"Halo semuanya," seru Vina dengan ceria.
"Aduh, Kak Vina, bisa nggak, sih, biasa aja!" Kami yang menilai kakaknya ini sangat kekanak-kanakan, mendumal kesal.
"Ceria sekali kamu, Vin," tegur ibu Vina yang baru meletakan tiga telur dadar di atas piring keramik putih.
Vina mengisi kursi kosong yang ada di sebelah Kamila yang telah mengenakan seragam SMA. "Iya, dong, Ma, hari ini ada casting," katanya, "oh, ya, kalian mau tau tidak, siapa yang jadi juri casting kali ini."
"Enggak, tuh." Celetukkan super menyebalkan dari Kamila membuat Vina memukul geram bahu gadis bermata sedikit sipit itu.
"Tutup mulut busukmu itu," kata Vina kepada sang adik yang ia nilai sangat durhaka kepada dirinya.
"Memangnya siapa, Na?" Ayah Vina yang berusia 40 tahunan tampak penasaran.
"Arka Prayudha!" jawab Vina antusias. "Kali ini aku pasti akan diterima dan beradu akting dengan kesayanganku itu." Mendengar ocehan penuh rasa percaya diri itu, Kamila mengembang kempiskan hidungnya. Ia memandang sang ayah yang mengigit roti tawar berlapis selai kacang.
"Yah, Kak Vina sepertinya sudah tidak waras. Bagaimana kalau ayah membawanya saja ke rumah sakit jiwa," kekeh Kamila.
Plak.
Satu pukulan dari Vina, kinu mendarat ke kepala sang adik. Kamila mengusap-usap kepalanya sambil merutuki sang Kakak.
"Mulutmu ingin kulem ya?!" geram Vina.
"Heh, sudah-sudah." Ibu Vina dan Kamila, melerai kedua saudari itu "Kamu tidak boleh seperti itu, Mila."
Vina mengulurkan lidahnya, mengejek Kamila yang berwajah masam karena menahan kesal.
"Restuin aku ya, Yah, Ma," kata Vina yang memandang ibu dan ayahnya bergantian.
Merasa tidak disebut, Kamila mengajukan protes, kenapa tidak meminta restunya dan Vina menjawab, restu dari Kamila tidak penting.
"Kudoain Kakak kembali tidak mendapatkan peran utama di casting itu!" Ucapan Kamila yang terdengar sungguh-sungguh, hanya Vina balas dengan juluran lidah.
Setelah meminum susu buatan sang ibu, Vina berdiri dari tempatnya. Ia pamit tanpa memakan sarapannya. "Ya sudah, ya, Vina pamit dulu."
"Rotinya dimakan dulu, dong Vin," sahut sang ibu.
"Nggak usah, Ma aku beli roti di supermarket saja." gadis itu kemudian berjalan meninggalkan ruang makan.
***
Meski melihat banyaknya peserta casting, nyali Vina sama sekali tidak menciut. Ia sangat yakin kalau kali ini Dewi Fortuna akan berpihak padanya. Setelah menyerahkan formulir, Vina duduk di sebuah kursi tunggu yang baru saja kosong.
Ketika duduk, ia ditegur oleh seorang gadis berambut cokelat sebatas bahu. "Hey, ketemu lagi, kita. Sudah lama, ya kita tidak bertemu," kata gadis yang juga pejuang cating—sama seperti Vina—dengan ramah.
"Iya, kapan waktu terakhir kali kita bertemu, ya?" tanya Vina tidak kalah ramah.
"Kurasa di casting drama Critical Town. Oh, ya kenapa kau tidak ikut casting Blonde girl beberapa minggu lalu?"
Vina memasang senyum tipis. "Aku terlambat tahu." Bukannya terlambat, gadis itu hanya tidak tertarik mengikuti casting yang mencari pemeran pendukung.
Sebenarnya kalau Vina mau menerima peran pendukung, ia pasti telah membintangi banyak drama. Namun, dengan sifat tinggi hati, Vina menolak tawaran tersebut. Dia hanya menginginkan peran utama.
Ibu Vina dan Kamila, beberapa kali menasehati agar mengambil peran pendukung. Namun, Vina yang keras kepala tetap kekeh pada pendiriannya.
"Bahkan aktris sekelas Angelina Jolie, pernah mendapat peran pendukung, Kak," ucap Kamila satu waktu saat kakaknya itu bercerita jika ia ditawari untuk menjadi peran pendukung.
"Alah, itu Angelina Jolie-nya saja yang payah," kata Vina angkuh.
Kamila hanya menggeleng. Ia kesal dan heran, kenapa tingkat kepercayaan diri Vina terlalu melambung tinggi.
Kembali ke masa sekarang.
"Oh, ya, kudengar Arka Prayudha yang menjuri di casting kali ini, 'kan?" tanya Vina kepada temannya.
Tidak lama kemudian, keluar seorang gadis dari ruangan juri. Gadis itu tampak menangis. Vina mengasihani gadis tadi dalam hati. Ya mau bagaimana lagi, kau harus mengasah kemampuan aktingmu itu, ucap Vina dalam hati.
Casting kembali dibuka setelah tadi istirahat makan siang. Banyak yang keluar dari ruangan juri dengan deraian air mata. Namun, ada yang juga keluar dengan senyuman di bibirnya karena lulus ke babak selanjutnya.
Kini giliran teman Vina yang masuk ke ruangan casting. Sebelum masuk ke ruangan penjurian, gadis itu dengan polosnya meminta didoakan Vina agar bisa lolos. Vina tersenyum tipis, lalu menjawab iya. Namun, dalam hatinya Vina berdoa agar gadis itu tidak lolos.
Doa Vina manjur, tidak lama gadis tadi keluar dengan deraian air mata, sama seperti yang lain. Ketika gadis itu berjalan melewatinya, Vina bertanya.
"Mengapa kamu menangis?"
Gadis itu menyeka air matanya, lalu berkata kalau Arka adalah pria kejam dengan mulut tajam. Setelah menyampaikan niatnya untuk membenci sang aktor, gadis tadi menghentak ia pergi.
Menyaksikan teman sejawatnya itu pergi, Vina menggeleng kecil. "Aktingmu saja yang jelek." Tidak ada yang boleh menjelekkan Arka.
Sebelum namanya dipanggil, Vina menyaksikan seorang lagi yang menangis setelah keluar dari ruangan para penjuri.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya giliran Vina yang menunjukan kemampuan aktingnya. Ketika masuk, tubuh Vina bergetar saat melihat pujaannya yang begitu bersinar. Tenang, Vina, kau harus santai atau kau akan merusak segalanya, ucap Vina dalam hati.
"Perkenalkan nama beserta umurmu?" tanya seorang lelaki yang menjadi sutradara di drama ini.
"Nama saya Vina, umur saya dua puluh dua tahun," jawab Vina percaya diri.
"Nama panjang?"
"Saya tidak memilikinya."
"Pernah punya pengalaman akting?" tanya seorang wanita yang menjadi penulis skenario di drama ini.
Vina tersenyum. "Ya. Saya pernah menjadi pemeran utama dalam drama pentas sekolah dulu!" jawabnya yakin.
"Setelahnya?" timpal Arka.
Vina memekik dalam hati sebelum menjawab pertanyaan Arka. "Tidak."
"Kamu pernah sekolah akting?"
"Tidak."
Kening Arka mengkerut. "Sanggar akting?"
"Tidak juga."
Lelaki tampan itu mendesah malas, lalu berseru, "Next!"
Vina kebingungan. "Maksudnya apa, ya?"
"Kamu ditolak. Sekarang silahkan keluar!"
"Tap-tapi, aku 'kan belum memulai aktingku?"
"Aku sudah tau kemampuanmu dan kau ditolak!" Kemudian Arka berteriak memanggil security.
Merasa di perlakuan tidak adil oleh pujaan hatinya, Vina pun mengeluarkan air mata. Hati Vina patah. Dia telah memuji orang yang salah selama ini. Gadis yang diselimuti rasa kecewa itu menyentak tangan security yang memegang kedua tanganya. "Jangan pegang! Aku bisa pergi sendiri. Dasar sialan!" umpatnya.
Vina pergi dari situ. Ketika melewati pintu keluar ruang juri, ia memproklamirkan diri sebagai pembenci nomor satu pria kejam, bernama Arka Prayudha. Gadis itu sangat menyesal karena selalu membuang waktu berharganya untuk membela lelaki itu di jejaring media sosialnya.
***
Vina mendumal. Ia merasa sangat terhina oleh perlakuan Arka kepadanya. Tekad untuk menjatuhkan sang aktor membara dalam hatinya.
"Arka Prayudha sialan!" pekiknya kesal. Sadar pekikannya menjadi pusat perhatian orang-orang, Vina segera menutupi wajahnya. "Dasar bodoh!" Ia menggerutui diri sendiri.
Di tengah langkah yang terburu-buru, Vina melihat kedai mie ayam. Perut Vina yang belum diisi karbohidrat berat sedari pagi pun merasa kelaparan—ia hanya memakan roti siang tadi.
Makan adalah hal yang paling benar untuk mengobati rasa sedih. Setelah memesan dua mangkuk mie ayam dan menghabiskan semangkuk, Vina—masih dengan rakus—menghabiskan semangkuk lagi mie ayam.
Di sela makannya, ponsel Vina yang ia letakan di atas meja—sejajar makanannya—berbunyi. Vina melirik, nama adik laknatnya tertera di layar ponsel.
"Dia pasti ingin mengolokku." Vina memilih mengabaikan telepon tersebut. Karena Kamila terus saja menelponnya, Vina pun men-silent ponselnya. Tidak lama Kamila mengirimi pesan kepada Vina. Vina membaca pesan dari sang adik.
Kamila : Kau di mana? Angkat teleponku, Bodoh! Rumah kita kebakaran.
Vina terbatuk akibat tersedak makanannya. Ia terkejut membaca pesan terakhir yang Kamila kirim secara beruntun.
"Dia sedang tidak mengerjaiku, 'kan?" Vina menelpon Kamila. "Halo, Mil, ini kamu tidak bercanda soal rumah kita yang terbakar, 'kan?" tanyanya panik.
"Tentu saja, tidak. Sekarang cepat pulang!" Suara isakan yang terdengar di ujung sana, terdengar tidak dibuat-buat dan itu artinya, rumah mereka benar-benar terbakar. Setelah membayar dua mangkuk, Vina bergegas mencari taksi dan pulang.
Sesampainya di tempat kejadian, dada Vina sesak saat melihat kobaran api yang melalap rumah dua tingkatnya. Ia mencari keberadaan ayah ibu dan Kamila. Saat melihat adikknya yang masih menggunakan seragam sekolah, ia menghampiri sang adik.
"Mana papa dan mama?" tanya Vina panik.
Kamila yang bercucuran air mata memeluk tubuh ramping kakaknya. "Papa mmasuk ke dalam untuk menyelamatkan mama, Kak." Vina memandang ke kobaran api tersebut. Tak lama, berpuluh tabung gas simpanan ayah mereka untuk mengisi supermarket pun meledak.
Tubuh Vina bergetar. Gadis itu tidak mau menjadi yatim piyatu. Setelah hampir setengah jam berlalu, akhirnya api tersebut berhasil dipadamkan. Terlihat dua pasang anggota pemadam kebakaran, membawa masing-masing satu jenazah.
Vina menahan langkah mereka dan membuka satu persatu kain yang menutupi jenazah. Kamila langsung pingsan saat melihat jenazah kedua orangtuanya, sedangkan Vina, gadis itu menangis sejadi-jadinya.
Sebulan telah berlalu sejak peristiwa yang merenggut nyawa kedua orang tuannya. Kini Vina dan Kamila berada di depan pintu super market peninggalan kedua orang tua mereka.
Ayah, Ibu, maafkan aku karena tidak dapat membanggakan kalian semasa hidup, tapi aku janji akan menjadikan mini market ini, mall terbesar se-Asia, ucap Vina dalam hati.
"Kamila, ayo kita masuk! Setelah memasuki supermarket ini, jalan kita tidak akan mudah!" seru Vina dipenuhi semangat yang berapi-api.
Kamila yang memang risih dengan sikap kekanak-kanakan kakaknya hanya bisa mendesah malas. "Udah deh, Kak! Dewasalah!" Gadis berkulit putih itu mendorong pintu geser.
Melihat adiknya mendorong pintu geser almunium, Vina pun membantu mendorong sisi pintu yang lainnya. Debu langsung menyambut mereka. Hari ini Vina dan Kamila akan membereskan semua toko, termasuk lantai dua yang rencananya akan mereka jadikan tempat tinggal.
Sebenarnya Bibi—adik ibu Vina— meminta agar ponakannya itu tinggal di rumahnya. Namun, dengan dalih ingin menjadi mandiri Vina pun menolak.
****
Siang ini Vina duduk di kursi kasir sambil membaca novel romantis yang ia beli beberapa hari lalu. Kamila yang bolos sekolah bertugas membersihkan barang pajangan di stan.
Tak lama kemudian datang seorang lelaki tinggi.memakai cardigan coklat serta celana bahan ala kantoran bewarna hitam. Merasakan kedatangan seseorang, Vina segera menutup novelnya. Senyuman di bibir Vina menghilang saat mengetahui kalau orang tersebut adalah aktor Arka Prayudha.
"Arka Prayudha! Apa yang kau lakukan di sini, hm?!" ucap Vina lantang.
Arka menunjukkan keranjang belanja yang berisi mi instan, sebotol saos dan kecap pada gadis menatapnya sengit. "Tentu saja berbelanja." Lelaki itu memandang Vina heran.
"Apa kau tidak mengingatku?" kata Vina pongah.
Kepongahan gadis di depannya membuat Arka mengerutkan keningnya. "Aku tidak memiliki kepentingan untuk mengingat seseorang yang tidak berkontribusi dalam hidupku."
Vina tertohok dengan ucapan santai Arka. Ia sungguh menyesal pernah menyukainya. Sambil menunjuk dirinya sendiri, Vina mengingatkan dengan penuh emosi pada si tampan itu kalau dirinya adalah wanita yang Arka usir begitu saja di acara casting—tanpa diuji terlebih dahulu.
Sambil mencebikan bibir bervolume-nya, Arka menggali ingatan di hari ia menjuri di sebuah casting. Ia melakukan hal yang sama pada banyak peserta dan setelah berusaha mengingat lebih keras, akhirnya ia mengingat, satu wanita yang tidak menangis saat ia diusir.
"Oh kau," kata Arka tanpa ekspresi, "sekarang aku mengingatmu, lalu apa selanjutnya?"
Vina menggeleng kecil. Rasa penyesalan karena menyukai lelaki berhidung panjang dan mancung di depannya ini, kembali memuncah. "Wah, aku sungguh menyesal karena sudah menyukaimu, eoh!"
Kedua alis Arka terangkat. Perkataan gadis di depannya tidak berarti. "Oke, terserah kau saja." Arka meletakan keranjang belanja bewarna merah itu di atas meja kasir. "Sekarang hitung belanjaanku, Nona mantan penggemarku."
Vina mendengkus sebal. "Jangan harap kau mendapatkan apapun di tokoku!" ucap Vina tegas, "Pergi dari sini!"
Arka yang malas berladen pun, membawa keranjang belanjaannya ke arah belakang super market.
"Bukan hanya kau yang bisa mengusir orang," gumam Vina, sebelum kembali pada bacaan novelnya.
Belum sampai lima menit menikmati bacaannya, Kamila datang bersama dengan Arka. Rupanya si tampan itu, minta agar dilayani oleh Kamila yang tadi asik membersihkan barang sambil mendengarkan lagu di ponselnya.
Ketika terusir dari meja kasir Vina berjalan kedepan untuk meredakan perasaan muaknya kepada Arka. Tidak lama, Arka keluar dari toko dengan menenteng plastik putih.
"Cih, sombongnya minta ampun. Lihat saja akan kubuat karirmu hancur," ucap Vina pelan ketika langkah Arka agak menjauh. Namun, belum lama ia berucap, Arka berbalik dan berjalan ke arahnya. Menyaksikan itu ada sedikit rasa takut di hati Vina. "Apa dia mendengar ancamanku, tapi bukankah aku pelan mengucapnya. Apa dia memiliki pendengaran infrasonik seperti ayam jantan?"
Vina membayangkan hal terburuk. Gadis itu takut kalau-kalau Arka menampar mulutnya yang telah lancang mengancam akan menjatuhkan karir lelaki itu.
Sekarang adalah jaman emansipasi wanita, mungkin saja Arka menganggap perempuan dan lelaki itu sama, sehingga ia tidak akan merasa bersalah menampar seorang wanita. Pikiran menakutkan itu berputar-putar di kepalanya.
Rupanya hal yang ditakutkan Vina tidak terjadi. Bukannya ditampar, Arka malah menarik tubuh Vina dan melumat bibir gadis itu dengan sedikit rakus.
Beberapa saat yang lalu.
Arka tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah kesal dari nona mantan penggemarnya. Ketika berjalan menuju mobilnya, raut wajah lelaki itu berubah masam saat mendapati seseorang yang memotretnya.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia diikuti oleh paparazi yang sangat ingin ia terkena skandal percintaan. Arka mendesah.
Tanpa berpikir panjang, Arka berbalik dan berjalan ke arah gadis tadi.
Setelah si gadis berada di jangkauannya, ia langsung menarik dan melumat bibir kenyal si gadis.
Ketika gadis itu hendak melepas pagutan mereka, Arka dengan cepat menahan tengkuk gadis yang tengah ia ciumi bibirnya.
Di sela melumat bibir manis Vina, mata Arka melirik ke arah oknum paparazi yang sudah pergi. Pasti dia sudah mengambil gambarnya dengan jelas, pikir Arka. Sang aktor lalu melepaskan pagutannya dan si gadis.
Merasa telah dilecehkan, Vina menatap Arka nanar. Dengan geram dan cepat Vina mengambil tangan Arka dan mengigit telapak tangan tepi, lelaki itu, hingga sang aktor memekik kesakitan.
"Aww!!!" Arka melarikan tangannya dengan cepat.
"Rasakan itu brengsek!"
Arka menatap Vina tajam. "Hey! Apa kau itu kera betina?!" Baru kali ini ada manusia yang menggigit bagian tubuhnya.
Vina mendengus sebal, mendengar penuturan Arka. "Apa kau bilang? kera betina? Kalau aku kera betina, lalu kau apa?" kata Vina geram. Ciuman pertamanya, hilang karena orang yang ia benci. "Seenaknya menciumku seperti itu hah?!" Jika Vina masih menyukai Arka, tentu ia akan terbang awang-awang sekarang.
Sambil terus menggoyang-goyangkan tangannya, Arka mendesah, lalu berucap santai. "Terserahlah, kau mau menganggapku apa." Lelaki yang melapis kaos putih bertuliskan Celine dengan cardigan coklat, memandang Vina secara saksama. "Menikahlah denganku."
Pupil netra Vina membesar mendengar ajakan yang terdengar angkuh dari Arka. Tanpa basa-basi, Vina langsung menginjak kaki Arka kuat-kuat.
"Menikah saja sana sama kera betina!" Tanpa menunggu reaksi, Vina pergi meninggalkan Arka yang masih menggerang kesakitan.
"Hey! Kaulah kera betina itu ...!" teriak Arka kesal.
Ketika Arka asik menonton Televisi, Mala datang dengan membawakan secangkir coklat panas untuk adik iparnya.
"Terima kasih Kakak iparku yang cantik." Arka menyesap coklatnya. "Wah, kau memang pandai membuat coklat, Kak. Bagaimana kalau kita pacaran di belakang Kak Bayu?"
Mala memukul lengan adik iparnya itu. "Keterlaluan, biar pun kau lebih tampan dari Kakakmu, aku akan tetap setia. Lagi pula aku sangat mencintai kakakmu tahu."
Arka hanya terkekeh mendengar penuturan sang kakak ipar yang unik pribadinya.
"Kak Bayu belum pulang, ya?" tanya Arka.
"Iya."
Arka melihat jam dinding. "Padahalkan sudah lewat jam kantor, ya."
"Katanya, sih ada deadline yang harus cepat dia selesaikan," sambung Mala.
Lelaki itu mmengangguk paham, lalu meletakan cangkir berisi coklat panas yang barusan ia sesap lagi. Mala memperhatikan tubuh adik iparnya yang tampak makin kurus.
"Hey, kenapa tubuhmu jadi mengurus seperti ini, eoh?"
"Masa, sih?"
"Tinggallah bersama kami, Arka. Percayalah kalau aku sudah menganggapmu seperti adik kandungku." Mala selalu merasa adik iparnya itu pindah karena tidak nyaman akan kehadirannya.
"Ah, aku juga percaya, Kak, tapi aku tidak mau menganggu kalian, jadi biarlah aku yang menepi."
Mala mendengkus. "Lagakmu, Ar."
Arka terkekeh melihat raut wajah kesal kakak iparnya. "Lagi pula aku tidak mau melihat kemesraan kalian. Kakak dan Kak Bayu, 'kan suka berciuman sembarangan di depanku."
Mendengar itu Pipi Mala bersemu merah. "Salahkan kakakmu yang mesum itu."
Sambil tertawa renyah. Tanpa sengaja Arka bercerita jika sebelum menikah kakaknya itu "seorang" predator malam.
Mala mengerutkan keningnya tidak suka. "Maksudmu sebelum menikah denganku, Bayu sering tidur dengan jalang?"
Pertanyaan kakak iparnya itu sontak membuat tawa Arka berhenti. Lelaki tampan berhidung mancung itu
mengigit bibir bawah dalamnya. Ia tiba-tiba merasakan sebuah dilema. "Mm, tapi itu 'kan, sebelum Kak Bayu menikah dengan Kakak."
Meskipun itu terjadi sebelum mereka menikah, tetapi Mala tetap merasa tak senang. "Berapa jalang yang sudah ditiduri Bayu?!"
Arka resah. Jika Mala marah pada Bayu soal ini, tentu hal tersebut juga akan berimbas padanya. Ia terkekeh sumbang. "Ya ... beberapa," jawab lelaki itu pelan dan lambat.
Kemarahan di wajah Mala membuat Arka sedikit gelisah. Ia khawatir kalau-kalau Bayu menghapus nama Arka dari kartu keluarga Prayudha, dengan alasan percobaan, menghancurkan pernikahan Bayu dan Mala.
"Kak se-"
"Aku ke kamar dulu, ya." Setelah kepergian Mala, Arka tidak henti-hentinya merutuki diri sendiri.
Ketika jam menunjukkan pukul sembilan malam, terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Tak berselang lama, masuklah sesosok jangkung yang tak kalah tampan dari Arka. Lelaki itu menegur Arka yang sedang menonton acara malam.
"Lama sudah aku tidak melihatmu?" tanya Bayu.
"Kak Bayu baru pulang ngantor?"
Bayu meregangkan otot lehernya yang tegang karena terlalu banyak menatap laptop. "Hm, banyak pekerjaan yang mesti cepat diselesaikan." Lelaki itu kemudian mengedarkan pandangannya dan bertanya tentang keberadaan istri terkasihnya. Dengan sedikit perasaan tidak enak, Arka menjawab kalau kakak iparnya sudah ada di kamar.
Bayu menyeringai. Kurang lebih seminggu sudah ia berpuasa karena Mala sedang haid dan hari ini, ia akan berbuka dengan yang nikmat.
"Kau pulang atau menginap?" tanya Bayu.
"Menginap."
"Oh, ya sudah." Bayu pun pergi menuju kamarnya.
Setelah kakak lelaki satu-satunya itu menghilang di balik pintu, Arka bergegas mematikan TV, kemudian pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua. Ia berusaha menghindar dari amukan Bayu yang mungkin saja terjadi.
***
Keesokan pagi, setelah bangun, Arka berjalan ke dapur untuk menghilangkan dahaga dengan segelas air putih. Ketika di dapur, ia bertemu dengan Mala yang sedang membakar roti di pan
"Hay, Kak," sapa Arka.
Mala membalas sapaan tersebut. "Awal sekali kau bangun?"
"Awal apanya, ini 'kan sudah setengah delapan. Kak Bayu belum bangun?" Arka mengisi gelas dengan air bening yang ada di dalam dispenser.
Senyum terbit di bibir Mala saat mengingat wajah tidur suami tampannya. "Belum, nampaknya dia sedang lelah."
Usai minum dan meletakan gelas di wastafel, Arka berceletuk, "Berapa ronde memangnya?" Lelaki yang memakai piyama biru navy itu duduk di kursi meja makan.
"Hey sopankah bertanya seperti itu," kata Mala, "kau mau sarapan roti atau nasi goreng?"
"Roti saja, Kak."
Tak lama Bayu pun datang ke dapur. , Sebelum minum segelas air ia melumat bibir istrinya. Melihat itu Arka merasa tertohok. "Hoi, pertimbangkanlah, seorang manusia lagi di sini," kata Arka.
Bayu memandang si jomblo yang protes barusan dengan tatapan tak perduli. Tanpa berkata apa-apa, ia melanjutkan niatnya untuk minum.
"Cie iri," goda Mala dan itu membuat Arka merasa keki.
Bayu mengisi kursi di sebelah Arka, ia membawa serta gelas berisi air bening. "Bagaimana tidurmu, Ar? Apakah kau tidur nyenyak atau mendapat gangguan berupa suara-suara aneh?"
"Suara aneh berupa apa dulu? Kalau suara panas yang berasal dari permainan suami istri, tentu saja tidak."
"Suara hantu," kata Bayu dengan gaya sok menakuti Arka.
"Apaan, sih, Kak, nggak lucu." Tiba-tiba Arka teringat tentang si kera betina. "Oh ya, Kak. Aku akan segera menikah," ucap Arka yakin, walau jelas-jelas mendapatkan penolakan dari gadis itu.
"Jadi benar Sera adalah pacarmu? Kupikir cuma gosip," kata Bayu. Sera adalah aktris pendatang baru yang baru-baru ini digosipkan memiliki hubungan dengan Arka.
"Bukan dia, Kak. Pacarku itu berasal dari kalangan biasa."
Bayu mengangguk mendengar penuturan adiknya. Namun, sesaat kemudian ia teringat akan pacar pertama adiknya itu.
"Kau sudah melupakan, Anna memangnya?" Diingatkan soal mantan kekasih yang lebih memilih untuk bersama selingkuhannya dan pergi ke Amerika, membuat raut wajah Arka keruh.
"Jangan bicarakan gadis penghianat itu!" Sikap dingin Arka ketika membicarakan gadis yang menyakitinya, membuat Bayu terkekeh sumbang.
"Apa wanita itu hamil?" tanya Mala mencoba memperbaiki suasana.
"Tidak."
Mala mengangguk. "Siapa namanya?"
Arka tergagap, ia lupa siapa nama gadis yang ia juluki kera betina. "Aku lupa."
"Bagaimana kau bisa lupa nama calon istrimu?" tanya Bayu heran.
"Cuma lupa sesaat, kok, besok pasti ingat lagi." Arka cengengesan.
"Aneh, masa nama dari orang yang kau cintai, bisa lupa?"
"Banyak yang perlu kuingat, Kak," kilah Arka.
"Kenapa tiba-tiba ingin menikah?" tanya Mala.
Dengan desahan kecil, Arka menjawab kalau dia lelah dijadikan alat untuk mepamorkan nama artis baru.
***
Setelah menghadiri acara peragaan busana, Arka ditodong pertanyaan dari para awak media, mulai dari apa saja yang ia kenakan sampai klasifikasi tentang videonya yang berciuman dengan seorang gadis.
"Aku dan kekasihku sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Rencananya dalam waktu dekat kami akan segera menikah."
"Kapan itu?" tanya seorang wartawan
Arka berakting agar dirinya terlihat tersipu menyampaikan pernikahannya. "Aku tidak bisa memberitahukan pastinya, tapi aku dan calon istriku akan melakukan konferensi pers jika sudah menemukan tanggal yang pas."
"Apa pekerjaan calon istrimu itu?" tanya seorang reporter lain.
"Ah, dia pernah bilang padaku untuk tidak mengatakan pekerjaannya." Arka terkekeh kecil. "Calon istriku itu agak pemalu."
Dua hari yang lalu ketika masih berada di rumahnya, Arka duduk di sebelah Bayu yang tampak sedang sibuk dengan seabrek berkas perusahaan. Melihat itu, Arka bersyukur karena tidak perlu terjebak dalam urusan kantor.
Melihat berkas yang bertumpuk saja langsung membuatnya pusing, apalagi mengurusnya. Tidak, Arka tidak akan pernah mau terjebak dalam urusan seperti itu. Cukup Bayu saja yang menjadi korban, pikirnya.
"Kak Bay lagi ngurus apa?" tanya Arka berbasa-basi, sambil membuka kulit pisang.
"Apa kau buta sampai harus bertanya lagi!" ucap Bayu sarkastik. Mendengar penuturan kakaknya, Arka hanya meringis kesal. Tak lama Bayu mengalihkan sebentar atensinya pada Arka yang santai memakan pisang.
"Hey, kapan kau akan membantuku, mengurus salah satu perusahaan ayah! Aku sudah pusing memegang 3 perusahaan milik ayah! Kau peganglah satu!"
Arka mendesah malas. "Aku belum berminat buat ..." Kalimatnya terhenti saat melihat foto sebuah minimarket milik gadis yang ia juluki kera betina. Arka mengambil berkas bermap kuning.
"Ini apa, Kak?"
Kembali Bayu memandang adiknya. "Oh itu berkas peminjamam uang milik nasabah bank kita. Minimarket itu jaminannya, kenapa kau bertanya?"
Arka tidak menjawab. Dengan segera ia membuka berkas itu dan terkejut dengan nominal peminjaman uang yang mencapai satu milyar. Masih ada sisa uang tujuh ratus juta yang belum dibayarkan.
"Sebenarnya yang bersangkutan, sudah menunggak selama tiga bulan," ucap Bayu.
Seringaian terbit di bibir Arka. ia memiliki senjata untuk mengancam gadis itu. Takdir memang sangat baik kepadanya. "Kak yang ini biar aku saja yang mengurusnya!"
"Uruslah, aku sudah pusing!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!