King itu mundur beberapa langkah. Leonhard mendengus keras, meludah ke tanah.

“Kemana saja kau, Takeshi!?”

Dari bayangan monster yang baru saja tercerai-berai, muncullah sosok berambut hitam dengan katana berlumur darah. Takeshi Muramasa. Ekspresinya tetap tenang, meski matanya dingin menatap iblis.

“Aku sibuk membersihkan lautan monster dan Archdemon.” Pedangnya meneteskan darah hitam panas. Ia mendengus. “Badan doang gede kayak naga, tapi selalu merengek.”

Leonhard meraung marah. “Apa kau bilang, dasar—”

Belum sempat ia melanjutkan, dua Demon King lain melesat dari sisi berbeda. Cakar hitam mereka siap mencabik Leonhard yang masih dalam posisi terbuka. Mata Leonhard melebar—ia tahu ia tidak sempat menghalau keduanya sekaligus.

Tapi pada detik itu, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi.

SRAKKHHHHHHHH!!!

Satu tebasan yang membelah dimensi melintas, lebih cepat daripada mata bisa menangkap. Cahaya biru keperakan memanjang hingga ke langit neraka.

Dan dalam sekejap, kedua Demon King itu terbelah menjadi dua. Tubuh mereka meledak, hancur berkeping-keping, darah hitam mereka mengalir seperti sungai.

Seluruh medan perang hening. Bahkan pasukan iblis berhenti bergerak seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi.

Jinwoo berdiri di antara mereka, pedangnya masih meneteskan darah iblis. Matanya tak menunjukkan emosi sedikitpun.

“Fokuslah. Kita tidak sedang liburan.”

Takeshi tersenyum miring, menatap Leonhard. “Huh, bahkan aku tidak sempat bergerak. Sepertinya pemimpin kita tak suka berdebat kecil.”

Leonhard menggertakkan gigi, urat-urat di lehernya menegang. “Brengsek…”

Namun teriakan Ezekiel memotong ketegangan. Suaranya menggelegar, bercampur dengan desisan bayangan gelap di sekelilingnya.

“Berhenti bercanda! Sisa tujuh Demon King mulai bergerak!”

Benar saja. Dari kejauhan, tujuh sosok raksasa iblis mulai berjalan maju. Aura mereka menekan udara, membuat seluruh pasukan iblis meraung liar.

Selene tak punya waktu untuk menghiraukan perseteruan. Ia menutup mata, mengangkat tongkat sucinya tinggi-tinggi. Cahaya emas meledak, menerangi medan perang yang suram.

“Oh Dewi Suci, berkatilah kami! Jadikan tubuh ini tombakmu, jadikan darah ini tamengmu, jadikan jiwa ini cahaya-Mu!”

Aura emas memancar, melingkupi seluruh anggota guild. Luka-luka mereka sembuh, kekuatan mereka melonjak berkali lipat. Bahkan udara di sekitar mereka bergetar, seakan dewi itu sendiri turun ke neraka untuk memberkati pertempuran ini.

Leonhard menghela napas panjang. Otot-ototnya kembali pulih, sisiknya semakin berkilau.

“Selene… kau penyelamatku.”

Selene membuka mata, tersenyum tipis. “Tank yang merajuk tak akan bertahan lama tanpa penyembuh.”

Jinwoo mengangkat pedangnya. Sorot matanya tajam, wajahnya datar.

“Mari selesaikan dengan cepat.”

Takeshi merapatkan pegangan pedangnya, bibirnya melengkung dengan dingin. “Sepertinya ini baru awalnya saja.”

Ezekiel tertawa rendah, bayangan di sekitarnya semakin pekat. “Hahaha… akhirnya pertunjukan sesungguhnya dimulai.”

Leonhard meraung sambil menginjak tanah, retakan menyebar ke segala arah. “Ayo hancurkan mereka semua!”

Bab 2

Udara neraka bergetar.

Tujuh Demon King melangkah maju, aura mereka menghempaskan pasukan iblis ke segala arah. Tanah retak, langit dipenuhi kilatan petir hitam. Mereka adalah penguasa dunia kegelapan, makhluk yang sudah menghancurkan ribuan dunia.

Namun di hadapan mereka, berdiri lima manusia.

Jinwoo, sang pemimpin, menatap lawan dengan sorot mata setajam pedang. Nafasnya tenang meski seluruh medan perang terasa menyesakkan.

“Dengar baik-baik.” Suaranya menusuk bising medan perang, tegas namun dingin. “Leonhard, jaga Ezekiel dan Selene! Jangan sampai ada serangan yang lolos. Kau harus memenuhi peranmu dengan baik sebagai tank.”

Leonhard menggeram rendah, tubuhnya berkilau sisik perak. “Aku akan hancurkan siapapun yang berani menyentuh mereka.”

“Selene,” lanjut Jinwoo tanpa ragu, “berikan buff pada Leonhard, dan mana ekstra pada Ezekiel. Sertakan juga debuff cooldown agar dia bisa merapal lebih cepat.”

Selene menggertakkan gigi, wajahnya pucat namun matanya penuh tekad. “Dimengerti.”

“Ezekiel,” Jinwoo menoleh pada penyihir bayangan, “siapkan mantramu. Gunakan ultimate.”

Ezekiel menelan ludah, keringat dingin menetes. “Itu butuh… banyak waktu. Paling tidak lima menit penuh.”

“Lakukan saja.” Jinwoo menatapnya dalam, pupil kirinya berkilau samar seperti galaksi mini. “Tidak perlu khawatir. Aku dan Takeshi akan mengulur waktu.”

Sesaat, Ezekiel terdiam. Lalu ia tertawa pelan, getir sekaligus percaya. “Kau gila, Jinwoo… Tapi baiklah. Kalau pemimpin bilang begitu, Void Reaver ini akan membuka neraka kedua.”

Tanpa menunggu, ia mengeluarkan kitab hitam raksasa yang mengambang di udara. Halamannya terbuka sendiri, huruf-huruf kuno berputar liar, dan udara mulai bergetar oleh energi mengerikan.

Selene segera bergerak. Cahaya emas mengalir dari tongkat sucinya, mengalir ke tubuh Leonhard, lalu menyelimuti Ezekiel.

“Berkat Cahaya Agung!

Berkah Mana Abadi!

Waktu-Mu, wahai Dewi, dipercepat!”

Rune emas melingkar di sekitar Ezekiel. Nafasnya tersengal, tapi mantra yang tadinya mustahil selesai dalam lima menit kini mulai terkondensasi lebih cepat.

Leonhard meraih udara, tubuhnya bergetar. Lalu—

BUUUMMM!

Ia meledak dalam cahaya merah dan perak. Tubuhnya membesar, sayap naga raksasa terbentang, sisiknya berubah emas menyala. Raungannya memekakkan telinga, membuat jutaan monster ketakutan.

“The Great Dragon Emperor!” Leonhard meraung, semburan apinya meluluhlantakkan pasukan iblis yang mencoba mendekati Selene dan Ezekiel.

Di sisi lain, Takeshi berdiri tenang, pedang bulan sabitnya meneteskan darah iblis. Ia menoleh pada Jinwoo, ekspresinya masih datar, namun nada suaranya penuh hormat.

“Seperti biasa… kau selalu hebat, senpai.”

Jinwoo tersenyum tipis. “Aku hebat karena kalian semua.”

Tiba-tiba pedangnya, Heavenpiercer, memancarkan cahaya biru pekat. Pupil mata kirinya berubah—galaksi mini berputar, memancarkan aura tak tertahankan.

Takeshi mendengus, menyiapkan pedangnya. “Sisa berapa ayunan yang bisa kau lakukan, senpai?”

Jinwoo menjawab datar, namun setiap kata seperti petir yang jatuh.

“Empat.

Cukup untuk membuat mereka semua mati… instan, seperti dua Demon King tadi.”

Takeshi tertawa kecil, matanya menyipit. “Hidup memang enak kalau punya skill instant death macam itu. Demon King kelas ancaman SSS jadi tak ada harga dirinya sama sekali.”

Jinwoo mendiamkannya, lalu menekan dada kirinya perlahan. Wajahnya menegang, seolah menahan sesuatu. “Kekuatan besar… punya bayaran besar juga.”

Takeshi menoleh cepat. “Senpai—”

Namun sebelum sempat bertanya lebih jauh, tanah kembali bergetar. Gerombolan monster raksasa berteriak, menyerbu seperti lautan hitam.

Takeshi menundukkan kepala, tersenyum samar. “Baiklah… sepertinya sekarang waktunya kita menari dengan pedang bersama lagi.”

Jinwoo mengangkat pedangnya, sorot matanya tajam seperti bintang jatuh.

“Jangan ketinggalan langkahku.”

DUARRRR!!!

Dalam satu detik, keduanya melesat dengan kecepatan menembus udara. Gelombang kejut menghancurkan barisan monster terdekat.

Pertarungan Dimulai

Jinwoo menebas lurus—BUAAARRR!

Seluruh pasukan iblis di depannya terbelah, ledakan energi biru merobek tanah sejauh ratusan meter.

Takeshi menari di sampingnya. Pedangnya berkilau, setiap ayunan membelah puluhan monster dalam satu garis sempurna. Gerakannya anggun, namun setiap bilah meninggalkan kematian.

“Langkah ketiga, senpai!” seru Takeshi.

Jinwoo mengangguk, menendang kepala Archdemon, lalu memutar tubuhnya. Tebasan keduanya menghancurkan barisan jenderal iblis, menguapkan mereka menjadi abu.

Sementara itu, Leonhard menjaga Ezekiel dan Selene. Sayap naganya menebas udara, semburan api membakar ribuan iblis. Tapi setiap kali ia memukul mundur musuh, lebih banyak lagi yang datang.

“Dasar sampah tak ada habisnya!” raung Leonhard. “Cepat selesaikan mantra sialanmu, Ezekiel!”

Ezekiel tak menjawab. Keringatnya bercucuran, tubuhnya gemetar, tapi matanya tak berkedip. Rune hitam terus melingkar, bayangan di sekitar tubuhnya menjerit dengan suara-suara dari dunia lain.

Selene menggertakkan gigi, tangannya gemetar memegang tongkat. “Berkat Percepatan Ilahi!”

Aura cahaya melesat masuk ke Ezekiel, mempercepat mantra. Tapi tubuh Selene semakin pucat.

Leonhard meliriknya, matanya berapi-api. “Bertahanlah, Selene. Aku akan melindungimu meski harus hancur berkeping-keping!”

Selene tersenyum lemah. “Aku tahu… itulah kenapa aku percaya padamu.”

Sementara itu, tujuh Demon King akhirnya bergerak serentak. Raungan mereka membuat udara bergetar.

Satu dengan tubuh raksasa berotot mengangkat palu neraka.

Yang lain melayang dengan enam sayap hitam, merapal sihir penghancur.

Sisanya menebar aura kegelapan yang mengikis tanah di setiap langkah.

Jinwoo dan Takeshi berhenti sejenak, menatap mereka.

“Senpai,” ucap Takeshi lirih.

“Ya?”

“Aku tidak pernah bosan… berperang di sisimu.”

Jinwoo tersenyum samar, tapi matanya tetap tajam. “Jangan sampai kau mati, Takeshi. Kau masih berhutang sushi padaku.”

Dan detik itu juga—tujuh Demon King menyerbu.

Langit neraka runtuh. Tanah bergetar. Seluruh dunia seakan jatuh dalam kehancuran.

Namun di hadapan kehancuran itu, suara Jinwoo bergema, tenang namun menusuk hati.

“Formasi bertahan. Fokus pada rencana.

Kemenangan ada di tangan kita!”

Langit merah pekat bergemuruh, seolah semesta sendiri merasakan tekanan dari kekuatan para Demon King. Ketujuh raja iblis itu akhirnya berhenti bermain-main. Aura mereka meningkat drastis, setiap inci ruang bergetar, tanah retak, dan udara menjerit saat kekuatan destruktif dilepaskan.

“Sekarang mereka serius…” gumam Jinwoo sambil mempererat genggaman pada pedangnya yang berkilau.

Dalam sekejap, ketujuh Demon King menyerang serentak—sebuah badai kegelapan, api neraka, petir ungu, bahkan gelombang darah korosif menghantam ke arah Jinwoo dan Takeshi. Getaran destruksi itu bukan sekadar serangan, tapi seperti bencana alam yang dipadatkan.

Takeshi menyeringai. “Mereka pikir bisa menekanku dengan ini?”

Pedangnya bergetar ringan, lalu tubuhnya meledak dengan aura samurai kuno. Jinwoo di sampingnya tetap tenang, pupil mata kirinya kembali berputar seperti miniatur galaksi, seakan ia sedang membaca seluruh jalur serangan musuh.

BOOOMM!!!

Benturan antara manusia dan iblis mengguncang seluruh dungeon. Energi gelap dan cahaya kosmik beradu, menciptakan gelombang ledakan yang membuat ribuan monster di sekitar mereka langsung hancur jadi abu.

Namun, di tengah pertarungan itu, salah satu Demon King tidak ikut menyerang. Dia berdiri di paling belakang, tubuhnya kurus tinggi dengan tanduk bercabang tiga, tangan terangkat ke langit, mulutnya terus melafalkan mantra aneh.

Dari pusaran gelap di atasnya, monster demi monster lahir tanpa henti. Archdemon, jenderal iblis, hingga raksasa iblis bermata seribu tumpah ke medan perang, langsung berlari menuju Leonhard, Selene, dan Ezekiel yang tengah sibuk menjaga pertahanan belakang.

Ezekiel berusaha tetap fokus pada mantra ultimate-nya. Kedua tangannya penuh rune bercahaya biru, kitab sihirnya berputar di udara, sementara keringat dingin bercucuran di wajahnya.

“Sial! Mereka sengaja menargetkanku!” teriak Ezekiel.

Leonhard yang sudah berubah menjadi The Great Dragon Emperor meraung, tubuh raksasanya memukul puluhan monster sekaligus, tapi jumlah mereka terus bertambah. “Aku tidak bisa menahan semuanya selamanya!”

Selene berusaha mati-matian memberikan heal dan buff, cahaya suci memancar dari tubuhnya, namun semakin banyak monster yang menerobos, semakin berat beban di pundaknya.

Jinwoo yang melihat kekacauan di belakang langsung mengerutkan kening. “Takeshi!”

Mata Takeshi melirik ke arah Demon King yang sedang summon. Jinwoo menunjuk dengan pedangnya. “Bunuh dulu yang paling belakang itu. Jangan biarkan dia terus memanggil monster!”

Tatapan Takeshi berubah dingin seketika. Aura samurainya mengental, dan pupilnya berkilat tajam. “Dimengerti, senpai.”

Seolah waktu berhenti, Takeshi menarik napas panjang. Pandangan matanya menajam, dunia di sekitarnya tiba-tiba melambat. Gerakan Demon King, monster, bahkan dentuman ledakan terasa seperti gumaman pelan.

Tangannya menyentuh gagang pedang. Dengan tenang, ia memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung. Lalu, perlahan, ia menariknya keluar lagi.

Clink…

Suara kecil itu bergema, namun bagi Takeshi, dunia kini hanyalah dirinya, pedang, dan satu target—Demon King di belakang.

“Gotcha…” gumamnya dengan senyum tipis.

Dalam ruang waktu yang terdistorsi, ia melihat keenam Demon King lainnya yang berdiri sebagai penghalang. Tubuh mereka berlapis aura kegelapan, tapi Takeshi hanya butuh satu celah.

Dan ia menemukannya.

Dalam satu gerakan, tubuhnya lenyap, hanya menyisakan riak udara.

SWOOOSH!!!

Saat waktu kembali normal, semua orang hanya melihat cahaya bulan membelah kegelapan. Demon King pemanggil itu tiba-tiba terdiam. Tubuhnya membeku, matanya melotot tak percaya. Kemudian, perlahan, tubuhnya pecah menjadi ribuan butiran cahaya, menghilang dari eksistensi.

Seluruh monster yang ia summon hancur bersamaan, seperti boneka tanpa benang yang tiba-tiba roboh.

“Target sudah dieliminasi.” Takeshi mengibaskan pedangnya dengan tenang, seakan baru saja menyingkirkan debu.

Leonhard menghela napas lega. “Akhirnya! Aku hampir jadi makanan serigala iblis barusan!”

Selene merapatkan tangan di dada, wajahnya pucat namun tersenyum tipis. “Terima kasih, Takeshi…”

Takeshi hanya mengangguk singkat, lalu kembali menatap ke arah Jinwoo.

Jinwoo sudah siap. Aura kosmiknya semakin kuat, pedangnya menyala seperti bintang jatuh. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, pupil galaksi di matanya berputar cepat, menyerap setiap detail medan perang.

“Sekarang giliranku.”

Pedangnya turun dengan kecepatan mustahil.

SLASHHHH!!!

Seketika, seluruh medan perang bergetar. Satu tebasan itu menyapu ribuan iblis, ratusan archdemon, dan puluhan jenderal iblis yang mengepung tim belakang. Suara jeritan iblis bergema, tapi hanya sesaat, sebelum semuanya hancur jadi debu kosmik.

Hanya dalam satu ayunan, Jinwoo menghapus ancaman yang bahkan pasukan militer dunia sekalipun tak akan sanggup hadapi.

Namun, setelah pedang itu berhenti berkilau, Jinwoo menunduk sebentar, menahan rasa sakit di dadanya. Tangannya menggenggam dada kiri, jantungnya berdegup keras, seakan setiap tebasan itu menggerogoti nyawanya.

“Tersisa tiga tebasan…” bisiknya lirih.

Takeshi menatapnya serius. “Senpai…”

Jinwoo mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. “Jangan khawatir. Cukup tiga tebasan ini untuk mengakhiri segalanya.”

Namun suara gemuruh keras memotong percakapan mereka. Keenam Demon King yang tersisa berteriak marah, aura mereka semakin membara. Tubuh mereka membesar, sayap hitam terbentang, energi kegelapan merobek udara.

Mereka marah. Sangat marah.

“Sepertinya sekarang pertarungan sesungguhnya baru dimulai…” ujar Ezekiel dengan suara berat, masih merapal mantranya, cahaya rune semakin terang.

Leonhard mengangkat perisainya, darah naga di tubuhnya mendidih. “Hah! Biar datang semua! Aku tank di sini, dan aku tidak akan jatuh!”

Selene menutup mata, merapal mantra suci lebih keras. “Oh, Dewi Suci, lindungi kami… berkati mereka yang berjuang dalam gelap…”

Aura putih keemasan meledak, menyelimuti seluruh tim. Luka mereka sembuh, energi mereka pulih, bahkan kekuatan fisik dan sihir meningkat berkali lipat.

Jinwoo mengangkat pedangnya lagi, pupil galaksi berputar cepat. Takeshi di sampingnya menarik napas dalam, menurunkan tubuhnya ke posisi siap tebas.

“Kau siap, Takeshi?” tanya Jinwoo.

Takeshi menyeringai. “Selalu. Ayo menari lagi, senpai.”

Bab 3

Udara di dalam Chaos Gate terasa begitu berat. Seolah langit neraka itu sendiri menekan mereka dengan beban ribuan gunung. Tanah retak, langit hitam bergemuruh, dan hanya ada dua manusia yang berdiri menghadapi enam Demon King yang menggila.

Jinwoo dan Takeshi.

Tubuh mereka penuh luka, napas berat, tapi mata mereka masih menyala. Sementara itu, keenam Demon King berdiri dalam formasi yang membuat bulu kuduk siapa pun meremang.

Di depan, ada satu Demon King raksasa berkulit obsidian, membawa tameng hitam raksasa—tank mereka.

Di belakangnya, berdiri sosok berjubah kelam dengan mata bercahaya ungu, tangannya penuh rune neraka—mage mereka.

Di sisi kanan, iblis bersayap hitam dengan busur panjang, anak panahnya terbuat dari api neraka—marksman.

Di kiri, dua iblis bertubuh kekar, masing-masing dengan senjata berbeda: kapak neraka dan tombak berdarah—fighter.

Dan di tengah, sedikit di belakang, ada iblis berpedang besar berwarna abyss, aura kekuatannya lebih menekan dari yang lain. Dialah commander sekaligus leader mereka.

Keenamnya bergerak, bukan sekadar liar, tapi dengan pola yang teratur, rapi, bahkan disiplin layaknya pasukan elit.

BOOM!!!

Takeshi dan Jinwoo baru saja menyelesaikan kombo tebasan mereka, menghantam langsung Demon King tank itu. Tamengnya retak, tubuhnya terdorong mundur puluhan meter, menimbulkan kawah besar.

Namun, bahkan sebelum mereka bisa bernapas, mage Demon King mengangkat tangannya. Rune ungu bersinar, mantra dilepaskan.

ZRRRNNGGG!!!

Seketika, Jinwoo dan Takeshi merasa tubuh mereka memberat. Kaki mereka seperti tertanam ke tanah, gerakan mereka melambat drastis.

“Shit! Skill slow!” desis Takeshi, mencoba mengayunkan pedangnya. Gerakannya kaku, seolah ada rantai tak kasat mata melilitnya.

Belum sempat mereka memulihkan diri, dua fighter Demon King sudah menerjang. Tombak dan kapak mereka beradu dengan pedang Jinwoo.

CLANG! CLANG!

Benturan logam menggelegar. Jinwoo menahan dua serangan sekaligus, tapi tubuhnya terdorong ke belakang. Kaki Jinwoo menyeret tanah, meninggalkan garis panjang di lantai dungeon.

Dari atas, anak panah berapi ditembakkan oleh marksman Demon King. Panah itu bukan sekadar api, tapi ledakan lava yang meledak saat menyentuh tanah.

BOOOOMMM!!!

Takeshi melompat menghindar, tapi tetap terluka di bahu. Darah segar menetes, wajahnya meringis.

“Mereka bekerjasama dengan baik… sialan!” seru Takeshi.

Matanya menatap tajam formasi musuh, napasnya memburu. “Tank di depan, mage support di belakang, marksman cover dari jauh, dua fighter jadi eksekutor… dan satu lagi itu… commander. Pola serangan mereka sempurna, seakan tidak ada celah!”

Jinwoo menangkis tombak yang menusuk ke arahnya, lalu menendang fighter itu mundur. “Untung kita sudah menebas Demon King pemanggil sebelumnya. Kalau tidak, kita sudah tenggelam oleh lautan monster.”

Takeshi hanya mendengus. “Iya, tapi tetap saja… mereka ini hampir seperti kita. Tim yang lengkap. Tank, mage, marksman, fighter, dan commander…”

Jinwoo menatap tajam ke arah Demon King yang memegang Abyss Blade. Aura kegelapan di sekitarnya berputar seperti pusaran neraka. Tatapannya dingin, penuh kebencian.

“Mereka sudah lelah kecolongan. Mereka tidak akan melakukan kesalahan lagi.” ujar Jinwoo pelan.

Demon King commander itu hanya menyeringai, seakan tahu apa yang dipikirkan Jinwoo.

Namun, bahkan sebelum mereka bisa mengambil napas, kedua fighter Demon King menyerang lagi. Serangan mereka datang bersamaan, tombak menusuk lurus, kapak melayang dari samping.

CLAAANGG!!!

Jinwoo menahan keduanya, tapi mage di belakang kembali mengeluarkan mantra.

SHRAAKK!

Rantai bayangan membelit kaki Jinwoo dan Takeshi, membuat gerakan mereka semakin terkekang.

“Takeshi!” Jinwoo menahan teriakan sambil menangkis tebasan bertubi-tubi.

“Skill ultimate-ku masih cooldown! Dua menit lagi!” balas Takeshi, frustrasi. Keringat bercucuran di wajahnya, tangan kirinya berdarah karena dipaksa menahan anak panah neraka.

Jinwoo menggertakkan gigi. Situasi ini tidak bisa dibiarkan lebih lama.

Tiba-tiba, cahaya kosmik meledak dari tubuh Jinwoo. Matanya bersinar terang, pupil galaksinya berputar lebih cepat dari sebelumnya.

“Override Mode…” bisiknya.

Aura kosmik meledak, membungkus tubuh Jinwoo. Setiap langkahnya membuat tanah retak, udara bergetar, dan kegelapan di sekitarnya terdorong mundur.

Takeshi menoleh kaget. “Senpai! Itu…!”

Jinwoo tersenyum tipis, meski wajahnya menegang. “Aku tidak punya pilihan lain.”

“Berapa lama kau bisa bertahan?” tanya Takeshi dengan nada cemas.

“Sepuluh menit.” Jinwoo mengangkat pedangnya, cahaya galaksi berputar di sekitarnya. “Tapi dalam sepuluh menit ini, aku tidak terkalahkan.”

Takeshi terdiam sejenak, napasnya tercekat. Lalu, ia menunduk dalam, menahan emosi yang bercampur antara kagum dan khawatir.

“Lalu aku?” tanyanya pelan.

“Mundurlah. Pergi ke Selene. Minta dia berikan debuff cooldown padamu. Begitu cooldown skill ultimatemu habis, incar mage itu dulu. Dia adalah kunci formasi mereka.”

Takeshi tertegun, wajahnya penuh keraguan. “Tapi Anda… melawan enam Demon King sendirian—”

Jinwoo memotong dengan suara tenang, namun penuh wibawa.

“Kuingatkan sekali lagi, dalam mode ini… aku tidak terkalahkan.”

Kata-kata itu membuat Takeshi membeku. Bukan karena keraguan, tapi karena keyakinan. Itu bukan sekadar pernyataan kosong—itu adalah janji.

Jinwoo melangkah maju. Aura kosmiknya meledak, membelah kegelapan. Keenam Demon King yang tadi terlihat menakutkan kini justru tampak menahan diri, bahkan sedikit mundur, seolah naluri mereka memberi peringatan.

Jinwoo menatap mereka satu per satu, pupil galaksinya berputar semakin cepat. “Sekarang giliran kita yang menekan.”

BOOOMM!!!

Dalam sekejap, tubuh Jinwoo lenyap. Sebuah cahaya kosmik membelah arena.

Suara logam beradu bergema keras, percikan energi kosmik berloncatan dari setiap tebasan Jinwoo. Kedua Fighter Demon King yang berdiri menghadang di depannya bergerak bagaikan bayangan kembar, serangan mereka begitu cepat dan berat hingga tanah di bawah retak setiap kali langkah mereka mendarat.

Namun Jinwoo, meski hanya satu orang, tidak pernah goyah. Tatapannya dingin, penuh fokus. Nafasnya teratur meski tubuhnya sudah ditutupi goresan luka dan darah.

Tebasan pertamanya menghantam kapak salah satu demon king. Dentumannya mengguncang udara. Demon king lain langsung menusukkan tombak gelapnya dari samping, tapi Jinwoo memutar pedangnya dan memblokir dengan presisi yang nyaris mustahil.

"Beraninya kau—!" raung demon king bertombak, tapi suaranya terputus saat Jinwoo menekannya mundur.

Langkah Jinwoo semakin cepat, setiap gerakan penuh ketegasan. Irama pertarungan mulai terguncang, bukan dari pihaknya, melainkan dari musuhnya. Sang demon king bertombak, yang awalnya agresif, mulai kehilangan tempo. Tebasannya jadi tidak sinkron dengan rekannya.

Momen itu tidak luput dari mata Jinwoo.

Tepat sekarang!

Dalam sekejap, pedang kosmiknya berkilau terang. Jinwoo berputar, gerakan cepat bagai kilatan bulan sabit. Slash! Darah hitam pekat menyembur ke udara. Demon king bertombak terhuyung, matanya membelalak tak percaya, lalu tubuhnya terbelah oleh cahaya yang menelan segalanya.

"ARRRGHHH!" jerit terakhirnya mengguncang langit.

Kejadian itu membuat demon king lain mengamuk. Aura mereka semakin menggila, udara bergetar, medan perang seakan runtuh oleh tekanan mereka.

"KAU MANUSIA RENDAHAN!!!" bentak salah satu demon king. Mereka serempak mengaktifkan skill terkuat mereka. Pilar energi, sayap bayangan, dan kabut neraka menyerbu Jinwoo dari segala arah.

Namun di saat mereka mengira sudah memojokkan Jinwoo, sosok itu... menghilang.

“M-Mana dia?!” salah satu dari mereka panik.

Tiba-tiba, suara dingin terdengar di atas mereka.

“Waktunya mati… pemanah sialan.”

Mata sang Archer Demon King membelalak. Ia melayang tinggi, yakin dirinya aman dengan barisan demon king lain yang melindungi. Tapi Jinwoo muncul tepat di depannya, seolah menembus jarak dan ruang.

Tebasan pedangnya melesat. Tidak cepat, tapi begitu presisi. Pemanah itu berteriak kesakitan, cahaya kosmik menelan tubuhnya. Panah yang tak pernah meleset kini hancur bersama pemiliknya, terhapus dari dunia.

"Sisa dua tebasan..." gumam Jinwoo pelan, napasnya berat tapi matanya tetap tajam.

Namun kemenangan singkat itu segera sirna.

Sekelilingnya mendadak berdiri puluhan pilar raksasa dengan ukiran sihir kuno. Suara retakan dimensi terdengar saat si Mage Demon King mengangkat tangannya tinggi.

"Terkurunglah, manusia congkak."

Dari pilar-pilar itu, ratusan tombak belenggu bercahaya merah pekat muncul dan menembakkan diri ke arah Jinwoo.

"Apa—!" Jinwoo menyilangkan pedangnya, mencoba menahan, tapi serangan datang dari segala arah. Tombak-tombak itu menusuk bahunya, kakinya, dan akhirnya satu menembus perutnya.

“KUAGHHH!” darah segar memancar dari mulutnya. Tubuhnya terpental, membentur tanah keras.

Belum sempat ia bangkit, demon king bertombak melesat ke arahnya. "MATILAH!" Tombaknya menusuk tepat ke perut Jinwoo yang sudah terluka.

Pedang kosmiknya terguncang dari genggaman. Dunia berputar. Napasnya terhenti sesaat. Sial... aku masih harus bertahan..

Lalu Demon King yang memegang kapak bersiap menghancurkan Jinwoo.

Namun sebelum serangan berikutnya jatuh, sesuatu terjadi.

Suara ledakan api yang menggelegar memecah udara.

"ARRRRGHHH!" teriak demon king kapak ketika lengan kirinya terbakar api berwarna emas kemerahan. Api itu berbeda—ia bukan api biasa, melainkan Api Nirvana, api yang tidak pernah padam.

“Tidak! Aku… harus—” Dengan wajah terdistorsi oleh rasa sakit, demon king itu terpaksa menebas lengannya sendiri untuk menghentikan api yang melahap tubuhnya.

Jinwoo mendongak, terengah, dan melihat cahaya api yang begitu familiar.

Di atas langit, tubuh naga raksasa bersisik keemasan melayang megah, matanya menyala seperti dua bintang neraka. Leonard.

“Biarkan aku membantumu, Pemimpin!” suara Leonard mengguncang medan perang.

Di punggung naga itu, sosok samurai berdiri dengan tenang. Mata hitamnya berkilat dingin, pedang di tangannya siap dihunus. Takeshi.

“Senpai… aku sudah pulih dan akan menutup celah. menyisakan yang terakhir untukmu,” ucap Takeshi datar, tapi tatapannya penuh hormat.

Jinwoo terdiam sesaat, dadanya terasa sesak, bukan hanya karena luka, tapi juga karena rasa lega.

Lalu dari kejauhan, sinar lembut menembus tubuhnya. Luka-lukanya mulai menutup, rasa sakit perlahan mereda. Ia menoleh, dan melihat Selene berdiri dengan tangan terangkat, cahaya ilahi memancar dari tubuhnya. Matanya penuh keyakinan.

“Kau tidak sendiri, Jinwoo. Jangan keras kepala, aku tidak ingin kehilangan dirimu.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!