Halo guyss panggil saja namaku Tiara, Aku cuma anak dari seorang ibu tunggal. Saat aku masih bayi berumur dua bulan, Ayah ku pergi merantau ke negri seberang dan tidak pernah pulang sampai sekarang.
Aku hanya hidup bertiga, Aku, ibuku dan nenek ibu dari ayahku. Meski kehidupan kami jauh dari kata sederhana, tapi aku tetap bersyukur karena ibuku masih bisa memenuhi semua keinginan ku. walau aku sendiri tidak tahu dari mana ibuku selalu bisa mendapatkan uang untuk semua kebutuhan ku.
Nih awal cerita ku guys, tapi ini Fersi cerita dari tetangga yang banyak tahu kehidupan kedua orang tua ku dulu.
Di mulai.
Ibu ku namanya Rahma dan ayah ku bernama sumarji yang biasa di panggil Lek Marji, Nenek ku bernama Mbok Mari itu nama yang selalu di panggil nama aslinya baru ku tahu setelah beliau meninggal dan nama asli nenekku Mariam.
Dua tahun pernikahan akhir nya Ayah dan ibuku di kasih rejeki besar, yaitu Aku rejeki terbesar mereka. Setelah sekian waktu menunggu akhirnya dari hasil perjuangan siang malam mereka hadirlah aku.
Setelah setahun pernikahan mereka, sempat ada gunjingan tentang Ibuku yang di katai mandul sebab tidak kunjung hamil namun dari semua tuduhan yang menyedihkan itu akhirnya Ibuku dan ayahku bisa bernafas lega karena di tahun kedua pernikahan mereka aku hadir di perut ibu sungguh kebahagiaan yang hadir di tengah mereka.
Kalian tahu sebelum ibuku di nyatakan hamil, para tetangga yang mulutnya lemes dan julid langsung mingkem begitu dengar kabar kalau Ibuku mengandung, Meski kadang sakit mendengar ejekan atau hinaan yang mengatai Ibuku mandul tapi Ayah dan ibuku tetap santai mengabaikan semua kasak kusuk tetangga yang mereka anggap nggak penting.
Pas di usia ku baru dua bulan terlahir ke dunia, Ayah minta ijin pergi merantau. Beban kehidupan yang semakin tinggi serta kehadiran ku yang memang butuh biaya akhir nya Ayah memutuskan untuk pergi merantau.
" Mah....Mas pergi ikut si Dion ya?" pinta Ayah ku meminta ijin pada ibuku.
" Memang mas tega ninggalin aku sama Tiara!? Jawab Ibuku yang mulai terisak.
" Ya nggak gitu konsepnya Mah..."
" Trus bagaimana konsep yang Mas maksud!?"
Sejenak Ayahku terdiam, memang bukan perkara yang mudah bagi Ibuku memberi ijin, tapi kalau tetap di tempat bekerja sebagai kuli bakal masa depan apa yang bisa Dia berikan untuk aku dan ibuku.
" Mas mau kerja Mah, Mas janji tidak akan macam macam. Mas sangat menyayangi kalian berdua" ucap Ayahku berusaha meyakinkan.
" Halahhh...itu katamu Mas karena belum pergi, coba kalau udah sampai di tempat dan ketemu yang lebih dari aku pasti kamu langsung lupa sama aku juga Tiara" jawaban sepontan dari ibuku yang nggak tanggung tanggung menunjukkan kecemburuan.
Pasal minta ijin berujung ribut sampai ibuku merajuk karena nggak rela jauh dari ayahku.
Alhasil perdebatan minta ijin itu baru kelar setelah tiga hari, atas bujukan dan nasehat dari nenek yang merupakan salah satu orang tua dari ayahku akhirnya ibu ijin Ayah ku pergi mesti dalam hati tidak iklas sama sekali.
" Yaudah Mas... berangkat lah " ucap Ibuku sambil menahan rasa sesak dan airmata yang hampir tumpah dari pelupuk matanya.
" Terimakasih Mah.... percaya lah Mas pergi buat kalian" ucap Ayah ku meyakinkan Ibuku kemudian meluk aku dan ibu.
Pagi setelah sarapan akhirnya Ayahku benar benar pamit pergi, Berbekal ransel lusuh Ayah pamit meski nggak tega melihat linangan air mata Ibuku. Ayahku tetap bertekad pergi karena demi Aku dan ibuku juga nenekku yang mulai sakit sakitan.
" Rahmah, Mas pergi jaga anak kita" ucap nya berpesan sebelum mengecup lama kening Ibuku.
Kemudian Ayahku beralih pamit pada nenekku, " Bu..Mar...titip Rahmah juga Tiara" ucap nya menyalami tangan Nenekku sambil mencium punggung tangan keriput itu dengan takjim.
" Pergilah Nak, Doa ibu selalu untuk kamu" kata Nenekku melepas kepergian Ayahku sambil mengusap lelehan bening yang jatuh di pipi yang keriput dan tirus.
Ayahku melangkah pergi tanpa menoleh lagi kebelakang, Setelah ayahku benar benar hilang dari pandangan tiba-tiba ibuku jatuh pingsan ya mungkin karena sedih yang di rasakan ibuku akibat di tinggal suaminya pergi.
Singkat cerita, Setelah kepergian Ayahku. Ibu bekerja keras, karena tuntutan tubuh yang belum benar-benar sehat pasca melahirkan aku terpaksa berpacu karena tidak ada uang belanja yang di tinggal kan ayah.
Bisa di katakan Ibu bekerja serabutan, yang penting dapat duit kerja apapun ibu mau demi kebutuhan Aku. Sampai jadi buruh cuci, kesawah bantu orang nanam padi juga ibu lakukan yang penting aku tidak kekurangan itu yang ada di pikiran nya.
Hari ke hari aku semakin besar, akibat gizi yang baik aku cepat besar malah tinggi badan ku ngalahin tinggi badan kedua orang tua ku.
Entahlah aku heran, kenapa mulut usil itu seolah-olah jadi pengamat kehidupan orang lain. Dari mulai ibu dan ayahku menikah sampe aku besar ada aja salahnya, ada yang bilang aku bukan benih ayah pokoknya ada aja salahnya dan itu bikin aku sakit hati.
Sampai suatu hari pas aku sudah sekolah di sekolah menengah, Aku berantem sama anak tetangga yang seumuran ku juga. Mulut nya sama kayak mulut emaknya sering ngatai aku anak nggak jelas dan anaknya juga ikut ngata ngatain aku seenak jidat.
Aku emosi karena bahasa anak nggak jelas itu terlalu menyakitkan di telinga ku, apa yang salah cobak wajahku perpaduan antara ayah dan ibu kalau masalah tinggi itu pasti karena suport gizi yang baik bener tidak dan satu lagi orang tua ku menikah resmi.
Darimana cobak bisa mereka ngatain aku anak nggak jelas, kalau Ibuku itu bukan perempuan baik baik mungkin aku nggak kesel bisa jadi aku sedikit bisa membenarkan ucapan mereka tapi ini nyata nyata orang tua ku nikah sah kok malah aku di bilang anak nggak jelas.
Karena sedih dan sakit hati aku nggak mikir panjang, sengaja aku lempar pake batu kepala anak tetangga itu sampe bocor kepalanya mengeluarkan darah yang lumayan banyak, Aku sendiri sampe merinding melihat nya.
Abis kejadian itu, anak tetangga ku di obati di UKS sedang aku terpaksa terima hukuman harus berdiri hormat bendera dari mulai jam kedua sampe pulang, kaki ku rasanya mau copot karena habis dapat hukuman pulang pun aku terpaksa jalan kaki karena ban sepeda ku sengaja di bocorin sama tuh anak tetangga yang aku lempar batu tadi.
Ku tuntun sepeda ku yang sudah koyak ban depan dan ban belakang nya, Aku kesal sampai sepanjang jalan aku mengutuki anak tetangga ku itu.
Sesampainya di rumah, Aku sengaja naruh sepeda ku di pojok halaman tepat di bawah pohon mangga yang biasa di bikin tempat timbunan barang bekas oleh nenek ku.
" udah pulang Tiara" sapa nenekku begitu aku nongol di depan pintu.
" Iya Nek..." jawab ku singkat langsung masuk setelah mengucapkan salam aku menuju dapur.
Sampai di dapur aku langsung minum dua gelas air, " gimana sekolah nya ini hari?" tanya Nenek dari belakang.
" Hmmm baik nek " jawab ku seadanya saja.
" Ibu mana nek ?" tanya ku karena tidak melihat ibuku.
" Ibumu pergi ke pelabuhan katanya Ayahmu pulang hari ini " jawab nenek.
Aku diam. Entah udah yang keberapa kalinya ibu ke pelabuhan, katanya ayah pulang tapi setiap ibu balik kerumah selalu sendiri tidak ada ayah bahkan aku sendiri sudah hampir lupa punya ayah apa nggak.
Aku pergi kekamar untuk ganti baju, aku tidak bisa berbuat apa-apa soal ibu. Kalau di bilang aku nggak mengharapkan kehadiran ayah itu bohong justru aku yang kepengen kali ketemu ayah dari umur dua bulan aku di tinggal sampai sekarang belum pernah ketemu paling cuma lewat video call apa itu puas tidak kataku aku tidak puas karena belum bertemu langsung.
Sore pukul empat setelah azan ashar ibuku sampai di rumah, kalian tahu keadaan nya tetap sama pulang cuma bawa air mata bukan bawa ayah pulang. Aku kesal cuma apa yang bisa aku lakukan, aku cuma anak kecil yang nggak akan di dengar usulannya.
Aku cuma bisa duduk menatap kesedihan ibuku, entah apa yang di harapkan lagi. Kalau firasat aku bilang ayah tidak akan pernah pulang ya itu firasat aku yang bilang.
" Buk Mas Marji kayak nya memang udah lupa sama aku dan Tiara" ucap ibu sambil nangis ngadu sama nenek ku.
Dengar itu rasanya aku pengen ketawain ibu, sudah bertahun-tahun lamanya kok baru sadar sekarang jujur aku juga rindu plus benci sama ayahku sendiri biar kata orang itu dosa tapi aku nggak perduli.
Seperti biasa ibu pasti nggak akan selera makan kalau habis pulang dari pelabuhan dan akan berlangsung tiga hari berturut-turut, akulah yang selalu merawat nya.
" Tiara " panggil ibuku.
" Iya buk.." jawab ku langsung masuk ke kamar nya kebetulan aku masih di ruang tamu.
" Tiara maafin ibuk ya nak" ucapnya saat sudah duduk diatas kasur.
" maaf untuk apa buk?" tanyaku.
" Hik....kayak nya ibuk sudah nggak sanggup nunggu ayahmu lagi" katanya lagi bikin aku diam coba menyelami perasaan nya.
" Ibu akan mengajukan pasah" sambungnya lagi.
" Iya Rahma itu keputusan bagus " jawab nenek yang nongol di balik kain penutup pintu.
Aku tahu harus jawab apa karena aku juga nggak ngerti apa-apa.
" Ibu iklas kalau aku cerai dari mas Sumarji?" ibu bicara sama nenek.
" iya Ibu iklas kok, sudah cukup lama dia meninggal kan mu kalau dari hukum agama dia juga sudah tidak punya hak karena tidak menafkahi kalian. Ibu mengerti Rahma, kamu bukan patung yang tidak punya keinginan cuma ibu minta setelah urusan mu selesai kalian tetap di sini karena hanya kalian yang ibu punya " tutur nenek panjang lebar, aku lihat nenek juga menghapus air mata dengan ujung baju kebaya lusuhnya.
Didalam kamar itu cuma sebagai pendengar, ada sedikit pelajaran yang bisa kuambil yaitu tentang penantian panjang ibu yang ternyata sia-sia dan yang paling aku nggak habis fikir kenapa ayahku bisa berbuat seperti itu.
Triing....."
Tiba-tiba ponsel ibu berbunyi, " ehh...ini mas Sumarji menelpon!" ucap ibuku setelah lihat nama yang tertera di layar ponsel nya.
" angkat saja kalau dia tanya ibu, bilang ibu sudah tidur" ucap nenek langsung keluar dari kamar.
Setelah kepergian nenek ibu menerima panggilan itu, " Assalamualaikum Rahma" terdengar suara dari ponsel ibuk.
" Wa'alaikumsalam Mas " jawab ibu.
" Maaf kan mas ya, mas nggak dapat tiket kapal" kata ayahku dari seberang.
" iya mas " jawab ibuk, entah itu jawaban pengertian entah itu hanya jawaban singkat yang tidak ingin pembahasan soal tiket itu berlanjut.
" Tiara mana?" tanya Ayahku dari seberang, aku yang juga merasa kecewa langsung bangkit dan berlari keluar kamar sebelum ibu sempat jawab aku ada di depan nya.
Aku langsung menuju kamar ku sendiri, hati ku capek aku langsung melebur diri di kasur tipis. Walau kerasa lumayan lah untuk penghilang penat dan sekaligus menggapai mimpi setinggi langit.
Apa yang di bicarakan ibu dan ayah aku nggak dengar, aku tertidur tampa mau memikirkan soal tiket ayah entah betul begitu atau nggak aku males mikir karena menurut logika ku bukan tiketnya yang nggak ada tapi memang ayah yang nggak niat pulang untuk aku dan ibu.
Pagi hari aku bangun tepat waktu setelah menjalani kewajiban, aku bantuin nenek nyapu halaman.
" Tiara masih gelap nggak usah nyapu dulu " ucap nenek melarang dan teguran itu setiap hari sama dengan kata-kata yang sama pula.
Ya aku seperti biasa tetap melakukan rutinitas walau hari masih sedikit gelap.
" Tiara uang jajan sekolah mu udah ibu taruh di atas TV" kata ibu yang keluar, aku tidak menjawab. seperti biasa lah ibu ku pergi pagi buta untuk bekerja mengais rejeki.
Pukul setengah enam aku sudah selesai dengan rutinitas ku kemudian mandi dan menggunakan baju seragam sekolah, tinggal sarapan trus lanjut pergi ke sekolah.
Begitu selesai sarapan aku pamit pada nenek, namun apes aku lupa kalau ban sepeda ku kempes gara gara di bocorin. Terpaksa aku jalan kaki pergi ke sekolah, jarak ke sekolah lumayan jauh.
Dengan kesal terpaksa aku berangkat jalan kaki, Ku ringankan langkahku demi untuk masa depan yang cerah, dalam hati aku bertekad harus jadi orang sukses agar bisa membahagiakan ibuku.
Banyak temen yang lewat, mereka hanya menegur dan tidak ada satupun yang menawarkan tumpangan. Aku sih slow aja memang adat mereka memang seperti itu tidak punya solidaritas sesama teman.
Sekolahan ku lumayan masih jauh, keringat mulai membasahi pipi ku, tapi semangat ku tidak kendur. Hingga terdengar suara motor di belakang mau tak mau sambil jalan aku menoleh, ternyata anak pak lurah yang ganteng nya di akuin seantero desaku.
Sejenak detak jantung ku kayak berhenti begitu liat senyumnya manis banget, " Mau saya antar Tiara" katanya menawarkan.
Deg....
Mendengar tawaran nya mendadak detak jantung ku nggak karuan, langkah ku mendadak berhenti, detak jantung ku bertalu talu seperti irama gendang yang sedang di tabuh.
Dia berhenti pas di sebelah ku, " Ayo naik mas antar ke sekolah" ucapnya dengan senyuman khas seorang pria tampan.
Aku menahan nafas, kalau nggak takut malu maluin diri sendiri rasanya aku pengen lompat lompat. Secara yang ngasih tumpangan cowok paling cakep sekampung, mana anak pak kades pula.
" Kok bengong?" tanya lagi bikin aku makin nggak karuan.
" hehehe makasih ya mas " ucap ku malu sambil nyengir nyengir nggak jelas lalu langsung nangkring di boncengan belakang.
Motor matic itu melaju tidak lambat tidak juga kencang, Tapi lumayan lah baju yang tadi basah karena keringat akhirnya kering karena kena angin.
" Tiara kamu udah punya pacar!?" tanya nya tiba-tiba bikin aku hampir semaput di belakang.
" apa mas...?" tanya ku karena meragukan pendengaran ku sendiri.
" Mas tanya kamu udah punya pacar apa belum?" Dia ngulangin pertanyaan nya.
Oh...my God buat apa cobak dia nanya nanya aku udah punya pacar apa belum, " Deg..." jantung ku mulai nggak aman lagi. "Apa dia mau jadiin aku pacarnya " aku mesem mesem nggak jelas jadinya, tapi mana mungkin juga dia mau sama aku.
Seketika aku tersadar dari semua kekonyolan pikiran, " Nggak ahh mas Tiara mau sekolah yang bener " jawab ku jujur, memang aku nggak pernah mau namanya pacaran seperti temen temen lain yang bilang pacaran itu bisa bikin moodnya bagus dalam belajar.
" Trus cita cita kamu apa?" tanya lagi udah kayak kepala sekolah yang ingin suport cita cita anak didiknya.
" Blom tau mas...tapi tiara bertekad harus jadi orang sukses biar bisa bahagiain ibu sama nenek" jawab ku, tiba-tiba motor matic itu berhenti ternyata aku yang nggak sadar kalau udah sampai di depan sekolah.
Aku turun, " bagus tiara kalau itu niat kamu lanjut semangat ya belajarnya" ucapnya.
" i...iya mas makasih tumpangan nya " jawabku kemudian menatap wajah tampannya sekilas Dia tersenyum manis bikin jantung ku rasanya mau berhenti, mendengar suara bapak penjaga sekolah aku langsung menerobos pintu pagar yang hampir di tutup bapak penjaga sekolah.
Sempat aku dengar Dia teriak, " Tiara jangan lari" katanya tapi aku yang takut telat tidak menoleh lagi.
Aku nggak lagi menoleh entah mas Adi masih di situ apa enggak aku nggak tahu, aku masuk kedalam kelas. Begitu masuk Pertama yang kudapati anak tetangga ku yang julid minta ampun sedang duduk bersama geng julid nya.
" ee..ada pelakor baru datang" katanya bikin "Deg.." aku tersentak sampe noleh kebelakang penasaran siapa yang dia bilang pelakor.
Karena nggak ada orang lain selain aku yang baru masuk dan aku nggak merasa jadi pelakor dan aku nggak perlu ladenin orang kayak dia, tampa menggubris omongan nya aku segera menuju mejaku Masih pagi pamali ngeladenin orang gilak.
" Eh... Lin siapa yang kamu bilang pelakor?" tanya teman satu geng nya.
" ono noh yang baru datang lah " jawab si linda, aku cuma nyengir dan malas melayani
" Aduh masa muka cantik jadi pelakor berarti nggak laku dong" sambung yang lain kalau menurut pendengaran ku itu sih suara si Eren anak pindahan baru yang gayanya sok kaya.
Hati ku mulai nggak tenang tuduhan itu benar-benar menyakitkan, enak saja di bilang aku pelakor emang aku rebut bapaknya dari emaknya mending kalau bapaknya cakep ini kayak liminho mungkin bener aku jadi pelakor lah ini bapaknya udah hhhmm males lah menghina cukup lah kalian bayangkan aja yang enak di pandang itu gimana.
Teng...teng ..teng ..suara lonceng tanda masuk berbunyi, aku cuma bisa menarik nafas dan berdoa semoga belajarku ini hari lancar.
Semua temen temen yang tadi di luar pada masuk kedalam kelas, suasana sedikit riuh tapi aku cuma diam duduk di meja ku nggak perduli dan tidak berniat ikut nimbrung dengan mereka.
" Pagi anak anak"
Masuk Buk Inneke wali kelas kami sekali gus guru yang mengajar di jam pertama.
" Pagi Buk..." jawab kami hampir serempak.
" Baiklah... kita mulai ya?" ucap Buk Inneke.
Tidak ada yang menjawab termasuk aku langsung mengambil buku pelajaran, suasana tenang saat Ibu Inneke menjelaskan beberapa materi pelajaran tentang tata bahasa tugas kami mencatat apa saja yang di jelaskan Buk Inneke.
Jujur aku bukan sok kepintaran tapi memang semua penjelasan dari Buk Inneke sudah masuk kedalam otak ku, jadi aku cuma mencatat poin poin penting saja.
" Tiara coba kamu maju jelaskan di depan" Buk Inneke menunjuk ku untuk maju.
Aku yang memang selalu siap segera maju, tampa berlama-lama aku menjelaskan ulang point penting yang sudah aku catat. Kulihat senyum bangga dan tulus terbit di wajah ibu Inneke.
" Kalian lihat teman kalian ini" tunjuk bu Inneke padaku, " ini wajib kalian contoh. Belajar lah yang rajin" tambah ibu Inneke berupa nasehat yang pasti membangkitkan rasa iri pada teman-teman yang memang nggak suka aku.
Akhirnya jam pelajaran pertama berjalan lancar begitu juga jam kedua tidak suara bisik bisik yang yang biasa selalu sirik padaku.
Lonceng jam istirahat berbunyi, suara kelas langsung kayak pasar aku buru menyimpan buku kedalam tas kemudian keluar dengan tujuan menuju kantin.
Kantin letaknya di belakang sekolah jadi aku harus melewati beberapa ruang kelas terus melewati lorong kemudian melewati beberapa ruang seperti pustaka Labor dan di paling ujung baru toilet sekolah belok kiri barulah aku sampai di kantin.
Begitu aku sampai kantin udah lumayan rame, aku masuk hanya membeli minuman dingin dan beberapa Snack cemilan ringan.
Aku pergi ke belakang perpustakaan di sana ada taman, Aku sering mengasingkan diri di taman dan di taman ini lah yang sering jadi saksi bisu saat aku menangis karena bulian atau karena sedih memikirkan nasib yang di tinggal pergi oleh ayah ku.
Tiga puluh menit akhirnya lonceng tanda selesainya jam istirahat berbunyi, aku kembali ke kelas untuk belajar. setelah duduk menyendiri otak ku lebih fresh dan aku siap belajar demi untuk mengejar cita-cita ku.
Sampai di kelas aku kembali mendengar ocehan ocehan nggak penting, entah lah apa yang mereka irikan aku sendiri nggak tahu. perkataan mereka sering nyakitin hati kadang membangkitkan emosi tapi aku harus tetap fokus dan bersabar dalam menghadapi mereka cuma ngomong pake mulut doang aku nggak perlu khawatir selagi mereka nggak main fisik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!