NovelToon NovelToon

"Blade Of Ashenlight"

Warisan Yang Terbelah

Angin musim gugur berhembus dari utara, membawa dingin yang menusuk tulang. Langit Arvendral berwarna abu-abu pucat, seolah para dewa sendiri enggan menatap tanah yang penuh intrik ini. Di kaki dinding timur ibukota, seorang pemuda berjalan perlahan, matanya menatap tanah, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban.

Namanya Edrick Hale.

Ia bukan siapa-siapa di mata kebanyakan orang—hanya putra seorang prajurit tua yang mati tanpa kehormatan. Tapi darah yang mengalir di nadinya bukan darah biasa. Ia adalah darah bercabang, terikat pada dua nasib: satu warisan yang lahir dari keberanian, satu lagi dari pengkhianatan.

---

Edrick tumbuh di lorong-lorong gelap ibukota, mendengar bisikan tentang ayahnya lebih sering daripada doa. “Hale si pengecut,” begitu orang-orang menyebutnya. Ada yang bilang ayahnya lari dari pertempuran, ada pula yang berkata ia menjual rahasia kerajaan kepada musuh. Edrick sendiri hanya mengenal sosok yang mengajarinya memegang pedang kayu, memotong roti keras, dan berdiri tegak meski perut kosong.

Malam terakhir ayahnya di dunia masih terpatri jelas. Api unggun berkedip di halaman eksekusi, dan prajurit kerajaan mengikat pria tua itu di tiang kayu. Edrick masih remaja, dipaksa berdiri di antara kerumunan yang bersorak. Ayahnya tidak berteriak, tidak memohon, hanya menatap Edrick dengan mata yang dalam, penuh pesan yang tak sempat diucapkan.

Ketika lidah api melahap kayu, bau daging terbakar menyebar di udara, dan sorak-sorai rakyat mengalahkan suara erangan. Saat itu, sesuatu di dalam Edrick ikut terbakar.

Bukan hanya ayahnya yang mati—kepercayaan pada kerajaan pun ikut hangus.

---

Bertahun-tahun berlalu, dan Edrick menjadikan kenangan itu sebagai pedang tersembunyi. Ia berlatih di balik bayangan kota, mengasah kemampuannya dengan cara-cara yang tidak disukai bangsawan. Ia berteman dengan pengemis, pencuri, bahkan dengan para serdadu rendahan yang tahu harga keringat lebih dari harga gelar.

Namun satu malam, segalanya berubah.

---

Di pasar yang hampir sepi, Edrick menemukan sesuatu yang tak seharusnya jatuh ke tangannya: sebuah pedang tua, terselip di dalam peti kayu usang yang dibawa pedagang keliling dari timur. Bilahnya hitam berkilau, seolah menelan cahaya, tapi ukirannya menyimpan jejak sinar biru yang samar.

Pedagang itu menyebutnya pedang kutukan, peninggalan perang lama yang tidak laku dijual. Tapi ketika tangan Edrick menyentuh gagangnya, pedang itu bergetar, seakan mengenali darah di nadinya.

Dan dalam sekejap, ia mendengar bisikan.

“Anak warisan yang terbelah… pilihlah jalannya.”

---

Sejak malam itu, Edrick tidak lagi hanya pemuda yatim. Ia menjadi pewaris rahasia lama yang bahkan para bangsawan berusaha melupakannya. Pedang itu bernama Ashenlight, pusaka kuno yang katanya mampu membelah malam itu sendiri.

Tapi kekuatan selalu datang bersama beban. Bayangan mulai membuntutinya, makhluk hitam yang hanya muncul di sudut mata, berbisik di telinga saat dunia tertidur. Ia melihat wajah ayahnya di kegelapan, terbakar lagi dan lagi, seolah api eksekusi tak pernah padam.

---

Namun Edrick bukan satu-satunya yang mendengar bisikan itu.

Di dalam istana, para bangsawan mulai resah. Dewan kerajaan mengendus kabar bahwa “anak Hale” masih hidup, membawa sesuatu yang seharusnya terkubur. Mereka khawatir bukan karena Edrick adalah pewaris seorang prajurit terhukum, melainkan karena ia mungkin adalah pecahan dari ramalan lama: seorang anak yang bisa menyalakan api di tengah kegelapan, tapi juga bisa membuka pintu bayangan.

---

Hari itu, Edrick berdiri di tepi sungai hitam yang mengalir di bawah dinding ibukota. Angin membawa bau besi, darah, dan roti basi. Ia menggenggam Ashenlight yang kini terikat di punggung, merasakan denyut samar di dalam logamnya.

Dari kejauhan, langkah ringan terdengar. Seorang perempuan muda muncul, jubahnya sederhana, tapi matanya tajam seperti belati. Namanya Selene Arkwright, seorang tabib yang sering membantu kaum miskin, tapi punya rahasia lebih gelap daripada yang tampak.

“Kau seharusnya tidak memegang itu,” katanya pelan, matanya menatap pedang di punggung Edrick.

Edrick menoleh cepat. “Dan kau seharusnya tidak tahu tentang ini.”

Selene tersenyum samar, tapi dingin. “Pedang itu bukan hanya pusaka. Itu kunci. Dan kunci selalu membuka dua pintu—satu menuju cahaya, satu menuju kehancuran. Pertanyaannya, pintu mana yang akan kau pilih?”

---

Edrick ingin menjawab, tapi sebelum sempat, tanah di bawah mereka bergetar. Dari bayangan pepohonan, sosok-sosok hitam merangkak keluar, tubuhnya kurus tapi matanya menyala merah. Bayangan yang selama ini hanya mengintai, kini menyerang.

Edrick mencabut Ashenlight. Cahaya biru tipis mengalir di bilahnya, menyulut udara sekitar. Saat pedang itu menebas, bayangan terbelah dua, hancur jadi asap.

Selene melangkah maju, tangannya membentuk simbol aneh. Cahaya putih keluar dari telapaknya, memantul ke arah makhluk lain, membuat mereka menjerit seperti terbakar.

Untuk pertama kalinya, Edrick sadar: ia tidak sendirian.

Dan mungkin, perjalanan ini lebih besar daripada sekadar warisan seorang ayah yang mati di tiang bakar.

---

Di malam yang dingin itu, dengan sungai hitam berkilat di bawah cahaya bulan, Edrick Hale mengambil langkah pertama menuju nasib yang tidak ia minta.

Bayangan Di Lorong Kota

Malam di Arvendral selalu punya dua wajah. Di atas, istana berdiri dengan menara emas yang berkilau, dipenuhi cahaya lentera bangsawan, penuh tawa pesta, dan suara musik yang tidak pernah berhenti. Tapi di bawah, lorong-lorong sempit berbau kotoran dan besi berkarat, tempat rakyat jelata bergelut dengan lapar, dingin, dan ketakutan.

Edrick Hale lahir di bawah, dan ia tahu wajah malam yang benar-benar jujur bukan yang bercahaya, melainkan yang bersembunyi di balik kegelapan.

---

Setelah pertarungan singkat di tepi sungai hitam, ia dan Selene berjalan menembus jalan berbatu yang nyaris kosong. Ashenlight disarungkan kembali, tapi pedang itu masih berdenyut pelan di punggungnya, seakan tidak mau benar-benar tidur.

“Bayangan itu,” kata Edrick, memecah diam, “apa yang mereka inginkan?”

Selene menoleh sekilas, wajahnya disinari cahaya obor jalan. “Bukan apa yang mereka inginkan, tapi siapa. Kau. Pedang itu tidak pernah bebas. Selalu ada sesuatu yang mencarinya, sejak ia ditempa.”

“Seolah aku punya pilihan,” desis Edrick.

Selene menatapnya lama, lalu menghela napas. “Tidak ada yang benar-benar punya pilihan di kota ini. Bahkan bangsawan pun tidak. Mereka terikat oleh ambisi mereka sendiri.”

---

Lorong yang mereka lewati berakhir di sebuah dataran rendah, tempat lampu-lampu minyak menggantung seadanya. Pasar malam masih ramai dengan penjual rempah, kain usang, dan minuman murahan. Tapi di balik hiruk pikuk itu, Edrick merasakan tatapan.

Ia berhenti, tangannya refleks ke gagang pedang.

Dari bayangan salah satu tenda, seorang pria bertudung muncul. Tingginya menjulang, bahunya lebar, dan dari cara ia bergerak, Edrick tahu ia bukan rakyat biasa.

“Anak Hale,” suara pria itu berat, nyaris bergemuruh. “Kau akhirnya mengangkat pedang itu.”

Edrick menegakkan tubuh. “Siapa kau?”

Pria itu menurunkan tudungnya. Rambutnya hitam panjang, wajahnya penuh bekas luka, dan matanya tajam seperti serigala. Ia memperkenalkan diri dengan nada singkat.

“Darius Crowe. Mantan ksatria kerajaan.”

---

Selene tampak kaget. “Crowe? Nama itu sudah dihapus dari catatan istana bertahun-tahun lalu. Mereka bilang kau mati di perbatasan.”

Darius tersenyum tipis, pahit. “Mati? Mungkin. Tapi kadang, lebih aman dianggap mati daripada hidup. Setidaknya itu membuatmu tak lagi jadi ancaman.”

Ia melangkah mendekat pada Edrick, sorot matanya menusuk. “Aku melihatmu menebas bayangan. Itu bukan hal kecil. Ashenlight memilihmu. Tapi dengarkan baik-baik: pedang itu bukan sekadar pusaka. Itu beban. Dan kerajaan akan mengirim seluruh kekuatannya untuk merebutnya darimu.”

Edrick mengepalkan tangan. “Biar mereka coba. Aku sudah kehilangan segalanya. Apa lagi yang bisa mereka ambil?”

Darius menatapnya lama, lalu menggeleng pelan. “Keberanian tanpa arah hanyalah bunuh diri. Kalau kau benar-benar ingin bertahan, kau butuh sekutu. Dan sekutu pertamamu berdiri tepat di hadapanmu.”

---

Selene menatap keduanya, lalu menghela napas berat. “Sekutu, atau jebakan baru?”

Darius hanya menoleh dengan senyum tipis. “Itu pilihan kalian. Tapi percayalah—aku tahu lebih banyak tentang pedang itu daripada siapapun di istana.”

---

Malam itu, di tengah pasar yang setengah sepi, Edrick membuat keputusan: menerima Darius ke dalam lingkaran kecilnya. Sebuah langkah yang kelak akan menuntunnya ke persimpangan lebih berbahaya daripada yang bisa ia bayangkan.

---

Namun mereka bertiga tidak menyadari, di atap kayu yang rapuh, mata lain sedang mengamati.

Seorang pelayan muda, kurus, dengan pakaian usang yang dulu dipakai istana. Gadis itu—Lyra—pernah menjadi pembawa air di ruang pertemuan bangsawan, sebelum diusir tanpa alasan. Ia menyaksikan semua yang terjadi, dari munculnya Ashenlight hingga percakapan dengan Darius.

Dan ia tahu, dengan informasi itu, ia bisa memilih dua jalan: menjual rahasia itu pada bangsawan dengan harga tinggi… atau mengikuti cahaya yang baru saja menyala di malam Arvendral.

---

Ketika mereka meninggalkan pasar, kabut tipis turun dari langit. Jalanan menjadi lebih sepi, suara tawa lenyap, digantikan gonggongan anjing liar.

Edrick menoleh pada Selene. “Kau bilang semua orang di kota ini terikat oleh sesuatu. Kalau begitu, kau sendiri terikat apa?”

Selene terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar. “Aku terikat oleh dosa. Dan setiap kali aku menolong orang lain, itu hanya caraku mencoba melunasi hutang yang tak akan pernah lunas.”

Edrick menatapnya, ingin bertanya lebih jauh, tapi Darius menepuk bahunya. “Jangan terlalu dalam, anak Hale. Semua orang di kota ini punya rahasia. Termasuk kau.”

---

Malam semakin larut, tapi tidur jauh dari mereka.

Ashenlight berdenyut di punggung Edrick, seolah menolak diam. Bayangan terus mengikuti dari jauh, bisikan terus merayap di telinganya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya bukan lagi hanya seorang pemuda yatim. Ia adalah pusat pusaran—pusaran yang bisa menelan seluruh Arvendral.

Dan jauh di menara emas istana, para bangsawan duduk di meja panjang, menerima laporan terbaru dari mata-mata mereka.

“Anak Hale telah mengangkat pedang.”

Suasana hening. Gelas anggur berhenti di udara.

Lady Corvane, bangsawan tua yang matanya tajam seperti burung hering, tersenyum dingin.

“Kalau begitu, malam yang kita tunggu akhirnya tiba. Siapkan perang, tapi jangan arahkan pada bayangan. Arahkan pada pewaris yang terbelah itu.”

Api Di Balik Kabut

Kabut turun lebih tebal dari biasanya malam itu. Arvendral bagian bawah terasa seperti tenggelam dalam lautan abu putih, menelan cahaya obor dan membuat langkah kaki bergema aneh di jalanan sempit.

Edrick berjalan di antara Selene dan Darius. Ketiganya baru saja keluar dari pasar malam, dan meski banyak mata tertuju pada mereka, tidak ada satupun yang cukup berani mendekat. Pedang Ashenlight di punggung Edrick tampak menyala samar, setiap denyut cahaya biru seperti detak jantung yang keras kepala.

“Udara tidak beres,” gumam Darius, matanya menyapu lorong. “Ini bukan kabut biasa.”

Selene mengangguk pelan. “Aku merasakannya juga. Kabut ini… hidup.”

 

Mereka berhenti di perempatan jalan. Dari dalam kabut, terdengar suara—seperti desahan panjang, bercampur bisikan patah-patah.

“...Edrick…”

Edrick menegang, tangannya refleks pada gagang pedang. “Kau dengar itu?”

Darius menghunus kapaknya. “Aku dengar. Dan aku tidak suka.”

Selene mengeluarkan belatinya. “Itu bukan suara manusia. Itu suara mereka.”

Dari kabut, bentuk hitam perlahan muncul: makhluk kurus tinggi, matanya merah menyala, mulutnya terbelah terlalu lebar. Bayangan. Tapi kali ini jumlahnya lebih dari satu. Belasan, lalu puluhan, merayap keluar dari dinding kabut seperti serangga lapar.

 

Edrick menarik Ashenlight, dan pedang itu langsung menyala terang. Kilatan birunya menembus kabut, membuat bayangan berdesis dan mundur sejenak.

“Dekat denganku!” teriaknya.

Makhluk-makhluk itu melompat sekaligus. Darius mengayunkan kapaknya, memecahkan tulang hitam makhluk pertama yang berani mendekat. Selene meluncur cepat, belati di tangannya menari, menusuk di antara sendi bayangan.

Edrick menebas, dan setiap tebasan Ashenlight membakar tubuh lawan dengan api biru, membuat kabut sejenak terbelah. Tapi jumlah mereka tidak berkurang. Untuk setiap bayangan yang jatuh, dua lagi muncul dari balik kabut.

Lorong kota berubah menjadi neraka kecil—teriakan, darah, dan cahaya biru yang beradu dengan gelap.

 

Dalam kekacauan itu, Ashenlight mulai bergetar lebih keras, seolah haus. Edrick merasakan aliran panas mengalir dari gagang pedang ke lengannya, naik ke dadanya, lalu ke matanya. Pandangannya berubah: kabut bukan lagi putih, melainkan penuh urat hitam yang berdenyut, seperti jaringan makhluk hidup.

Ia menjerit, menebas dengan kekuatan yang bukan sepenuhnya miliknya. Pedang itu membelah tiga bayangan sekaligus, lalu lima, lalu sepuluh. Api biru membakar lorong, menelan bahkan batu dan kayu.

Selene berteriak. “Edrick, hentikan! Kau membakar kota sendiri!”

Tapi ia nyaris tak mendengar. Suara bisikan di kabut makin keras, bercampur dengan degup darah di telinganya. Ashenlight menginginkan lebih, selalu lebih.

 

Tepukan keras menghantam bahunya. Darius, dengan sorot mata dingin, menahan lengannya.

“Lihat aku, anak Hale! Kau bukan pedang itu! Kau manusia, bukan obor liar!”

Edrick terhuyung, napasnya tersengal. Api biru padam sedikit, cukup untuk membuatnya sadar. Ia melihat sekeliling: rumah-rumah terbakar, rakyat kota bawah berlarian panik, sebagian terjebak di antara api dan bayangan.

Rasa bersalah menghantam dadanya. Ia hampir membunuh orang-orang yang seharusnya ia lindungi.

Dengan sisa tenaga, ia menundukkan pedang, memaksa api biru kembali ke bilah. Kabut berguncang, lalu pecah, menghilangkan makhluk-makhluk itu bersama bisikan mereka.

 

Lorong hancur, dan bau daging terbakar memenuhi udara. Orang-orang kota menatap Edrick dengan wajah pucat. Beberapa bersyukur ia menyelamatkan mereka dari bayangan, tapi lebih banyak yang ngeri pada api biru yang nyaris membakar mereka hidup-hidup.

Seorang lelaki tua berteriak, “Kau sama berbahayanya dengan makhluk itu!”

Wanita muda menggenggam anaknya, mundur ketakutan. “Api biru… itu kutukan!”

Edrick menunduk, tak sanggup membalas.

Darius menepuk bahunya. “Ini awalnya. Orang tidak akan melihatmu sebagai pahlawan, tapi sebagai ancaman. Itulah harga Ashenlight.”

Selene berdiri di sisinya, wajahnya muram. “Dan inilah alasan aku memperingatkanmu. Pedang itu tidak akan pernah menjadi sekutu tanpa syarat. Ia selalu menuntut sesuatu sebagai ganti.”

 

Di antara kerumunan yang kacau, satu pasang mata memperhatikan tanpa bersuara. Lyra, gadis kurus pembawa air yang kemarin mengintai, kini melihat lebih jelas dari dekat.

Ia melihat bukan hanya kekuatan Ashenlight, tapi juga ketakutan orang-orang. Dan ia tahu: rahasia ini, jika disampaikan pada bangsawan, akan memberinya emas cukup untuk hidup seumur hidup.

Tapi di hatinya, ada percikan lain. Percikan kecil, sama birunya dengan api di pedang itu.

 

Ketika api padam dan kabut tersapu angin, Edrick, Selene, dan Darius berjalan menjauh dari reruntuhan. Tak ada kata-kata lagi di antara mereka, hanya napas berat dan beban di bahu masing-masing.

Darius akhirnya membuka suara. “Kau sudah melihat sendiri. Pedang itu bisa membunuh musuhmu, tapi juga temanmu. Pilihannya sederhana: kendalikan, atau mati bersamanya.”

Selene menambahkan, lirih. “Atau biarkan orang lain mengendalikanmu. Bangsawan akan menawarkan perlindungan. Tapi kau akan jadi boneka.”

Edrick menggenggam gagang Ashenlight lebih erat. Dalam diam, ia tahu: malam ini ia telah menyalakan api yang tidak bisa dipadamkan. Api itu akan membakar jalan hidupnya, dan mungkin seluruh kota.

 

Di menara emas jauh di atas, laporan sudah sampai ke meja para bangsawan.

“Bayangan menyerang kota bawah.”

“Obor biru melawan mereka, tapi membakar rakyatnya sendiri.”

Lady Corvane kembali tersenyum tipis. “Sempurna. Biarkan rakyat takut. Api itu akan membakar pahlawannya sendiri sebelum kita perlu mengangkat pedang.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!