NovelToon NovelToon

Setelah 100 Hari

Permintaan Pahit

"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."

Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.

"Baik," angguk Anjani dengan suara serak.

Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.

Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.

Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.

****

Dalam rangka memperingati pernikahan mereka yang kedua tahun, Anjani sudah mempersiapkan makan malam romantis untuk suaminya.

Semua menu yang dia siapkan hari ini adalah menu kesukaan suaminya. Anjani bahkan rela memasak semua itu sendiri demi meninggalkan kesan mendalam untuk sang suami.

"Kamu dimana?Semuanya sudah aku siapkan. Kamu jadi makan malam di rumah, kan?"

Setelah mengetik pesan, Anjani kembali merapikan penampilannya didepan cermin. Wajahnya memang terlihat sedikit kusam. Namun, dia tetap berusaha tersenyum dan membangun rasa percaya diri karena tahu jika Aryan, sang suami menyukai penampilannya yang natural.

Ya, Aryan melarangnya memakai make-up. Bahkan, sekadar perawatan wajah saja, pria itu tak pernah mengizinkannya. Kata Aryan, dia menyukai wanita yang menua secara alami tanpa bantuan skincare dan sejenisnya.

Oleh sebab itu, selama mereka menikah, Anjani tak pernah lagi melakukan perawatan. Dia bahkan membiarkan tubuhnya menjadi bertambah gemuk karena Aryan juga bilang jika dia menyukai perempuan bertubuh berisi.

Pernah, Anjani mencoba mengatur pola makannya karena merasa terlalu gemuk. Namun, yang ia dapati justru amarah Aryan yang tidak terbendung.

"Siapa yang menyuruh kamu untuk diet, hah? Apa kamu pikir, aku suka dengan perempuan yang kurus? Tidak, Anjani! Kalau kamu mau tetap diet, maka kamu nggak perlu jadi istriku lagi."

Hari itu, karena terlalu marah, Aryan tidak pulang selama seminggu. Telepon dan pesan dari Anjani ia abaikan. Dia baru pulang seminggu kemudian dalam keadaan demam. Belakangan, Anjani baru tahu bahwa Aryan pergi ke luar negeri dan menghabiskan masa liburannya di sana.

Dan, setelah merasa lelah dan akhirnya jatuh sakit, lelaki itu baru ingat rumah.

Tring!

Satu pesan yang masuk ke ponselnya membuat Anjani tersentak kaget. Dia tampak menghela napas kemudian membuka pesan yang sudah membuyarkan lamunannya itu.

"Aku tidak bisa pulang malam ini. Banyak pekerjaan yang masih belum selesai."

Anjani menelan ludah dengan perasaan getir. Air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. Dia pun meletakkan ponselnya lalu menatap wajahnya kembali didepan cermin.

"Aku tahu kalau selama ini kamu sudah membohongi aku, Aryan," lirih Anjani yang akhirnya meneteskan air matanya.

Tring!

Ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, pesan dari Luna, adik tirinya. Putri haram sang Ayah bersama seorang perempuan yang katanya adalah cinta pertama sang Ayah.

"Kak Aryan sedang bersamaku. Dia nggak akan pulang malam ini."

Pesan itu disertai dengan sebuah foto pria dan wanita yang tampak berpelukan dengan begitu mesra. Sepertinya, foto itu diambil diatas sebuah kapal pesiar.

Anjani terduduk di depan meja rias. Senyumnya mekar disela tangis yang semakin keras. Selama dua tahun ini, dia sudah bertingkah layaknya badut.

Berpura-pura semua baik-baik saja, padahal tidak. Berpura-pura tidak tahu, padahal dia tahu semuanya.

Alasan Aryan menikahinya hanya karena paksaan dari Tuan Sahrul Djatmiko, kakek kandung Aryan. Awalnya, Aryan menolak. Karena, yang lelaki itu cintai adalah Luna, adik tiri Anjani.

Meski, Anjani-lah yang lebih dulu mengenal Aryan, namun tetap saja, pria itu akhirnya jatuh ke pelukan Luna. Mereka terjerat dalam pernikahan itu semata-mata karena paksaan orangtua.

Aryan awalnya menolak dengan keras. Namun, entah kenapa, tiba-tiba saja Aryan berubah pikiran. Malah, justru Aryan-lah yang meyakinkan Anjani untuk menikah dengannya.

Pria itu berjanji akan belajar mencintainya. Pria itu berjanji akan selalu bersamanya. Dan, seiring berjalannya waktu, Anjani perlahan mengetahui semuanya.

Alasan kenapa Aryan menjaga Anjani tetap di sisinya serta berpura-pura jadi suami yang penyayang ada dua.

Satu, karena paksaan sang Kakek.

Dan, dua, karena ingin mengurung Anjani agar Luna bisa melambung tinggi di luar sana.

Luna akhirnya dikenal sebagai Nona kedua dari keluarga Permana yang berbakat, cantik, dan juga cerdas. Sementara, Anjani yang awalnya menyandang semua gelar itu akhirnya terlupakan dan malah berakhir jadi ibu rumah tangga dengan wajah dan bentuk tubuh yang tak lagi menarik.

Ya, Anjani tahu semuanya. Dia tak sebodoh itu selama ini. Meski terkurung didalam rumah, bukan berarti dia tidak bisa mengakses dunia luar. Dia bisa mendapatkan informasi apapun dengan kemampuan tersembunyi yang dia miliki.

*

Aryan baru pulang keesokan harinya. Melihat makanan yang terhidang diatas meja sejak tadi malam, hatinya merasakan perasaan yang sedikit tak nyaman. Dia tahu, Anjani pasti sangat lelah setelah memasak semua makanan itu.

"Sudah pulang?"

Mendengar suara itu, Aryan sedikit tersentak. Dia pun menoleh dan mendapati Anjani yang sedang berdiri di dekat tangga dengan daster lusuh bermotif bunga mawar favoritnya.

Tidak. Bukan favorit sebenarnya. Hanya saja, dia jarang mengenakan pakaian yang bagus karena Aryan katanya tidak suka melihat wanita yang memakai pakaian terlalu mencolok.

"Ehm," jawab Aryan. "Makanan ini, apa masih bisa dimakan?"

Anjani menghela napas. "Sudah basi. Sebaiknya, dibuang saja."

Wajah Aryan terlihat sedikit kecewa. Sebenarnya, dia jarang sekali makan diluar. Pencernaannya sudah bermasalah sejak kecil. Jika salah makan, bisa terkena sakit perut yang luar biasa hebat.

Maka sebab itu, Anjani rela meluangkan waktu untuk belajar memasak pada seorang koki profesional. Hingga akhirnya, makanannya menjadi favorit utama Aryan Mengalahkan, masakan koki yang sudah memasak untuk Aryan sejak kecil.

"Baunya belum berubah. Mungkin, belum basi. Biar aku coba dulu."

"Jangan!" cegah Anjani. "Kamu punya masalah perut. Sebaiknya, jangan ambil resiko."

Aryan akhirnya mendesah kecewa. Dia menatap dengan prihatin pada makanan yang akhirnya berakhir di tempat sampah.

"Aku mau mandi dulu. Setelah mandi, ada hal penting yang ingin aku bahas dengan kamu."

"Oke," sahut Anjani tanpa menoleh. Dia fokus membuang semua makanan yang sudah susah payah dia masak tadi malam ke tong sampah. Setelah itu, barulah dia mencuci semua piring kotor dan kembali membuat makanan yang baru.

Setelah mandi, Aryan kembali turun ke bawah sambil menggeret sebuah koper besar. Meski merasa heran, namun Anjani enggan untuk bertanya.

"Anjani..." panggil Aryan.

"Ya?" sahut Anjani. Perempuan itu fokus mengunyah Sandwich-nya.

"Kakek sudah meninggal sejak sebulan yang lalu. Itu artinya, tidak ada lagi yang harus memaksa kita untuk terus terikat dalam pernikahan ini."

Degh!

Jantung Anjani seolah melewatkan satu debaran. Sepertinya, dia sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Aryan.

"Maksud kamu?"

Aryan menarik napas panjang. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa ragu dalam hatinya.

"Anjani... aku ingin jujur."

"Jujur soal apa?"

"Sebenarnya, aku tidak pernah mencintai kamu. Aku sudah berusaha selama dua tahun ini tapi tidak bisa. Hatiku tidak bisa berbohong, Anjani. Sebenarnya, aku sudah jatuh cinta pada orang lain bahkan sebelum kita menikah. Dan, sampai detik ini, aku masih belum bisa melupakannya."

"Lalu, apa mau kamu?" tanya Anjani.

Dia sudah sangat siap dengan segala kemungkinan yang terburuk. Namun, tetap saja air matanya tumpah tanpa diminta.

"Orang yang aku cintai butuh kejelasan tentang hubungan kami. Dia ingin aku melamarnya. Jadi..." Aryan kembali menarik napas. "...aku ingin kita bercerai."

Awal perubahan

Anjani tersenyum miris saat mendengar ucapan Aryan. Ternyata, tepat dugaannya. Aryan hanya menunggu kematian sang Kakek untuk menceraikan dirinya.

Tanpa sadar, tangan Anjani terkepal kuat diatas meja. Dan, hal itu tak luput dari penglihatan Aryan.

"Pasti Anjani akan menolak untuk bercerai denganku. Tapi, aku juga tidak bisa mempertahankan pernikahan palsu ini lagi. Aku dan dia harus berpisah bagaimana pun caranya." Aryan bergumam dalam hatinya.

"Aku tahu jika keputusan ini tidak adil untuk kamu. Tapi, aku bisa apa, Anjani? Hati tidak bisa dibohongi. Daripada kita saling menyakiti, maka lebih baik kita saling melepaskan."

Aryan masih berbicara panjang lebar. Sementara, Anjani masih saja terdiam tanpa merespon apa-apa.

"Anjani, katakan sesuatu! Jangan diam saja!" tegur Aryan.

"Siapa perempuan itu?" tanya Anjani. Meski, dia sudah tahu siapa orangnya, namun dia ingin mendengar pengakuan dari mulut Aryan sendiri.

"Belum saatnya kamu tahu," jawab Aryan.

Anjani mengangguk. Dia mengusap air matanya yang terus terjatuh.

"Tolong berhentilah menangis! Jangan buat dirimu semakin terlihat menyedihkan, Anjani!" gumam Anjani dalam hatinya.

"Nanti, aku akan memberikan setengah dari hartaku sebagai kompensasi untuk kamu. Jadi, walaupun kita bercerai, hidup kamu juga tidak akan terlalu menderita."

Ya, Aryan rasa ini adalah solusi yang terbaik. Selama ini, Anjani hanyalah seorang Ibu rumah tangga yang tidak memiliki keahlian apa-apa. Jika bukan uang darinya, maka perempuan itu tak akan bisa membeli apa-apa.

Jadi, sudah sewajarnya jika Aryan memberi ganti rugi yang cukup sepadan untuk Anjani, kan? Hitung-hitung, sebagai bentuk balas budi Aryan karena Anjani telah merawatnya selama dua tahun ini dengan sangat baik. Selain itu, anggap saja kompensasi itu juga sebagai bentuk penebusan rasa bersalah Aryan terhadap Anjani.

"Baik," angguk Anjani setuju.

"Kamu bilang apa?" tanya Aryan. Dia pikir, mungkin dia salah dengar. Tidak mungkin Anjani setuju begitu saja.

"Baik. Aku setuju. Silakan susun draft perceraiannya dan segera kabari aku begitu selesai," jawab Anjani.

Aryan mematung ditempat duduknya. Pikirannya bingung. Kenapa Anjani setuju secepat ini?

"Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, lebih baik kamu segera berangkat. Nanti terlambat."

Seketika, Aryan kembali ditarik ke dunia nyata. Bukankah justru bagus jika Anjani menerima perceraian ini dengan mudah? Itu artinya, Aryan tidak perlu bersusah payah melawan Anjani di persidangan nanti.

"Hari ini, aku harus berangkat dinas ke luar kota. Nanti, setelah urusan kantor selesai, baru kita urus perceraian kita secara resmi."

"Kali ini, berangkat dinasnya berapa lama?" tanya Anjani.

"Seratus hari," jawab Aryan.

"Oke," angguk Anjani tanpa bertanya lebih lanjut lagi.

Aryan pun berdiri. Dia berusaha membulatkan tekadnya.

"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai. Kamu persiapkan diri kamu."

Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.

"Baik," angguk Anjani dengan suara serak.

Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.

Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.

Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.

***

Seminggu setelah kepergian Aryan ke luar kota, Anjani masih belum melakukan apa-apa. Dia hanya terus melamun didalam kamar. Berusaha memikirkan cara, bagaimana menyampaikan kabar perceraian ini kepada sang Ibu.

Dengan lesu, Anjani melihat ponselnya. Tak ada satu pesan atau panggilan yang masuk. Seolah-olah, semua orang tidak ada yang sadar meski dia sudah tak ada kabar selama seminggu.

"Sepertinya, tidak ada satu orang pun yang benar-benar mengkhawatirkan aku," gumamnya sambil tersenyum miris.

Tanpa sengaja, Anjani menatap wajahnya sendiri yang terpantul lewat cermin meja rias. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Matanya bengkak dengan lingkaran hitam yang mengelilingi.

Kondisi Anjani benar-benar terlihat sangat menyedihkan.

Tring!

Sebuah pesan tiba-tiba masuk. Dengan tak sabaran, Anjani lekas membuka pesan itu. Siapa tahu, itu pesan dari sang Ibu.

"Lihat, Anjani! Kak Aryan membelikan gaun merah ini khusus untukku. Katanya, aku semakin bertambah seksi jika mengenakan gaun merah ini."

Anjani menelan ludahnya dengan susah payah. Tampak, Luna mengirimkan foto tubuhnya yang dibalut dengan gaun merah menyala. Gaun itu terlihat sangat indah. Cocok sekali dengan proporsi tubuh Luna yang langsing dan cukup tinggi.

"Kata Kak Aryan, matanya selalu sakit jika melihat kamu dengan daster lusuhmu itu. Sudah gendut, tidak tahu fashion pula. Wajar, jika Kak Aryan merasa jijik dengan kamu."

Berikutnya, Luna mengirimkan sebuah pesan suara yang semakin menghancurkan perasaan Anjani.

"Mana pernah aku menyentuh dia selama menikah, Sayang. Apa kamu nggak lihat, bagaimana jeleknya dia? Wajahnya kusam. Tubuhnya besar seperti karung beras. Setiap kali dia berada di dekatku, aku rasanya ingin muntah. Aku bahkan sengaja melarangnya tidur diatas kasur selama dua tahun ini karena tidak tahan dengan wajahnya yang menyeramkan."

Air mata Anjani menetes lagi. Ternyata, dirinya begitu menjijikkan di mata Aryan. Dan, hebatnya... Lelaki itu mampu berakting selama dua tahun sebagai lelaki yang mencintai sang istri apa adanya. Padahal, dalam benak dan hati Aryan, pastilah lelaki itu merasa sangat tertekan.

Baiklah! Sudahi air matamu Anjani! Kurang dari seratus hari, kamu akan bercerai dengan Aryan. Jadi, kamu harus mempersiapkan segalanya. Waktunya, kembali menjadi Anjani yang dulu. Anjani yang juga punya mimpi dan ambisi untuk dikejar.

Tekad itu sudah bulat. Tak gunanya terus terpuruk dalam kesedihan. Saatnya, untuk mendapatkan kembali sosok Anjani yang lama.

"Pertama-tama, kita harus diet," gumam Anjani bermonolog.

Dia pun meraih ponselnya kembali. Sebuah nomor yang sudah dua tahun masuk dalam daftar blokirnya kembali ia buka. Ia pun menghubungi nomor itu dengan jantung yang deg-degan.

"Apa? Masih hidup rupanya? Aku pikir, kamu sudah mati, Anjani Syailendra."

Begitu telepon tersambung, Anjani langsung disambut oleh suara galak sang sahabat. Namanya, Anushka Yama. Putri bungsu keluarga Yama, orang terkaya di kota mereka.

"Anushka," panggil Anjani dengan suara serak.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" Kini, suara galak itu berubah menjadi cemas. "Apa Aryan menyakiti kamu? Ayo, jawab! jangan diam saja!"

"Anushka... Aku ingin diet."

"Hah?"

Empat puluh hari

"Anjani!"

Anushka langsung memeluk Anjani begitu Anjani menoleh ke arahnya. Meski,awalnya dia terdiam cukup lama karena pangling akan penampilan Anjani, namun semua itu kini tak jadi soal.

"Anushka!"

"Aku sangat merindukan kamu, Anjani," lirih Anushka. Gadis itu jujur. Benar-benar sangat jujur.

"Aku juga," balas Anjani.

Setelah itu, mereka duduk bersama di ruang tamu. Anjani langsung menceritakan semuanya kepada Anushka tanpa diminta. Semua beban yang selama ini berusaha ia pikul sendiri, kini perlahan dia bagi kepada sang sahabat.

"Dasar bodoh! Sudah tahu Aryan tidak pernah tulus kepadamu. Tapi, kenapa kamu masih saja mau menuruti perkataannya, hah? Lihat hasilnya sekarang! Kamu benar-benar terlihat seperti orang yang sangat berbeda."

"Mau bagaimana lagi, Anushka? Aku terpaksa. Kamu tahu sendiri jika kondisi Ibuku nggak stabil, kan? Saat suasana hatinya berubah, dia bisa melakukan apa saja. Termasuk... menganiaya aku," kata Anjani dengan suara lirih di akhir kalimat.

Anushka langsung memeluk Anjani dari arah samping. Dia tahu betul bagaimana kondisi keluarga Anjani.

Sejak sang Ayah membawa pulang wanita simpanan serta anak hasil selingkuhannya pulang ke rumah, Ibu kandung Anjani tiba-tiba menjadi depresi. Dia jadi sering mengamuk dan mencelakakan orang lain.

Hingga akhirnya, sang Ibu pun diusir dari rumah utama dan justru dipindahkan ke daerah pedesaan. Disana, sang Ibu dirawat oleh empat orang asisten rumah tangga. Dan, saat mendengar bahwa Anjani akan menikah, barulah kondisi Ibu Anjani berangsur-angsur membaik hingga akhirnya bisa kembali normal seperti sebelumnya. Ya, meskipun dia tak bisa lagi kembali ke posisinya yang lama sebagai Nyonya besar keluarga Syailendra karena sang suami yang tak menginginkan dirinya lagi.

"Tapi, kamu bilang kamu akan bercerai. Apa kamu sudah memikirkan cara untuk menyampaikan berita ini kepada Tante Mariana?"

Anjani menggeleng. "Belum," jawabnya.

"Terus, bagaimana?"

"Entah lah! Aku sedang tidak ingin memikirkan hal itu untuk saat ini. Lebih baik, aku fokus untuk menguruskan badan dulu. Sekalian, aku juga ingin mencari pekerjaan paruh waktu. Kira-kira, apa kamu bisa membantuku?"

"Tentu saja bisa," angguk Anushka. "Apa sih, yang tidak bisa aku lakukan untuk kamu?"

Mendengar itu, Anjani tersenyum lega. Untungnya, Anushka tidak menaruh dendam kepadanya. Padahal, dia sudah mengabaikan Anushka selama dua tahun.

"Besok, bersiaplah! Kita akan mulai diet dan olahraga!"

Anjani mengangguk. Dia sudah tak sabar untuk mendapatkan bentuk tubuhnya kembali.

****

Hari terus bergulir tanpa terasa. Empat puluh hari telah Anjani lewati tanpa kehadiran Aryan.Tenyata, semua baik-baik saja. Tanpa Aryan, Anjani justru bisa menikmati hidup yang sesungguhnya.

Dia jadi lebih sering tertawa. Dia tak lagi dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Mau bangun atau tidur kapan saja, bebas. Pun, dalam hal memasak. Sekalipun, hanya memasak satu jenis lauk, tidak akan ada yang mengajukan protes.

"Anushka, sepertinya dasterku sudah melar semua. Apa kamu bisa menemaniku untuk membeli pakaian baru?"

"Bukan dastermu yang melar, Anjani. Tapi, tubuhmu yang sudah mulai kurus."

"Ah, tidak mungkin. Perasaan, tubuhku begini-begini saja. Belum ada perubahan."

"Itu hanya perasaanmu saja. Makanya, sesekali timbang berat badanmu! Selain itu, sering-seringlah berkaca!"

"Aku tidak berani," geleng Anjani.

Setelah mendengar rekaman suara Aryan yang dikirimkan oleh Luna, Anjani memang mendadak takut pada timbangan dan cermin.

Entahlah! Sepertinya ucapan Aryan berhasil memberi dampak psikologis yang cukup besar dalam diri Anjani.

"Kenapa tidak berani? Kamu tidak percaya pada perkataanku?" tanya Anushka.

"Aku takut, Anushka. Kalau ternyata aku masih sama saja dengan aku yang empat puluh hari lalu, bagaimana? Aku tidak mau."

Anushka mendesah samar. Dia merasa prihatin dengan kondisi Anjani saat ini. Tekadnya untuk berubah memang sudah ada. Namun, perkataan Aryan yang memang sangat menyakiti hati bahkan sampai melucuti harga diri, memang tidak semudah itu untuk diabaikan.

"Baiklah! Untuk saat ini, tidak ada timbangan maupun kaca. Tapi, empat puluh hari kemudian, kamu harus berjanji bahwa kamu akan menimbang berat badan dan juga melihat wajahmu sendiri didepan kaca," pinta Anushka.

"Baiklah," angguk Anjani.

Setelah Anushka pulang, Anjani kembali sendirian. Dia menatap ke arah cermin meja rias yang sudah dia tutupi dengan koran. Sengaja, agar dia tidak melihat wajahnya yang kata Aryan begitu buruk rupa.

Mengabaikan pikiran negatif yang kembali muncul, Anjani pun lekas membuka laptop kemudian mengerjakan sebuah desain rumah yang dipesan oleh klien perusahaan Anushka.

Ya, Anjani adalah seorang arsitek. Lulus dengan nilai tertinggi seangkatan dan pernah memenangkan lomba mendesain sebuah monumen bersejarah di kotanya.

Namanya pernah melambung tinggi. Tak hanya karena desainnya yang menarik namun karena wajahnya yang cantik. Namun, kini dirinya telah dilupakan. Semua prestasinya hanya tinggal kenangan yang bahkan bagi sebagian orang mungkin sudah tidak penting lagi.

Enam puluh hari lagi. Terdengar lama namun juga singkat. Pertanyaannya, sanggupkah Anjani benar-benar kembali seperti dirinya yang dulu setelah enam puluh hari itu berlalu?

*****

Ketika Anjani sedang mati-matian berjuang untuk merubah diri menjadi lebih baik di kota sebelah, Aryan justru sedang menikmati kebersamaannya dengan Luna di kota yang sekarang dia tinggali.

Hampir dua puluh empat jam mereka selalu bersama. Kebersamaan itu hanya akan terjeda jika Aryan punya pekerjaan ataupun rapat penting.

"Apa yang sedang kamu lihat, Kak Aryan? Kenapa kamu terus fokus pada layar ponselmu sejak tadi?"

Aryan tersentak kaget. Dia langsung mematikan layar ponselnya kemudian menyimpan kembali ponsel tersebut didalam saku jasnya.

"Tidak lihat apa-apa. Hanya sedang memeriksa beberapa pekerjaan," jawab Aryan berbohong.

"Sudah lewat empat puluh hari. Tapi, kenapa Anjani belum pernah menelfon atau mengirim pesan sekalipun?" gumam Aryan gelisah didalam hatinya.

"Dia... Baik-baik saja, kan?" lanjutnya bermonolog.

Entah kenapa, Aryan merasa sangat gelisah. Hilangnya Anjani dari hidupnya terasa begitu tiba-tiba. Dia belum terbiasa dengan kehidupan baru yang kini mereka jalani. Dia belum terbiasa tanpa ada pesan ataupun telepon dari Anjani yang selalu menanyakan kabarnya.

Dia belum terbiasa tanpa mendengar suara Anjani yang begitu lembut dan perhatian.

"Sebenarnya, aku kenapa? Kenapa tiba-tiba aku sangat merindukan Anjani?"

"Kak Aryan, cobalah! Makanan ini aku masak sendiri tadi sore."

Ucapan Luna kembali membuat Aryan jadi tersentak. Lamunannya seketika terputus. Dia mengangguk, lalu memakan makanan yang ada didepannya dengan antusias.

Huwek!

Baru satu suapan dan Aryan langsung memuntahkan makanan itu dari dalam mulutnya. Dengan wajah pucat, dia memegangi perutnya yang langsung bereaksi terhadap makanan buatan sang kekasih.

"Kak Aryan, kamu kenapa?" tanya Luna dengan panik.

"Perutku... Perutku sakit sekali," jawab Aryan.

Tak berselang lama, asisten Aryan langsung datang sambil membawa obat milik Aryan. Dia menghardik Luna dengan penuh emosi.

"Minggir!" ucapnya seraya mendorong Luna ke samping. Tutup obat itu ia buka. Satu pil ia keluarkan kemudian memberikannya ke mulut Aryan dengan cepat.

"Tuan Aryan tidak bisa makan makanan pedas. Apa Nona Luna tidak tahu akan hal ini?" tanya Asisten Aryan dengan marah.

Mata Luna seketika berkaca-kaca. Dia tertunduk dengan sedih.

"Maaf, aku memang tidak tahu," jawab Luna.

"Aneh," timpal asisten Aryan. "Katanya, Anda sudah kenal dengan Tuan Aryan sejak kecil. Jadi bagaimana mungkin, Anda lupa jika Tuan Aryan punya masalah dengan pencernaannya?"

Dan, tubuh Luna seketika menegang. Jelas, dia tidak tahu. Karena, sosok gadis kecil yang dulu Aryan kenal, sama sekali bukan Luna melainkan orang lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!