Hari itu, udara Jakarta begitu panas dan menyesakkan. Meski begitu, langkah-langkah Nadira terasa ringan. Dengan map cokelat di tangan, dia menatap gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di hadapannya. Arsena Group, perusahaan multinasional yang baru saja menerimanya bekerja sebagai sekretaris.
Wanita itu mengeratkan genggaman pada mapnya. Hatinya berdebar, campuran antara gugup dan semangat. Baginya, bekerja di sini adalah kesempatan besar. Dengan bayaran tinggi, reputasi bagus, dan yang terpenting adalah masa depan yang lebih cerah setelah beberapa tahun ini dia hidup sederhana setelah keluarganya bangkrut.
Begitu memasuki lobby, Nadira langsung terpana. Dinding kaca, lantai marmer mengilap, aroma parfum mahal yang samar tercium di udara. Semua pegawai tampak rapi dan berjalan cepat, seolah waktu mereka adalah emas.
“Nadira, kan? Sekretaris baru?” sapa seorang wanita ramah di meja resepsionis.
“Iya, Mbak. Saya, Nadira.”
“Silakan naik ke lantai 27, ruangan CEO. Beliau sudah menunggu, hari ini kamu langsung mulai bekerja.”
Nadira mengangguk sopan, hatinya makin berdebar saat dia menuju lift. “Langsung ketemu CEO, mudah-mudahan orangnya nggak galak …”
Di dalam lift, Nadira mendengar bisikan-bisikan kecil dari dua pegawai wanita di sampingnya.
“Kamu tahu nggak, CEO kita itu terkenal dingin banget. Hampir nggak pernah senyum.”
“Iya, katanya tatapannya aja bisa bikin karyawan salah input data.”
“Waduh, serem banget ya.”
Nadira menelan ludah. Dia memang mendengar rumor bahwa CEO Arsena Group masih muda, tampan dan luar biasa cerdas, tapi … dingin. Semua karyawan tampaknya setuju bahwa pria itu seperti es batu berjalan.
Pintu lift berbunyi ting! dan terbuka. Lantai 27 terlihat berbeda, lebih sepi, lebih elegan dan penuh aura kekuasaan.
Seorang asisten pria mendekat, “Kamu Nadira, ya? Mari, saya antar ke ruangan CEO.”
Langkah Nadira terasa berat, seolah sepatunya menempel di lantai. Tapi begitu pintu besar berwarna hitam elegan itu terbuka, dia terdiam.
Di balik meja besar, seorang pria berdiri dengan jas hitam rapi. Rambut hitam legam disisir ke belakang, rahang tegas, hidung mancung, sorot mata tajam yang bisa menembus pertahanan siapa pun.
Namun yang membuat Nadira ternganga bukanlah karisma dingin pria itu. Melainkan… wajah yang sangat dia kenal.
Napasnya tercekat. “Itu… tidak mungkin…”
Pria itu menoleh, sorot matanya menusuk tapi sekilas ada keterkejutan yang sama.
Waktu seakan berhenti. Nadira merasa seperti dilempar kembali tujuh tahun lalu, masa ketika mereka masih mahasiswa yang nekat menikah muda meski tanpa restu orang tua Nadira. Masa ketika dia percaya, pria ini adalah cinta sejatinya.
Pria itu adalah Ardan Wirajaya, mantan suaminya.
“Jadi … kamu sekretaris baru yang direkrut HR?” suara Ardan akhirnya memecah keheningan.
Nadira buru-buru menegakkan tubuhnya, berusaha bersikap profesional meski jantungnya seperti ingin pecah. “Benar, Tuan. Saya… Nadira, siap bekerja sesuai arahan Anda.”
Suaranya terdengar terlalu formal dan terlalu kaku, bahkan untuk dirinya sendiri.
Ardan hanya mengangguk tipis. “Baik! Mulai hari ini, kamu bekerja langsung di bawah kendali saya.”
Tatapan pria itu menusuk, tapi Nadira bisa melihat sesuatu berkilat sekilas dalam mata Ardan.
Apakah itu kejengkelan? Atau… luka lama yang belum sembuh?
Nadira tak tahu, yang jelas suasana mendadak beraura dingin.
Hari pertama bekerja bersama Ardan, terasa seperti berjalan di atas bara api. Nadira berusaha fokus, mengetik surat, mengatur jadwal meeting hingga menyiapkan kopi. Tapi setiap kali menoleh, dia mendapati tatapan dingin Ardan yang seolah menilai tiap gerakannya.
“Sekretaris harus cekatan, jangan lambat,” ucap Ardan, nadanya dingin.
“I-iya, Tuan.”
Astaga, ini benar-benar mimpi buruk. Bagaimana aku bisa bekerja tenang kalau bosku adalah mantan suamiku sendiri? Nadira mendesah dalam hati.
Saat jam makan siang, Nadira keluar ke pantry untuk mencoba menenangkan diri. Beberapa pegawai lain berkumpul, membicarakan Ardan dengan penuh bisik-bisik.
“Kamu tahu nggak, CEO kita itu belum pernah keliatan punya pacar.”
“Katanya ada sosialita cantik deket sama beliau, Claudia namanya. Cocok banget sih kalau sampai nikah.”
“Ah, masa sih? CEO kita kan terlalu sibuk buat urusan cinta.”
Nadira pura-pura sibuk menuang kopi, tapi telinganya panas mendengarnya. Claudia? Sosialita? Jadi, ada wanita yang sedang dekat dengan Ardan?
“Astaga, Nadira … jangan kepo! Itu bukan urusanmu lagi,” bisiknya pada diri sendiri, menepuk pelan pipinya agar sadar.
Sore harinya, sebuah kejadian kecil membuat suasana makin tegang. Nadira terburu-buru membawa dokumen ke ruangan Ardan. Namun karena gugup, dia tersandung kabel dan hampir terjatuh. Berkas-berkas berhamburan di lantai.
“Ya ampun!” Nadira panik, buru-buru memungut kertas yang berserakan.
Ardan berdiri, menatapnya tajam.
“Kamu masih ceroboh, Nadira.”
Nadira terdiam, kata-kata itu seperti kilatan masa lalu. Dulu Ardan sering menegurnya dengan kalimat yang sama, setiap kali dia menumpahkan kopi atau menjatuhkan buku.
“A-aku minta maaf, Tuan.”
Ardan mendekat, berjongkok ikut memungut kertas. Jemarinya hampir bersentuhan dengan tangan Nadira, membuat wanita itu terkejut.
Sejenak, mata mereka bertemu. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang familiar dan sesuatu yang dulu membuat Nadira jatuh cinta habis-habisan pada laki-laki yang selalu bersikap hangat padanya itu. Namun pria di depannya saat ini, sangat... dingin.
Ardan menarik diri, berdiri tegak lalu bicara dengan nada dingin. “Lain kali lebih hati-hati! Jangan ulangi lagi!”
Nadira menunduk, menahan napas.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa bertahan bekerja disini dengan sikapnya yang dingin begini?
Hari mulai gelap. Setelah semua pekerjaan selesai, Nadira membereskan mejanya. Dia berniat pulang cepat, tapi panggilan dari interkom membuatnya kaget.
“Nadira, masuk ke ruangan saya.” Suara berat Ardan terdengar.
Dengan hati-hati, Nadira masuk. Ardan berdiri di dekat jendela besar, memandang keluar ke arah lampu-lampu kota.
“Kenapa kamu melamar kerja di sini?” tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh.
Nadira tercekat. “Karena… saya butuh pekerjaan, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda… yang memimpin perusahaan ini.”
Ardan menoleh perlahan, tatapannya menusuk. “Kebetulan yang aneh, bukan?”
Nadira menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa.
Ardan melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Sorot mata dinginnya, membuat Nadira sulit bernapas.
“Aku ingin tahu… apakah kamu datang kesini hanya untuk bekerja, atau… untuk alasan lain?”
Pertanyaan itu menghantam Nadira. Hatinya berdesir, tapi juga terasa sakit. “Apa maksud Anda, Tuan? Saya tidak mengerti.”
Ardan menahan diri sejenak lalu tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. “Baiklah, terserah padamu. Tapi, kita lihat saja nanti.”
Malam itu saat akhirnya keluar dari gedung, Nadira menarik napas panjang. Dadanya sesak, pikirannya penuh kekacauan.
Dia berjanji pada dirinya sendiri.
Aku datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk membuka luka lama.
Tapi entah mengapa setiap kali mengingat tatapan Ardan, hatinya bergetar. Dan dia tahu, perjalanannya baru saja dimulai.
“Ngomong-ngomong, apa dia masih pakai boxer gambar singa, ya?“
Nadira tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri. Ingatannya melayang ke masa lalu, waktu Ardan heboh mencari boxer yang hilang. Karena panik dan buru-buru mau kuliah, ujung-ujungnya dia malah nekat pakai CD Nadira. Sampai sekarang tiap kali teringat, Nadira masih geli sendiri.
Pagi itu, Nadira datang lebih awal dari biasanya. Dia masih merasa canggung setelah pertemuan kemarin, tapi bertekad untuk bekerja seprofesional mungkin.
Hari ini harus lancar, Nadira. Jangan bikin kesalahan lagi! Batinnya.
Dia menata rambut, memeriksa kuku lalu duduk di meja kerjanya dengan rapi. Belum sempat menarik napas lega, suara berat yang sangat dikenalnya sudah terdengar dari interkom.
“Nadira, masuk.”
Nadira buru-buru berdiri, hampir menjatuhkan pulpen di meja. "Ya Tuhan, kenapa panggilannya selalu tiba-tiba begini sih?"
Begitu masuk, dia mendapati Ardan berdiri dengan jas rapi dengan wajah tanpa ekspresi sedang memegang berkas tebal.
“Kita ada rapat penting dengan dewan direksi, kau ikut untuk mencatat hasil meeting,” ucapnya singkat.
Nadira mengangguk cepat. “Siap, Tuan.”
Rapat berlangsung di ruang konferensi besar dengan meja panjang yang dipenuhi para direksi dan manajer. Semua orang duduk tegang, menunggu CEO mereka berbicara. Nadira berdiri di samping Ardan, memegang buku catatan.
Ardan mulai memaparkan strategi bisnis dengan suara tenang dan penuh wibawa. Semua orang mendengarkan dengan serius.
Sementara itu, Nadira sibuk mencatat cepat-cepat. Tapi karena gugup, tangannya gemetar. Ketika salah satu direktur menyerahkan berkas, Nadira bermaksud membantu Ardan menaruhnya di meja.
Sayangnya, map itu terlalu berat dan…
Brakkkk!
Berkas tebal terjatuh tepat ke arah meja, pena-pena berserakan, dan… gelas air mineral tumpah ke arah jas mahal Ardan.
Suasana hening seketika, semua mata tertuju pada Nadira.
Nadira membeku, wajahnya merah padam. “A-astaga! Saya… saya minta maaf, Tuan!”
Ardan menoleh perlahan, menatap jasnya yang basah. Sorot matanya dingin, rahangnya mengeras. Namun, alih-alih marah meledak-ledak seperti yang dibayangkan semua orang, dia hanya menghela napas pelan.
“Seperti biasa… ceroboh.” Suaranya rendah, datar, tapi cukup membuat Nadira ingin mengubur dirinya di bawah meja.
Nadira buru-buru mengambil tisu dari meja dan tanpa sadar mendekat ke Ardan untuk mengelap jasnya.
Tangannya bergerak panik. “Tuan, saya betul-betul__”
“Berhenti!” Potong Ardan dingin, sambil menahan tangan Nadira. “Kau membuat semua orang kehilangan fokus!"
Nadira terpaku.
Sementara Ardan dengan tenang melepas jasnya, menyerahkannya pada asisten pribadi. Ia tetap duduk tegak, seolah kejadian memalukan barusan bukan apa-apa.
“Lanjutkan rapat!" Ujarnya singkat, suaranya tetap tegas.
Usai rapat, Nadira menunduk sepanjang jalan keluar ruangan. Begitu pintu tertutup, dia langsung menepuk keningnya sendiri.
“Ya ampun, Nadira! Baru juga hari kedua sudah bikin CEO basah kuyup!”
Ardan berjalan di depan dengan langkah panjang, sama sekali tidak menoleh. Nadira mengejar laki-laki itu dengan wajah memerah.
“Tuan … saya sungguh minta maaf, tadi saya tidak sengaja__”
Ardan berhenti, menoleh perlahan ke arah Nadira. Tatapannya tajam, tapi suaranya tetap datar. “Jika kau memang ingin meminta maaf, lakukan dengan bekerja lebih baik! Aku tidak butuh penyesalanmu, aku butuh ketelitianmu!”
Nadira terdiam, lalu mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Ardan melanjutkan langkahnya tanpa ekspresi.
Siang harinya, Nadira kembali ke meja kerjanya dengan semangat baru. Dia membuka laptop, mencoba fokus mengetik. Namun tak lama kemudian, pesan masuk dari email internal membuatnya tertegun.
Dari: CEO Ardan Wirajaya.
Subjek: Catatan Meeting.
📂📧 [ Nadira, laporanmu cukup jelas. Namun, ejaan ekspansi... kau tulis jadi ekspresi. Apakah perusahaan ini sedang mau memperluas bisnis, atau sekadar ingin curhat perasaan?]
Di mejanya Nadira menutup mulutnya, menahan tawa. “Astaga, apa dia lagi ngeledek?"
Pipinya panas, dia buru-buru membalas.
📂📧 [Maaf, Tuan. Itu salah ketik. Perusahaan jelas mau ekspansi, bukan ekspresi. Hehe...]
Tak lama, balasan singkat masuk lagi.
📂📧 [Pastikan salah ketik tidak terjadi lagi! Aku tidak ingin direksi mengira, kita sedang buka jasa konseling perasaan!]
Nadira menunduk, tertawa kecil. Meski dingin, ternyata Ardan masih punya sisi sarkasme seperti dulu.
Sore itu sebelum pulang, Nadira masuk ke ruangan Ardan untuk memberikan dokumen. Ardan sedang sibuk mengetik, dengan wajah sangat fokus.
“Tuan, ini laporan revisi yang Anda minta.”
Ardan menerima tanpa menoleh. “Taruh di meja.”
Nadira menaruh map dengan hati-hati. Tapi entah kenapa, saat berbalik tangannya tak sengaja menyenggol pena di meja. Pena itu jatuh… tepat ke arah saku jas Ardan.
Ardan mengangkat alis. “Kau memang punya bakat membuat kekacauan, Nadira.”
Nadira meringis, menangkupkan tangan di depan dada. “Saya… janji, besok saya akan lebih hati-hati.”
Ardan akhirnya menoleh, menatap mantan istrinya itu lama. Ada sekilas kilatan aneh di matanya, campuran antara jengkel dan… geli.
“Besok?” gumamnya. “Aku jadi penasaran, berapa lama kau bisa bertahan di sini tanpa membuat keributan.”
Nadira tersenyum canggung. “T-tentu saja selamanya, Tuan. Karena… saya butuh pekerjaan ini.”
Ardan terdiam sejenak, lalu kembali menatap layar laptopnya. “Kita lihat saja!”
Ketika Nadira melangkah keluar gedung, ia menatap ke langit dengan perasaan campur aduk.
Hari ini penuh rasa malu, penuh dinginnya tatapan Ardan… tapi entah kenapa, ada juga hangat kecil yang sulit ia jelaskan.
“Mungkin bekerja di bawah CEO dingin sekaligus mantan suami... tidak akan seburuk yang aku bayangkan." Ia menghela nafas.
Nadia melangkah menuju parkiran. Sebuah motor tua, lusuh dan jauh dari kata layak sudah menunggunya untuk mengantarnya pulang. Dari kejauhan, Ardan memperhatikan setiap geraknya dengan sorot mata dingin.
“Jadi, semiskin itu dia sekarang? Sampai harus naik motor butut setelah ayahnya jatuh bangkrut?” Ardan bergumam.
Asisten pribadinya mengangguk patuh. “Benar, Tuan. Dari hasil penyelidikan, Nadira kini tinggal di kontrakan kecil bersama ibunya dan dua adiknya yang masih sekolah. Sementara ayahnya masih dalam perawatan, menunggu operasi. Biayanya besar, dan sepertinya Nadira belum sanggup mengumpulkan uangnya.”
Bibir Ardan melengkung tipis, nyaris sinis. “Dulu, dia meninggalkanku saat aku membutuhkannya. Sekarang… mungkin ini karmanya.”
Nada tajam itu membuat asisten pribadinya merinding. Entah luka seperti apa yang pernah Nadira goreskan, hingga Ardan tak menyisakan sedikit pun empati pada penderitaan perempuan itu.
Pagi itu, suasana kantor Arsena Group tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan berkumpul di pantry sambil berbisik-bisik. Nadira yang baru saja mengambil kopi tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.
“Kamu lihat nggak? Kemarin sore, Pak Ardan keluar sama seorang wanita cantik banget.”
“Oh itu, Claudia.”
“Cocok banget, sih. CEO muda, tampan, dingin … dan wanita glamor yang selalu jadi pusat perhatian.”
“Kalau mereka menikah, pasti jadi pasangan sempurna.”
Nadira menghentikan langkahnya, tangan yang memegang cangkir hampir gemetar. Nama itu lagi… Claudia. Sosialita yang kemarin sempat ia dengar dari bisik-bisik karyawan lain.
Jadi benar, Ardan memang dekat dengan wanita itu.
Nadira menunduk, pura-pura sibuk mengaduk kopi agar tak terlihat peduli tapi perasaannya campur aduk. Entah kenapa dadanya terasa sesak, seolah ada duri yang menusuuk perlahan.
Siangnya, Nadira dipanggil masuk ke ruangan rapat internal. Kali ini bukan dewan direksi, melainkan tim manajer yang harus melaporkan progres. Ardan duduk di kursi utama, wajahnya tetap dingin seperti biasa.
Di tengah presentasi, pintu tiba-tiba terbuka. Seorang wanita cantik dengan gaun elegan masuk begitu saja tanpa mengetuk, semua orang terkejut.
“Ardan, aku menunggumu untuk makan siang. Kamu lupa janjimu, ya?” Suaranya manja, penuh percaya diri.
Itu Claudia.
Ruangan seketika hening.
Semua pegawai saling pandang, sebagian berbisik lirih. Nadira yang duduk di ujung meja menunduk dalam-dalam, berharap wajahnya tak terlihat jelas.
Ardan menatap Claudia sebentar, ekspresinya tak berubah. “Aku sedang rapat.”
“Tapi sebentar saja, kan?” Claudia tersenyum genit, berjalan mendekat. “Aku sudah memesan meja dia restoran favoritmu.”
Ardan menarik napas panjang, lalu berkata dingin. “Tolong jangan ganggu jam kerjaku, kita bisa bicara nanti.”
Nada suaranya tenang tapi tegas, cukup membuat Claudia terdiam sesaat. Namun wanita itu masih sempat melirik Nadira sebelum keluar, tatapannya penuh penilaian.
Nadira bisa merasakan sorot mata Claudia menusuk, seolah baru saja menandainya sebagai ancaman.
Setelah rapat selesai, Nadira keluar dengan perasaan tak karuan. Ia sengaja memilih jalan memutar agar tidak berpapasan dengan siapapun. Namun, takdir berkata lain. Claudia berdiri di dekat lift, menunggunya.
“Kamu sekretaris baru, ya?” Claudia tersenyum tipis, tapi matanya tajam.
“Ah … iya, Bu.” Nadira mencoba sopan.
“Jangan terlalu dekat dengan Ardan! Dia sibuk dan hanya butuh sekertaris profesional, bukan… sesuatu yang lain.”
Nadira terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Claudia tersenyum miring, lalu melangkah masuk ke dalam lift.
Begitu pintu tertutup, Nadira menghela napas panjang. “Ya Tuhan… baru juga beberapa hari kerja, sudah ada yang menegur begini.”
Sore itu, Nadira masuk ke ruangan Ardan untuk menyerahkan laporan. Ia berniat cepat-cepat pergi, tapi suara Ardan menahannya.
“Tadi, Claudia bicara sesuatu padamu?” tanyanya tanpa menoleh dari laptop.
Nadira terkejut. “A-ah … tidak, Tuan. Hanya … memperkenalkan diri.”
Ardan menutup laptopnya, menatap Nadira dengan tatapan yang sulit ditebak. “Kalau dia mengganggumu, katakan padaku.”
Nadira terdiam, hatinya sedikit bergetar mendengar kalimat itu. Meski dingin, nada Ardan barusan terdengar… melindunginya?
“Saya baik-baik saja, Tuan." Jawabnya akhirnya, mencoba terdengar tenang.
Ardan menatap Nadira sebentar, lalu kembali membuka laptopnya. “Baiklah! Besok kau ikut aku ke luar kota, ada pertemuan bisnis yang harus kau catat.”
Nadira menelan ludah. “Ke … luar kota, Tuan?”
“Siapkan dokumen, dan jangan sampai ceroboh.” Ardan tak menjawab dia malah menekankan.
Nadira mengangguk cepat, meski dalam hati ia panik. Astaga … business trip berdua? Bagaimana aku bisa bertahan?
Malamnya ketika sudah di rumah, Nadira termenung lama di tempat tidur. Bayangan Claudia serta tatapan dingin Ardan, dan acara business trip besok berputar-putar di kepalanya.
“Aduh, kenapa hidupku jadi seperti drama Korea begini sih…” gumamnya, menutup wajah dengan bantal.
Dalam hatinya, ia kini menyakini satu hal. Bekerja sebagai sekretaris dari mantan suami, bukan hanya soal kerja keras. Tapi juga tentang bertahan dari rasa yang seharusnya sudah lama padam… namun kini mulai menyala kembali.
Pagi itu, Nadira sudah siap dengan koper kecil di tangan. Ia berdiri di lobby kantor, menunggu mobil perusahaan yang akan mengantar mereka ke bandara.
Dari kejauhan, sosok Ardan muncul dengan jas rapi dan langkah mantap. Semua mata karyawan otomatis mengikuti pria itu, termasuk beberapa wanita yang langsung berbisik-bisik penuh kagum.
Nadira menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Dalam hati, ia merutuk.
Kenapa sih, harus kelihatan kayak model iklan setiap saat? Mana dingin banget pula! Karyawan lain aja sampai meleleh lihatnya... Aku? Ya meleleh juga, tapi dengan perasaan mangkel.
“Naik,” suara Ardan datar, menyentaknya.
“Oh … iya, Tuan.” Nadira buru-buru mengikuti, hampir tersandung ujung karpet di lobby. Untung koper kecilnya jadi penolong, meski wajahnya merah padam.
Perjalanan di pesawat, cukup hening. Nadira duduk di samping Ardan, mencoba fokus membaca berkas pertemuan tapi sulit. Ardan asyik mengetik di laptop, sementara Nadira merasa seperti duduk di samping es batu raksasa.
Ketika pramugari menawarkan minuman, Nadira refleks bilang. “Saya ingin kopi panas, Mbak.”
Ardan menoleh sekilas. “Kamu nggak akan bisa tidur kalau minum kopi.”
Nadira kaget. “Loh … kok Tuan tahu?”
Ardan kembali menatap laptopnya. “Dulu kamu sering begadang semalaman, gara-gara satu cangkir kopi.”
Deg.
Nadira terdiam, menatap gelas kopi yang kini ada di tangannya. Ardan, masih ingat?
Sesampainya di kota tujuan, mereka langsung menuju hotel yang sudah dipesan perusahaan. Nadira menyerahkan KTP untuk check-in, tapi tiba-tiba resepsionis tersenyum canggung.
“Mohon maaf, Bu … sepertinya ada kesalahan sistem. Untuk pemesanan ini, hanya tersedia satu kamar suite dengan satu ranjang king size. Sementara, kamar lainnya penuh.”
“Hah?!” Nadira hampir menjatuhkan dompetnya. “Satu kamar?!”
Ardan mengangkat alis, tetap tenang. “Pesan itu atas nama saya. Sudah cukup, kita ambil saja.”
“Tapi, Tuan… satu ranjang besar. Bagaimana bisa, kita__” Nadira gelagapan.
“Kamu bisa tidur di sofa, masalah selesai.” Ardan melangkah duluan, menyerahkan kartu kamar pada bellboy.
Nadira menatap langit-langit hotel, ingin menangis.
“Kenapa hidupku jadi drama romantis budget rendah begini?“ gumamnya.
Di dalam kamar, suasana makin canggung. Kamar suite itu mewah tapi hanya ada satu ranjang besar yang terhampar indah di tengah ruangan. Nadira menatap sofa panjang di sudut, sudah membayangkan betapa sakit pinggangnya nanti.
“Rapikan berkas untuk besok pagi!” Perintah Ardan.
Lalu... pria gagah itu melepas jas dan menggulung lengan kemejanya sampai siku dengan gaya menawan.
Nadira menahan diri untuk tidak berteriak.
Bisa nggak sih, dia nggak keliatan keren... kayak model iklan?!
Nadira lalu sibuk menata map dan laptop, tapi kecerobohannya muncul lagi. Minuman di meja tumpah sedikit ke kertas dokumen. Nadira panik, mengelap terburu-buru.
“Dira,” suara Ardan dalam, membuatnya terhenti.
“Ya?”
“Tenang.” Tatapan Ardan menusuk, tapi nadanya tidak setajam biasanya. “Kalau panik, malah makin kacau.”
Nadira menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Ba-baik, Tuan.”
Malam itu setelah semua selesai, Nadira membaringkan diri di sofa setelah berganti pakaian dengan piyama sederhana. Ia menutup mata, mencoba tidur dengan posisi sempit.
Tapi baru lima menit, suara Ardan terdengar. “Kamu bakal pegal, kalau tidur di situ.”
Nadira membuka mata. “Nggak apa-apa, Tuan. Saya biasa tidur di sofa.”
“Bohong.”
Nadira tercekat.
Ardan berdiri di sisi ranjang. “Tidurlah di tempat tidur, aku bisa di sofa.”
“Jangan, Tuan! Itu ranjang mahal, nanti saya merasa nggak enak hati__”
“Dira, aku bisa tidur di mana saja! Kamu yang butuh istirahat lebih, supaya besok tidak ceroboh. Aku ingin bisnis besok berjalan lancar dan sempurna, tanpa kekacauan darimu!“ Mata Ardan menatap tajam wanita itu.
Glek!
Nadira terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia akhirnya mengangguk, lalu pelan-pelan berbaring di ranjang besar itu.
Di sisi lain, Ardan benar-benar tidur di sofa. Tapi malam itu, keduanya sama-sama sulit memejamkan mata. Bukan karena tidak nyaman, melainkan karena kehadiran satu sama lain begitu nyata, begitu dekat dan begitu... berbahaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!