Pada masa ketika kerajaan-kerajaan Jawa berdiri tegak laksana Merapi menjulang, lahirlah seorang ksatria muda keturunan darah bangsawan. Hidupnya ditempa oleh kehormatan, kewajiban, dan beban nama leluhur. Namun di balik tembok istana yang megah, fitnah dan pengkhianatan menjelma belati yang menusuk. Musuh-musuhnya bersekutu, bukan hanya untuk meruntuhkan martabatnya, melainkan juga untuk merenggut yang paling ia cintai.
Pada suatu malam kelam, sekutu jahat itu merenggut nyawa sang kekasih, meninggalkan luka yang tak dapat dihapus waktu. Hatinya hancur, cintanya tercerabut dari dunia fana. Duka itu menjerumuskannya dalam keputusasaan; ia memilih meninggalkan istana, naik ke puncak gunung yang diselimuti kabut, berniat bertapa untuk mensucikan diri. Namun setiap malam, kesunyian justru menyalakan api luka. Ia bertanya pada langit, mengapa cinta sejatinya dipisahkan dengan begitu kejam.
Di tengah keruntuhan jiwanya, bayangan sang kekasih hadir dalam cahaya rembulan. Suara lembutnya berbisik, seakan melintas dari alam lain “Janganlah hatimu padam. Meski aku tiada, akan ada seorang manusia dari dunia lain yang ditakdirkan menggantikan tempatku. Engkau akan mengenalnya dari pakaian berwarna kuning yang ia kenakan. Dialah yang kelak akan menyatukan kembali sukma yang tercerai, dan menuntunmu pada takdir sejati.”
Sejak malam itu, ksatria tak lagi hanya menanggung beban dendam dan kehilangan, melainkan juga janji gaib yang tertanam dalam hatinya. Ia adalah jiwa yang hancur sekaligus jiwa yang dipilih semesta. Perjalanannya kini bukan sekadar jalan seorang manusia, melainkan jalan dua sukma abadi—satu yang telah pergi, dan satu lagi yang kelak datang dari dunia lain, demi menyingkap arti sejati dari cinta, pengorbanan, dan keadilan.