NovelToon NovelToon

"Blade Of Ashenlight"

~Pedang Yang Bangkit~

Nama pemuda itu Edrick Varrow, delapan belas tahun. Ia anak pandai besi dari distrik bawah kota Avermont, ibu kota Averland. Ayahnya mati ditusuk prajurit Dravenholt dalam penyerangan, ibunya terbakar bersama rumah mereka. Sejak itu Edrick hidup dengan kemarahan. Ia bekerja serabutan, belajar menggunakan pedang bekas, dan menunggu kesempatan membalas dendam.

Di sisinya ada Mira Calden, tujuh belas tahun. Anak seorang tabib desa yang terbiasa mengobati orang di jalanan. Mira keras kepala, logis, dan sering menahan Edrick ketika emosinya meledak. Ia selalu membawa belati kecil, tapi kekuatannya bukan di otot, melainkan di kepalanya.

Malam itu, keduanya masuk ke sebuah gereja tua yang setengah runtuh. Bangunan itu kosong, atapnya bolong, dindingnya retak. Di tengah altar ada peti batu besar dengan ukiran bercahaya biru.

“Kalau legenda itu benar, pedang Ashenlight ada di sini,” kata Edrick.

Mira menahan lengannya. “Kalau legenda itu benar, kau bisa mati kalau menyentuhnya. Semua cerita bilang begitu.”

“Aku lebih baik mati mencobanya daripada hidup sebagai pecundang,” jawab Edrick, lalu berjalan ke depan.

Tangannya menyentuh peti. Cahaya biru langsung menyala. Dari dalam muncul pedang dengan bilah bercahaya. Blade of Ashenlight.

Tubuh Edrick seketika bergetar. Rasanya seperti api masuk ke nadinya. Nafasnya tersengal, tapi ia tidak roboh. Ia menggenggam pedang itu.

Mira menatap dengan mulut terbuka. “Kau… kau masih hidup.”

Langkah berat terdengar dari pintu.

Seorang pria besar dengan zirah hitam masuk bersama belasan prajurit. Dialah Lord Garrick Dravenholt, bangsawan haus kuasa yang sedang berusaha merebut takhta Averland. Wajahnya penuh bekas luka. Kapak besar ada di tangannya.

“Jadi benar,” kata Garrick. “Pedang itu nyata. Tapi kau, bocah pandai besi, bukan orang yang pantas. Serahkan padaku.”

Edrick mengangkat pedang, tubuhnya masih gemetar. “Kalau aku tidak pantas, pedang ini sudah membunuhku.”

“Pedang tidak memilih. Pedang ditaklukkan,” sahut Garrick, lalu menyerbu dengan kapaknya.

Dentuman keras terdengar. Kapak menghantam pedang Ashenlight. Percikan cahaya beterbangan. Edrick terdesak mundur. Mira berteriak, tapi tidak bisa menolong.

Serangan kedua datang. Kapak Garrick kembali menghantam. Kali ini pedang menyala lebih terang, mendorong Garrick beberapa langkah ke belakang.

Para prajurit kaget. Mereka belum pernah melihat tuan mereka mundur dari benturan.

“Mustahil,” desis Garrick. “Bocah sepertimu tidak seharusnya bisa menahan seranganku.”

Mira maju dengan belati, berdiri di sisi Edrick. “Kalau kau mencoba lagi, aku akan menusuk tenggorokmu.”

Garrick menertawakan ancaman itu. “Kau hanya gadis kecil. Aku bisa mematahkanmu dengan satu tangan.”

Namun ia kembali menyerang. Kapaknya menghantam lagi. Edrick menahan, dan kali ini cahaya biru meledak dari pedang, menghantam seluruh ruangan.

Garrick terlempar ke dinding. Prajurit-prajuritnya panik, sebagian mundur.

Edrick berdiri dengan napas terengah. Tangannya masih memegang pedang. Cahaya biru berdenyut pelan, seperti detak jantung.

Mira menatapnya serius. “Kau sadar apa yang baru saja terjadi? Mulai sekarang, semua orang di Averland akan memburumu. Mereka semua menginginkan pedang itu.”

Edrick menunduk, menatap bilah bercahaya di tangannya.

Garrick perlahan bangkit dari reruntuhan dinding. Darah menetes dari keningnya, tapi matanya penuh amarah. “Bocah, aku akan memburumu sampai kau terkubur. Tidak ada tempat aman di Averland bagimu.”

Ia memberi isyarat pada prajuritnya. “Tangkap mereka. Jangan biarkan kabur.”

Edrick menggenggam pedang lebih erat. Tubuhnya masih lemah, tapi ada tenaga aneh yang menolak menyerah. Mira menarik lengan bajunya. “Kita tidak bisa lawan mereka semua. Kita harus keluar dari sini.”

Edrick mengangguk. Mereka mundur ke pintu samping gereja. Dua prajurit menghadang, tapi pedang Ashenlight bergerak lebih cepat daripada yang bisa dipikirkan Edrick. Sekali tebas, bilah bercahaya itu menembus zirah besi, membuat prajurit itu jatuh tanpa sempat menjerit.

Mira menutup mulutnya, ngeri melihat darah muncrat. Ia belum pernah melihat Edrick membunuh dengan cara seperti itu. Tapi tidak ada waktu merenung.

“Kanan!” seru Mira.

Mereka berlari menembus lorong sempit yang setengah runtuh. Prajurit mengejar dari belakang. Suara langkah sepatu logam berderap menutup jarak.

Edrick menghantamkan pedangnya ke dinding, membuat runtuhan batu menutup sebagian jalan. Itu memberi mereka waktu, tapi tidak lama.

“Ke mana?” tanya Edrick.

“Jalan bawah tanah,” jawab Mira cepat. “Aku pernah lewat sini saat mengobati orang. Ada pintu di belakang altar kecil.”

Mereka kembali berbelok, menemukan pintu kayu tua yang hampir lapuk. Dengan tendangan keras, pintu roboh. Lorong gelap terbuka, menurun tajam. Udara bawah tanah dingin dan lembap.

“Cepat!” desak Mira.

Mereka masuk, lalu menutup pintu dari dalam.

Cahaya dari pedang Ashenlight menerangi lorong. Bukan sekadar cahaya, melainkan seperti obor yang tak pernah padam.

“Kalau mereka menemukan jalan ini, kita akan terjebak,” gumam Edrick.

Mira menjawab dengan nada tegas. “Lebih baik terjebak di bawah tanah daripada mati sekarang.”

Suara prajurit masih terdengar samar dari atas. Teriakan Garrick menggema. “Cari mereka! Jangan biarkan kabur!”

Mereka terus menuruni lorong panjang. Di ujung, lorong bercabang dua. Mira menunjuk kiri. “Yang ini menuju ke luar kota. Kita bisa keluar lewat sumur tua.”

Edrick tidak protes. Mereka berlari ke kiri. Nafasnya terengah, tubuhnya masih berat karena tenaga aneh dari pedang.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di ruang bundar kecil. Di tengahnya ada sumur batu dengan tali putus. Lubang sumur terbuka ke atas, menampakkan cahaya bulan samar.

“Kita bisa naik lewat sini,” kata Mira.

Edrick menyarungkan pedang di punggungnya. Aneh, pedang itu menempel sendiri seolah melekat dengan tubuhnya. Ia tidak sempat memikirkan lebih jauh. Ia mengikat sisa tali ke sabuknya, lalu mulai memanjat dengan Mira di belakangnya.

Suara langkah prajurit tiba-tiba bergema dari lorong. Mereka berhasil mengikuti.

“Cepat, Edrick!” seru Mira.

Edrick memanjat lebih cepat. Begitu sampai di permukaan, ia menarik Mira keluar. Mereka berdua terengah, duduk di rerumputan.

Dari atas bukit kecil, mereka bisa melihat kota Avermont di kejauhan. Api masih menyala di beberapa bangunan.

Mira menoleh pada Edrick. “Sekarang apa rencanamu?”

Edrick menatap pedang di punggungnya. “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa menyerahkannya. Kalau Garrick mendapatkannya, seluruh Averland akan jatuh ke tangannya.”

“Kalau begitu kita harus cari sekutu. Kita tidak bisa lari sendirian selamanya.”

Edrick terdiam. Ia tahu Mira benar. Tapi ia juga tahu, membawa pedang ini berarti membawa malapetaka ke mana pun mereka pergi.

Tiba-tiba suara langkah kuda terdengar dari arah hutan.

Dua orang penunggang muncul, memakai mantel kelabu dengan lambang singa emas. Mereka bukan prajurit Garrick.

Salah satu dari mereka berhenti, menatap Edrick. “Kau… apa itu pedang di punggungmu?”

Edrick langsung waspada. “Siapa kalian?”

Pria itu membuka helmnya. Wajahnya keras, brewok tebal. “Namaku Darius Kane. Aku pernah jadi kapten pasukan kerajaan. Sekarang aku musuh Garrick. Dan kalau aku tidak salah lihat, kau baru saja mengambil pedang yang seharusnya jadi harapan terakhir Averland.”

Mira menegang. “Bagaimana kau bisa tahu tentang pedang ini?”

Darius menatapnya lekat. “Karena aku juga mencari pedang itu. Tapi rupanya, kau yang menemukannya terlebih dahulu.”

Edrick menggenggam gagang pedang. “Kalau kau berniat merebutnya, coba saja.”

Darius mengangkat tangannya, bukan untuk menyerang. “Aku tidak bodoh. Pedang itu sudah memilihmu. Kalau aku mencoba, pedang itu akan menolakku. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu. Jika kau ingin bertahan, kau butuh sekutu. Ikut denganku, dan aku akan menunjukkan jalan.”

Edrick dan Mira saling pandang. Tawaran itu masuk akal, tapi juga bisa jadi jebakan.

Mira berbicara lebih dulu. “Kita tidak punya pilihan lain. Kalau terus sendiri, kita mati.”

Edrick menunduk sebentar, lalu mengangguk. “Baik. Tapi kalau kau mencoba mengkhianati kami, aku akan menebasmu dengan pedang ini.”

Darius tersenyum tipis. “Itu yang kuharapkan darimu. Sekarang ikut aku. Kita punya banyak yang harus dibicarakan.”

Mereka bertiga lalu meninggalkan sumur tua, berjalan menuju hutan gelap. Dari kejauhan, suara trompet prajurit Garrick terdengar.

Hutan di luar Avermont sunyi, hanya suara ranting patah dan serangga malam yang terdengar. Darius menuntun kudanya perlahan, sementara Edrick dan Mira mengikutinya. Mereka masih waspada, tapi untuk sementara berhasil lepas dari pasukan Garrick.

“Kita akan menuju Benteng Calborne,” kata Darius sambil menoleh ke belakang. “Itu markas kecil yang masih menentang Garrick. Orang-orang di sana bukan pasukan kerajaan resmi, tapi mereka benci melihat Averland dikuasai oleh pengkhianat.”

Edrick tidak langsung percaya. “Kenapa aku harus percaya padamu? Kau bisa saja membawa kami ke perangkap.”

Darius menatapnya lurus. “Kalau aku ingin pedangmu, aku sudah membunuhmu tadi. Aku tidak butuh alasan lain. Tapi aku tahu apa artinya pedang itu. Averland butuh pemiliknya berdiri di garis depan, bukan mati konyol di jalanan.”

Mira menghela napas. “Setidaknya dia tidak berbohong sejauh ini, Edrick. Kita harus ambil risiko.”

Edrick akhirnya diam, mengikuti langkah mereka.

Mereka berjalan berjam-jam menembus hutan. Sesekali Darius memberi tanda untuk berhenti, lalu mengintai. Ada kelompok prajurit dengan obor mencari-cari di antara pepohonan. Pengejaran Garrick semakin luas.

“Dia tidak akan berhenti sampai pedang itu ada di tangannya,” kata Darius lirih. “Aku sudah mengenalnya lama. Garrick tidak pernah menyerah.”

“Siapa sebenarnya dia?” tanya Mira.

“Seorang bangsawan yang dulu bersumpah setia pada raja Averland,” jawab Darius. “Tapi ketika perang saudara meletus, dia berkhianat. Dia membantai rakyatnya sendiri demi kekuasaan. Raja jatuh, kerajaan terpecah, dan sekarang Averland tinggal reruntuhan.”

Edrick mengepalkan tangan. “Dan pedang ini… akan dipakai untuk mengakhiri semua itu.”

Darius tersenyum tipis. “Itu kalau kau bisa bertahan hidup.”

Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya sampai di sebuah tebing curam. Di bawahnya, terlihat benteng batu kecil dengan api unggun di sekitarnya. Bendera singa emas berkibar lemah.

“Itu Calborne,” kata Darius. “Ikuti aku.”

Mereka turun perlahan melalui jalan setapak berliku. Ketika mendekat, beberapa prajurit dengan mantel kelabu mengangkat tombak mereka.

“Kapten Darius?” salah satu penjaga terkejut. “Kami pikir kau sudah mati.”

“Belum,” jawab Darius singkat. Ia menoleh ke Edrick dan Mira. “Ini Edrick. Dia sekarang membawa pedang Ashenlight. Jangan macam-macam dengannya.”

Penjaga saling pandang, jelas tidak percaya. Tapi begitu Edrick menyingkap pedang dari punggungnya, cahaya biru menyala lembut. Semua orang terdiam.

“Itu… benar-benar pedangnya…” bisik salah satu prajurit.

Benteng Calborne menerima mereka. Malam itu, mereka duduk di aula kecil dengan api unggun besar di tengah. Beberapa orang berkumpul, memperhatikan Edrick dengan penuh rasa ingin tahu.

Seorang wanita berambut hitam panjang, berpakaian kulit, memperkenalkan diri. “Namaku Selene Ward. Aku pemimpin benteng ini. Jadi, kau yang dipilih pedang?”

Edrick merasa tidak nyaman dengan semua perhatian itu. “Aku tidak tahu apakah pedang ini memilihku. Aku hanya mengambilnya.”

Selene menggeleng. “Kalau kau tidak terpilih, kau sudah mati. Ashenlight hanya bisa diangkat oleh orang yang berani menanggung kebenaran. Itu bukan pedang biasa.”

Mira menatap Selene curiga. “Apa maksudmu dengan ‘menanggung kebenaran’?”

Selene tidak langsung menjawab. “Itu pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh orang yang memegang pedang. Tapi satu hal pasti: mulai sekarang, seluruh musuh Garrick akan melihatmu sebagai harapan. Dan seluruh pengikut Garrick akan melihatmu sebagai target.”

Edrick menggenggam gagang pedangnya, matanya menatap api unggun. Beban itu terasa berat, jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan ketika pertama kali mengangkat pedang di altar tadi.

Darius menepuk bahunya. “Kau tidak sendirian. Kau punya aku, kau punya Mira, dan kau punya benteng ini. Tapi ingat, jalan di depan akan lebih keras dari apa pun yang pernah kau alami.”

Edrick menarik napas panjang. “Kalau itu harga yang harus kubayar untuk menghentikan Garrick, aku akan menjalaninya.”

Suasana hening sejenak. Semua orang yang hadir menatapnya. Untuk pertama kalinya, mereka melihat secercah harapan setelah bertahun-tahun terjebak dalam perang saudara.

Namun di kejauhan, di balik gelap hutan, trompet perang Garrick masih terdengar samar. Pengejaran tidak akan berhenti.

~Bayangan Di Balik Api~

Benteng Calborne ternyata tidak sebesar yang dibayangkan Edrick. Hanya dikelilingi dinding batu sederhana dengan menara pendek di keempat sudutnya. Prajurit di dalamnya tidak lebih dari seratus orang, sebagian besar bekas tentara kerajaan yang memilih lari daripada tunduk pada Garrick.

Malam itu, setelah mereka beristirahat sebentar, Selene Ward memanggil Edrick, Mira, dan Darius ke ruang pertemuan.

Di atas meja kayu besar, Selene membentangkan peta Averland. Ada tanda-tanda merah menandai wilayah kekuasaan Garrick, dan tanda biru untuk wilayah yang masih bebas.

“Kau harus lihat sendiri,” kata Selene, menunjuk peta. “Dua pertiga Averland sudah jatuh ke tangan Garrick. Hanya beberapa benteng kecil yang masih melawan. Calborne salah satunya. Sisanya? Hanya menunggu waktu.”

Mira menunduk, wajahnya tegang. “Kalau begitu, kita tidak punya banyak pilihan. Kita harus kumpulkan sekutu sebelum dia menghabisi semua yang tersisa.”

Darius menambahkan, “Dan sekarang kita punya sesuatu yang bisa menyatukan mereka. Pedang Ashenlight. Itu lebih kuat daripada seribu pasukan kalau digunakan dengan benar.”

Edrick memandang pedang yang bersandar di kursi sampingnya. Cahaya birunya redup, seolah mendengar percakapan mereka.

“Aku bahkan belum tahu cara menggunakannya,” ujar Edrick. “Aku hanya menebas, dan pedang ini… entah bagaimana melindungiku.”

Selene menatapnya tajam. “Itu karena pedang bukan hanya senjata. Ashenlight adalah ujian. Kau akan belajar perlahan. Tapi untuk saat ini, kita harus bergerak cepat. Garrick pasti sudah tahu siapa yang membawa pedang itu. Dia tidak akan tinggal diam.”

Seolah menjawab kata-katanya, teriakan prajurit terdengar dari luar aula.

“Api! Mereka menyerang!”

Semua orang berdiri. Selene langsung meraih busurnya, Darius menghunus pedang, Edrick menyambar Ashenlight.

Mereka berlari keluar aula. Dari menara benteng, terlihat hutan di sekitar Calborne menyala merah. Api menyebar cepat, menyelimuti pepohonan.

“Ini taktik Garrick,” desis Darius. “Bakar hutan, paksa kita keluar.”

Anak panah berapi melesat dari balik pepohonan, menghantam dinding batu. Suara kuda dan teriakan prajurit bergema dari segala arah.

Selene berteriak lantang, “Semua prajurit ke posisi! Jangan biarkan mereka mendobrak gerbang!”

Benteng segera sibuk. Prajurit memegang tombak dan busur, naik ke atas dinding.

Edrick berdiri di halaman, pedang bercahaya di tangannya. Mira mendekat dengan wajah khawatir. “Edrick, kita baru saja tiba, dan sekarang mereka sudah di sini. Apa yang akan kau lakukan?”

Edrick menatap api yang makin mendekat. “Aku akan melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Berjuang.”

 

Pintu gerbang benteng bergetar hebat ketika palu perang menghantamnya dari luar. Suara kayu retak terdengar berulang kali. Di atas dinding, para pemanah Calborne menembakkan panah bertubi-tubi, sebagian jatuh ke api hutan, sebagian menghantam perisai musuh.

“Gerbang tidak akan tahan lama!” teriak salah satu prajurit.

Selene berdiri di atas menara, melepaskan anak panah dengan tenang. “Tahan posisi! Jangan biarkan mereka masuk sebelum aku memberi perintah!”

Edrick menggenggam Ashenlight. Cahaya biru pedang itu semakin terang, seolah menuntutnya maju. Mira menahan lengannya.

“Edrick, jangan gegabah! Kau tidak tahu berapa banyak mereka di luar sana!”

“Aku juga tidak bisa hanya berdiri diam,” balas Edrick. “Kalau gerbang jebol, semua orang di sini mati.”

Pintu gerbang akhirnya runtuh dengan dentuman keras. Dari balik asap dan api, pasukan Garrick masuk, bersenjata pedang, tombak, dan perisai. Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada prajurit Calborne.

Darius menghunus pedangnya dan berdiri di samping Edrick. “Ini saatnya kau buktikan pedang itu tidak memilih orang yang salah.”

Pasukan musuh menyerbu. Benteng Calborne berubah jadi medan pertempuran sengit.

Edrick maju pertama. Pedang Ashenlight berkilau, menebas musuh terdekat. Zirah baja terbelah seperti kertas. Cahaya pedang menyambar tiga prajurit sekaligus, membuat mereka terlempar.

Prajurit Calborne bersorak, semangat mereka terangkat.

“Lindungi pembawa pedang!” teriak Selene dari atas menara.

Mira tetap di belakang, membantu prajurit yang terluka dengan perban cepat. Tangannya gemetar, tapi pikirannya tetap fokus.

Sementara itu, Edrick mulai merasakan sesuatu yang aneh. Setiap kali ia menebas, pedang itu seolah bergerak sendiri, membimbing tangannya. Ia tidak sekadar mengayun, ia seolah mengikuti arus tenaga yang mengalir dari pedang.

Namun tenaga itu juga membuat tubuhnya berat. Setelah beberapa tebasan, dadanya sesak. Ia merasa seperti terbakar dari dalam.

“Edrick! Fokus!” teriak Darius, menebas prajurit yang hampir menghantam Edrick dari samping.

Edrick mengangguk, lalu kembali menebas. Satu demi satu musuh jatuh. Tapi pasukan Garrick terus masuk tanpa henti.

Garrick sendiri belum tampak. Hanya para perwiranya yang memimpin serangan. Salah satunya, pria tinggi dengan helm bertanduk, maju menantang Edrick.

“Aku Rothgar, tangan kanan Lord Garrick! Serahkan pedang itu, bocah!”

Ia menyerbu dengan kapak besar. Benturan pertama membuat tanah bergetar. Ashenlight menahan, percikan cahaya menyilaukan semua orang di sekitar.

Pertarungan mereka jadi pusat perhatian. Semua pasukan berhenti sejenak, menonton.

Rothgar terus menyerang, kapaknya menghantam dengan kekuatan brutal. Edrick terdesak, tangannya bergetar. Tapi setiap kali ia hampir jatuh, pedang Ashenlight bercahaya lebih terang, menyalurkan tenaga tambahan.

Akhirnya, Edrick mengayun ke atas. Bilah bercahaya itu menembus dada Rothgar, membuatnya jatuh berlutut.

“Tidak… mungkin…” Rothgar terbatuk darah, lalu ambruk ke tanah.

Sorak prajurit Calborne menggema. Musuh yang melihat komandannya tumbang mulai ragu.

Tapi suara trompet dari kejauhan menggema. Pertanda pasukan Garrick belum habis.

Mira berlari menghampiri Edrick. “Kau baik-baik saja?”

Edrick terengah, keringat membasahi wajahnya. “Aku… bisa bertarung… tapi pedang ini… hampir menghabisiku.”

Darius menepuk pundaknya. “Kau melakukannya dengan baik. Tapi ingat, ini baru permulaan. Garrick pasti akan datang sendiri setelah ini.”

 

Pasukan Garrick mundur untuk sementara setelah Rothgar tumbang. Api di sekitar benteng masih berkobar, menerangi malam. Prajurit Calborne sibuk memadamkan kobaran api dengan ember air dan pasir, sementara yang lain mengangkat tubuh kawan yang gugur.

Edrick duduk di dekat dinding, pedang Ashenlight bersandar di tanah. Cahaya birunya perlahan meredup. Nafasnya berat, seolah paru-parunya terbakar. Mira sibuk merawat luka di lengannya dengan perban kain.

“Kau tidak bisa terus seperti ini,” kata Mira tegas. “Kalau setiap kali bertarung pedang itu hampir menghabisimu, cepat atau lambat kau akan mati.”

Edrick menunduk. “Aku tidak punya pilihan. Tanpa pedang ini, aku tidak mungkin bertahan.”

Darius ikut duduk di dekat mereka. Wajahnya serius, penuh bekas debu dan darah. “Pedang itu tidak hanya senjata, Edrick. Itu beban. Semakin kau memakainya, semakin berat tuntutannya. Tapi Averland butuh orang yang berani menanggungnya.”

Edrick mendongak menatap Darius. “Kau bicara seolah tahu lebih banyak tentang pedang ini. Apa yang sebenarnya kau tahu?”

Darius terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku dulu bagian dari pasukan kerajaan yang menjaga legenda pedang itu. Raja percaya Ashenlight hanya boleh digunakan saat Averland berada di ambang kehancuran. Dan sekarang, saat itulah.”

Selene mendekat, membawa selembar kain peta kecil. Ia meletakkannya di tanah. “Garrick tidak akan berhenti. Kekalahan malam ini hanya menunda serangannya. Dia akan datang dengan pasukan lebih besar. Kita harus bergerak sebelum benteng ini jatuh.”

“Ke mana?” tanya Mira.

Selene menunjuk bagian utara peta. “Ada kota bernama Highridge. Masih ada dewan bangsawan kecil yang belum tunduk pada Garrick. Kalau kita bisa membawa pedang ke sana, mungkin mereka mau bersatu melawan.”

Edrick menatap peta, lalu pedang di sampingnya. “Kau ingin aku jadi semacam simbol?”

Selene mengangguk. “Lebih dari itu. Kau harus jadi pemimpin. Orang tidak akan mengikuti Darius atau aku, tapi mereka akan mengikuti orang yang dipilih Ashenlight.”

Edrick terdiam. Ia tidak pernah berpikir jadi pemimpin. Ia hanya ingin balas dendam pada Garrick. Tapi sekarang semua orang menatapnya, seolah masa depan Averland tergantung padanya.

Mira memegang bahunya. “Kau tidak sendiri. Aku akan ikut. Kita sudah kehilangan rumah, tapi mungkin kita bisa menyelamatkan yang lain.”

Edrick menarik napas panjang. “Baik. Kita pergi ke Highridge. Kalau pedang ini bisa jadi alasan orang bersatu, aku akan menggunakannya.”

Darius tersenyum tipis. “Itu jawaban yang kutunggu.”

Malam itu, setelah pertempuran mereda, benteng Calborne beristirahat. Prajurit tidur seadanya, api unggun redup, dan hanya sedikit penjaga di menara.

Edrick tidak bisa tidur. Ia menatap Ashenlight yang bersinar samar di sampingnya. Suara dalam kepalanya berbisik lirih, entah nyata atau hanya halusinasinya:

"Kebenaran adalah beban. Maukah kau memikulnya?"

Edrick menggenggam gagang pedang itu. “Kalau itu satu-satunya jalan untuk menghancurkan Garrick… aku tidak akan mundur.”

Di luar dinding, jauh di balik hutan yang masih berasap, Garrick berdiri menatap benteng kecil itu dari atas kuda hitamnya. Wajahnya muram, penuh amarah.

“Jadi bocah itu benar-benar bisa mengangkat pedangnya…” gumamnya.

Seorang perwira mendekat. “Perintahmu, Tuan?”

Garrick mengepalkan tinju. “Kumpulkan semua pasukan. Benteng itu boleh jatuh besok, lusa, atau bulan depan. Tapi aku ingin bocah itu dibawa padaku hidup-hidup. Ashenlight akan jadi milikku, apapun caranya.”

~Jalan Menuju Highridge~

Pagi datang dengan dingin. Asap masih mengepul dari sisa-sisa pertempuran malam sebelumnya. Benteng Calborne berdiri ringkih, dindingnya penuh retakan, pintunya nyaris roboh, tapi masih tegak.

Edrick berdiri di halaman, memandang para prajurit yang sibuk memperbaiki kerusakan. Banyak dari mereka tidak akan ikut. Mereka harus bertahan di benteng meski tahu kemungkinan hidup kecil. Itu membuat Edrick semakin sadar, jalan yang akan ditempuhnya bukan hanya soal dirinya.

Darius menghampiri, sudah mengenakan baju zirah ringan dan jubah kusam. “Kita berangkat sebelum matahari naik terlalu tinggi. Garrick mungkin sedang mengumpulkan pasukan cadangan. Kalau kita terlambat, jalan ke utara akan ditutup.”

Edrick mengangguk, meski hatinya berat. Ia melirik Mira dan Selene yang menyiapkan perbekalan. Mira sibuk mengikat tas kulit berisi obat-obatan dan kain perban, sementara Selene menggulung peta dan menyelipkannya ke dalam tabung besi.

“Aku tidak percaya kau benar-benar ikut, Selene,” kata Mira tanpa menoleh.

Selene mendengus. “Kalau kubiarkan kalian saja, mungkin dua hari lagi kalian sudah mati di jalan.”

Mira mendecak. “Kau benar-benar menyebalkan.”

“Dan kau terlalu banyak bicara.”

Edrick menatap keduanya sebentar, lalu tersenyum kecil. Meski sering berdebat, ia tahu Mira dan Selene peduli.

Beberapa prajurit berkumpul di dekat gerbang. Salah satu dari mereka, seorang veteran bernama Harlan, mendekati Edrick. “Tuan, benteng ini akan bertahan selama bisa. Tapi kami titipkan harapan pada Anda. Kalau Ashenlight bisa menyatukan para bangsawan, jangan sia-siakan.”

Edrick tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengangguk dan menepuk bahu Harlan.

Rombongan kecil akhirnya berangkat: Edrick, Darius, Mira, Selene, dan empat prajurit yang dipilih khusus sebagai pengawal. Mereka menunggang kuda melewati gerbang yang setengah hancur. Jalan berbatu menanti, membentang ke arah hutan utara.

Udara dingin menusuk, bau darah dan asap masih tertinggal.

Beberapa jam perjalanan berlangsung dalam diam. Hanya suara derap kuda dan ranting patah di bawah tapak.

Mira akhirnya membuka mulut. “Edrick, apa kau merasa berbeda setelah menggunakan pedang itu?”

Edrick menunduk, memandangi Ashenlight yang terikat di punggungnya. “Aku… merasa seperti ada sesuatu di dalam pedang ini yang tidak bisa kujelaskan. Saat aku hampir mati, pedang itu bergerak sendiri. Tapi setelahnya, aku merasa tubuhku hancur.”

Darius menimpali, “Itulah sebabnya pedang itu berbahaya. Legenda mengatakan Ashenlight tidak hanya menyalurkan kekuatan, tapi juga menguji jiwa pemegangnya. Kalau kau lemah, pedang itu akan mengurasmu sampai habis.”

Selene mendengus. “Kedengarannya seperti alat kutukan, bukan penyelamat.”

Darius menoleh tajam. “Tapi tanpa itu, kita semua sudah mati.”

Percakapan terhenti.

Saat matahari mulai condong ke barat, mereka sampai di tepi hutan lebat. Pepohonan raksasa menjulang, menutup cahaya. Jalan setapak yang sempit memaksa mereka melambat.

Edrick merasa bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu di udara—sunyi yang tidak wajar.

“Berhenti,” bisik Darius. Ia mengangkat tangannya. Semua menahan kuda.

Suara peluit tajam terdengar dari atas pepohonan. Lalu beberapa anak panah melesat, menancap di tanah di depan mereka.

Dari bayangan pepohonan, muncul sekelompok orang berpakaian hitam, wajah mereka ditutupi kain. Senjata mereka berkilat—pedang pendek, tombak, bahkan busur.

Seorang pria bertubuh besar melangkah maju. Matanya tajam, penuh percaya diri. “Nama kalian tidak penting. Yang penting adalah pedang yang kalian bawa. Serahkan Ashenlight, maka kalian mungkin hidup.”

Edrick menggenggam gagang pedangnya, jantungnya berdegup keras. Ia tahu, ini bukan sekadar perampok biasa. Cara mereka bergerak terlalu terlatih.

Darius berbisik lirih. “Mereka bukan bandit. Mereka pemburu bayaran. Garrick pasti sudah mengirim mereka lebih cepat dari yang kita kira.”

Edrick menarik pedangnya. Cahaya biru kembali menyala, membuat wajah-wajah musuh terlihat jelas di kegelapan hutan.

Pria bertubuh besar itu menyeringai. “Bagus. Biar kami lihat sendiri apa benar pedang itu memilihmu.”

 

Pria bertubuh besar itu mengangkat pedangnya dan berteriak, “Hancurkan mereka!”

Empat anak buahnya bergerak cepat, dua di sisi kiri, dua di kanan, berusaha mengepung. Suara derap kuda, ranting patah, dan desing anak panah memenuhi udara.

Edrick langsung meloncat turun dari kudanya dan maju ke depan. Ashenlight menyala terang saat ia mengayunkannya. Tebasan pertama memotong anak panah yang melesat ke arahnya, serpihannya berhamburan.

Mira mundur sambil mengeluarkan busur kecilnya. Ia menembakkan panah berturut-turut, menahan dua musuh yang mencoba mendekat. “Jangan biarkan mereka memisahkan kita!” teriaknya.

Darius menahan serangan salah satu lawan dengan pedang lebarnya. Suara besi beradu menggema. “Mereka terlatih, hati-hati!” serunya.

Selene bergerak cepat di sisi kanan. Dengan dua belati, ia menyelinap di antara pepohonan, menyerang dari samping. Satu serangan mendadak berhasil melukai bahu seorang pemburu bayaran.

Pria bertubuh besar itu—pemimpin mereka—menerjang ke arah Edrick. Tebasan pedangnya begitu kuat hingga tanah bergetar saat dia menyerang. Edrick memblokir, namun kekuatan lawan membuat tangannya tergetar.

“Ashenlight tidak pantas dipegang bocah sepertimu!” raung pria itu.

Edrick menahan serangan, lalu memutar pedangnya dan menebas rendah. Serangan itu gagal mengenai, tetapi cukup untuk membuat lawannya mundur selangkah.

Darius menangkis serangan lain dan berteriak, “Kita harus memecah formasi mereka! Jangan biarkan mereka menyerang bersamaan!”

Salah satu prajurit pengawal Calborne maju dan berhasil menjatuhkan seorang musuh, tetapi segera setelah itu sebuah tombak menembus perutnya. Dia jatuh dengan teriakan kesakitan.

Mira berlari menghampirinya, namun Selene menarik bahunya. “Jangan! Kita tidak bisa berhenti sekarang!”

“Dia sekarat!”

“Kita semua akan sekarat kalau kita lengah!”

Edrick mendengar percakapan itu sambil menangkis tebasan. Ia tahu mereka benar—setiap gangguan bisa berakibat fatal. Ia memutuskan menyerang balik. Dengan gerakan cepat, ia memotong tombak salah satu musuh, lalu menendangnya hingga jatuh.

Pemimpin pemburu bayaran itu maju lagi, serangannya lebih agresif. Dia menyerang dari atas, Edrick menahan, kemudian memutar pedang dan menebas ke samping. Cahaya biru Ashenlight menerangi pepohonan, membuat musuh lain mundur sejenak.

Tiba-tiba dua anak panah melesat ke arah Mira. Darius bereaksi cepat—ia menangkis satu anak panah dengan pedangnya, namun yang lain melukai Mira di lengan. Mira menggigit bibir, menahan rasa sakit, tetapi tetap menembakkan panah balasan yang menumbangkan penyerangnya.

Selene memanfaatkan kekacauan itu untuk menyelinap ke belakang. Ia melompat dari balik pohon dan menyerang salah satu pemanah musuh dari belakang, menjatuhkannya.

Perlahan, keunggulan jumlah pemburu bayaran mulai berkurang. Tapi pemimpin mereka masih berdiri tegak, napasnya stabil, matanya penuh amarah.

Dia menatap Ashenlight yang bersinar di tangan Edrick. “Kau tidak tahu kekuatan apa yang sedang kau mainkan, bocah. Pedang itu akan menghabisimu.”

Edrick menjawab dengan suara tegas, “Kalau itu yang diperlukan untuk menghancurkan Garrick, aku akan menanggungnya.”

Dengan teriakan keras, keduanya saling menerjang. Suara benturan logam terdengar keras, percikan api berhamburan. Mereka bertukar serangan cepat, saling menguji kekuatan. Pemimpin itu jelas lebih berpengalaman, tapi Ashenlight memberi Edrick kecepatan ekstra.

Sebuah tebasan kuat dari Edrick akhirnya mematahkan pedang lawannya. Pria itu mundur, terhuyung, lalu menatap Edrick dengan marah. Tanpa berkata-kata, ia melemparkan pisau lempar ke arah Edrick dan melarikan diri ke dalam hutan. Pisau itu hanya menggores bahu Edrick.

Darius berteriak, “Jangan kejar! Bisa jadi jebakan!”

Para pemburu bayaran yang tersisa segera melarikan diri, meninggalkan beberapa mayat di tanah.

Semua terdiam sejenak, hanya terdengar napas terengah-engah dan suara kuda yang resah.

Mira memeriksa lukanya. “Itu bukan perampok biasa. Mereka tahu apa yang mereka cari.”

Selene mengangguk. “Dan mereka tidak akan berhenti. Garrick akan mengirim lebih banyak.”

Edrick menatap Ashenlight. Cahaya pedang itu perlahan meredup lagi. Ia menggenggam gagangnya erat.

 

Rombongan berdiri di tengah hutan, napas mereka masih terengah. Bau darah bercampur tanah basah memenuhi udara. Burung-burung yang sebelumnya diam mulai kembali berkicau, seolah hutan mengabaikan kekacauan yang baru saja terjadi.

Darius memeriksa area sekitar, matanya menyapu setiap bayangan. “Mereka benar-benar terlatih. Bukan sembarang pemburu bayaran—mungkin pasukan khusus Garrick yang disewa untuk memburu kita.”

Mira merobek ujung pakaiannya untuk membalut lukanya. “Lengan ini tidak akan menghentikanku. Tapi kita perlu berhenti sebentar, aku tidak bisa menarik busur dengan baik kalau darahnya terus keluar.”

Selene mengangguk. “Kita cari tempat yang lebih aman, lebih dalam ke hutan. Kita tidak tahu apakah mereka meninggalkan penanda untuk pasukan lain.”

Edrick membantu Mira naik ke kudanya. “Kita bergerak. Tapi kita harus tetap waspada. Ini bukti Garrick tidak akan memberi kita waktu bernapas.”

Mereka menuntun kuda mereka perlahan melalui jalur sempit, suara dedaunan kering yang terinjak terdengar jelas. Beberapa ratus meter dari tempat baku hantam, Darius menemukan sebuah celah batu besar di bawah tebing kecil. Di dalamnya cukup luas untuk menampung mereka dan kuda-kuda.

Mereka membuat api kecil. Cahaya redupnya menari di dinding batu, memberi sedikit rasa aman. Mira duduk bersandar, wajahnya pucat. Selene menyiapkan ramuan herbal sederhana untuk menghentikan pendarahan.

“Kau tidak boleh terlalu sering memaksakan pedang itu, Edrick,” kata Darius, memecah keheningan. “Aku bisa melihat wajahmu setelah pertempuran—kau hampir pingsan.”

Edrick menatap Ashenlight yang tergeletak di pangkuannya. “Aku merasakannya. Seolah pedang ini menyedot tenagaku setiap kali kupakai. Tapi kalau aku tidak memakainya, kita semua mungkin sudah mati.”

Selene menoleh padanya. “Jangan sampai kau jadi budak pedang itu. Kita butuh kau tetap waras, bukan hanya pedangnya.”

Mira, meski lemah, menimpali, “Kau bukan pahlawan mitos, Edrick. Kau hanya manusia. Ingat itu.”

Edrick menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi Averland butuh lebih dari manusia biasa sekarang.”

Darius mendekat ke api, wajahnya serius. “Kita tidak bisa ke Highridge lewat jalan utama. Garrick akan menutup semua rute yang mudah dilalui. Kita harus memotong lewat lembah Serpent’s Maw. Itu berbahaya, penuh jurang dan makhluk liar, tapi lebih baik daripada disergap pasukan Garrick di jalan terbuka.”

Selene mendengus. “Serpent’s Maw? Kita bahkan tidak tahu apakah jalannya masih bisa dilalui setelah longsor tahun lalu.”

“Kita tidak punya pilihan,” jawab Darius cepat. “Kalau kita terus di jalur biasa, kita akan mati sebelum sampai.”

Edrick menatap peta. Garis yang mewakili Serpent’s Maw tampak tipis dan berkelok-kelok. “Kalau ini satu-satunya cara, kita lakukan.”

Malam semakin larut. Di luar gua, angin berdesir kencang, membuat pepohonan bergoyang. Selene menjaga pintu masuk sementara yang lain mencoba tidur.

Edrick tidak bisa memejamkan mata. Ia menatap pedang Ashenlight yang bersinar samar, seolah bernapas. Di dalam hatinya, ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya—entah tekad atau kemarahan—yang membuatnya tidak ingin berhenti.

Di kejauhan, di sisi lain hutan, pemimpin pemburu bayaran yang berhasil melarikan diri berdiri di samping kuda hitamnya. Wajahnya tergores dan berdarah, tapi matanya penuh tekad. Ia mengeluarkan kristal kecil, meniupkan kata-kata sihir, dan bayangan wajah Garrick muncul di permukaannya.

“Tuan,” katanya dengan suara serak, “bocah itu memegang Ashenlight. Dan dia bukan pemula yang mudah ditaklukkan. Kita butuh pasukan lebih besar.”

Garrick menatapnya melalui ilusi sihir itu, matanya tajam. “Jangan khawatir. Ini baru permulaan. Kita akan mengepung mereka di Highridge, dan pedang itu akan menjadi milikku. Kau hanya perlu terus mengikuti mereka.”

Pria itu mengangguk, lalu menunggang kudanya dan menghilang ke kegelapan.

Kembali di gua, api kecil mulai padam. Edrick akhirnya memejamkan mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk perjalanan esok.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!