Namaku Chris. Christian Airlangga Jhonson, lengkapnya. Aku juga dipanggil bule karena ada darah Eropa dalam darah Indonesiaku. Aku termasuk beruntung karena bukan saja berasal dari keluarga kaya, tapi juga sanggup membuat diri sendiri kaya raya.
Wajahku tampan, hidung mancung, tubuh atletis, tinggi, putih, semua yang digilai wanita ada padaku tapi kenapa hanya nasib saja yang tidak selalu beruntung saat bertemu dengan wanita. Mulai dari bertemu wanita yang mengaku dirinya hamil karena aku, lalu mencoba bunuh diri dan melahirkan anakku. Lalu punya tunangan yang berselingkuh dengan temanku sendiri. Kemudian deretan sekretaris cantik yang kupecat karena sudah keterlaluan menggodaku. Apa salahku?
Takdir mempertemukanku pada Reina. Awalnya karena bajunya yang terlihat paling sopan untuk jadi sekretaris, karena itu aku memilihnya. Namun kenapa bunga cinta yang datang belakangan ini mengusikku? Dia Islam dan aku Kristen, ditambah lagi sudah punya suami dan anak. Apa aku ini telah menjadi pria penggoda untuknya?
Serius. Takdir memutar fakta yang sebelumnya ada untukku. Aku juga punya anak dari wanita misterius yang menutup langkahku untuknya. Jadi, aku harus bagaimana? Ayo, bantu aku menjawabnya!
****
Chris memperhatikan dengan seksama wanita yang berada di hadapan. Berusia sekitar 30 tahun dengan kulit sawo matang dan wajah yang sederhana. Sesederhana penampilannya yang menggunakan kemeja putih dan rok panjang berwarna abu-abu. Rambutnya pun terbalut jilbab yang juga berwarna abu-abu. Wanita itu masih menatap Chris yang mengernyitkan dahi menatap kertas di tangan.
"Umurmu maaf, 32 ya?"
"Iya, Pak," wanita itu tertunduk.
"Kalau lihat di data, sebenarnya Anda pernah bekerja sebagai sekretaris, tapi itu sudah lama. Kenapa tiba-tiba ingin bekerja kembali? Sebelumnya apa yang Anda kerjakan?"
"Menikah, Pak. Saya berhenti karena menikah."
Mata Chris membulat. "Begitu, tapi sekarang kenapa ingin jadi sekretaris lagi?"
" Maaf, apa itu penting di sesi wawancara ini?"
Chris memperlihatkan wajah kesalnya.
" Suami saya sedang menganggur, Pak, maaf." Wanita itu buru-buru menjawab pertanyaan Chris, karena melihat wajah kesal pria itu.
Chris kembali memperhatikan wanita yang ada di depannya dan berpikir sebentar.
"Oh ya, Pak, maaf tadi saya terlambat." Lanjut wanita itu sambil kembali menunduk. Dilihatnya wanita itu menyatukan kedua tangan dengan jemari saling bertautan.
"Sebenarnya kami cukup kerepotan dengan keterlambatan kamu, ya? Karena bos Saya sebenarnya sedang meeting, tapi harus menunda dulu karena kamu datang terlambat hampir sejam lebih," sela Redi, asisten Chris yang sedari tadi duduk di sebelah pria itu, melipat tangannya.
Dia cukup kesal karena wawancara untuk sekretaris seharusnya sudah selesai sejam yang lalu, tapi berhubung sang bos ingin mewawancarai langsung semua kandidat yang ada, karena itu semua jadwal pekerjaan tertunda. Termasuk jadwal kerja bosnya. Ia sudah menyarankan sang bos untuk menggugurkan kandidat terakhir ini, tapi Chris bersikukuh untuk tetap mewawancarai.
****
Beberapa jam sebelumnya.
"Ada apa ini? Kenapa mobil tidak bergerak?" Chris memiringkan tubuhnya ke depan sambil menutup laptop.
"Maaf, Pak, sepertinya di depan macet. Tidak tahu, ada apa," kata Mang Ujo sopirnya di depan.
"Coba cari tahu."
Tiba-tiba kaca di sebelah Mang Ujo diketuk orang. Pria itu membuka kaca jendela mobil. Muncul wajah seorang wanita dengan jilbabnya yang sudah basah kuyup.
"Maaf, Pak, hujan memang sudah reda tapi di depan, jalanan sangat tidak layak. Banyak kubangan air. Ini saja Saya terkena cipratan air padahal belum sampai ke sana, tapi masih saja ada yang nekat lewat jalan itu. Bapak sebaiknya mundur saja, Pak, lewat jalan lain karena kalau tidak nanti ban mobil Bapak itu rusak melewati aspal yang bolong di depan sana," kata wanita itu.
Chris masih bisa melihat wajah wanita itu dari belakang, tapi wanita itu hanya fokus melihat Mang Ujo.
"Oh iya. Makasih ya, Mbak". Ujo segera menutup kaca jendela.
"Jadi kita lewat jalan lain saja ya, Pak." Sopir itu memutar mobilnya.
" Ya sudah." Chris masih memperhatikan wanita itu yang sedang mencoba memeras jilbabnya yang basah di kejauhan. Tentu saja wanita itu tidak dapat melihat ke dalam mobil karena kaca mobil mewah Chris yang gelap.
****
"Namamu Reina ya?" Suara Chris memecah keheningan.
" Iya, Pak." Wanita itu menyahut cepat. Ada raut kekhawatiran di wajahnya.
"Kantor mulai jam 8 pagi, tapi saya minta kamu sudah ada di kantor sebelum itu. Untuk detail pekerjaanmu, kamu bisa tanyakan pada asistenku Redi. Untuk sementara kamu percobaan 3 bulan karena masih akan dilihat dulu pekerjaanmu."
Reina terkejut mendengar hasilnya. Terlebih Redi yang menjadi asisten Chris.
"Tapi, Pak ...."
Chris melirik Redi. Matanya menyorot tajam. Ia segera berdiri dan beranjak dari kursi.
"Ba-ba-baik, Pak." Redi segera berdiri mengikuti bosnya.
"Terimakasih, Pak," sahut Reina sambil membungkukkan tubuhnya. Dia tersenyum senang.
Chris sekilas melihat senyum itu, tapi segera memalingkan wajah dan keluar dari ruangan.
Hati Reina berbunga-bunga. Ingin rasanya ia cepat sampai di rumah dan mengabarkan hal ini pada suaminya.
++++
Reina memperhatikan bosnya dari kepala hingga ujung kaki. seorang pria tampan dengan wajah indonya sibuk memperhatikan berkas-berkas yang ada di hadapan. Sebentar-sebentar dia meletakkan jari jemarinya di bawah dagu kemudian mengangguk-anggukkan kepala, lalu memainkan pulpen di sela-sela jari.
"Ok, done. (ok, selesai)" Ia merapikan berkasnya.
"Apa masih ada lagi?" Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan menyilangkan kakinya.
"Sepertinya tidak ada, Pak." Reina mengambil berkas-berkas itu dan beranjak keluar.
"Ok, kalau begitu aku keluar dulu. Aku akan kembali setelah makan siang. Tidak ada jadwal lain, 'kan?" Ia mengambil jasnya yang menggantung di kursi.
"Tidak, Pak." Reina mengerut dahi. Mau ke mana Pak Chris jam segini? Daripada bertanya-tanya Reina memilih untuk kembali ke tempat duduknya di luar.
Chris keluar melewati meja sekretaris dan asistennya. Reina hanya melihat saja bosnya itu pergi hingga menghilang di balik pintu.
"Bos ke mana ya, Mas?" selidik Reina.
"Eh, panggil 'Mas'. Panggil saja nama, aku 'kan lebih muda darimu," sahut Redi dengan sedikit merengut.
"Kamu 'kan senior di sini."
"Yang benar saja. Nanti aku jadi kelihatan tua dong! Lagipula, kenapa sih tanya-tanya? Penasaran ya?" Ternyata Redi, asisten Pak Chris ramah juga kalau sudah lebih mengenalnya. "Bos jemput anaknya, itu sudah biasa setiap hari. Anaknya 'kan sekolah." Redi bicara sambil terus memperhatikan berkas-berkas di tangannya.
"Punya anak?"
Redi melirik ke arah Raina." Pak Chris itu seumuran kamu. Lah, kamu saja sudah punya suami, kalau dia punya anak 'kan wajar."
"Iya sih." Reina berpikir sejenak. "Istrinya mana? Istrinya kerja?" katanya lagi sambil memilah-milah berkas di tangannya.
"Ngak punya istri."
"Cerai?"
"Ngak punya is-tri." Redi mencoba menekankan kalimatnya.
Reina mengalihkan pandangan pada Redi. Ia bingung. "Anak pacarnya?" suaranya setengah berbisik.
"Pak Chris gak punya pacar." Redi menepikan berkas-berkasnya. "Kenapa sih! Naksir? 'Kan kamu sudah punya suami." Redi terlihat senyum-senyum pada sekretaris baru itu.
Wajah Reina memerah. "Saya 'kan sekretarisnya, masa tidak boleh tahu."
"Iya, iya. Maaf. itu sepertinya 'kecelakaan'."
"Kecelakaan? Maksudnya?" Reina semakin penasaran.
"Bagaimana dengan wanita itu?"
"Nah, itulah. Wanita itu masih koma sampai sekarang. Pak Chris masih sering menjenguknya bersama anak itu."
"Bagaimana dengan orang tua wanita itu?"
"Pak Chris tidak kenal wanita itu. Apalagi orang tuanya. Dia sudah coba cari tahu ke bar tempat wanita itu sering muncul, tapi tidak ada yang tahu identitasnya kecuali nama julukannya yaitu 'Poison Flower'. "
"Jadi Pak Chris tidak tahu namanya juga?" Reina membelalakkan matanya.
"Di bar Pak Chris tidak pernah kenalan sama siapapun kecuali bartender, tapi dia ingat sering melihat wajah wanita itu di sana."
"Tidak pernah sekali pun menyapanya, begitu?"
"Katanya, sih tidak. Karena wanita itu selalu dikelilingi laki-laki yang mengaguminya. Wanita itu terkenal sangat cantik dan seksi."
"Tapi kalau mendengar ceritanya, apa mungkin itu anaknya? Sudah diteskah?"
"Oh kalau itu aku tak tahu. Yang aku tahu Pak Chris melihat cctv apartemennya, dan dia melihat wanita itu pernah mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk malam itu dan pagi-pagi sekali wanita itu sudah pulang."
"Tapi bisa saja 'kan kalau itu bukan anaknya?"
Redi tersenyum. "Sepertinya tidak penting deh, soalnya sejak ada anak itu, Pak Chris sudah tidak mabuk-mabukan lagi. Perhatiannya sudah tercurah penuh pada anak itu." Redi menutup ceritanya dan kembali tenggelam dengan kertas-kertas yang dipegangnya.
Reina mencoba mencerna cerita dari Redi tadi. "Ceritanya mirip telenovela ya, tapi yang ini lebih seru kelihatannya."
"Aduh udah gosipnya, nanti kerjaanku tidak selesai-selesai nih!" Dahi Redi berkerut sambil memilah-milah berkas-berkasnya. "Lagipula telinga Pak Chris pasti panas gara-gara digosipkan kita di sini!"
Reina tersenyum sambil meneruskan pekerjaannya.
"Lagi pula kenapa sih kemarin kamu telat datangnya? Untung sekali Pak Chris lagi baik hati. Biasanya dia tidak mau lho, menunggu kandidat begitu."
"Masa?"
"Iya. Makanya bersyukurlah dan kerja yang rajin." Redi melirik Reina.
"Baiklah." Reina menganggukkan kepalanya.
++++
Sesaat setelah Reina masuk kantin, ia melihat sekeliling. Terlihat sekelompok wanita yang duduk agak ke tengah. Salah satunya melambai ke arahnya. "Halo, kamu Reina 'kan?"
Reina berjalan ke arah mereka. Mereka terlihat muda-muda dan cantik-cantik." Mbak, kami juga sekretaris. Mbak, sekretaris Pak Chris yang baru 'kan?"
" Iya."
"Silahkan duduk, Mbak. Makan sama kita di sini, yuk?"
"Saya Lucy, ini Dea, Maya dan Kiki." Mereka saling bersalaman satu-satu ke Reina. Reina senang sudah mendapat teman lagi.
"Eh, tapi aneh ya? Kok sekarang Pak Chris memilih sekertaris yang wajahnya biasa-biasa saja ya? Padahal aduh ...." Kepala Lucy dijitak Maya.
____________________________________________
Terimakasih teman-teman yang sudah mau baca novel pertamaku ini. Ini aku selipkan visual Chris, semoga kalian suka. Jangan lupa apresiasi lelah author receh ini dengan memberi like, komen dan koin😍. Jangan lupa tekan subscribe-nya ya? Salam, Ingflora 💋
Christian Airlangga Jhonson
Reina terlihat bingung.
"Maaf ya, he he he." Maya tersenyum sambil menyikut Lucy. "Temanku yang satu ini suka asal bicara."
"Tapi 'kan benar, sekretarisnya biasanya cantik dan seksi lagi." Lucy membela diri.
"Tapi 'kan dipecat gara-gara mengoda Pak Chris dengan pakaian yang terlampau seksi," ujar Kiki.
" Hush, sudah. Gak sopan tahu!" sela Maya lagi.
"Mungkin karena itu dia pilih, wajah sekretaris yang biasa-biasa aja," Lucy ikut menimpali.
Maya memegang kepalanya dengan kedua tangan. Pusing deh ini, batinnya.
"Mengoda Pak Chris ya?" Reina mengulang pelan. Ia tampak tak tersinggung.
"He he he." Maya hanya bisa tersenyum getir. "Teman-teman pada bocor, mbak, he he he."
"Tak apa-apa. Jadi tahu banyak nih ...." sahut Reina.
"Ada lho Mbak, sekretaris satu lagi, tapi suka bikin kesel." Kiki bercerita.
" Oh itu. Si Shelly." Lucy langsung memotong.
"Kenapa dia?" tanya Reina dengan wajah polos.
"Ambisius ingin jadi istri bos, kali," sahut Lucy lagi. Mereka tertawa.
"Mimpinya ketinggian itu," sela Maya.
"Ya, ada sih sekretaris yang bisa nikah sama bosnya, tapi itu 1 banding 10.000," Kiki menyahuti Maya.
"Mana pakai baju seksinya terlalu, mmh ... wow," Lucy menimpali.
"Lebih mirip Tante ehem ...." sindir Maya.
"A ha ha ha ha. Jangan begitu ah, sama teman sendiri," sahut Reina meredakan pembicaraan yang mulai keterlaluan.
"Apa? Teman? Semua orang diajak ribut, Mbak, sama dia " sela Dea yang dari tadi diam.
"Mbak, belum ambil makanan?" Lucy memperhatikan Reina. "Yuk, Mbak, aku temani."
"Eh iya." Reina mengikuti Lucy.
"Mbak termasuk hebat ya?" Lucy memuji.
"Kenapa?" jawab Reina heran.
"Yang pakai jilbab di sini bisa dihitung dengan jari. Sedikit sekali, Mbak."
"Memangnya banyak orang non Islam di sini?"
"Ya tidak juga. Banyak yang Islamnya kok. Ya tapi kebanyakan tidak pakai jilbab, Mbak karena yang punyanya Kristen."
"Maksudnya bagaimana, aku kok tidak mengerti, ya?"
"Ya kalau pakai jilbab kesulitan, Mbak, karena kliennya banyak yang Kristen. Mereka pasti lebih suka dilayani sama non muslim. Jadi banyak yang tidak berani pakai jilbab. Begitu, Mbak."
"Tapi Pak Chris memilihku karena apa adanya diriku."
"Itu dia, makanya tadi aku bilang, Mbak hebat."
"Masa sih? Padahal di sesi wawancara aku tidak bicara banyak. Hanya mengikuti apa yang dia tanyakan saja."
"Begitu ya?"
"Iya."
++++
Sekembalinya Reina ke ruangan, tidak ada Redi di sana. Ia menghampiri mejanya. Belum sempat ia duduk, seorang anak kecil keluar dari balik pintu ruang Pak Chris. Dia berlari keluar tapi tertegun melihat Reina. Langkahnya terhenti.
"Kamu ... sapa?" Jarinya menunjuk ke arah Reina. Reina kembali ingat cerita Redi.
" Kamu pasti anaknya Papa Chris, ya?" kata Reina sambil tersenyum.
"Eh, itu papaku bukan papamu." Anak itu terlihat kesal.
Reina hampir tidak bisa menahan tawanya. Ia melihat anak itu dengan seksama. Anak laki-laki itu berkulit putih bersih, badannya padat berisi berumur sekitar 3 tahun. Untuk anak di usia itu, ia sangat pintar bicara, tapi kenapa matanya sipit dan sama sekali tidak mirip Pak Chris ya? Apa mirip ibunya mungkin.
"Tama ...Tama kamu di mana?" Terdengar suara Pak Chris memanggil dari dalam ruangan.
Anak kecil yang ada di hadapan terlihat gelagapan. Ia melihat ke arah Reina yang sudah duduk di bangkunya.
"Tante, Tante. Jangan kasih tahu Papa aku di mana ya?"
Belum sempat Reina menjawab, anak kecil itu sudah berlari ke arahnya. Tiba-tiba rok Reina yang panjang disibaknya. Reina kaget. Anak itu masuk dan bersembunyi di dalamnya. Aduh, gimana nih, batin Reina.
Chris keluar dari ruangannya. Ia memandang ke sekeliling. Hanya ada Reina di sana. "Apa kau melihat anak kecil?" tanyanya pada Reina. Ia melangkah ke arah sang wanita.
Reina merasakan dekapan jari anak kecil di kakinya, dan itu membuatnya sedikit geli. "Itu ...." Ia memejam mata. Pelukan di kakinya semakin erat. Reina semakin merasa tidak nyaman karena dipeluk oleh kulit lembut seorang anak kecil.
"Mmh ...?" Chris makin bingung dengan tingkah Reina yang sepertinya tidak nyaman akan sesuatu, tapi tiba-tiba ia mengerti. Ia membulatkan mulutnya dan menaikkan telunjuk. Pria itu menurunkan tubuh dan melihat sepasang sepatu anaknya sedikit tersembul keluar dari rok panjang Reina.
"Dapat!" Chris menyibak rok Reina dan melihat anak itu bersembunyi di sana, tapi alih-alih bisa mengambilnya, kepala Chris dipukul Reina dengan map.
"Pak ...." jerit Reina.
"Aduhh ...." Chris memegang kepalanya.
"Ha ha ha ha ha," anak kecil itu tertawa sambil melepas pelukannya dari kaki wanita itu. Ia berlari ke arah Chris.
"Maaf Pak, tapi Bapak mengagetkanku." Reina membungkuk meminta maaf. Wajahnya terlihat memerah.
"Ada apa ini? Ada apa, Pak?" Redi ternyata sudah kembali. Ia terlihat bingung dengan apa yang terjadi.
"Tidak apa-apa." Wajah Chris pun terlihat memerah. Ia memeluk dan menggendong anak kecil itu.
"Ha ha ha ha ha. Lagi, Pa!" seru anak itu. Ia terlihat senang.
"Eh, kamu nakal, ya?" Chris mengeratkan pelukan.
"Lagi, lagi!" teriaknya kesenangan. Ia menghentak-hentakkan kakinya.
" Maaf, Pak." Reina mengkhawatirkan pukulan di kepala bosnya tadi."Tidak apa-apa," katanya canggung. Ia langsung berbalik ke arah ruangannya.
Setelah masuk ruangan, Reina menceritakan kejadian tadi pada Redi.
"Wa ha ha ha ha," Redi tertawa. "Anak itu memang nakal. Selalu. Ada saja yang dikerjakannya," katanya masih tertawa.
"Sst, jangan keras-keras," bisik Reina sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut. Ia takut Chris mendengar suara Redi.
Tak lama terdengar suara tangisan anak kecil. Kembali Redi menahan tawanya.
"Kenapa lagi sekarang?"
"Sudahlah tak usah dipikirkan. Biasa. Disiplin. Sebentar juga berhenti." Tanpa melihat, Redi sibuk mengelompokkan kertas-kertas yang dibawanya tadi.
Beberapa menit kemudian, tangisannya masih belum juga berhenti membuat Reina semakin penasaran. Ia berdiri dan melangkah mendekati ruang kerja Chris.
"Eh, eh, mau ke mana? Kan ada Bapaknya Rei."
Namun, Reina begitu penasaran. Ia akhirnya melangkah ke dalam ruang bosnya.
"Huahh," terdengar suara tangisan Tama. Ketika pintu dibuka, keduanya menengok ke arah pintu. Tama tiba-tiba berlari ke arah Reina. Ia langsung memeluk kaki Reina.
"Huahh." Ia masih menangis.
Reina terkejut. Cepat-cepat ia segera membungkuk dan diambilnya Tama dalam gendongan. Reaksi bocah kecil itu malah memeluknya erat-erat.
"Eh, ada apa ini? Anak Papa kok nangis." Reina mencoba menghapus air mata Tama sambil tersenyum. Tanpa sengaja Chris melihat senyum itu. Indah sekali saat ia tersenyum, pikir Chris. ini untuk kedua kalinya ia melihat senyum sekretarisnya.
"Papa jahat, huahh ...," adu Tama.
"Oh. Masa? Memangnya Papamu bilang apa?" Reina masih tersenyum.
Tiba-tiba tangis Tama berhenti. Ia menunduk. "Katanya ...."
"Iya." Reina menunggu Tama yang ragu-ragu.
"Harus minta maaf sama Tante, huahh ...." Tama memeluk Reina sambil merebahkan kepalanya ke dada Reina. Ia menangis terisak sementara Reina harus menahan tawanya.
"Lho, anak Papa jagoan 'kan? Kok pakai nangis. Tantenya 'kan ada di sini, tinggal minta maaf saja, bisa 'kan?"
Tama berhenti dari tangisnya. Ia mengangguk dan mengangkat kepalanya. "Tante, maaf ... Tadi Tama cuma main-main. Ngak tau kenapa Papa tiba-tiba marah." Keduanya menengok ke arah Chris. Pria itu terlihat gelagapan. Reina tersenyum.
"Oh ya, kamu ada apa kemari? Biar sini Tama aku gendong." Chris mengalihkan pembicaraan dengan mencoba mengambil anaknya dari Reina.
"Aduhh," Reina mengaduh. Rupanya Tama yang terkejut saat hendak diambil berusaha menggenggam erat jilbab Reina.
Chris tak jadi mengambilnya. Ia jadi serba salah. Belum pernah sebelumnya Tama begitu ingin digendong orang lain selain dirinya. Ini cukup mengejutkan. Bahkan dengan Ibu Chris saja yang sudah lama mengenalnya, Tama tak mau digendong. Tama baru melihat Reina hari ini kenapa ia bisa begitu lengket?
Ia memandangi Tama yang sudah di dalam pelukan Reina. Anak itu memeluk Reina erat seakan-akan tidak ingin berpisah dengannya. Seakan-akan dia itu Ibunya. Padahal Ibu aslinya ada di rumah sakit, tapi ia tak pernah mau menyentuhnya. Ia selalu menangis bila Chris membawanya ke sana.
"Pak?" Chris tersadar dari lamunannya. Reina tersenyum. Aduh, kenapa ada wanita yang senyumnya seindah ini. Baru hanya senyuman. Belum yang lainnya. Yang lainnya? Yang lainnya apa?
Aku mikir apa? Astaga! Untung saja ia sudah bersuami, kalau tidak ... Kalau tidak apa? Apa sih yang aku pikirkan? Dia hanya memberiku senyuman, dan aku bisa berpikir sejauh ini? Ada apa dengan diriku? Apa aku sudah jatuh cinta padanya? Bodoh. No way!(tidak mungkin) Tunanganku kan cantik dan kaya. Berbanding terbalik dengan Reina ke mana-mana. Dia ... menghianatiku. Hufh. Aku membandingkan Reina untuk apa? Toh dia hanya seorang sekretaris yang punya senyum manis.
"Sudah tidur ya, sini aku gendong." Chris mencoba mengambil Tama yang sudah tertidur dipelukan Reina. Ternyata genggaman tangannya sangat kuat pada baju Reina. Chris mencoba membukanya dengan sedikit memaksa dan ... Tama terbangun.Chris terkejut.
"Huahhh." Tampaknya dia terbangun dari tidurnya dan menangis karena merasa terganggu.
"Biar denganku saja, Pak." Reina mengambil kembali Tama dari tangan Chris. Ia mengusap punggung Tama. Tak lama kemudian bocah kecil itu pun kembali tertidur. Reina masih mencoba meninabobokan, memastikan Tama benar-benar tertidur. Dilihatnya wajah bocah kecil itu yang sudah kembali tenang. "Cepat sekali tidurnya Pak. Mungkin karena sudah lelah menangis." Reina tersenyum. Ia bicara sambil berbisik. "O ya, Pak. Maaf tadi saya ...."
"Tak apa-apa. Soalnya tadi saya yang ...." kalimatnya terhenti. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Malu juga rasanya kalau diteruskan. Ia yang salah menyingkap rok wanita tanpa permisi. Mungkin saja karena takut kehilangan pekerjaan wanita ini tidak bisa marah "Lupakan saja. Ini terlalu canggung."
"Iya Pak. Benar." Hufh. Akhirnya, batin Reina lagi. "Ini saya taruh di sini saja, Pak ya? Sudah tidur." Reina meletakkan Tama di sofa besar dengan hati-hati.
"Namanya siapa, Pak?" Reina yang duduk di sebelah Tama yang telah tertidur lelap, mengusap-usap kakinya. Kaki kecil yang bikin orang gemas ingin mencubitnya.
"Tama? Pertama Airlangga Jhonson," sahut Chris sambil melipat tangannya di dada.
"Oh, pakai nama Bapak ya? Christian Airlangga Jhonson. Namanya unik sekali." Reina kembali tersenyum. "Tidak ... ingin coba pakai Baby Sitter, Pak?" tanyanya hati-hati. Ia tahu pria ini pasti punya banyak kesibukan, jadi harus bisa mendelegasikan beberapa pekerjaannya pada orang lain pastinya, saat mengurus Tama. Kasihan juga bosku ini, pikir Reina.
"Dulu pernah coba, tapi anak ini tidak mau lepas dariku. Selalu menangis setiap ditinggalkan. Alhasil aku dulu bekerja dari rumah, walaupun ada Baby Sitter yang membantu. Sekarang, sudah bisa ditinggal sebentar kalau sekolah. Itu saja sudah sangat melegakan. "Mmh," Chris sepertinya sedang memikirkan sesuatu. "Mungkin sudah bisa aku tinggal-tinggal ya?"
"Iya, Pak. Biar Bapak bisa lebih fokus bekerja."
" Iya betul. Ada beberapa proyek sebenarnya yang ingin aku coba kerjakan tapi tertunda terus. Tunggu ...." Ia melirik ke sebuah kotak kecil di atas meja. Ia membuka dan mengambil beberapa kartu nama di situ.
"Tolong kamu cek ini." Reina menghampiri.
"Saya berniat untuk membuat pabrik baru untuk produk terakhir kita karena banyaknya permintaan. Kamu tolong hubungi orang ini untukku, tapi aku mau menghubungi agensi Baby Sitter terlebih dahulu." Chris kembali mendatangi mejanya. Ia mengotak atik isinya. "Di mana aku taruh nomornya ya?"
Reina hanya melihat saja saat Chris mencari nomor itu.
"Ah dapat! Oh iya, kau bisa tolong panggilkan Redi."
"Baik, Pak." Reina melangkah keluar.
****
Redi masuk ke ruangan bersama Reina.
"Apa jadwalku pagi ini?"
"Apa Bapak yakin bisa? Ini saya sudah isi penuh lho agendanya hari ini."
"Kita lihat saja. Mudah-mudahan tidak ada masalah." Chris merapikan duduknya.
"Ok ... Pagi ini ada rapat mingguan. Sudah lama Bapak tidak pernah hadir. Lalu ke pabrik Pak, untuk pemeriksaan sekaligus rapat lagi di sana."
"Ok, kamu temani saya di rapat mingguan Red."
"Baik, Pak."
"Sudah siap semua?"
"Sudah, Pak"
"Ayo." Chris langsung bangkit dari kursinya diikuti oleh Redi.
****
Chris dan Redi telah kembali dari ruang rapat.
"Data untuk ke pabrik bagaimana?"
Redi memeriksa mejanya. "Ini, Pak." Ia menyerahkan map kepada Chris.
"Ok. Kamu selesaikan berkas yang tadi Saya minta. Reina," Chris mengalihkan pandangannya ke Reina. "Kamu ikut saya ke pabrik."
"Saya, Pak?" Reina terkejut.
"Iya. Ayo!" Chris langsung membalikkan tubuhnya dan pergi.
Redi melirik ke arah Reina. " Pst, ayo cepat. Pak Chris tidak suka menunggu lho!"
"Tapi ..." Reina terlihat bimbang.
Redi mendekat, "Sudah pergi saja. Ikuti saja apa yang dia katakan. Tidak susah kok." Ia menyemangati.
"Baiklah." Reina mengambil tas dan setengah berlari mengejar bosnya.
Chris sudah berada di luar menunggu mobil datang. Reina segera menghampiri.
" Kau tidak bawa jas?"
" Maaf, lupa Pak."
Aduh, pakai acara lupa lagi. Wanita ini!
Mobil mewah Chris telah datang. Kaca pintu depan terbuka. "Eh, Mbak yang waktu itu, ya?" kata Mang Ujo dari dalam. Ia masih ingat wajah Reina yang basah kuyup kehujanan dan memberi arahan padanya waktu itu.
"Lho ini 'kan mobil yang waktu itu, ya?" Reina menunjuk ke mobil yang ada di depannya.
"Iya, benar. Karena kamu waktu itu makanya aku tidak terlambat datang ke kantor, tapi kamunya malah telat." Chris membuka pintu mobil belakang dengan cepat.
"Maaf, Pak," Reina menjawab pelan. Ia memajukan mulutnya.
"Kamu duduk di depan." Chris menutup pintunya.
Reina membuka pintu depan, masuk lalu duduk di depan Chris. Chris sendiri tengah tenggelam dengan berkas di tangan.
"Jangan lupa seatbelt-nya. "Seru Chris tanpa menoleh.
Oh, i-i-iya Pak." Reina terbata-bata sambil memasang seatbelt-nya.
"Kita ke butik Rere Mang." Perintah Chris kepada Mang Ujo.
"Ke butik Pak? Untuk apa?" Reina melirik ke cermin gantung yg berada di atasnya.
"Kamu 'kan tidak bawa jas." Chris terlihat masih sibuk dengan kertas yang dipegangnya.
"Saya bisa minta suami saya bawakan ke kantor, Pak. "
Chris melihat ke arah depan sambil memicingkan matanya. Ia melihat Reina dari pantulan cermin tengah. "Kamu ini merepotkan." Suaranya terdengar tegas. "Kita 'kan sudah di tengah jalan."
"I-i-iya, Pak." Jawab Reina gugup. Dilihatnya lagi sang bos dari pantulan cermin tengah, telah kembali tenggelam ke dalam berkas-berkas yang dibacanya.
"Ini coba kau baca." Chris menyodorkan berkas yang dipegangnya pada Reina. Kemudian ia mengambil laptop, dan membukanya.
"Iya, Pak."
"Jangan melamun."
Siapa yang melamun sih, batin Reina.
"Oh ya. Jas itu. Anggap saja properti kantor." katanya tanpa menengok sedikit pun.
Tak lama mobil memasuki pekarangan sebuah butik. Butik dan rumah didesain menyatu membuat butik itu terlihat nyaman walaupun sebenarnya butik itu terletak di pemukiman rumah mewah.
Keduanya turun. Chris memimpin di depan masuk melewati pintu kaca depannya. Lalu ia mengedarkan pandangan.
"Di sini ada banyak pilihan. Pilih saja," katanya memutar-mutar tangannya.
Chris melihat sekeliling, mencari tempat yang nyaman untuk duduk.
Reina yang mengekor di belakangnya mulai melihat satu-satu pada rak pakaian yang ada.
"Ehem, jangan lama." Chris mulai duduk di salah satu sudut dan menyilangkan kakinya.
Dengan segera Reina memeriksa beberapa model jas yang tergantung di situ.
"Ini saja, Pak."
" Hitam. Kamu punya hitam?"
"Iya Pak."
"Lalu kenapa kamu mau beli?"
"Iya, Pak, itu ...."
"'Kan di sana banyak warnanya. Pilih yang lain. Kamu jelek pakai hitam."
Hah? Katanya suruh buru-buru tapi ini disuruh pilih-pilih. Gimana sih? Reina melihat beberapa warna yang tersedia. Aku tidak mau warna terang, seperti mau pergi ke pesta saja. Ungu juga terlampau ajaib.
Ia mengambil jas berwarna biru. "Ini, Pak."
"Mmh." Ia melirik pilihan Reina. "Coba kau pakai."
Reina mencoba jas itu.
"Coba berputar." Ia melipat tangannya di depan.
Aduh, aku 'kan bukan model. Mengapa aku harus berputar-putar? Orang ini aneh ya? Tinggal bilang iya atau tidak, bereskan. Aduh ... banyak sekali maunya Bapak yang satu ini ya, pantas saja Redi bicara seperti itu, batin Reina, tapi akhirnya ia lakukan juga.
Bagus juga dia pakai yang ini ya? Chris mengagumi pemandangan di depannya. Ah, tapi ini masih kurang rasanya. Ini untuk alternatif saja. Apa dia tidak punya pilihan lain? "Itu ada yang merah, kamu tidak coba?"
"Oh tidak, Pak. Saya tidak berani." Reina menggoyang-goyangkan telapak tangannya. Gila, warna merah. Mau kemana? Aduh kalau aku pakai itu ... ah, jangan sampai deh!
"Kenapa? Ini kan properti kantor?" Aduh ini orang. Dibeli pun aku tidak berani pakai.
"Bukan. Bukan itu, Pak. Merah terlalu mencolok."
Chris melirik ke arah rak baju. "Itu ada warna krem. Kelihatannya bagus." Chris berdiri mendekati rak baju. Diambilnya jas yang dilihatnya tadi. "Ini cobalah."
Sebenarnya Reina ingin protes, tapi ia ingat kembali dengan apa yang dikatakan Redi. Karena itu akhirnya ia menurut saja. Ia menanggalkan jas berwarna biru itu dan mencoba yang berwarna krem. Reina melihat pantulan dirinya di salah satu sudut toko. Ada cermin besar ditaruh sana. Sepertinya bagus. Mmh. Pintar juga Pak Chris memilihnya. Tidak terlalu berlebihan untuk bekerja dan tetap cantik dikenakan. "Begini, Pak?"
Kembali Chris dibuat kagum atas apa yang ia lihat di depannya. Baju itu terlihat menyatu dengan kulit eksotik seorang Reina. Apakah ini yang dinamakan kecantikan Asia?
"Bagaimana Pak?" Kalimat Reina membuyarkan lamunannya.
"Oh, ini kita ambil juga." Chris menyambar jas biru yang tadi sudah diletakkan Reina di atas rak baju gantung. Ia segera pergi ke kasir.
"Juga?" Reina terkejut. "Tapi, Pak, satu saja sudah cukup." Wanita itu mengikuti Chris dari belakang. Pria itu tidak menggubrisnya.
"Selamat siang, Pak." Seorang wanita yang berada di tempat kasir menyapanya sambil tersenyum.
"Siang. Saya ambil dua jas ya?" Ia menyerahkan jas biru dari tangannya. Kemudian ia merogoh kantong celana dan mengeluarkan sebuah dompet. "Saya pakai ini." Ia mengeluarkan kartu hitam untuk penggunaan dana tanpa batas.
Wanita di kasir itu membelalakkan matanya. "Iya, Pak. Segera diproses."
"Pak."
"Apa?"
Reina tidak tahu harus bicara apa.
"Eh, itu. Kenapa dua, Pak? Aku masih punya di rumah."
"Kenapa tidak? Memangnya kamu punya banyak? Ada berapa?"
"Satu, Pak."
"Nah 'kan? Sudah jangan banyak tanya."
Sombong sekali pertanyaannya. Apa kau tidak lihat mata kasir yang memperhatikan cara bicaramu. Aduh ... malu juga punya bos seperti ini.
" Oh ya, Pak, saya butuh barcode harga di baju yang satunya, Pak." sela kasir wanita itu lagi. Ia menunjuk ke arah Reina.
"Oh ya. Di mana?" Tanya Chris lagi.
" Di leher."
Tanpa pikir panjang Chris menarik ke atas kerah baju jas Reina.
"Eh," Reina terkejut.
Chris melihat barcode harga yang dimaksud tersembul keluar dari dalam kerah jas. Ia langsung mencabutnya.
"Aah ...." Ternyata Reina tidak bisa menjaga keseimbangan. Ia hampir saja jatuh ke belakang kalau saja tidak ada tangan Chris di belakang punggungnya dan satu lagi menahan lengannya. Hanya barcode itu saja yang jatuh ke lantai.
"Kau tidak apa-apa? " Chris memperhatikan Reina dengan seksama.
Reina masih terkejut. Ia menyusun napasnya satu-satu. Orang ini, pekik Reina dalam hati.
"Maaf, maaf ya? Kau tidak apa-apa?" Chris mendekatkan wajahnya ke wajah Reina. Saking dekatnya wajah Reina memerah.
"Eh, ada Chris. Kamu datang dengan siapa? Pacarmu?" Rere pemilik butik datang menyambut mereka.
"Oh Tante Rere. Bukan Tante. Kenalkan ini Sekretarisku."
"Reina." Reina dan Rere berjabat tangan.
"Oh, berarti dari kantor ya?"
"Iya Tante."
Chris melirik ke kasir. Sepertinya transaksinya sudah selesai.
"Maaf Tante, saya buru-buru. Masih harus ke pabrik lagi." Ia mengambil plastik belanjaan dan kartunya. Reina mengikutinya dari belakang.
"Oh ya silahkan. Jangan lupa salam untuk ibumu ya?" Rere melambaikan tangan.
"Iya Tante."
Chris bergegas keluar. "Ini." Chris menggantung bungkusan itu dengan satu jari di depan wajah Reina. "Jangan bilang kamu tidak punya jas lagi ya, karena kamu akan meletakkan ini di loker kantor."
___________________________________________
Kali ini visual Reina, terimakasih. Jangan lupa budayakan favorit terlebih dahulu, lalu beri like pada tulisan author sebagai bentuk penghargaan atas bab yang reader suka. Salam, Ingflora 💋
Reina Irfan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!