NovelToon NovelToon

Mess Up! Lover!

Prolog

Nomor induk mahasiswa kami hanya berbeda satu angka. Karena itu, setiap ujian akhir bangku ujian selalu ditentukan berdasarkan absen. Aku dan dia pun selalu duduk bersebelahan. Ujian akhir semester 3 mungkin jadi titik awal aku menaruh perasaan padanya. Rasa penasaran berubah menjadi ketertarikan, lalu tanpa sadar menjadi rasa suka.

Selama semester 4, aku hanya berani memperhatikannya dari jauh. Tidak pernah mengajaknya bicara, hanya diam sambil berharap. Tidak terasa, sudah masuk semester 5.

Kata orang, di dunia perkuliahan tidak ada kubu pergaulan. Tapi itu tidak benar. Entah sejak kapan aku sudah masuk ke golongan anak pintar yang aktif dan mudah bersosialisasi. Sementara itu, ada kelompok yang hanya bergaul dengan orang yang sama setiap hari. Lya, dia beda lagi—penyendiri, sulit didekati.

Dia tidak banyak bicara. Duduk di tengah kelas, tidak terlalu depan atau belakang. Kalau diajak mengobrol, jawabnya selalu singkat sampai orang akhirnya menyerah. Aku sering memperhatikan orang-orang yang suka sendiri; biasanya mereka tampak bebas dan tenang. Tapi Lya tidak. Wajahnya seperti menyimpan beban.

Anak itu berpenampilan sederhana: rambut hitam panjang, terkadang rapi terkadang berantakan. Selalu mengenakan outer kemeja kusut, inner berkerah tinggi hitam atau putih, celana panjang kain longgar, dan tas jinjing. Santai, khas anak kampus. Tapi di dirinya ada sesuatu yang suram, seolah menyimpan dunia yang gelap dan sunyi.

Teman-teman sekelas segan mendekatinya. Tapi aku, justru makin penasaran. Kadang, saat seseorang berhenti mencoba bicara dengannya, ekspresinya tampak kecewa. Dari hal-hal kecil seperti itu, perhatianku padanya tumbuh semakin dalam. Mungkin terdengar seperti penguntit, tapi aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya Lya.

Apakah dia kesepian? Ingin punya seseorang untuk diajak bicara? Aku sering membayangkan—kalau aku mendekatinya, apa reaksi yang akan kau tunjukkan? Akan senang? Gugup? Atau malah menjauh?

Jika aku sampai bisa memilikimu, mungkin aku akan menangis bahagia. Kedengarannya berlebihan, tapi kali ini aku benar-benar ingin mencintai seseorang dengan tulus. Selama ini aku hanya menerima cinta, bukan memperjuangkannya. Dulu aku pernah berpacaran jarak jauh, dan hubungan itu berakhir karena aku tidak cukup perhatian. Aku sempat merasa sedih karena kupikir aku mencintainya, tapi ternyata aku hanya merasa bersalah.

Namun perasaanku pada Lya berbeda. Aku tidak pernah sebegini tergila-gila memperhatikan seseorang. Aku tidak peduli jika orang lain sadar aku sering meliriknya—saat ia masuk kelas, saat belajar, bahkan saat dijemput pria berparas cantik yang terlihat dewasa. Sejak itu aku mulai cemburu, meski Lya bukan milikku.

Aku ingin tahu siapa pria itu. Mungkin keluarganya? Aku tidak mau menyimpulkan sendiri dan menyesal karena menahan perasaan. Karena Lya satu-satunya yang membuatku kehilangan kendali, meski biasanya aku selalu tenang.

Sampai akhirnya, di tengah semester 5, aku seperti kerasukan. Saat Lya berjalan sendirian sepulang kuliah dan tidak ada orang di sekitar, aku mengejarnya. Dengan spontan, aku menggenggam tangannya untuk menghentikannya.

”Aku menyukaimu! Jadilah pacarku, Lya!” Segera kuserukan pernyataan itu.

Wajah Lya terkejut bukan karena pernyataanku tetapi karena sentuhanku yang tiba-tiba. Dia segera menepisnya dan menatap tajam padaku.

”Kau gila? Memangnya kita saling kenal?” itulah yang dia katakan sambil melemparkan ekspresi tidak senang. Hatiku seketika berdenyut, sakit.

Reaksi yang selama ini kubayangkan hancur lebur, tidak ada dari semuanya yang menjadi kenyataan. Sekarang bahkan aku menerima sedikit makian dan tatapan tidak senang walau itu juga salahku.

”Maaf... Aku terburu-buru...” Payahnya aku malah terbata ”Aku selama ini menyukaimu... mungkin sudah sejak semester 3... jadi... aku ingin mengatakannya... Kau tahu? Semester depan kita semua akan sulit bertemu karena ada magang dan lain-lain...”

Aku menunduk, wajahku panas sampai sepertinya air mata hampir keluar. Mendapatkan keheningan dari Lya membuatku bertambah gugup. Beberapa detik, aku mencoba mengangkat pandanganku kembali padanya.

”Maaf, aku tidak bisa jadi pacarmu dan aku tidak ingin mengenalmu juga,” kata Lya tegas.

Sebelumnya aku mengatakan akan menangis terharu jika diterima, tapi aku tidak menyangka akan langsung menangis saat itu juga setelah justru mendengar penolakannya. Menyesal, sedih, dan malu menjadi satu dalam diriku. Pandanganku buram karena tumpukan air mata. Tidak mau terlihat lebih payah lagi, aku hendak berbalik dan pergi meninggalkan Lya setelah melontarkan kata maaf, tapi kejadian selanjutnya sukses menelan air mataku.

”Tunggu!” Kini giliran Lya yang menarik tanganku, membalikkan badanku hingga kembali menatapnya. Yang membuat mataku melotot, dua tangannya menghimpit pipiku dan mengusap air mataku. ”Aku berubah pikiran! Aku akan pacaran denganmu, kumohon?” Perkataan selanjutnya membuatku bingung sehingga aku semakin tidak ingin menangis.

Aku, biasanya dipanggil Ben, anak lelaki berumur 20 tahun yang saat ini sedang menjalani perkuliahan semester 5 di jurusan hubungan internasional di kampus ternama. Seperti mahasiswa pada umumnya, pasti akan ada yang menjalin kisah cinta indah yang didambakan ada juga yang tidak. Aku termasuk orang yang menjalani kisah cinta masa kuliah itu, hanya saja ternyata kisah cintaku sedikit lebih rumit dan pahit dibanding yang kuimpikan. Saat itu aku tidak tahu, kalau aku akan mendapatkan pelajaran hidup lewat perempuan bernama Lya karena selama ini telah mempermainkan cinta yang diberikan padaku selama ini.

”Hueeeeeee! Terimakasih, Lyaaa!” aku di saat itu benar-benar menangis semakin heboh meski Lya sudah sengaja mengusap air mataku.

.

.

.

To Be Continue

Bagian 1 Dinding yang Tinggi

Aku melangkah ke kampus hari ini dengan perasaan yang sangat gembira. Langkahku mungkin sedikit melompat-lompat seperti sedang berjalan di bumi tanpa gravitasi, terlihat seperti orang bodoh di mata orang lain, akan tetapi aku tidak berniat untuk menyembunyikan mood indahku. Bahkan temanku yang kini sedang berjalan bersamaku sudah memasang wajah muak melihat tingkahku yang menurutnya seperti diriku menunggu ditanya ’ada apa?’. Namun tanpa dirinya bertanya pun aku sendiri tidak tahan untuk tidak bercerita.

”Aku berpacaran dengan seseorang sekarang!” infoku dengan suara lantang sukses mengubah ekspresi wajahnya yang semula muak menjadi melotot heran.

”Tiba-tiba? Kukira kau tidak tertarik pacaran?” tanyanya.

Sebelumnya, akan kuperkenalkan terlebih dahulu temanku yang termasuk dalam golongan manusia gaul di perkuliahan ini. Namanya adalah Eric. Ukuran kepalanya kecil, matanya besar bulat meski bulu matanya tidak lentik tapi tetap terkesan manis, hidungnya mancung meski tidak semancung diriku, bibir bawahnya sedikit tebal, dan dia memiliki rambut coklat yang terkadang akan ia tata membelah tengah jika masa perkuliahan ini sedang damai—tidak banyak tugas.

Jika kami mulai memiliki banyak tugas, di situlah Eric akan menjadi pria dengan kesan badboy yang memiliki lingkaran mata tebal, rambut yang tersisir seadanya, koyo yang menempel di mana pun pada bagian tubuhnya seperti habis bertarung di jalanan, dan bau rokok bercampur parfum yang tidak pernah absen dari dirinya.

Dan saat ini penampilan pertama, yang memancarkan anak kampus baik-baiklah yang sedang ia kenakan.

”Ya! Anak ini sudah kutaksir sejak awal semester! Meski sempat ditolak, tapi beberapa detik kemudian dia menerimaku, hahahahaha!” jelasku dengan enteng sambil sedikit tertawa sendiri.

”Tunggu... Apa tadi? Ditolak lalu apa?” Sepertinya kabar dariku begitu cepat untuk ia cerna di kepala kecilnya. Wajahnya masih bingung seperti ada puzzle yang belum tersusun. Baru aku mau menjelaskan ulang, Eric sudah dengan cepat berhasil menyerap kalimatku, ”Cerita konyol apa itu? Kenapa orang itu bisa berubah pikiran secepat itu untuk menerimamu? Kau memacari orang aneh, kah?” nada bicaranya sangat judgemental.

Perasaan senangku yang sejak tadi masih menyelimuti seketika menghilang tergantikan dengan rasa gugup. Alasannya tidak mungkin kuberitahukan bahwa mungkin saja Lya menerimaku karena melihatku menangis. Memalukan!

”Aku membujuknya! Mungkin dia tidak punya pilihan lain! Yah, apapun alasannya yang terpenting, kan hasil akhirnya!” jawabku sedikit panik tapi sepertinya Eric masih tidak puas dengan jawabanku.

”Jadi... Siapa orang ini?” tanya Eric meski biasanya dia bukan orang yang ingin tahu seperti ini. Entah apa yang membuatnya begitu penasaran, tapi aku memang berharap menarik rasa penasaran seperti ini sejak tadi.

”Aku tidak tahu boleh memberitahunya atau tidak... melihat sifatnya, sepertinya dia tipe cewek yang ingin hubungannya tetap dirahasiakan,” kataku.

Eric kesal ”Lalu untuk apa kau mengumumkannya jika tidak ingin mengatakan hal itu? Sialan.”

”Habis... sebisa mungkin aku ingin menjaga perasaannya! Siapa tahu dia tidak setuju untuk diumumkan tentang hubungan kami!”

”Boleh, kok.”

Aku terdiam sejenak mendengar suara manis yang terdengar sedikit tinggi itu. Dengan wajah sumringah aku menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakangku, bersamaan dengan Eric yang reflek menoleh sebagai reaksi terkejutnya. Di sana sudah berdiri pacarku, Lya yang hari ini terlihat sangat manis.

Rambutnya lebih rapi dibanding biasanya, poninya terbelah tengah, memakai kemeja putih yang diikat pada bagian bawahnya, dalaman turtle neck hitam, begitu pula celana panjangnya yang tampak pas dikaki memperlihatkan bentuk kakinya yang ternyata cantik! Aku baru mengetahuinya karena selama ini dia hanya memakai celana yang besar.

”Lya? Kau pacaran dengan Lya?” Eric bertanya bingung bercampur rasa tidak percaya. ”Aku tidak pernah melihat kalian dekat? Bagaimana bisa pacaran? Kalian diam-diam pendekatan lewat chat?” Ia pun mulai membuat skenario sederhana untuk menjawab pertanyaan pertamanya sendiri.

”Tidak pernah!” jawabku tegas ”Aku terlalu gugup untuk melakukan pendekatan terlebih dulu sampai tidak sengaja menembaknya kemarin. Lya menerimaku setelah itu, ya, kan Lya!” dengan suara yang antusias tubuhku juga reflek merangkul tubuh Lya yang hanya setinggi pundakku itu.

”Hahaha... benar...” Namun saat itu juga Lya melepaskan rangkulanku. Aku ingin merasa kecewa tapi dengan cepat perasaan itu terlupakan karena Lya, entah sejak kapan, membawa kepalaku yang tinggi itu bertemu dengan kepalanya. Aku dapat melihat wajahnya sangat dekat dan aroma tubuhnya yang ringan seperti aroma pewangi pakaian. Hanya butuh lima detik, wajahku sudah memerah sampai ke telinga seperti kepiting yang selesai direbus.

Lya melirik jahil padaku ”Reaksinya yang seperti ini yang membuatku tanpa sadar menerima pernyataan nya,” jelas Lya dengan senyum miring sebelum melepaskan kepalaku dan membuatku kembali berdiri tegak.

Eric hanya dapat memasang wajah kesal, ”Benarkah semudah itu? Apa-apaan...” Sepertinya dia masih tidak bisa menerima alasan yang aku dan Lya lontarkan.

”Sudah, ya. Kelas kita pagi ini berbeda. Aku akan ke lantai dua.” Lya memilih untuk pamit lebih dulu. Padahal tangga untuk naik ke lantai dua berada di arah agak berlawanan dari posisiku dan Eric, itu berarti Lya sengaja menghampiriku untuk menyapaku, bukan? Lya ternyata begitu perhatian di luar kesannya yang cuek. Dari obrolan singkat barusan, ia juga seperti bukan tipe yang canggung seperti seorang introvert yang biasa kutemui.

”Ah, Lya! Hari ini kelasmu ada berapa?” tanyaku sebelum Lya melangkah pergi.

”Hmm... sepertinya tiga? Dan itu berturut-turut dari kelas ini...” jawabnya dengan tampang muak membayangkan jadwal kuliahnya. Itu tampak lucu, dia ekspresif!

Wajahku sumringah. Aku dapat merasakan warna merah dipipiku sepertinya belum menghilang,. ”Kelasku hanya pagi ini, aku akan menunggumu selesai! Ayo kita jalan siang ini, bagaimana?” kemudian aku bertanya dengan rasa percaya diri sebagai pacar bahwa ajakanku akan 100% diterima olehnya.

Namun yang kudapatkan adalah Lya yang tampak berpikir, seperti sedang mengingat sesuatu dan di detik berikutnya ia melemparkan wajah canggung padaku. ”Maaf, tapi hari ini aku benar-benar tidak bisa... Aku sudah janji dengan seseorang?” Selain membuatku kecewa, kalimat penolakan Lya juga membuatku cemas.

”Seseorang... itu siapa?” tanyaku yang sudah berpikiran kacau mengingat satu orang yang terlintas di kepala.

Lya kembali diam. Jantungku berdegup kencang menanti sesuatu yang akan keluar dari bibir tipisnya. Kemudian ia tersenyum, meski di balik lengkung bibir itu samar-samar tampak bayangan rasa tidak nyaman. Senyumannya manis, tapi di sisi lain entah kenapa justru membuatku ingin tahu kenapa ia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan sederhana dariku itu?

Ia menatapku dengan ekspresi yang sulit kuterjemahkan, lalu perlahan mengusap kepalaku. Untuk melakukan itu, ia bahkan harus sedikit berjinjit. Gerakannya sederhana, tapi cukup membuat dadaku terasa hangat. Apa dia sedang berusaha menenangkanku? Memangnya bagaimana mungkin dia tahu kalau tadi aku sempat diliputi kecemasan?

”Kusebutkan pun kau tidak akan kenal, tapi kau tidak perlu memasang wajah begitu.” Ia mengatakan hal tersebut seolah memang tahu apa yang kupikirkan atau mungkin memang wajahku yang mudah terbaca, aku tidak tahu. Yang aku tahu jawaban Lya yang diliputi banyak rahasia itu justru semakin membuatku gusar.

Saat ia mulai memperlihatkan punggungnya padaku dan melangkah menjauh tanpa sedikit pun menoleh, perasaan aneh merambati hatiku. Ada firasat yang sulit kujelaskan—meski Lya tahu kami kini terikat dalam sebuah hubungan, ia tetap menjaga jarak. Itu wajar, tentu saja. Kami bahkan belum benar-benar saling mengenal. Hubungan ini baru sehari dimulai, dan sebelumnya ia bahkan sempat menolak pernyataanku dengan tegas.

Namun, aku ingin tetap optimis dan berpikir waktu akan membawa kami lebih dekat. Pelan-pelan tapi pasti kami akan belajar membuka hati, saling berbagi, dan akhirnya tak lagi menyimpan rahasia. Aku yakin, akan ada hari di mana aku dan Lya benar-benar berjalan berdampingan!

***

”Oh.. Wow...” itu adalah suara Eric yang terlihat takjub setelah melihat sesuatu yang terjadi di depan matanya dan juga mataku. Kami berdua sama-sama membeku menghadapi skenario yang sedang terjadi secara kebetulan ketika kami baru menyelesaikan mata kuliah wajib tepat sore hari dan hendak pulang.

Di parkiran mobil kampus, kami melihat Lya dan seorang pria tampak sedang asyik bercengkerama. Pria tinggi yang berotot itu bersandar di mobilnya sedangkan Lya berdiri di depannya. Meski dari jarak yang cukup jauh, aku tahu pria itu bukan pria biasa. Auranya seperti pria matang yang mapan, parasnya cantik dengan kulit yang tampak pucat, dan semakin kontras karena surai hitam dan cara berpakaiannya yang seperti model. Mata semua orang yang lewat, tidak peduli gender, akan menyempatkan diri untuk menatap pria itu.

”Apa beberapa waktu lalu dia menolak ajakanmu dan bilang ada janji dengan teman itu... pria itu?” Eric tanpa sadar menyiram api dalam perasaan negatif yang sudah setengah menguasai diriku.

”Aku tahu dia...” lirihku.

”Kau tahu? Siapanya?” Eric segera bertanya.

”Tidak tahu, sih... Aku hanya tahu dia terkadang menjemput Lya di kampus...” jelasku abu-abu. Sepertinya Eric membaca ekspresiku yang sudah gelap sehingga ia tidak berani mengatakan apa pun lagi kecuali beberapa bongkah kalimat.

”Kau tidak menghampirinya? Menyapa mereka? Bagaimana pun Lya itu pacarmu...” ujar Eric ragu-ragu.

Aku menggigit bibir bawahku. Tanpa sadar mengepalkan tangan sampai kuku memutih. Jantungku berdebar dan darahku mendidih hingga rasanya siap meledak kapan saja dari kepala.

Sudah seminggu berlalu sejak pagi itu, ketika Lya menolak ajakanku dengan alasan ada janji bersama temannya. Awalnya aku sempat kecewa, tapi sekali lagi aku berpikir bahwa itu hal yang wajar. Hubungan kami baru saja dimulai— masih penuh canggung.

Namun, semakin hari aku semakin menyadari sesuatu yang sejak minggu lalu pun sempat kuragukan. Lya memang terlihat perhatian. Ia tersenyum setiap kali pandangan kami bertemu tanpa sengaja. Pesanku selalu dibalas dengan cepat. Ia pun tidak pernah menghindar ketika kuajak berbincang di kampus.

Tapi, semua itu terasa seperti lapisan tipis di permukaan saja. Begitu aku mencoba melangkah lebih dekat, seolah ada jarak yang sengaja ia ciptakan. Setiap langkah majuku membuatnya mundur selangkah, seakan ada dinding tak kasat mata yang memisahkan kami. Dan kini aku tahu—dinding itu bukanlah sesuatu yang baru. Dinding itu sudah ada sejak awal, kokoh dan tinggi.

Lya hanya memilih untuk tetap berdiri di baliknya. Tidak ingin terlihat. Tidak ingin benar-benar dikenal. Tidak ingin ada yang menembus batas yang dengan hati-hati ia bangun sendiri.

Jadi untuk apa Lya menerima pernyataanku? Karena aku menangis? Simpati? Rasa bersalah? Aku tidak masalah dengan semua alasan itu, tapi aku juga tidak masalah jika dia tetap menolakku dari pada membuatku overthinking selama seminggu.

Dan hari ini, apa yang kudapatkan? Lya berbincang dengan wajah ceria dan tawa lepas yang tidak ia tunjukan padaku dengan pria lain. Melengkapi rasa kacau dalam kepalaku yang sudah menumpuk selama tujuh hari.

Mungkin karena didukung cuaca yang sangat panas hari ini, wajahku semakin panas dan sakit kepala yang kurasakan sejak tadi semakin kontras. Aku tidak berencana untuk mengganggu Lya saat itu, meski penasaran setengah mati, aku masih tidak berani untuk melewati batasannya.

Benar. Bagaimana pun, aku tidak boleh cepat menyimpulkan hanya dalam waktu seminggu—

”Ben! Kau baik-baik saja?!”

Aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Begitu pandanganku sedikit jernih, aku melihat wajah Lya sudah sejajar dengan wajahku. Aku bisa merasakan sentuhannya di keningku. Tanganku pun tanpa sadar sudah memakai tubuh kecilnya untuk topangan diriku yang hampir ambruk ke depan. Sepertinya aku terkena serangan panas, didukung dengan jam tidurku yang kacau belakangan ini, tubuhku semakin tidak berdaya.

”Kau sakit, ya? Hei, apa kau bisa pulang sendiri dalam kondisi begini?” Lya bertanya dengan penuh rasa cemas. Ya, aku tidak salah. Itu dia yang sedang merasa cemas.

Kenapa?

Padahal selama ini dia selalu terkesan menjaga jarak hatinya dariku, tapi dia selalu begini. Meski ingin kuanggap rasa simpati, tapi perhatiannya selalu terasa tulus, seperti ia benar-benar membalas perasaanku.

”Leo! Bisakah kami menumpang di mobilmu? Kita ke rumah sakit—

Aku menghentikannya sebelum sempat melepasku, dengan memeluknya erat. Tubuhku lemah, napasku masih tersengal, keringat membasahi kulitku, tapi aku tetap berusaha menyalurkan seluruh tenagaku hanya untuk mempertahankan sentuhannya sedikit lebih lama.

Aku tidak peduli pada sekitar. Tidak peduli pada seruan Eric yang terdengar panik. Di detik itu, dalam pikiranku yang kacau, hanya ada satu keinginan yang begitu kuat—untuk menjadikan Lya milikku seorang. Untuk memonopoli kehangatannya, meski hanya sekejap.

”Aku... Sangat menyukaimu... Tidak... aku mencintaimu, Lya...” suaraku terperangah, aku dapat merasakannya nafasku sangat panas di pundak Lya ”Aku bersungguh-sungguh... jadi cepatlah...” kesadaranku semakin samar, pandanganku naik turun ”kumohon... terbukalah padaku...”

Setelah berhasil melontarkan perasaanku dengan suara yang ringkih, kesadaranku seakan terputus. Gelap menelanku, dan aku tak lagi mampu mengingat apa pun.

Namun, tak lama kemudian, samar-samar aku mulai merasakan sesuatu. Hawa dingin menyapu kulitku, membuatku sedikit menggigil. Ada aroma pelembut pakaian, berpadu hangat dengan wangi matahari—aroma yang berasal dari sesuatu yang kini menjadi sandaranku. Bersamaan dengan itu, terdengar suara perempuan, lirih dan jauh, seakan berusaha menembus kabut kesadaranku yang masih tipis.

“Sepertinya aku jadi menyukainya...”

Aku tidak tahu, apakah itu hanya mimpi atau kenyataan. Kesadaranku masih setengah tertinggal, tubuhku lemas seakan enggan bergerak, aku tidak bisa menyerapi kalimat itu bahkan mendengarkan lebih jauh. Kondisiku memang tak separah sebelumnya, tapi rasa kantuk datang menggulung, menyeretku semakin jauh. Terlebih setelah mendengar kalimat itu—kalimat menyenangkan yang kuharap ditujukan padaku—aku semakin tidak ingin membuka mata. Aku ingin tetap terjebak di dalamnya, selamanya.

.

.

.

To Be Continue

Bagian 2 Teman Masa Kecil

Aku membuka kelopak mataku hanya untuk menemui langit-langit ruangan yang asing. Kepalaku terasa ringan seakan melayang, padahal aku tahu sedang berada di tempat tidur saat ini. Meski terdapat sisa-sisa keringat, tapi tubuhku tidak terasa panas seperti beberapa waktu lalu. Kesimpulannya, aku pasti sudah membaik.

”Kau baik-baik saja?” Aku sedikit tersentak, bukan karena pertanyaan barusan, tapi karena sosok yang ternyata sudah duduk di sisi tempat tidurku sejak tadi. Itu Lya. Masih sama seperti terakhir kali kuingat sebelum pingsan, rautnya memancarkan kecemasan.

Aku hanya mengangguk sekali menjawab pertanyaannya untuk mendapatkan balasan berupa senyuman tipis dan belaian lembut di suraiku. Wajah dia yang semula cemas kini tampak mencair, tergantikan dengan rasa lega.

”Maaf, aku tidak tahu kau sakit... seharusnya aku menyadarinya saat kita bertemu di kelas sebelumnya.” Yang Lya maksud adalah kelas mata kuliah wajib. Kami memang sempat bertukar sapa seperti biasa saat itu.

”Apa itu bentuk perhatianmu?” Mendengar permintaan maafnya dan tingkahnya, kembali mengingatkanku pada rasa gundah yang selama ini menghantuiku. Setelah itu, tanpa memberikan Lya kesempatan untuk menjelaskan apapun, mulutku malah terus melontarkan protes.

”Aku tidak mengerti dirimu, Lya...Aku tahu akan terdengar aneh karena mengatakan ini padahal kita tidak pernah benar-benar saling kenal sebelumnya.”

”Kau pun awalnya memang menolakku. Aku tidak peduli alasanmu langsung berubah pikiran dan ingin jadi pacarku, karena kasihan pun tidak masalah... Meski kau tidak menyukaiku, setidaknya aku ingin mengenalmu agar bisa membuatmu kelak menyukaiku.”

”Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Terlalu sulit. Kau memang bersikap berbeda, diluar dugaan kau tidak lupa bahwa kita pacaran, kau tidak ragu menyentuhku, tidak ragu mendekatiku, tapi ketika aku yang mencoba mendekatimu, kau malah menjauh seperti tidak ingin dikenal.”

”Kenapa?”

Semua kalimat panjang dariku diakhiri dengan satu pertanyaan. Aku yang semula masih terbaring kini mengambil posisi duduk, menatap mata lawan bicaraku yang ekspresinya masih tidak terbaca. Aku menjadi tidak sabaran melihat Lya yang masih diam, sehingga aku menambahkan beberapa kata. ”Jika memang kamu lebih nyaman sendiri, tidak usah memaksakan untuk terus menjalin hubungan ini... Aku lebih baik menangis setelah ditolak dibanding seperti ini—

”Tidak!” Lya memotong kalimatku sambil menggenggam tanganku di atas selimut yang telah terkepal. Aku menjadi penasaran dengan apa yang akan dia jelaskan setelah melihat wajah tak terbaca itu kini menunjukan kepanikan.

”Pertama-tama, aku minta maaf telah membuatmu berpikir seperti itu...” Lya tampak bingung, seperti tidak dapat menyusun kalimat yang seharusnya ia ungkapkan.

Melihat itu, aku yang kini menggenggam tangan Lya. Dengan hati-hati, sambil sesekali ibu jariku memberikan sapuan lembut di punggung tangannya. ”Tidak apa-apa... Pelan-pelan saja,” ucapku berharap dapat menenangkannya.

Lya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, tampak siap untuk menjelaskan semuanya. ”Dan aku ingin menegaskan, aku menerimamu bukan karena kasihan,” jelasnya.

Ben mengangkat alisnya, ”Lalu?”

”Mungkin aku juga tanpa sadar terpikat melihatmu menangis. Kau manis sekali saat itu...” mendengar jawaban Lya yang sedikit malu-malu ia katakan membuatku terdiam. Tanpa sempat meresapi, Lya kembali melanjutkan penjelasannya.

”Asal kau tahu, aku tidak pernah punya pacar sebelumnya. Selain tidak laku, aku tidak pernah benar-benar tertarik dengan seseorang, tapi bukan berarti aku tidak berniat untuk menjalin hubungan. Hanya saja aku mencari orang yang tepat.”

”Saat mendapatkan pernyataanmu, aku memang sempat tidak tertarik. Kita tidak pernah saling mengobrol sebelumnya. Aku juga canggung dengan orang lain terutama dengan laki-laki yang baru dikenal, makanya mungkin aku terkesan membencimu saat itu.”

Aku takjub mengetahui ternyata Lya sadar akan sifatnya saat itu. Ternyata bukan karena Lya tidak suka padaku, ia hanya canggung? Alasan itu saja sudah cukup imut untukku! Meski penjelasan Lya baru setengahnya, aku merasa sudah dapat melupakan rasa cemasku yang menumpuk! Namun aku harus menahannya agar dapat menikmati sosok tergugup Lya yang baru pertama kalinya kulihat!

”Dan setelah menerima pernyataan cintamu, aku berpikir harus memperlakukanmu dengan baik. Aku berusaha keras memberimu perhatian layaknya seorang pacar. Kukira sapaan dan obrolan sudah cukup, tapi ternyata malah membuatmu seperti ini... Maafkan aku.”

Sepertinya penjelasan Lya selesai. Dapat kulihat wajahnya merona merah dan tampak tegang. Kulirik ke arah tangannya, bulu kuduknya berdiri. Di detik itu, sepertinya aku sedikit mengerti sikap Lya.

”Kamu sepertinya tidak masalah jika memberikan sesuatu pada orang tapi akan merasa malu jika menerima sesuatu. Apa aku benar, Lya?” godaku sambil mendekatkan wajah kami berdua. Kini dua pasang mata kami berhadapan secara sejajar. Senyum miring kupamerkan dengan maksud menggodanya, berharap Lya semakin gelagapan.

”Sepertinya begitu,” jawabnya tidak ragu. Reaksinya diluar perkiraanku tapi aku tidak begitu peduli. Aku telah merasa cukup puas dengan berhasil menebak satu hal dari diri Lya. Aku tertawa kecil sambil menjauhkan wajahku, akan tetapi Lya mencegahnya dengan mengalungkan satu lengan kecilnya di leher belakangku.

Kini jarak wajah kami semakin dekat dibanding tadi, kening kami sampai saling mengetuk. Hidung kami hampir bersentuhan seperti akan berciuman. Satu tindakan darinya yang diluar dugaan, ditambah kini giliran Lya yang melemparkan senyum jahil sehingga sukses membuatku salah tingkah.

”Makanya, biarkan aku yang memberimu kasih sayang seperti ini. Kau hanya perlu menerimanya. Jangan ragu untuk bermanja padaku, ya?” Wajahku memerah. Dua sudut bibir Lya yang melengkung tinggi membuat dirinya tampak cantik. Sepertinya aku memang tidak bisa benar-benar menebak sikap Lya. Hahahahaha.

Melihat suasana di antara kami yang mulai mencair, aku pun mengambil kesempatan untuk meminta lebih pada Lya. ”Kalau begitu, Lya... Selain mengobrol dan bertukar sapa di kampus, bisakah kita lebih banyak menghabiskan waktu berdua? Ada banyak yang ingin kulakukan denganmu.” Dengan sedikit memelas dan bersikap imut, aku mengungkapkan keinginanku.

”Tentu saja. Sekarang aku akan coba untuk lebih memprioritaskanmu Ben.” Kini bukan penolakan yang kuterima. Membuat wajahku dengan mudah memancarkan kebahagiaan. Tidak cukup sampai disitu, aku kembali mengatakan hal yang selama seminggu sudah menumpuk di kepalaku.

”Kau tahu, Lya... Satu hal yang membuatku kepikiran... tentang teman yang kau temui ketika menolak ajakan kencanku terakhir kali... Meski aku tidak mengenalnya, aku tetap ingin tahu.” Meski suasana terlihat bagus, tapi aku tetap merasa tidak enak ketika menaikan topik yang sudah lalu itu. Bisa saja jawabannya justru sama, tapi aku berharap dia juga akan menjawab berbeda.

”Ah...” baru satu suara yang keluar dari bibirnya sudah membuatku sangat gugup untuk mendengar kelanjutannya. Namun pikiran baik tidak selalu berakhir sesuai harapan, begitupun sebaliknya.

”Dia temanku sejak SMA, dia berkuliah di kampus swasta dan hari itu kami janji untuk nonton bioskop berdua. Maaf jika jawabanku sebelumnya malah membuatmu kepikiran. Kukira memang tidak perlu menjelaskannya asal aku yakin aku tidak akan memainkan perasaanmu.” Lya menjelaskan dengan diliputi rasa bersalah.

Yah, rasa gundah yang menumpuk selama seminggu semudah ini meluap dari kepalaku. Alasan Lya sungguh mendeskripsikan bahwa dia hanya orang yang tidak begitu peka. Aku seharusnya tahu bahwa dia memang secanggung itu. Aku benar-benar bertingkah bodoh, tapi di satu sisi merasa bersyukur karena hal ini membawa kami pada satu langkah maju.

”Ah!” Terlalu cepat merasa lega, aku segera teringat satu hal lagi. ”Ngomong-ngomong, orang yang bersamamu sebelumnya itu—

SRAK!

Itu suara gorden yang terbuka. Aku baru menyadarinya kalau saat ini kami berada di bagian unit gawat darurat rumah sakit. Dan seseorang yang baru saja membuka gorden bilik tempat tidurku adalah subjek yang barusan ingin kutanya pada Lya. Pria berparas cantik yang bahkan lebih cantik setelah melihatnya dari dekat. Rambutnya hitam, sedikit panjang dan bergelombang. Sinar matanya tajam, bulu matanya panjang dan lentik, dan jika dilihat baik-baik bola matanya berwarna coklat. Cara berpakaiannya sangat mencolok didukung dengan tinggi badannya yang jika kuperkirakan mungkin mencapai 180 cm?

Setelah membuka gorden dengan kasar, pria yang tidak kutahu namanya itu melemparkan tatapan mematikan padaku. Tentu saja aku sedikit terintimidasi tapi sisanya adalah rasa heran dariku terhadap maksud dari tatapannya tersebut.

”Leo? Kupikir kamu sudah pulang duluan?” tanya Lya bingung. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya menghadap pria yang ia panggil Leo.

Ekspresi Leo yang semula sinis segera berubah lembut begitu Lya menghadap ke arahnya. ”Ini sudah malam. Aku cemas membiarkanmu pulang sendirian...” kata Leo, nada bicaranya pada Lya pun sama lembutnya. ”Dan mungkin saja pacarmu itu masih merasa tidak sehat. Lebih baik kuantar dia sekalian pulang, kan?”

Mungkin aku bisa dibilang orang yang gampangan karena setelah mendengar kenalan Lya itu mengakuiku sebagai ’pacar’ sudah cukup memberikan kesan orang baik terhadapnya.

”Kau pasti Ben, kan? Sejak pacaran denganmu, Lya sering sekali meminta saran dariku... Dia bersungguh-sungguh denganmu, Ben. Jagalah dia.” Aku semakin terbang ke langit ketujuh mengetahui bahwa Lya sangat serius memikirkan hubungan kami!

”Ah, dan perkenalkan, namaku Leo. Aku teman masa kecil Lya.” Leo memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya, hendak berjabat tangan. Tentu saja aku tanpa ragu menyambut tangan tersebut.

”Ya! Salam kenal, Leo! Aku tidak tahu ternyata Lya punya teman kecil sepertimu. Kau terlihat keren.” Tanpa gengsi, aku juga melemparkan pujian tulus padanya.

”Terimakasih,” jawabnya singkat sebelum melepaskan tangan kami yang sempat terayun beberapa detik. Ia pun kembali menaruh perhatiannya pada Lya. ”Sepertinya dia sudah sehat. Mungkin sudah bisa pulang. Lihat, air infusnya juga sudah kosong.” Aku dan Lya spontan secara bersamaan menoleh ke arah jari Leo menunjuk. Aku pun baru tersadar dari tadi tanganku dipasangi infus.

”Aku akan panggil dokternya dulu. Kalian tunggu, ya.”

Selain ramah, orang bernama Leo yang berstatus sebagai teman kecil Lya itu juga sangat perhatian. Sikapnya sangat dewasa. Aku sedikit merasa bersalah sempat menaruh rasa tidak suka padanya hanya karena ia terlihat sangat dekat dengan Lya. Jika sebatas teman masa kecil, mungkin aku tidak perlu merasa cemas pada hubungan dekat mereka.

***

Rumah sakit tempatku di rawat adalah rumah sakit milik fakultas kedokteran yang artinya kami masih berada di area kampus. Kos tempatku tinggal masih cukup dekat dari sini, karena itu aku sempat menolak tawaran Leo untuk mengantarku pulang dengan mobilnya, akan tetapi Leo tetap bersikeras sehingga aku tidak memiliki pilihan selain menerima tawaran itu.

Biasanya aku perlu menempuh waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Dengan mobil, kami tiba dengan sangat cepat. ”Terimakasih atas tumpangannya,” kataku sebelum membuka pintu mobil, hendak turun. Leo hanya merespon lewat senyuman yang terlihat dari spion tengah mobil.

Setelah itu aku turun, namun tidak langsung melesat masuk ke dalam kos. Di luar mobil aku memberi isyarat untuk menurunkan kaca mobil tempat Lya duduk—di kursi samping kemudi.

Tidak lama kaca mobil bergerak turun, menampakan sosok idamanku yang tidak bosan-bosannya kulihat ini. ”Sampai besok di kampus, Lya!” aku mengatakan itu karena tahu jadwal kelas kami sama.

”Ya! Sampai besok!” Lya membalas penuh semangat.

”Hahaha, sedang mesra-mesranya, ya!” sela Leo di kursi kemudi. Aku hanya tertawa malu, sedangkan Lya meninju pelan lengan atas Leo.

”Kalau iri carilah pacar,” balas Lya. Aku hanya dapat tertawa kecil menyaksikan kedekatan dua orang itu.

”Oh iya, Lya... habis ini kita mampir ke super market sebentar ya? Aku sudah harus mengisi kembali isi kulkas.” Leo menghentikan senda gurau mereka dengan ajakan yang terkesan santai, tapi lirikan mata pria itu melirik penuh arti padaku.

”Ehhh? Tidak bisa, ya kau belanja sendiri? Aku belum mengerjakan tugas kuliah yang harus dikumpulkan besok. Aku harus segera pulang dan mengerjakannya.” Meski memakai alasan tugas, dari nada bicaranya, terlihat sekali Lya hanya merasa malas.

Dan Aku, entah mengapa, memilih untuk mematung di sana mendengar percakapan mereka yang terdengar semakin akrab.

”Aku bisa membantumu dengan itu. Aku bisa mengajarimu, ah tidak... bahkan akan kukerjakan. Setelah makan malam, kau bisa tenang dan pergi tidur, Lya.”

Perkataan Leo terdengar ambigu di telingaku sehingga aku spontan menyela percakapan mereka dengan pertanyaan, ”Apa kalian tinggal bersama?” dan pertanyaan dariku seperti sudah ditunggu oleh pria bersurai gelombang di dalam mobil. Dengan jelas aku melihat bibirnya menyeringai seperti merasa puas karena telah berhasil menarik reaksi yang diinginkannya dariku.

”Tentu saja tidak. Hanya sesekali saja mampir ke apartemennya untuk minta tolong mengerjakan tugas kuliah, sih,” jelas Lya jujur—ia tidak merasakan suasana di antara aku dan Leo sudah berbeda.

”Sampai menginap?” tanyaku lagi. Kini suasana tegang yang semula samar menjadi jelas. Lya terdiam bingung melihat wajahku yang kembali redup. Sedangkan pria itu masih tampak menikmati pemandangan di depan matanya.

”Ben? Apa kau baik-baik saja? Masih ada yang sakit?” tanya Lya kemudian.

Sepertinya Lya tidak dapat menangkap sinyal kegundahanku lagi kali ini. Dia peka dengan perubahan suasana hatiku tapi tidak cukup peka untuk mengetahui penyebabnya. Hal itu bukanlah salahnya, tapi aku yang terus bertingkah kekanakan. Tanpa menjawab dengan benar kecemasan Lya barusan, aku memilih angkat kaki dari sana. ”Aku masuk duluan! Terimakasih sudah mengantarku!”

”Ben!” panggilan Lya kuabaikan sampai aku naik ke lantai dua kos ku dengan terburu-buru. Sekali lagi aku dipenuhi pikiran negatif yang berlebihan.

Kedua orang itu, Lya dan Leo, bukanlah teman masa kecil biasa. Setidaknya bagi Lya mungkin hubungan mereka hanya sebatas itu, tapi tidak bagi pihak lainnya. Dia—pria bernama Leo itu jelas menaruh rasa yang lebih terhadap Lya.

Topik super market jelas disengaja untuk menunjukan kedekatannya dengan Lya sekaligus memprovokasiku. Selain penuh tipu muslihat, ia penuh kepalsuan. Meski baru mengenalnya sebentar, aku sangat yakin! Dia jelas hanya pura-pura bersikap ramah padaku agar terlihat baik di hadapan Lya. Seharusnya aku sadar setelah menerima tatapan kematian itu di rumah sakit sebelumnya!

”Hahhh....” setelah itu aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Setelah masuk ke kamar, aku langsung terjongkok lelah. Ini semua melelahkan. Aku mengacak rambutku frustasi. Baru saja aku merasa bahagian karena kukira hubunganku dan Lya menunjukan kemajuan, kini aku dapat merasakan sakit kepala kembali menyerangku.

Setelah beberapa saat terdiam dalam posisi yang sama, akhirnya aku bisa sedikit menenangkan diri. Aku teringat kata-kata Lya, bahwa aku diizinkan untuk bermanja padanya.

“Mungkin tidak apa-apa kalau aku mengatakannya…”

Bahwa aku cemburu.

Aku cemburu pada teman masa kecilmu itu, Lya. Aku tidak ingin kalian terlalu akrab. Bukankah kau sendiri yang bilang aku adalah prioritasmu? Jangan tarik kembali ucapan itu… karena hatiku sudah terlanjur terbang terlalu jauh padamu. Terlanjur berharap besar.

“Besok… pertama-tama aku harus minta maaf padanya.”

Malam itu, aku memaksa diriku tidur lebih cepat. Meski mata ini tak kunjung mengantuk karena kepalaku dipenuhi bayangan tentang Lya dan Leo, aku tetap berusaha jatuh ke dalam mimpi dengan menghitung domba. Aku hanya ingin malam ini cepat berlalu, agar esok aku bisa kembali berbicara dengannya—sebagai sepasang kekasih yang mencoba menemukan jalan yang lebih mulus untuk kisah kami.

.

.

.

To Be Continue

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!